• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Pertanyaan tentang Hukum Progresif

Dalam dokumen BUKU PENGANTAR FILSAFAT HUKUM (Halaman 99-112)

VI

Hukum Progresif Sebagai

hukum adalah ketika hukum itu sendiri tidak ada.110 Tentu saja apa yang diungkapkan oleh Marmor itu adalah tidak mungkin, karena selama ada masyarakat, tentu dapat dipastikan selalu ada masalah dari dalam interaksi- interaksinya. Akan tetapi apa yang disampaikanya sesungguhnya juga tidak sepenuhnya keliru, karena berarti hukum dan masalah-masalah dalam masyarakat itu adalah satu kesatuan dua sisi mata uang. Menariknya, argumen Marmor itu masih mengandaikan apabila hukum dan masalah itu –meski berdampingan- adalah dua hal yang berbeda. Lebih jauh, bagaimana apabila yang terjadi hukum itu sendiri merupakan bagian, atau justru jadi sumber masalah, sekiranya masih bisakah hukum dijadikan sebagai alat emansipasi?

I

Pertanyaan di atas barangkali tidak hanya bisa diarahkan kepada studi –meminjam istilah Pak Tandyo- ilmu hukum dogmatik,111 melainkan juga kepada tawaran Pak Tjip, dengan apa yang disebutnya sebagai hukum progresif. Secara garis besar, tujuan utama dari

110 Andre Marmor.The Ideal of Rule of Law, dalam Dennis Patterson (ed). 2010.

A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory. Oxford: Wiley-Backwell.

hlm 666-73.

111 Soetandyo Wignyosoebroto. 2002. Hukum; Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Huma & Elsam. Hlm. 161-2.

konsepsi Pak Tjip tentang hukum progresif adalah untuk membuka interpretasi yang kaku dari hukum positif. Karena itulah, dia bilang bahwa hukum tidak hanya berjalan dengan rule making, melainkan juga rule breaking.112 Selanjutnya, Pak Tjip membeberkan beberapa paradigma dalam hukum progresif; pertama, bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya;113 kedua, hukum progresif menolak status quo;114 Ketiga, bahwa hukum progresif harus mengatasi kekakuan dalam berhukum positif, bahwa “cara berhukum yang lebih baik dan sehat, dalam keadaan seperti itu, adalah memberikan lorong-lorong untuk melakukan pembebasan dari hukum formal”.115 Dari ketiganya, akhirnya dikatakan bahwa hukum progresif itu melihat hukum sebagai sesuatu yang

“mengalir saja”. Mengalir disini adalah berarti dalam berhukum harus selalu mengandung pembebasan.116

112 Satjipto Rahardjo. 2008. Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Kompas.

113 Ibid hlm 139 114 Ibid hlm 140 115 Ibid hlm 142

116 Ibid hlm 147 lihat juga Satjipto Rahardjo. 2010. Penegakan Hukum Progresif.

Jakarta:Kompas. Hlm 61, lihat juga Satjipto Rahardjo. 2003. Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas. Hlm 34. Dalam dua literatur tersebut Pak Tjip mengulang tentang bahwa hukum seharusnya mengalir, dan mengalirnya itu bertujuan untuk kebahagiaan.

Untuk mencapai hal di atas, Pak Tjip menyatakan perlunya ilmu hukum untuk berjumpa dengan ilmu- ilmu lain. Bahwa hukum adalah bagian dari perubahan sosial.117 Untuk itu, hukum adalah sekaligus sarana kontrol dan sarana konstruksi sosial,118 dan dengan alasan yang sama, -masih menurut Pak Tjip- apa yang disebut sebagai ilmu hukum adalah bidang ilmu yang senantiasa terpengaruh oleh bidang keilmuan lain, sebagai ilmu yang interdependen.119 Jadi apa yang disebut hukum sebagai peraturan beserta kenyataan empiris yang melingkupinya bukan dua hal terpisah dan bisa dipisahkan secara mutlak.120 Maka, karena hukum selalu dipengaruhi dan mempengaruhi kenyataan-kenyataan sosial dan tidak dapat dipisahkan darinya, memandang

117 Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial, Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta:Genta Publishing. Disini Pak Tjip menggunakan kerangka Parsonian untuk menjelaskan relasi antar sub-sistem dalam kerangka Parsonian.

118 Hukum sebagai sarana kontrol dan konstruksi sosial terdapat di dalamnya tiga elemen: pembuatan norma-norma, penyelesaian sengketa, dan menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat dalam hal terjadi perubahan- perubahan dalam ibid hlm 82.

119 Satjipto Rahardjo. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hlm 7, bahwa “Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner dimana berbagai disiplin ilmu pengetahuan diperlukan untuk membantu menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat.”

120 Satjipto Rahardjo. 2006. Hukum dalam Jagad Ketertiban.Jakarta:UKI Press.

Hlm 170.

hukum secara kaku dan dogmatik adalah tidak mungkin.

Pak Tjip menambahkan, bahwa apa yang disebut sebagai hukum progresif itu pada dasarnya hidup dalam suatu kondisi khusus, yaitu –sebagaimana telah diutarakan diatas- untuk melampaui kebuntuan normatif maupun kebuntuan prosedural berhukum dengan mengambil yang lain, melalui penggalian terhadap bidang yang lain.121 Keberanian untuk berhukum dengan cara luar biasa, diluar status quo. Sebagaimana dikutipkan dibawah ini:

[...] bahwa sewaktu-waktu hukum memang dihadapkan kepada situasi luar biasa. Apapun juga yang terjadi dan dihadapi, hukum tidak dapat berhenti dan menolak untuk bekerja, semata-mata berdasarkan alasan bahwa ia tidak dipersiapkan untuk itu. Dalam situasi seperti itu mau tidak mau kita akan memasuki ranah cara berhukum yang luar biasa.[...].122

II

Masalah yang dihadapi belakangan, sebagaimana diutarakan pada bagian awal tulisan ini, adalah bagaimana apabila hukum itu sendiri merupakan bagian atau bahkan sumber dari masalah itu. Menilik pada pokok pemaparan Pak Tjip diatas, jawabannya adalah rule breaking, cara berhukum yang luar biasa

121 Satjipto Rahardjo. 2008. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

122 Op Cit Satjipto Rahardjo.2008. Biarkan Hukum Mengalir....hlm 120

agar hukum mengikuti perubahan sosial dan mampu menjawab persoalan. Lalu apa tujuan dari keluar-biasaan dalam hukum tersebut? Jawabannya adalah “untuk manusia”, untuk kebahagiaannya. Dengan melakukan itu berarti hukum telah menolak status quo, yang pada saat bersamaan pula, telah melampaui hukum positif.

Untuk menguji pernyataan diatas, dan karena Pak Tjip dalam buku-bukunya telah memberikan contoh- contoh mendukung argumennya, maka tulisan ini hendak menguji persis kebalikannya: dengan melihat pada sejumlah kasus dimana terobosan-terobosan dalam berhukum justru menimbulkan kesengsaraan.

Pertama adalah apa yang terjadi di Chile pasca Allende. Setelah menjadi negara sosialis demokratis pertama melalui pemilu pada tahun 1971, Allende naik menjadi presiden dan menerapkan kebijakan-kebijakan

“kiri”, melalui reforma agraria, nasionalisasi aset, dan beberapa hal lain. Akan tetapi, munculnya krisis ekonomi yang terjadi dikarenakan kejatuhan harga tembaga dunia, kerusuhan terutama dari kubu penentang sayap kanan muncul. Puncaknya pada tahun 1973, istana La Moneda dikepung. Dalam kondisi demikian, Pinochet, jenderal yang ditunjuk oleh Allende untuk mengendalikan situasi, justru mengkhianati presiden, dan memintanya untuk menyerah. Dalam kondisi demikian, Allende menolak

menyerah, dia masih sempat berpidato untuk terakhir kali sebelum akhirnya bunuh diri.

Pinochet kemudian berkuasa, dan dalam rezim militer yang dikuasainya, mengeluarkan serangkaian dekrit, beberapa diantaranya; melarang organisasi marxisme, menetapkan keadaan bahaya negara, membatalkan dan membakar hasil pemilu, serta mencopot walikota atau jabatan politik lain yang terindikasi sebagai gerakan kiri.123 Militer, yang mengklaim dirinya sebagai mando supremo de la nacion mempunyai kekuasaan tunggal untuk memutuskan, hukum mana yang diberlakukan dan hukum manayang tidak, termasuk konstitusi, serta memiliki akses yang luas termasuk dalam hal mebatasi aktivitas publik termasuk universitas.124 Golongan kiri pendukung Allende, juga oposisi politik menjadi sasaran pembunuhan, terutama oleh agen rahasia DINA, yang bertanggung jawab atas serangkaian pelanggaran hak asasi manusia. Terhadap pembunuhan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan tindakan kejam lainya tersebut, dengan menggunakan dalih keadaan bahaya negara, tidak

123 Dekrit 228/1973 (keadaan perang), Dekrit 3/1973 dan 4/1973 (keadaan bahaya), Dekrit 77/1973 (larangan organisasi marxisme), Dekrit 78/1973 (membekukan partai politik), Dekrit 130/1973 (menganulir hasil pemilu), Dekrit 25/1973.

124 Report of the Chilean National Commission on Truth and Reconciliation.

2002. United States Institute of Peace hlm 90-9.

ada satupun pelaku yang dikenakan pidana.125 Bahkan, pada tahun 1978, dikeluarkanlah Ley de Amnistia Ley 2191 Aprobada por la Junta Militar Presidida por Pinochet, yang kemudian dikenal sebagai Hukum Amnesti 1978, yang pada intinya menghapuskan tanggung jawab pidana pada setiap tindakan penyelenggara negara dalam rentang waktu tahun 1973 hingga 1978.

Kedua, yang terjadi di Afrika Selatan. Selama masa apartheid, warga kulit hitam dibatasi hak-haknya.

Terhadap pembatasan tersebut, beberapa kali warga kulit hitam melakukan perlawanan. Salah satunya adalah unjuk rasa di Sharpville, yang di-inisiasi oleh Pan Africanist Congress, demonstrasi dari 21 Maret 1960 yang melibatkan ribuan orang. Pada tanggal 31 Maret, pemerintah menetapkan keadaan bahaya dan melakukan kebijakan guna menstabilkan situasi. Sebagai hasilnya, 67 orang terbunuh dan 186 orang lainya terluka. Presiden Voerwoerd, memuji tindakan polisi tersebut dan kemudian mengaktifkan hukum retroaktif indemnity act 61/1961 yang intinya menyatakan penyelenggara negara tidak dapat dikenakan tanggung jawab pidana maupun perdata atas kebijakan yang diambil untuk memulihkan ketertiban. Lagi, pengaturan yang sama dikeluarkan

125 Cath Collins. Human Rights Trials in Chile during and after the ‘Pinochet Years’.

The International Journal of Transitional Justice, 2009. Hlm 2.

pada tahun 1977 melalui Indemnity Act 13/1977 sebagai jawaban atas peristiwa Soweto, yang menewaskan 500 orang dan melukai 2000 lainya.

Ketiga, kasus di Indonesia pada tahun 1965.

Setelah keadaan yang tidak menentu pada hari-hari 30 september dan 1 Oktober, Soeharto kemudian melakukan normalisasi keadaan dengan apa yang disebutnya sebagai:

memberantas G30S hingga ke akar-akarnya. Hasilnya, komunisme menjadi ajang perburuan. Orang-orang yang dituduh memiliki afiliasi, terlibat langsung, atau siapapun dapat saja ditangkapi dan dibunuhi. Lebih lanjut, Soekarno yang kala itu makin kehilangan pengaruh politiknya mengeluarkan Supersemar, yang kemudian diperkuat dengan Tap IX/MPRS/1966. Keadaan politik yang berbalik arah justru merugikan Soekarno.

Kemudian dikeluarkanlah Tap XXV/MPRS/1966 yang melarang komunisme. Hal ini bertentangan dengan sikap Soekarno yang dalam pidatonya menyatakan agar pembunuhan dihentikan, bahwa Supersemar bukan penyerahan kekuasaan, dan agar komunisme tidak dilarang.126 Tapi apa daya, pidato Bung Besar tidak lagi terdengar. Apa yang terjadi kemudian adalah

126 Kumpulan pidato-pidato Bung Karno pada masa ini dapat dilihat dalam Budi Setiyono, Bonnie Triyana (eds). Revolusi Belum Selesai, Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara. Serambi. Jakarta.

2014.

pembunuhan terhadap –menurut Sarwo Edhie- tiga juta orang, dan satu juta yang lain dilokalisasi dalam kamp-kamp konsentrasi seperti Pulau Buru. Proyek ketakutan terhadap komunisme ini, nampak secara banal dan dangkal dirayakan pada setiap akhir bulan September. Melupakan, bahwa perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Harto adalah asal muasal bentuk- bentuk penindasan yang lebih jauh: berakhirnya reforma agraria, represi atas kebebasan beragama, marginalisasi etnis minoritas, semakin kokohnya oligarki, matinya gerakan sosial, semakin terdesaknya masyarakat adat, dan lain sebagainya. Jatuhnya Bung Karno menandakan berakhirnya revolusi yang digantikan oleh rezim militer Orde Baru dengan tumbal berupa pembunuhan terhadap mereka yang dianggap komunis, pembunuhan “petrus”, peristiwa Talangsari, peristiwa Tanjung Priok, serta sejumlah tindakan diskriminasi lain.127 Singkatnya, bagaimana Pancasila yang tadinya perlambang revolusi menjadi lebih identik dengan seragam loreng sembari membawa lars senjata.128

III

127 Lihat dalam Komnas Ham. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat. Jakarta. 2014.

128 Lihat dalam Katharine E. McGregor. Ketika Sejarah Berseragam, Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Syarikat. Yogyakarta. 2008.

Apa yang ditunjukkan dalam tiga contoh kasus di atas adalah tepat apa yang terjadi dalam kerangka Pak Tjip. Pertama, apa yang terjadi dalam ketiga kasus di atas adalah tentang cara-cara berhukum yang luar biasa. Hukum berhadapan dengan situasi perubahan sosial yang melalui kebijakan-kebijakan baik de facto maupun de jure mengatasi status quo, yang berarti pula mengatasi hukum positif. Tiap-tiap tindakan baik Voerwoerd, Pinochet, maupun Harto adalah sekaligus rule breaking dan rule making, yang sekaligus pula sarana kontrol dan konstruksi sosial. Darimana hukum mendapat legitimasinya? Tentu saja dari apa yang disebut sebagai “pemulihan ketertiban”. Hal-hal diatas kemudian berujung pada satu pertanyaan, apabila memang hukum untuk manusia, maka, manusia macam apa yang hukum diperuntukkan padanya? Kualitas macam apa yang membuat manusia dapat dilindungi oleh hukum?

Dan, bukankah melalui cara berhukum yang luar biasa tersebut apa yang dilakukan diatas pada dasarnya adalah juga “menjawab persoalan”? Bila memang demikian, apakah pembunuhan orang-orang kiri di Chile dan Indonesia pada masa Pinochet dan Suharto yang diikuti dengan rezim represif militeristik bisa disebut sebagai

“progresif?” demikian pula dengan apartheid, apakah keluarbiasaan hukum itu juga berarti menjustifikasi diskriminasi terhadap orang kulit hitam?

Pemaparan mengenai kasus diatas tersebut sesungguhnya tidak hendak menunjukkan bahwa hukum progresif itu salah sama sekali, melainkan untuk memperlihatkan bahwa setiap klaim yang dijadikan landasan untuk hukum progresif itu sendiri adalah hal-hal yang bersifat “licin”. Apabila demikian, maka pertanyaan mengenai apakah hukum progresif dapat dipergunakan sebagai sarana emansipasi, secara terang benderang jawabanya adalah iya, akan tetapi (lagi-lagi), pertanyaanya adalah, emansipasi untuk siapa? Meski saya bukan penggemarnya, namun Rendra barangkali benar juga, waktu dia bilang dalam salah satu puisinya:

niat baik anda untuk siapa?

Tentu, tulisan disini tidak bertujuan untuk memberikan gambaran pesimis tentang kemungkinan emansipasi tersebut. Apabila memang hukum progresif adalah suatu hal yang sifatnya “licin”, bukankah pula berarti masyarakat juga dapat menggunakan hukumnya sendiri. Apabila kedaulatan dapat berhukum secara luar biasa, bukankah logika keluarbiasaan ini pula dapat dipergunakan untuk melawannya? Akhirnya, apabila hukum adalah untuk manusia (yang biasanya lekat pada laki-laki, kulit putih, borjuis, dll), maka dapat pula dilakukan sesuatu untuk mendefinisikan ulang mengenai apa manusia itu? Konsekuensinya, hal ini

sesungguhnya membuka pula kemungkinan lain, karena bukankah setiap kedaulatan itu memang pada dasarnya mendasarkan dirinya pada hal-hal di luar hukum.

Dengan kata lain: ilegalitas dalam legalitas, legalitas dalam ilegalitas. Situasi ini melekat pada setiap hukum yang diberlakukan, bahwa hukum (legal) didasarkan pada yang ilegal membuka akan kembalinya politik.

Meminjam Douzinas: “Politik muncul ketika orang yang tidak memiliki klaim atas politik, menjadi terlihat dan terdengar.”129 Tepat pada titik inilah, seharusnya,

“mengalir”-nya hukum dapat dimengerti, bila memang yang disebut sebagai hukum progresif itu memang ada.

Semoga saya tak keliru.

Tulisan ini pernah dipresentasikan untuk IMM FH UMY 29 April 2017, dan Pekan Hukum Progresif FH UNDIP, 1 November 2017. Dimuat ulang disini dengan sejumlah perubahan.

129 Terjemahan aslinya: “Politics happens when the people who have no claim or stake in the political game suddenly demand to be seen and heard” dalam Costas Douzinas. The “Right to the Event”, The Legality and Morality of Revolution and Resistance. Metodo. International Studies in Phenomenology and Philosophy Vol. 2 No. 1 (2014).

VII

Perlawanan Terhadap Hukum

Dalam dokumen BUKU PENGANTAR FILSAFAT HUKUM (Halaman 99-112)

Dokumen terkait