• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU PENGANTAR FILSAFAT HUKUM

N/A
N/A
Aris Tide

Academic year: 2023

Membagikan "BUKU PENGANTAR FILSAFAT HUKUM"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

Fikih juga merupakan cabang ilmu tertua setelah filsafat, yaitu ilmu yang mempelajari tentang urusan kemanusiaan, sehingga diperlukan langkah-langkah bijak dalam bertindak. Oleh karena itu sudah sepatutnya mata kuliah Fikih Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia memuat mata kuliah Filsafat Hukum, karena dalam buku ini dijelaskan dengan jelas bahwa sejarah berdirinya fakultas hukum dilakukan oleh para Glossator yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian. dalam interpretasi. hal-hal. Jika membaca sejarah berdirinya ilmu fiqih yang didirikan oleh orang-orang yang pandai atau mempunyai keahlian di bidang ilmu tafsir (Glossator), maka sudah sepatutnya Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia mempunyai jurusan ilmu fiqih karena tradisi tersebut Ulama Nahdlatul merupakan tradisi yang mahir dalam ilmu pengetahuan.

Filsafat Hukum

Suatu Pengantar

Hukum yang berkaitan dengan moralitas itu tidak dapat memberikan jaminan kepastian karena moralitas hanya bersifat subjektif. Jadi kewajiban hukum semata-mata merupakan persoalan hukum “sebagaimana adanya” dan bukan persoalan “bagaimana seharusnya”. Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut akan sangat membantu para sarjana hukum dalam meneliti permasalahan hukum yang dihadapinya.

Sekilas Saja Tentang Sejarah Hukum

Pada mulanya pendidikan hukum yang mengacu pada masa Yunani kuno, pengajaran tidak dapat dipisahkan dengan pengajaran tentang kehidupan sehari-hari. Pendidikan secara umum di Athena menarik minat dari berbagai negara lain, dan periode pasca-Sokrates menyaksikan munculnya sekolah-sekolah yang didirikan oleh para filsuf seperti Plato dan Aristoteles. Menjelaskan bagaimana tradisi hukum Barat berkembang pada zaman Yunani kuno dan perkembangannya pada Abad Pertengahan.

Dari Bintang-Bintang, Kitab Suci, ke HAM: Pengantar

Teori hukum alam berpendapat bahwa ada hukum yang lebih tinggi yang bersifat abadi, tidak tergantikan dan berlaku dimana-mana. Dua pemikir paling berpengaruh pada periode ini, yang kemudian menjadi landasan Abad Pertengahan, adalah Plato dan Aristoteles. Belakangan, pemisahan antara hukum kodrat, yang merupakan konsekuensi nyata dari akal, dan hukum yang “berada di sisi lain”, menjadi semakin penting pada Abad Pertengahan.

Namun, hal ini harus dilihat terlebih dahulu dalam konteks bagaimana hukum kodrat dikaitkan dengan persaingan antara agama dan negara, yaitu melalui penguatan posisi negosiasi politik Gereja pada saat itu. Salah satu nama yang paling sering disebutkan dan tidak dapat diabaikan dalam teori hukum kodrat adalah St. Ironisnya, pada saat yang sama, William Ockham, seorang Fransiskan, memulai gerakan untuk membedakan antara urusan “duniawi” dan “akhirat”, yang kemudian dikenal dengan istilah “sekularisme”, yang kemudian menjadi titik penting dalam masa Pencerahan Eropa.44 Nominalisme Ockham akan berdampak.

Jejak pemahaman teori hukum alam pada zaman modern sebenarnya sudah ada pada abad ke-17 seiring dengan terjadinya revolusi Perancis dan Amerika. Pada hakikatnya pembenaran hak asasi manusia mempunyai implikasi moral yang menentukan apakah suatu undang-undang layak disebut undang-undang, yang berakibat pada kewajiban untuk menghormatinya atau tidak, dan menjadi semacam ambang batas moral yang membedakannya pada zaman dulu. Lon Fuller misalnya, mengikuti tradisi teori hukum kodrat yang mengatakan bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum.

Berdasarkan teori tersebut, Radbruch seringkali ditempatkan di tengah-tengah antara teori hukum kodrat dan positivisme hukum.

Apa Itu “Yang-Legal”?

Pengantar Positivisme Hukum

Terlebih lagi, atas nama kepastian, menurut Dwi Putro, positivisme hukum “mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulatifnya dan menyamakan hukum dengan peraturan perundang-undangan”.60 Menurut. Kedaulatan yang menjadi landasan utama hukum adalah suatu kesatuan kekuasaan yang tidak terbatas yang dapat menentukan apa itu hukum. monopoli pemberian sanksi hukuman 68 Negara tempat terbentuknya kedaulatan tidak memilikinya. Hal inilah pula yang membedakan hukum dengan subyek non-yuridis lain yang mempunyai kekuatan mengikat, seperti adat atau kesusilaan, yang sepanjang tidak ditulis oleh pembuat undang-undang, tidak dapat disebut undang-undang.70 Kedudukan hukum penulis dalam hukum. Hal ini penting karena mencerminkan maksud/kehendak komando, yang merupakan dimensi konstitutif dari apa yang ingin diatur.

Penjelasan Austin adalah bahwa kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada umumnyalah yang harus diwakili oleh badan kedaulatan dalam bentuk undang-undang.71 Atau dengan kata lain badan yang disebut kedaulatan adalah yang menerjemahkan “kehendak” yang dipatuhi oleh mayoritas. . Kelsen berpendapat bahwa negara adalah suatu komunitas politik yang timbul dari sekelompok orang yang dipersatukan oleh suatu “ikatan” tertentu dan ikatan itu merupakan tatanan yang mengatur tingkah laku, yang berujung pada ketertiban hukum.76. Lembaga ini juga bersumber dari norma dasar, yang memberikan semacam “kekuasaan” kepada suatu badan untuk bertindak sebagai pembuat hukum.77.

Hart membahas tentang pemisahan antara hukum sebagaimana adanya dan hukum sebagaimana mestinya, antara hukum dan moralitas. Dengan demikian, Hart berpendapat bahwa ada dimensi preskriptif dalam hukum, sedangkan “ilmu hukum” Austin dan Kelsen hanya bersifat deskriptif. Dalam skema teoritisnya, Hart membagi norma menjadi dua, yaitu norma primer dan aturan sekunder, yang disebutnya sebagai jantungnya teori hukum.83 Norma primer merupakan aturan yang telah dibakukan menjadi undang-undang, sedangkan norma sekunder merupakan wujud dari norma primer, yaitu: seperti misalnya mereka memiliki kekuasaan tertentu, bagaimana undang-undang dibuat, dll.

Tugas seorang ulama undang-undang adalah melihat kepada hukum yang telah ditetapkan dan - pada tahap tertentu - bukan berurusan dengan "hukum yang sepatutnya".

Hukum Sebagai Gejala

Pengantar Sosiologi Hukum

Jadi, menurut Banakar, sosiologi hukum mempelajari hukum sebagai bagian dari fenomena yang muncul, sebagai suatu konstruksi sosial dengan pendekatan ilmu sosial. Oleh karena itu, karena menggunakan kacamata ilmu-ilmu sosial, maka kajian sosiologi hukum juga harus mengadopsi metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial. Menurut Banakar, perbedaan Sosiolegal dan Sosiologi Hukum terletak pada penekanannya pada bagian “hukum”, lihat pada op cit Banakar.

Pada masa Uni Soviet dan Jerman Timur, kajian sosiologi hukum dilarang dan bahkan dianggap subversif. Jika yang dimaksud dengan penelitian empiris adalah studi lapangan, maka jawabannya tidak selalu karena objek sosiologi hukum itu sendiri mengikuti objek kajian sosiologi, yang setahu saya tidak selalu penelitian lapangan. Terakhir, sebagai catatan, kajian sosiologi hukum dalam artikel ini atau yang dimaksud di sini merupakan tradisi yang berkembang di Barat.

Penggunaan alat, baik metode maupun metodologi dari bidang keilmuan lain, menjadi tantangan dalam kajian sosiologi hukum. Kajian sosiologi hukum harus mampu menggunakan teori, berkontribusi pada perdebatan teoritis yang dilakukan, atau pada tingkat tertentu. Kajian sosiologi hukum diperlukan tidak hanya untuk menjelaskan bagaimana hukum sebagai sebuah fenomena muncul bersama-sama dengan aspek-aspek kehidupan lainnya, namun juga untuk mengetahui mengapa ia muncul demikian.

Secara umum, kajian sosiologi undang-undang tertumpu kepada pemahaman undang-undang dalam masyarakat yang kompleks, di mana undang-undang adalah gejala yang berkait rapat dengan aspek kehidupan yang lain.

Hukum Progresif Sebagai Sarana Emansipasi

Beberapa Pertanyaan tentang Hukum Progresif

Namun sebenarnya apa yang disampaikannya tidak sepenuhnya salah, karena yang ia maksudkan adalah hukum dan permasalahan di masyarakat adalah satu kesatuan dua sisi mata uang yang sama. Pertanyaan di atas mungkin bisa dilontarkan bukan hanya pada kajian – meminjam istilah Pak Tandyo – ilmu yuridis dogmatis,111 tetapi juga pada tawaran Pak Tjip, dengan apa yang disebutnya sebagai hukum progresif. Hukum itu adalah bagian dari perubahan sosial.117 Oleh karena itu, hukum merupakan alat kontrol dan sekaligus alat konstruksi sosial,118 dan dengan alasan yang sama, – masih menurut Pak Tjip – yang disebut ilmu hukum adalah suatu bidang ilmu hukum. suatu ilmu yang selalu dipengaruhi oleh bidang keilmuan lain, sebagai suatu ilmu yang saling bergantung.119 Jadi, apa yang disebut dengan hukum sebagai suatu peraturan dan realitas empiris yang melingkupinya bukanlah dua hal yang terpisah dan dapat dipisahkan secara mutlak.120 Jadi, karena hukum selalu dipengaruhi. dari dan mempengaruhi realitas sosial dan tidak dapat dipisahkan darinya, dengan memperhatikan .

Pak Tjip menambahkan, apa yang disebut hak progresif pada hakekatnya hidup dalam keadaan khusus, yaitu – sebagaimana dikatakan di atas – melampaui blokir normatif dan kebuntuan prosedur hukum dengan mengambil sesuatu yang lain, mengeksplorasi bidang lain. cara yang luar biasa, di luar status quo. Apa yang ditunjukkan dalam tiga contoh kasus di atas sama persis dengan apa yang terjadi dalam kerangka Pak Tjip. Pertama, apa yang terjadi pada tiga kasus di atas melibatkan cara hukum yang luar biasa.

Hal-hal di atas kemudian menimbulkan satu pertanyaan, jika hukum itu untuk rakyat, lalu hukum itu diperuntukkan bagi rakyat yang mana? Dan bukankah melalui cara hukum luar biasa yang dilakukan di atas pada dasarnya juga “menjawab permasalahan”. Penjelasan kasus di atas sebenarnya bukan ingin menunjukkan bahwa hukum progresif itu salah sama sekali, namun justru menunjukkan bahwa setiap tuntutan yang dijadikan landasan hukum progresif itu sendiri adalah sesuatu yang “licin”.

Jika hukum progresif benar-benar sesuatu yang “mulus”, bukan berarti masyarakat juga bisa menggunakan hukumnya sendiri.

Perlawanan Terhadap Hukum yang Menindas: Pelajaran

Pengalaman kelam Nazisme, komunisme yang ditindas pada masa Suharto dan Pinochet, serta sejumlah peristiwa kelam lainnya menunjukkan bahwa yang hilang adalah hal yang paling mendasar: yaitu hak untuk mempunyai hak.131 Hal ini berkaitan dengan status keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok politik. Terlepas dari penjelasan teoritis di atas, upaya perlawanan terhadap penguasa tirani sebenarnya tertuang dalam berbagai dokumen hukum dan gagasan hukum.135 Biasanya disebutkan bahwa hak perlawanan ditempatkan sebagai upaya terakhir ketika sudah tidak ada lagi upaya perlawanan. otoritas. 135 Jejak tradisi pemikiran hukum tentang hak berperang dapat dilihat pada Tom Ginsburg, Daniel Lansberg-Rodriguez, Mila Versteeg.

Pencantuman hak untuk melawan kesewenang-wenangan dimasukkan sebagai jaminan agar ketidakadilan yang dilakukan tidak terulang kembali. Meskipun kedua bagian ini hanya memberikan gambaran teoritis, bagian berikutnya akan menjelaskan permintaan Muhammad Hatta untuk menunjukkan bagaimana kesewenang-wenangan dapat dilawan, apa bentuknya, dan sejauh mana perlawanan dapat dicapai melalui cara-cara hukum atau di luar hukum. Perlawanan terhadap hukum tirani merupakan salah satu bentuk perjuangan untuk kesetaraan, pengakuan dan mendapatkan kembali hak atas hak.

Hatta mengajukan permohonan bertajuk “Indonesia Merdeka” pada tahun 1928 di hadapan pengadilan di Den Haag, Belanda. Pada tahun 1918, pemerintah Belanda berjanji akan memerdekakan Indonesia yang kemudian dikenal dengan “Janji November”. Dengan melihat semangat Revolusi Perancis, Hatta melihat bahwa perlawanan terhadap penindasan merupakan bagian dari hak paling suci yang melampaui hukum negara.

Jadi, walaupun hak untuk berperang berada di atas hukum, namun dalam menghadirkan rasa ketidakadilan kita juga perlu membekali diri dengan bukti-bukti dan data-data obyektif yang ada.

PROFIL PENULIS

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, Sistem Hukum (menurut Sudikno Mertukusumo) merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang tediri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan

Ciri lain dari filsafat adalah mengejar kesempurnaan, yang beratrti filsafat hukum selalau bergerak dalam diamnya secara sistematik ataupun secara ketakteraturannya

Roscoe Pound, hukum bertujuan untuk merekayasa masyarakat artinya hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of social engeneering), Intinya adalah hukum disini sebagai

Ke ka hukum digunakan sebagai satu instrumen perubahan sosial untuk mengubah adat yang telah ada, adalah sangat mungkin untuk mencapai laju kepatuhan yang dapat diterima

Terdapat beberapa teori mengenai hukum dan perubahan-perubahan sosial,di antaranya: Menurut Max Weber, perkembangan hukum materiil dan hukum acara mengikuti tahap-tahap

Description: Mengingat urgensi PERMA dan SEMA dalam konteks pengisi kekosongan hukum, pelengkap kekurangan hukum, sarana penegakkan hukum, sarana penemuan hukum, dan

Substansi mata kuliah filsafat hukum mencangkup: Pendahuluan, Aliran /Mazhab Filsafat Hukum, Aspek- Aspek Persoalan Dalam Filsafat Hukum, Hakekat dan Tujuan Hukum, Aspek

Penyesuaian diri hukum terhadap perubahan sosial sudah dianggap suatu hak yang tidak perlu diragukan lagi, namun apabila kita dihadapkan pada peranan hukum melakukan kontrol sosial,