• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA

2. Asas Monogami

yang tadinya diperintahkan dan berhukum asal sunnah, atau wajib pada kondisi tertentu, bisa berbalik menjadi makruh atau bahkan haram ketika dari awal sudah diyakini resiko penganiyaan atau resiko mudharat pada salah satu pihak.10

Jadi, sebagai penegasan, penulis ingin menggarisbawahi bahwa asas kekal bahagia sebagai salah satu asas pada hukum perkawinan Islam di Indonesia merupakan asas yang penting dan bersifat sangat mendasar. Asas ini sesuai dengan semangat yang dibawa oleh Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, dan juga sesuai dengan nilai- nilai Pancasila khususnya kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dari perspektif jender sendiri, asas ini jelas juga sangat penting untuk memastikan perlindungan bagi perempuan yang faktanya masih ada di posisi yang rentan untuk diperdayai dan dirugikan dengan berbagai jenis dan modus pernikahan yang berjangka seperti nikah kontrak. Selain itu, pendefinisian tujuan bahagia juga ramah jender karena tidak menekankan perngertian pernikahan sebagai wadah penyaluran kebutuhan biologis satu pihak (biasanya laki-laki) pada pihak lain (biasanya perempuan).

Dengan adanya asas ini, diharapkan pernikahan tidak disalah- gunakan dan lebih efektif dalam mencapai sasaran utamanya yaitu ketenangan dan kebaikan bagi semua pihak secara seimbang dan adil.

poligami.11 Dari sinilah kemudian pertentangan dari masyarakat muncul. Pertentangan mewarnai tidak hanya di parlemen tapi juga di tengah masyarakat. Inti dari pertentangan adalah kenapa hukum negara sampai melarang sesuatu yang dibolehkan dalam Islam yaitu poligami. Memang larangan ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya fakta bahwa tim perumus awalnya banyak mengacu pada perundangan Eropa dalam hal ini yang terutama adalah BW.12 Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa rumusan pelarangan ini juga dipengaruhi oleh gerakan perempuan yang menuntut perbaikan kondisi perempuan dalam hal hukum keluarga dan salah satu isu yang sangat mereka prihatinkan adalah poligami.13 Fakta sejarah yang ingin penulis tekankan adalah bahwa kelompok perempuan telah berjuang cukup lama untuk dapat menyuarakan aspirasi mereka termasuk salah satunya yang paling kuat adalah pada isu poligami.

Pada masa itu, praktik poligami terjadi pada beberapa kalangan dan yang membuat mereka prihatin adalah bahwa praktik poligami tersebut seringkali merugikan perempuan dan anak-anak.14

Hal ini bisa dimaklumi terutama mengingat bahwa praktik poligami tersebut besar kemungkinannya tidak tercatatkan dan tidak diatur sedemikian rupa sehingga bisa jadi orang-orang yang sebenarnya tidak mampu dan tidak memenuhi syarat untuk poligami tidak terpenuhi.

Jadi, hasil dari perdebatan itu adalah aturan yang sekarang tertera pada hukum keluarga di Indonesia yaitu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan juga terrefleksikan di Kompilasi Hukum Islam. Aturan tentang poligami jelas menunjukkan bahwa perundangan dan peraturan tentang perkawinan di Indonesia masih membuka ruang bagi poligami tapi hanya pada keadaan-keadaan tertentu dan juga terikat pada syarat serta aturan dan mekanisme

11 Mujiburrahman, “Feeling Threatened Muslim …, 164.

12 Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan …, 6.

13 Ibid., 4-6., lihat juga Maria Ulfa Soebadio, Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Idayu, 1981).

14 Ibid.

yang cukup ketat. Akan tetapi, aturan seperti ini pun idealnya harus tetap dilihat menggunakan kerangka asas yang melandasi. Dalam hal ini, hukum perkawinan Islam di Indonesia jelas menegaskan bahwa prinsip dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia adalah monogami dan bukan poligami juga bukan poliandri. Prinsip ini kemudian terrefleksikan pada pengaturan dan pembatasan poligami hanya sebagai kebolehan yang diberikan pada keadaan-keadaan tertentu.

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur poligami sebagai berikut:

Pengadilan Agama baru dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan  yang tercantum sesuai  dengan persyaratan-persyaratan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu: Ayat 2: Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. istri tidak dapat melahirkan keturunan

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur poligami sebagai berikut:

ƒ Pada Pasal 57 dijelaskan:

Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak menjalankan kewajiban sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.15

Yang ingin penulis tegaskan pada bab ini adalah bahwa harusnya prinsip inilah yang selalu diingat dan digarisbawahi dalam pelak-

15 Pembahasan tentang izin poligami akan dipaparkan pada bab berikutnya.

sanaan aturan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 1974 dan juga Kompilasi Hukum Islam. Para hakim di Pengadilan Agama di berbagai daerah idealnya selalu melihat bahwa monogami adalah bentuk ideal yang dicita-citakan perundangan sehingga mereka bisa lebih bijaksana dan hati-hati atau tidak gegabah dalam mempertim- bangkan putusan atas permohonan izin poligami.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah asas ini tidak bertentangan dengan prinsip dalam hukum Islam? Pembahasan di sini tentu panjang. Akan tetapi jika disingkat, Islam sebenarnya juga justru mengusung semangat monogami. Hal ini tampak dari beberapa indikator salah satunya adalah bahwa Islam justru membatasi praktik poligami yang sebelumya tidak terbatas dan juga Islam menegaskan syarat bagi seseorang yang berpraktik poligami di mana sebelum Islam datang hal ini tidaklah dikenal. Selain itu, Ada juga pujian di dalam al-Qur’an terhadap orang yang menahan diri terhadap satu orang wanita saja dengan penegasan “fa wahidatan dhalika adna an la ta”. Pada Kompilasi Hukum Islam, asas monogami dalam undang- undang perkawinan Islam di Indonesia tidaklah bertentangan dengan semangat yang dibawa oleh Islam.

Membahas poligami tentu panjang dan secara khusus akan dipa- parkan pada bab tentang izin poligami dan dispensasi usia minimal menikah. Akan tetapi, pada bab ini penulis ingin menekankan bahwa penetapan asas monogami sebagai prinsip hukum perkawinan Islam di Indonesia jelas merupakan langkah tepat dan ramah jender karena memiliki semangat untuk mereduksi, kalaupun tidak bisa menutup praktik poligami. Harus diakui bahwa masih banyak yang tidak puas dengan aturan ini karena pada Kompilasi Hukum Islam pintu poligami masih terbuka, akan tetapi mengingat bahwa pemahaman masyarakat muslim masih kuat akan kebolehan poligami, maka ini merupakan win-win solution. Paling tidak, dengan pengaturan dan mekanisme yang ketat, poligami hanya akan dipraktikkan pada kondisi tertentu, sebagai pintu darurat sebagaimana istilah Quraish Shihab, dan lebih bisa diawasi oleh negara.