P
ositivisme hukum, yang kerap dilawankan dengan Teori Hukum Kodrat/Alam, secara ringkas, kasar, dan sederhana dapat dikatakan sebagai satu teori hukum yang disusun secara logis dan pada kadar tertentu, tertutup. Sebagaimana Teori Hukum Kodrat/Alam, pertanyaan utama mengenai positivisme hukum adalah perihal kelekatan antara apa yang disebut sebagai
“moral” dan apa yang disebut sebagai “hukum”.
Hal yang cukup menarik dari perkembangan dari aliran yang disebut sebagai Hukum Kodrat/Alam ini adalah persis dari sebutan namanya sendiri, yaitu
“kodrat/alam”. Pada dasarnya, Teori Hukum Kodrat/
Alam berpegang kepada premis bahwa ada satu entitas
yang “lebih tinggi” dari kode moral tertinggi yang lebih tinggi dari buatan manusia, dan gerak akal budi dalam menangkap keteraturan dari bintang-bintang untuk diterjemahkan dalam keutamaan-keutamaan hidup.
Pemisahan antara keduanya ini nantinya akan menjadi tipologi diantara kalangan penganut positivisme hukum, yaitu yang beraliran keras dan yang lunak.
Sementara yang disebut pertama beranggapan bahwa hukum adalah hukum apabila dia sudah memenuhi kualifikasi tertentu, sedangkan yang kedua biasanya menyisakan ruang-ruang reintrepretasi, meskipun dalam koridor yang terbatas.
I
Positivisme Hukum muncul sebagai jawaban atas teori hukum kodrat/alam. Menurut Widodo Dwi Putro, positivisme hukum berpendapat bahwa hukum kodrat/
alam gagal untuk merumuskan apa itu yang kodratiah untuk memberikan kepastian hukum yang obyektif.
Lebih lanjut, atas nama kepastian tersebut, menurut Dwi Putro, positivisme hukum “mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulasinya dan mengidentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan”.60 Menurut
60 Widodo Dwi Putro. Tinjauan Kritis-Filosofis Terhadap Paradigma Positivisme Hukum. Disertasi Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Program
Bertman, proposisi dasar dari positivisme hukum adalah bahwa hukum merupakan instrumen saja dari politik yang dalam bahasa lain adalah pengejawantahan dari “kedaulatan” (the sovereign).61 Jadi setelah satu hukum ditetapkan sebagai satu hukum, maka tidak perlu lagi adanya pendasaran keadilan di luar daripada hukum yang telah ditetapkan tersebut, tidak lain karena pendasarannya adalah pada kedaulatan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang bersifat otoritatif.
Bahwa, menurut Douzinas, doktrin akan kedaulatan adalah sinonim dengan doktrin hukum.62
Bentuk awal dari positivisme hukum ada pada pemikiran “Leviathan” Hobbes. Menurut Hobbes, asal muasal dari kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi adalah berasal dari hasrat dan hak dari tiap-tiap individu. Kemunculan Leviathan, yang merupakan kedaulatan beserta dengan daya paksanya, adalah lahir dari kontrak antar individu. Dengan demikian,
Pascasarjana. 2011. Hlm 53-4. Menurut Dwi Putro, kemunculan Positivisme Hukum ini tidak dapat dilepaskan dari pasang merkantilisme yang mana menuntut kepastian, selain juga tidak bisa dilepaskan pula dari kembang positivisme pengetahuan yang menyatakan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang dapat diuji dan diukur.
61 Martin A. Bertman. A Defense of Legal Positivism. The Journal of Value Inquiry.
Vol. 18, Issue 3, 1984. Hlm 220.
62 Costas Douzinas. The End of Human Rights, Critical Legal Thought at The Turn of the Century. Hart Publishing. Oxford. 2000. Hlm 78, 110.
individu menjadi keutamaan lebih daripada yang- sosial sehingga memerlukan positivisasi hukum sebagai pengejawantahan dari kontrak sosial.63 Argumen tersebut juga dilanjutkan oleh Locke. Menurut Locke, yang kodrati dari manusia tidak lain adalah merupakan pendapat-pendapat moral manusia itu sendiri mengenai pilihan-pilihan moral yang diambilnya. Karena itu, hak kodratiah yang melekat tidak lain adalah hak seseorang untuk menentukan apa yang dianggapnya baik yang berarti individulah yang merupakan unsur konstitutif dari kedaulatan.64 Selain naiknya “individu” sebagai subyek dalam pemikiran hukum, muncul pula pemikiran pemisahan kekuasaan yang semakin membukakan jalan bagi positivisme hukum. Menurut Montesquieu, pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, atau yang dikenal seabgai trias politica, menempatkan hakim dalam posisi semata-mata sebagai
“mulut yang mengucapkan kata-kata undang-undang melalui sistem logika tertutup”.65 Selanjutnya, pengaruh
63 Ibid hlm 70. Sebagaimana diutarakan oleh Douzinas:
Natural right is not the just resolution of a dispute offered by a harmonious cosmos or God’s commands. It derives exclusively from the nature of “each man”. The source or basis of right is no longer the observation of natural relations, philosophical speculation about “best polity” or the interpretation of divine commandments but human nature.
64 Ibid hlm 81.
65 Op Cit Widodo Dwi Putro. Tinjauan Kritis-Filosofis… hlm 56-7.
dari kecenderungan pada positivisme hukum juga menghasilkan penjaminan atas hak dasar melalui Revolusi Perancis dan Amerika. Kedua revolusi menghasilkan hak-hak yang dijaminkan dalam konstitusi yang secara paradoks, apakah sesuatu yang secara intrinsik bersifat transenden memang memerlukan penjaminan dalam hukum positif?66 Paradoks tersebut agaknya justru menjelaskan menguatnya posisi positivisme hukum sebagai teori hukum yang dominan yang memisahkan moral dari hukum yang telah dipositifkan.
II
Menurut John L. Austin, hukum adalah perintah yang mengandung sanksi dan dikeluarkan oleh kedaulatan.
Kedaulatan, yang menjadi sandaran utama bagi hukum, adalah satu entitas dengan kekuasaan tak terbatas yang bisa menentukan apa itu hukum.67 Sandaran atas kedaulatan pula yang membedakan hukum dari sanksi moral maupun agama dimana hukum memiliki corak khusus berupa monopoli atas pemberian sanksi punitif.68 Negara, tempat kedaulatan menubuh, tidak memiliki
66 Op Cit Costas Douzinas. The End of… hlm 101, 118.
67 Joseph Raz. The Concept of a Legal System, an Introduction to the Theory of Legal System. Clarendon Press. Oxford. 1980. Hlm 6.
68 William E. Conklin. Legal Positivism, A Re-Reading of a Tradition. Springer Science+Business Media. Dordrecht. 2001. Hlm 139.
corak legal-ilegal maupun adil-tidak adil, melainkan adalah “sebagaimana adanya”.69 Lantas, mengapa kedaulatan begitu penting? Menurut Austin, tidak lain karena kualitasnya sebagai penulis hukum. Ini pula yang membedakan antara hukum dengan entitas non-hukum lain yang memiliki daya ikat seperti kebiasaan maupun moralitas, yang selama dia tak dituliskan oleh sang penulis hukum, maka tidak dapat disebut sebagai hukum.70 Posisi penulis dalam hukum menjadi penting karena ia mencerminkan intensi/kehendak dari perintah, yang merupakan dimensi konstitutif tentang apa yang hendak diaturnya. Kemudian, darimana sumber kekuasaan kedaulatan dengan kewenangan tak berbatas itu berasal?
Lebih jauh, apabila yang membedakan hukum dengan yang non-hukum adalah dari keterlacakan terhadap sang penulis, maka bagaimana dengan sumber yang menjadikan kedaulatan itu sendiri berawal mula, dan mengapa para seseorang harus patuh terhadap aturan tersebut?
69 Ibid hlm 141.
70 Ibid hlm 148. Austin membedakan dua jenis otoritas, yaitu otoritas yang secara langsung menuliskan hukum, dan otoritas yang merupakan derivasi dari yang langsung, yang bertugas untuk menerapkan hukum dalam satu kasus tertentu.
Moral, kebiasaan, adat-istiadat, tidak bisa disebut sebagai hukum karena tidak jelas oleh siapa ia dituliskan. Bagi Austin, masalah otoritas sebagai sang penulis ini penting karena ia adalah pengejawantahan dari kedaulatan.
Austin memberi jawaban yang kurang memuaskan.
Pada satu sisi ia mengatakan bahwa sumber dari sumber hukum itu ada pada kepatuhan orang-orang kebanyakan.
Akan tetapi pada sisi yang lain, bukankah argumen tersebut juga merupakan kontradiksi dari pendapat Austin sendiri yang menyatakan bahwa hukum haruslah dapat dilacak dari sang penulisnya selaku tubuh yang berdaulat, sedangkan orang kebanyakan jelas bukan merupakan satu tubuh dalam artian tadi. Penjelasan Austin adalah, bahwa kebiasaan dari orang kebanyakan tersebutlah yang nantinya harus di-imajinasi-kan oleh tubuh kedaulatan dalam bentuk hukum.71 Atau dengan kata lain, tubuh yang bernama kedaulatan itulah yang menerjemahkan “kehendak” yang dipatuhi oleh kebanyakan tadi. Sekali lagi, pada satu sisi kepatuhan yang merupakan nilai dari orang kebanyakan itu adalah non-hukum, namun pada sisinya yang lain, ia adalah salah satu unsur yang menentukan suatu hukum dapat berjalan. Dia dibutuhkan meski keberadaannya lebih mirip sebagai “hantu” dalam perspektif teori Austin.
Hubungan antara dasar hukum dengan masyarakat yang diaturnya sebagaimana diutarakan oleh Austin akan kembali dibahas oleh Hans Kelsen dan juga selanjutnya, H.L.A. Hart.
71 Ibid hlm 162
Salah satu tokoh positivisme hukum yang paling sering dirujuk di Indonesia adalah Hans Kelsen. Kelsen mengajukan teori murni tentang hukum, dimana dalam teori tersebut, Kelsen memisahkan antara ilmu hukum sebagai satu ilmu yang terpisah dari anasir non-hukum seperti politik, filosofi, maupun sosiologi. Demikian, teori hukum terpisah dari pertanyaan tentang apakah satu hukum itu adil atau tidak, karena pertanyaan tentang adil bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab secara saintifik karena melulu subyektif dan irasional.72 Ini juga merupakan jawaban Kelsen atas kelemahan dari hukum alam yang dengan dualisme dan corak metafisisnya tidak dapat merumuskan secara obyektif mengenai apa itu yang kodratiah sehingga dapat disebut sebagai adil.
Jadi, teori hukum tidak melakukan justifikasi mengenai keadilan, melainkan hanya menggambarkan saja hukum sebagaimana adanya. Tentang hal ini Kelsen mengatakan:
Such cognition can grasp only a positive order evidenced by objectively determinable acts. This order is the positive law.
Only this can be an object of science; only this is the object of the pure theory of law, which is a science, and not metaphysics.
This science seeks the real and possible law, not the just, and in this sense it is radically realistic and empirical. It declines to
72 Hans Kelsen. The Pure Theory of Law and Analytical Jurisprudence. Harvard Law Review, Vol. 55. No. 1, (Nov., 1951). Hlm 45.
justify or condemn. […] “Justice” in this sense means legality.
It is “just” for a general rule to be applied in all cases where according to its content the rule should be applied. […] It is
“justice under the law”. This is the only sense in which the concept of justice can enter into a science of law.73
Hukum positif, yang menurut Kelsen adalah obyek bagi teori hukum, adalah seperangkat norma74 yang mengatur sedemikian rupa perilaku manusia.
73 Ibid hlm 49., 51. Ilmu hukum memiliki corak khusus yang analogis dengan ilmu alam, bahwa keduanya sama-sama menggunakan proposisi kausalitas ( ex. jika A maka akan diikuti B). Perbedaanya, ilmu alam menjelaskan kausalitas tersebut secara deskriptif, sementara hukum mendeskripsikan kausalitas tersebut dengan “seharusnya” (A harus bertindak B bila tidak ingin di kenai C). Ini juga yang membedakan ilmu hukum dengan sosiologi yurispruden, yang memperlakukan hukum sebagai gejala, dan menggambarkan obyeknya layaknya ilmu alam. Sementara ilmu hukum menggambarkan norma untuk bagaimana obyek seharusnya bertindak, sosiologi yurispruden menggambarkan hukum sebagai fenomena/gejala sebagaimana adanya. Ilmu hukum berurusan dengan validitas norma, sosiologi yurispruden berurusan kepada efikasi yang mana keduanya tidak dapat dipersamakan dan mempunyai ruang lingkup yang berbeda.
74 Sekadar catatan, menurut Peter Mahmud, Kelsen membawa kesimpangsiuran antara istilan normatif dalam positivisme. Menurut Mahmud, normatif tidak dapat dipersamakan dengan postivisme. Yang disebut pertama lebih mendahulukan asas dan prinsip sebagai pegangan, semntara yang selanjutnya lebih merujuk pada peraturan tertulisnya. Lihat dalam Peter Mahmud Marzuki.
Normatif dan Positivistis. Makalah dalam Konferensi 3 AFHI, “Melampaui Perdebatan Positivisme Hukum dan Teori Hukum Kodrat”. Diselenggarakan oleh AFHI, Epistema Institute, Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya, 27-29 Agustus 2013.
Ia muncul dan berlaku dari lembaga yang berwenang untuk menetapkanya sebagai hukum yang valid. Masalah validitas hukum, menjadi salah satu poin kunci dalam pemikiran Kelsen.75 Validitas hukum sebagaimana dimaksudkan terletak pada konteks hubungan piramidal norma-norma hukum yang berjenjang yang disebut sebagai stufenbau. Hukum mendapatkan legitimasi keberlakuanya secara berjenjang secara ad infinitum yang berujung pada konstitusi. Konstitusi yang menciptakan turunan norma terhadap peraturan dibawahnya itu mendapatkan legitimasinya pada grundnorm. Kelsen memandang bahwa negara adalah komunitas politik yang berawal mula dari sekelompok orang yang tergabung atas satu “ikatan” tertentu, dan ikatan itulah yang merupakan tertib yang mengatur perilaku, yang berujung pada tertib hukum.76
Kembali mengenai validitas hukum, Kelsen menyatakan terdapat dua prinsip validitas hukum yaitu prinsip statis dan dinamis. Untuk yang pertama, satu hukum dinyatakan valid dari sisi konten, bahwa
75 Op Cit. Hans Kelsen. The Pure Theory of Law and Analytical… hlm 51.
Validitas disini bertalian dengan efikasi. Pada satu sisi efikasi menentukan validitas karena hukum valid apabila ia dianut oleh sebagian besar orang.
Namun pada sisi lain, satu hukum bisa saja ditentukan sebagai valid meskipun ia tak dipatuhi dimana ia seharusnya patuh padanya.
76 Ibid hlm 64-5.
hukum yang berada pada tingkatan bawah merupakan pencerminan norma dari hukum yang ada diatasnya, yang berakhir pada grundnorm. Sementara pada prinsip dinamis, validitas hukum dinilai berdasarkan kepada kewenangan lembaga tertentu untuk mengeluarkan jenis peraturan tertentu. Kelembagaan ini berasal pula pada grundnorm yang memberikan semacam “kuasa” pada satu badan untuk bertindak sebagai penulis hukum.77
Lantas, entitas apakah kiranya grundnorm yang merupakan sumber hukum ini? Kelsen sendiri menyatakan bahwa grundnorm adalah basis kepercayaan, nilai-nilai yang dihidupi dan dipercayai oleh sekelompok orang yang nantinya diterjemahkan oleh “the first legislator” lebih lanjut dalam konstitusi dan peraturan- peraturan dibawahnya. Ia adalah landasan yang seolah bersifat transenden, yang berfungsi untuk “to interpret the subjective meaning of the acts of human beings by which the norms of an effective coercive order are created, as their
77 Hans Kelsen. Pure Theory of Law. The Lawbook Exchange, Ltd. Clark, New Jersey. 2005. Hlm 195-6. Menurut Kelsen, hukum hendaknya dibangun dengan logika yang utuh yang normanya tidak saling kontradiktif. Konflik antar norma tersebu, diselesaikan melalui mekanisme Judicial Review dalam satu peradilan khusus yang memiliki kewenangan terbatas untuk membatalkan hukum yang dianggap inkonstitusional. Lihat dalam Ibid hlm 268, 272, 277, lihat juga dalam Hans. Kelsen. Judicial Review of Legislation: A Comparative Study of the Austrian and American Constitution. The Journal of Politics, 4 (2), 1942.
objective meaning”.78 Berbeda dengan aturan hukum di bawahnya, grundnorm telah valid pada dirinya. Ia sudah dianggap benar dan tidak dapat lagi dipertanyakan ulang.
Tapi bukan berarti pula grundnorm ini sama sekali tidak tergantikan, setidaknya melalui dua cara. Cara pertama adalah melalui revolusi yang memintakan pergeseran norma dasar yang menjadi sandaran hukum. Bahwa basis hidup bersama yang ada sebelumnya tidaklah lagi mencukupi dan harus digantikan oleh satu yang baru. Selanjutnya, cara kedua lebih evolutif/perlahan dibandingkan dengan yang pertama, yaitu apabila sebagian besar orang tidak lagi percaya atas grundnorm itu tadi sehingga memang modus hidup bersama itu sudah tidak lagi relevan. 79 Sebagaimana Austin, masalah mengenai grundnorm dalam Kelsen ini barangkali lebih tepat disebut sebagai permasalahan akan “batas-batas hukum”. Pada titik tersebut, bahkan positivisme hukum kesulitan untuk mencegah kebocoroan terhadap faktor di luar hukum dalam upayanya untuk membangun logika
78 Op Cit Hans Kelsen. Pure Theory… hlm 202. Lihat Juga dalam Hans Kelsen.
General Theory of Law and State. Harvard University Oress. Cambridge- Massachusetts. 1949. Hlm 116.
79 Ibid hlm 117-119. Jadi meskipun setelah revolusi usai hukum yang lama masih dapat dipergunakan, namun ia memiliki validitas norma yang berbeda dari rezim yang lama. Untuk alasan kedua, Kelsen mengatakan bahwa satu norma sudah pasti kehilangan validitas apabila secara total ia tak lagi memiliki efikasi.
yang utuh dan tertutup, dengan menarik garis tegas antara validitas dan efikasi, atau dalam bahasa lainnya, antara hukum dan non-hukum.80
Di Indonesia, skema berpikir Hans Kelsen acapkali menempatkan Pancasila sebagai grundnorm sebagai nilai-nilai yang nantinya diteruskan dalam Undang- Undang Dasar dan peraturan di bawahnya. Akan tetapi, grundnorm yang dimaksudkan oleh Kelsen sendiri lebih abstrak dibandingkan dengan sila-sila tersebut. Pancasila mungkin tepat untuk secara deklaratif disebut sebagai state fundamental norm, namun grundnorm dalam artian Kelsen nampaknya lebih merujuk lebih kepada gerak historis yang hidup dan dihidupi oleh penganutnya terutama secara bawah sadar, untuk dimaknai sebagai suatu “sentimen”81 alih-alih sebagai ideologi. Maka,
80 Lihat dalam Stanly L. Paulson. On the Puzzle Surrounding Hans Kelsen’s Basic Norm. Ratio Juris, Vol. 13, No. 3, September 2000. Kelsen menyatakan bahwa pertanyaan mengenai norma dasar ini adalah sebanding dengan pertanyaan akan “das ding an sich” dari Kant, mengenai apakah mungkin pengetahuan akan suatu hal pada dirinya yang diluar pengindera manusia untuk disingkap dan diketahui?
81 Istilah sentimen disini merujuk pada sentimen dalam artian sebagaimana dipergunakan Rorty dalam Richard Rorty. Human Rights, Rationality, and Sentimentality. Dalam Stephen Shute & Susan Hurley (eds). On Human Rights, The Oxford Amnesty Lectures 1993. Basic Books. New York. 1993. Bahwa sentimen bekerja secara bawah sadar dalam bentuk “empati”. Dalam bahasa yang lain, Donny Danardono menyatakan bahwa Pancasila secara faktual tidak mungkin untuk menjadi ideologi dalam artian yang keras. Alih-alih,
dapat dikatakan bahwa di Indonesia, grundnorm dalam pengertian Kelsen dimodifikasi sedemikian rupa hingga lebih merupakan konkritisasi atas norma yang seolah transenden, atau dengan kata lain, positivisasi atas norma yang seharusnya merupakan norma yang mendahului dari norma yang mewujud dalam konstitusi dan seterusnya. Tanpa bermaksud menyatakan mana yang benar dan mana yang salah, letak perbedaan fundamental adalah, pada Kelsen grundnorm bercorak bottom-up, sedangkan di Indonesia ia menjelma sebagai sesuatu yang “rasa-rasa”nya lebih kepada top-down.82
Pancasila harus dipandang sebagai sebuah kisah, sebuah cerita mengenai suatu bangsa yang demikian majemuk yang ingin bersatu. Penempatan Pancasila sebagai satu kisah ini berarti justru mengembalikan makna grundnorm dalam Kelsen, sebagai suatu yang abstrak dan dianut secara bawah sadar. lihat dalam Donny Danardono. Pancasila dan Hukum Sebagai Diskursus. Disampaikan dalam Konferensi Nasional Ke-2 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia: “Filsafat Hukum Dan Kemajemukan Masyarakat” diselenggarakan oleh AFHI, Epistema Institute dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Unika Seoegijapranata, 16-17 Juli 2012.;
82 Dalam pidatonya yang tersohor tanggal 1 Juni 1945 Soekarno dengan jitu menggunakan kata “menyelam”, namun untuk selanjutnya serangkaian kebijakan yang muncul lebih kepada indoktrinasi top-down seperti “7 bahan pokok indoktrinasi”, “Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila”, hingga “Sosialisasi Empat Pilar”. Jadi sesungguhnya grundnorm dalam pengertian Kelsen lebih sesuai untuk dipadankan dengan pidato Soekarno yang menyatakan Pancasila sebagai satu weltanschauung pun philosophische grondslag yang justru bukan dari “bentuk” nya, namun semacam konten atas
“jiwa” yang terdapat daripadanya (karena itu pula Soekarno mengusulkan
III
Austin dan Kelsen yang berusaha memisahkan secara tegas antara hukum dan norma dapat digolongkan sebagai satu kelompok positivisme keras. Kelompok ini memandang adanya distingsi tegas yang sebisa mungkin menolak sama sekali unsur non-hukum, terutama moral untuk masuk dalam hukum. Sementara itu, dalam perkembangannya terdapat juga kelompok kedua yang memiliki pandangan lebih lunak mengenai masuknya non-hukum dan moral untuk masuk dalam hukum.
Salah seorang yang memiliki pandangan positivisme hukum lunak adalah H.L.A. Hart. Sebagaimana Austin dan Kelsen, positivisme hukum Hart berkutat pada pemisahan antara hukum sebagaimana adanya, dan hukum yang seharusnya, antara hukum dan moral.
Mengikuti pendahulunya, Hart berupaya menjelaskan hubungan antara moralitas dan hukum, apa arti dari ketidakpatuhan dalam hukum, dan bagaimana
trisila dan ekasila). Hal sebagaimana disebutkan ini belum termasuk pula perbedaan pemaknaan, misalnya, Pancasila dalam artian era Soekarno yang memiliki ruang lingkup berbeda apabila dibandingkan dengan Pancasila Orde Baru. Sekedar menununjukkan problematika ini, dapat dilihat dalam beberapa studi antara lain Michael Morfit. The Indonesian State Ideology According to the New Order Government. Asian Survey, Vol. 21, No. 8, 1981; Katharine E.
McGregor. Commemoration of 1 October,”Hari Kesaktian Pancasila”: a post mortem analysis?. Asian Studies Review, 26:1, 2002.; Pranoto Iskandar. The Pancasila Delusion. Journal of Contemporary Asia. 2016.
interpretasi hukum dimungkinkan. Perbedaan lain dari Hart dibandingkan dengan Austin dan Kelsen adalah sementara Hart menyisipkan apa itu “hukum yang seharusnya”, Austin dan Kelsen secara tegas menyatakan hanya menampakkan hukum sebagaimana adanya. Jadi, Hart memandang ada dimensi preskriptif dalam hukum sedangkan Austin dan Kelsen “ilmu hukum” semata bersifat deskriptif.
Sebagaimana telah diulas sebelumnya, menurut Austin hukum adalah perintah atau kehendak dari otoritas. Pertanyaannya, apabila hukum adalah dinilai bergantung dari sumber penulisnya, maka bagaimana suatu norma dapat memiliki daya paksa? Bagaimana pula menjelaskan keberlakuan suatu hukum setelah satu kedaulatan -yang oleh Austin anggap sebagai “person”
berganti? Hart menjawabnya dengan melakukan reformulasi atas pemikiran Austin. Alih-alih mengikuti kedaulatan dalam sosok person, Hart mengkonversinya dalam bentuk institusi. Selanjutnya, Hart menjelaskan mengenai bagaimana hukum dapat berlaku mengikat.
Apabila pada Austin keberlakuan hukum ditentukan oleh sanksi punitif sebagai daya paksa, maka Hart berpendapat bahwa hukum justru memiliki talian dengan moral, meskipun bukan dalam arti sebagaimana dipergunakan oleh penganut teori hukum alam/kodrat.