Konperensi telah menghasilkan Wortd Ptan
of
Action yang disetujui selama 30tahun, berisi
rekomendasikepada
pemerintah masing-masinguntuk
diberikan kesempatan pendidikan yang lebih luas bagi perempuan, kesempatan kerja yang lebih baik, kesetaraan dan dalam partisipasi politik dan social, dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi perempuan. Serta rekomendasi utuk membentuk mekanisme nasional untuk memajukan perempuan.Setiap lima tahun sekali rencana aksi dievaluasi untuk
mengetahuiperkembangan, hambatan, dan berbagai kemungkinan perbaikan rekomendasi. Dari
tahun ke tahun
kondisi perempuan sudah mulai menunjukkan kemajuan, namun demikian harus diakui dalam banyak hal dalam pembangunan, perempuan masih mengahadapi kendala sebagai pelaku aktif, pemanfaat serta penikmat hasil-hasil pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya GDI (Gender Developmentlndeks) dibandingkan dengan HDI (Human Development lndeks). Di Sumatera Barat
HDI 67,5
sedangkanGDI
60,7. Terdapat kesenjangangender 10
persen dalamrentang waktu 1999-2002. Artinya
di
Sumatera Barat dengan system matrilinealnya,ternyata perempuan masih tertinggal dari laki-laki dalam berbagai
aspekpembangunan. Secara umum
hambatanutama
kemajuan perempuan dalam pembangunan disebabkan karena berbagai trocialdiantaranya,
politik, ekonomi,social dan budaya yang dalam banyak hal masih cenderung bias gender.
Masih banyak orang yang belum paham tentang gender,
dan
bahkan keliru memahaminya. Kekeliruan pemahaman tentang gender dapat menyebabkan orang merasa tidak perlu memperjuangkannya, dan bahkan "anti" terhadapnya. Hal ini akan berdampak signifikan bila terjadi pada para pengambil kebijakan pembangunan dantokoh-tokoh sentral dalam pengambilan keputusan
di
berbagai aspek kehidupan.Sebenamya bila difahami dengan baik, perjuangan kesetaraan gender pada dasarnya perjuangan terhadap perbaikan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Karena bila hak-hak perempuan terpenuhi seperti kesehatan perempuan, ekonomi, tanpa diskriminasi, maka akan berdampak terhadap perbaikan kehidupan keluarga, dan masyarakat secara lebih luas.
Sejauh ini sudah cukup banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan. Model pembangunan di negara-negara berkembang demikian juga di lndonesia yang paling dominan adalah melibatkan perempuan dalam pembangunan
(WlD).
Upaya tersebut dapat dilihatdalam
program kegiatanyang
dilakukan seperti memfasilitasi perempuan dalam organisasi perempuan seperti PKK, Dharmawanita, bantuan modal usaha, tenaga kerja dll.Beberapa penelitian menunjukkan
dengan
melibatkan perempuan dalam pembangunan, tidak dengan serta akan membawa pada perbaikan kualitas hidup perempuan. Apalagijika dasarnya adalah dalam rangka mensukseskan pembangunan atau efisieansi pembangunan (Mosse,1995), Logwee dalam lhromi, 1997). Dalam pembangunan yang demikian perempuan lebih merupakan obyek ketimbang sebagaisubyek
pembangunan.Bahkan
pembangunanyang
demikianjustru
membawa dampak negatif bagi perempuan, karena mempertajam ketimpangan gender yang menyebabkan perempuan tersubordinasi, danjuga
tidak jarang mengalami tindak kekerasan dalam berbagai bentuk seperti kekerasan fisik, ekonomi, psikologis, dan seksual.Di samping itu yang juga sering terjadi para
perencana pembangunan mendefinisikan sasaran proyek sebagai sesuatu yang samadan
homogen, serta cenderung berasumsidengan hanya
melibatkan laki-lakidapat
dikatakan telah mewakili semualocial
yang ada di masyarakat. Pembangunan yang demikian juga akan cenderung gagal memajukan perempuan. SarahH
Longwee (dalam lhromi, 1997) menyatakan bahwa keberhasilan dari kebijakan-kebijakan yang dimaksudkanuntuk
memajukan perempuan, tergantungkepada
kesadarangender
(GenderAwareness) yang dimiliki oleh para pejabat yang merumuskan
kebijakanpembangunan dan para petugas yang melaksanakan. Selanjutnya para perencana proyek pembangunan yang memiliki kepekaan gender (Gender Sensiflve) menyadari bahwa kebutuhan perempuan sifatnya khusus, dan berbeda dengan kebutuhan laki- laki. Oleh karena itu, paradigma pembangunan di dunia ke tiga pada umumnya mulai bergeser dengan menjadikan gender sebagai pendekatan, yang lebih dikenal dengan
Gender
And Development (GAD).GAD
mendekati permasalahan secara sosial dengan melihat bagaimana masyarakat diorganisirbaik
secara ekonomi, politik,maupun
sebagai konstruksi social gender yang mengatur alokasi peranan, atribut, hak, kewajiban, dan tanggung jawab, serta harapan baik pada laki-laki mupun pada perempuan.Agar sebuah kebijakan atau proyek pembangunan benar-benar bermanfaat bagi kemajuan perempuan, maka kekhususan pengalaman perempuan sesuai latar budaya
di
mana ia berada perlu mejadi perhatian. Di samping itu, juga perlu diingatbahwa
perempuan itu sendiri juga sangat heterogen, baik dilihat dari daerah tempattinggal, kondisi ekonomi,
pendidikan, pekerjaan,status
perkawinan,dll
yangkesemuanya
itu
mempengaruhi keberhasilan sebuah program pembangunan yang ditujukan untuk kemajuan perempuan khususnya, dan masyarakat pada umumnya.2.
Pengarus Utamaan Gender (PUG) dalam PembangunanDalam
merealisasikan GenderAnd
Development(GAD) inilah
kemudian dikembangkan strategi Pengarus Utamaan Gender (PUG) . PUG merupakan strategi untuk menjamin bahwa seluruh proses perencanaan, pelaksanaa, monitoring dan evaluasi dari seluruh kebijakan program dan proyek di seluruh sector pembangunantelah
memperhitungkan dimensi gender-yaitu melihat
laki-lakidan
perempuansebagai pelaku (subyek dan objek yang setara dalam akses, partisipasi dan kontrol
atas
pembangunan serta dalam memanfaatkan hasil pembangunan. Strategi PUG berupaya menjawab adanya ketidakadilan gender dengan mengintegrasikan kerangkaanalisis gender, yaitu
kerangka konseptualyang dilandasi
kesadaran adanya kemungkinan perbedaan kapasitas, potensi, aspirasi, kepentingan,dan
kebutuhan antara laki-laki dan perempuan dalam setiap tahap proses pembangunan di berbagai sector maupun lintas sector.Pada prinsipnya PUG merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman,
aspirasi, kebutuhan, dan
permasalahanperempuan dan laki-laki ke
dalamperencanaan, pelansanaan, pemantauan dan evaluasi. Pemerintah telah menetapkan strategi khusus yang disebut Pengarusutamaan gender (Gender mainstreaming) alau
PUG, yang diatur dalam lnstruksi Presiden nomor I tahun 2000
tentangPengarusutamaan Gender dalam Pembangunan nasional. Strategi ini dibangun untuk
menjadikan gender sebagai suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pemantauan,
dan
evaluasiatas
kebijakandan
program pembangunan, sehingga setiap kebijakan berdampak pada keadilan gender. Strategi ini merupakan alat untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan agar mereka dapat menjadi warga negara yang berperan secara utuh dalam setiap proses pembangunan. Secara khusus tujuan PUG sebagaimana dimuat dalam lnpres nomor 9 tahun 2000 adalah:terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan rrasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbagsa dan bernegara.PUG penting untuk memastikan apakah perempuan dan laki-laki mempunyai akses yang sama terhadap sumber daya, apakah laki-laki
dan
perempuan dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, apakah laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan dan peluang yang sama dalam melakukan kontrol terhadap pembangunan, dan apakah perempuan dan laki-laki menikmati hasil pembangunan.Tujuan akhir PUG adalah
mempersempitdan
bahkan meniadakan kesenjangan genderyang
mengantarkanpada
kesetaraandan
keadilan gender.Melalui PUG diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyatnya akan lebih meningkat, khususnya dalam mempertanggung jawabkan kinerjanya.Penyelenggaran PUG mencakup baik pemenuhan kebutuhan praktis gender maupun pemenuhan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan-kebutahn perempuan dan laki-laki agar dapat menjalankan peran-peran social
yang
diperankanoleh
mereka untuk merspon kebutuhanjangka
pendek,taraf hidup,
perbaikan pelayanankesehatan,
penyediaanlapangan kerja, penyediaan air bersih, pemberantasan buta aksara, dll. Sedangkan kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan-kebutuhan perempuan yang berkaitan dengan perubahan subordinasi perempuan terhadap laki-laki,
seperti
perubahandalam
pembagianperan,
pembagiankerja,
kekuasaandan kontrol
terhadap sumberdaya, dll.Selain itu
kebijakan PUGjuga
memberikan kesempatanyang luas
bagi pemerintah daerah untuk membuka dimensi gender dalam proses pembangunan daerahnya. Dengankata lain, secara
khususstrategi PUG adalah alat
untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan agar mereka dapat menjadi warga negara yang berperan secara utuh dalam setiap proses pembangunan.3. Dasar Hukum PUG
Komitmen pemerintah lndonesia untuk melaksanakan PUG di berbagai sector pembangunan sebenarnya sudah relatif diwujudkan
oleh
perangkat hokum yang tersedia. Berbagai dasar hukum bagi pelaksanaan PUG sudah tersedia sebagaimana yang tercantum di bawah ini:a. Pasal 27 UUD 1945, yang
mengamanahkanbahwa setiap warga
negara bersamaan kedudukannya dalam hokum dan pemerintahanb.
BablV,
bagianF
ayat 3, TAP MPR No. |V/MPR/1999 tentang GBHN. DalamGBHN bagian F ayat 3 poin a,
dinyatakanbahwa
diamanahkan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsadan
bernegara melalui kebijakan nasional yang diembanoleh
lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan genderc. UU nomor 25 tahun 2000 tentang Program
Ppembangunan Nasional (PROPENAS).Dalam
PROPENAS dengantegas
dinyatakanbahwa
dalamrangka
mewujudkan kesetaraandan
keadilangender perlu
dikembangkan kebijakan nasional yang responsive genderd.
UU nomor 39 tahun 20OZ tentang REPELITAe.
UU nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasionalf.
lnpres nomorI
tahun 2000 tentang PUG yang pada intinya menginstruksikan kepada menteri, kepalalembaga
pemerintahan,dan
departemen, pimpinan kesekretariatan lembaga tinggi negara, Panglima TNl, Kepala Kepolisian, JaksaAgung,
Gubernurdan BupatiMali Kota untuk
melaksanakanPUG
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang mereka hasilkang.Surat Edaran Mendagri dan Otoda nomor
050/123215J12001 tentang pelaksanaan PUGh. Surat Meneg
Pemberdayaan Perempuan nomor B-55/Men.PP/Dep.llNll2002 tentang panduan pelaksanaan lnpres nomor9
tahun2000
kepada pimpinan sector, Gubernur, BuPatiMali Kota5. Hambatan dalam Pelaksanaan PUG
Meski PUG telah bergulir sejak enam tahun lalu, namun pelaksanaannya masih belum optimal.
Hal ini
terjadi karena masih banyak terdapat hambatan-hambatan, sebagaimana yang dikemukakan Mastuti dan Rinusu berikut ini:a.
Hambatan budayaMasyarakat maupun aparatur pemerintah yang terlibat
dalamperencanaan, pelaksanaan, pemantauan
dan
evaluasi pembanguna masih sangat terkungkung dalam budaya patriakhi. Meski sesungguhnya kesadaran gender sudah muncul, namun secara tidak disadari tindakan-tindakan yang lahirmasih bias gender.
Pengkotakanperan
berdasarkanrelasi social
bahwa perempuan "pekerja domestik" dan laki-laki melakukan kerja di luar rumah masih terdapat dalam masyarakat dan secara tidak sadar masih didukung oleh policypara pengambil keputusan.
b.
Lemahnya sosialisasiDi antara
stakeholderyang terlibat dalam
pembangunan bahkanperencanaan pembangunan di pemerintahan pun belum
sepenuhnyamendapatkan sosialisasi yang baik tentang PUG. Hal ini setidaknya dirasakan rekan-rekan
di daerah yang
mengakuimasih
sulitnyamereka
mengaksesinformasi baik berupa buku-buku maupun leflet tentang PUG. Di samping itu juga ada keterbatasan tenaga sosialisasi dari instansi terkait.
c.
Hambatan kelembagaanKeberadaan meneg Pemberdayaan Perempuan sebagai kementerian
negara yang hanya
berfungsi koordinasitanpa
kewenangan operasionbal menjadi salah satu penghambat bagi pelaksanaan PUG. Demikian juga dengan kehadiaran Biro atau badan Pemberdayaan Perempuan di daerah-daerah juga lemah karena tidak memmiliki wewenang untuk menseleksi program-programyang diajukan unit-unit kerja sektoral dalam penyusunan perencanaan program.
Sementara focal point dan pokja gender belum dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya secara optimal karena kelusulitan koordinasi internal
d.
Belum adanya kesamaan visi antara eksekutif dan legislativeBelum adanya
kesamaanvisi tentang
pelaksanaanPUG
dalampembangunan menjadi factor penghambat PUG. Ada pemahaman gender yang
keliru
disebagaian anggota legislative dan eksekutif., misalnya gender masih dikonotasikan dengan perempuan, sehinggaberdampak
terhadap resistensi ketika eksekutif mengajukan alokasi anggran untuk program-program bernuansa gender. Tampaknya sosialisasi PUG di legislative jauh lebih buruk dibandingkan dengan di eksekutif. Faktor lain juga karena minimnya keterwakilan perempuan dalam parlemen. Sebagai contoh, hanyaada 5
orang poerempuandari
55 anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat hasil Pemilu 2004. Demikian juga di Kabupaten dan Kota bahkan ada daerah yang tidak satupun perempuan menjadi anggota DPRDnya.e.
Kebijakan anggaran yang buta genderHal itu
merupakan kendalabagi
pengimplementasianPUG di
daerah kabupaten/kota, sebab bagaimanapun baiknya program tanpa didukung kebijakan anggaran yang menunjang akan sangatsulit
untuk direalisasikan. Berdasarkan pengamatan, sampai sekarang belum banyak perubahan yang signifikan terhadap kebiijakan anggaran.D. Evaluasi
1.
Bandingkalah pendekatan pembangunan pemberdayaan perempuan antara Wid dan GAD2.
Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan PUG dan apa manfaat PUG bagi peningkatan kesetaraan dan keadilan gender3.
Jelaskanlah hambatan-hambatan dalam pelaskanaan PUGE. Sumber/Referensi
lhromi,
T.O.
1995. KajianWanita
Dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor lndonesiaMosse, yulia Cleves. 1995. Genderdan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mastuti, Sri dan Rinusu. 2003. APBD responsive Gender. Jakarta: Ciba
Tjokrowinoto, Moelijarto.1996. Pembangunan dilemma dan tantangan. Yogjakarta:
UGM
"Dampak Pembangunan terhadap perempuan" dalam Jurnal Perempuan 05/1998