• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahram karena Pertalian Persusuan

LARANGAN, PENCEGAHAN, DAN PEMBATALAN DALAM PERNIKAHAN

A. LARANGAN PERKAWINAN

3. Mahram karena Pertalian Persusuan

ke atas, sama saja apakah kakeknya itu dari pihak ayah suami atau ibu suaminya.

c. Suami anak perempuannya (menantu laki-lakinya) dan suami cucu perempuannya, baik cucunya itu dari anak laki-lakinya atau dari anak perempuannya, dan seterusnya ke bawah.

d. Ketiga orang yang disebutkan ini tetap menjadi mahramnya, hanya sekedar dengan melaksanakan akad nikah, sehingga kalaupun suaminya telah meninggalkannya karena mati atau karena talak (mentalaknya) atau karena fasakh (dipisahkan pernikahannya), maka mereka (ketiga golongan di atas) tetap sebagai mahram baginya (bagi wanita tersebut).

e. Suami ibu dan suami nenek dan seterusnya ke atas, namun demikian suami tersebut tidak bisa menjadi mahram bagi anak- anak perempuan istrinya, hingga dia telah mengumpuli istrinya tersebut. Jika dia telah mengumpulinya barulah dia menjadi mahram bagi puteri istrinya dan puteri cucunya, baik puteri itu dari suami sebelumnya atau suami sesudahnya, meskipun nantinya dia menceraikan istrinya itu. Jika dia hanya sekedar menjalankan akad nikah dengan seorang wanita, lalu dia menceraikannya sebelum mengumpulinya, maka dia tidak bisa menjadi mahram bagi anak perempuan dan cucu perempuan mantan istrinya tersebut.4

Penjelasan di atas lalu dijelaskan lebih detail dalam KHI Pasal 39 ayat 3, yaitu:

a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

e. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.6 4. Larangan Pernikahan Selain Alasan Mahram

Selain karena alasan mahram, laki-laki juga dilarang melakukan pernikahan karena beberapa alasan tertentu yang disebutkan dalam KHI Pasal 40-44, yaitu:

Pasal 40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 41

(1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya;

a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;

b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

Ibnu Rush menjelaskan panjang lebar tentang perbedaan pendapat ulama’ terkait beberapa hal, diantaranya kadar keharaman dari persusuan, umur menyusui, dll.

6 Mardani, Kumpulan Peraturan tentang …, 139.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri- istrinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.

Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`’i.

Pasal 43

(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:

a. dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali;

b. dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.7

Selain beberapa larangan di atas, ada satu larangan yang perlu diperhatikan oleh semua pihak, yaitu larangan seputar poligami.

Di dalam KHI Bab IX Pasal 55-59 dijelaskan aturan tentang beristri lebih satu orang (poligami). Jika disimpulkan dari pasal tersebut, maka pada prinsipnya asas perkawinan Islam di Indonesia adalah monogami (menikah dengan satu istri). Asas ini menjadi penting untuk diperhatikan untuk menjaga hak dan kemaslahatan suami istri agar bisa tercapai secara maksimal. Aturan di KHI begitu ketat bagi laki-laki untuk bisa menikah lebih dari satu istri. Di antara persyaratan yang wajib dipenuhi adalah:

1. Suami wajib berlaku adil kepada istri dan anak-anaknya. Jika

7 Ibid., 140.

syarat utama ini tidak dipenuhi, maka suami dilarang menikah lebih dari satu orang istri (Pasal 55 ayat 3).

2. Harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama (Pasal 56 ayat 1).

3. Syarat kebolehan agama yang diizinkan Pengadilan Agama ada - lah:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 57) 4. Harus ada persetujuan istri (Pasal 58)

5. Harus ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak mereka (Pasal 58).

Jika melihat persyaratan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa asas perkawinan di Indonesia adalah monogami. Bahkan jika poligami bisa membawa kemudaratan bagi keluarga terutama bagi anak istri, maka poligami bisa dilarang.

Jika di Indonesia kebolehan poligami masih bersyarat, dan poligami dilarang jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka di negara lain seperti Tunisia secara tegas dikatakan bahwa poligami dilarang dan bagi pelakunya akan diberi sanksi. Disebutkan dalam undang-undang poligami Tunisia Pasal 18:

1. Beristri lebih dari satu dilarang. Siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau terhadap kedua-duanya.

2. Barang siapa yang telah menikah melanggar ketentuan dalam UU No. 3 Tahun 1957 yang berkaitan dengan aturan status sipil dan kontrak perkawinan kedua sementara ia hidup dengan istri pertama akan dijatuhi hukuman yang sama.

3. Seseorang yang diketahui menikah dengan orang lain juga dikenakan hukuman yang sama.8

8 Muhibbutthabry, “Poligami dan Sanksinya menurut Perundang-undangan Negara-negara