5.1. Metode Interpretasi
5.1.2. Bentuk Interpretasi Hukum
Secara garis besar, interpretasi dibedakan menjadi interpretasi harfiah yang semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya, interpretasi ini tidak keluar dari letera legis. Sedangkan interpretasi fungsional adalah interpretasi bebas yang berusaha untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap dapat memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.
5.1.2.1. Interpretasi Harfiah
Dengan becermin pada praktek pengadilan di Inggris, dapat memperoleh pengetahuan yang cukup berharga mengenai bagaimana perundang-undangan itu diinterpretasi. Kewajiban pengadilan adalah menyingkap dan mendasarkan
tindakannya pada maksud yang sesungguhnya dari badan pembuat undang- undang. Maksud tersebut, terkandung di dalam mens atau sentensia legis (bahasa/kalimat hukum). Pemakaian pepatah hukum yang lain adalah maksim expressum tacit cessare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang disebutkan secara tegas, mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu perundang-undangan.
Misalnya, apabila di depan telah memerinci tentang “pedagang, tenaga terampil, pekerja atau orang lain apa pun” maka kata “orang lain apa pun” harus diartikan dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya itu. Contoh lain misalnya menyebutkan bahwa yang dimaksud anak dalam Undang-Undang Pengadilan Anak adalah anak nakal, maka kata “anak” harus diartikan dalam kategori anak nakal seperti yang telah disebutkan di depan.
Tradisi Inggris selanjutnya membuat pengecualian untuk tidak menerima kata-kata perundang-undangan itu sebagai mempunyai kekuatan untuk membuat kata terakhir.
Pertama, keadaan ini dihadapi manakala hukumnya sendiri secara logis cacat, dan ada 3 (tiga) kecacatan logis, yakni:
1. Kemenduaan atau ambiquity semantik (arti kata), yang disebabkan oleh perumusan secara open texture (susunan). Dalam hal ini kata-kata dirumuskan sedemikian umum, sehingga menimbulkan kemenduaan dalam penerapannya. Kebalikan dari kemenduaan yang demikian itu adalah perumusan yang dilakukan secara rinci;
2. Kemenduaan sintaktik (kalimat), yang disebabkan penggunaan kata-kata dalam kalimat, misalnya kata “atau”, “dari” dan “semua” dan sebagainya;
3. Kemenduaan juga dapat terjadi karena maksud yang ingin dinyatakan oleh pembuat undang-undang itu sendiri tidak jelas. Pembuat undang-undang itu sendiri belum mempunyai konsep atau gambaran yang jelas mengenai hal yang hendak diaturnya.
Dalam hal pengadilan berhadapan dengan cacat-cacat seperti tersebut di atas, maka dituntut membuatnya kembali mencapai kesempurnaan logis.
Malakala dapat diketahui bahwa di belakang cacat itu ada maksud baik, maka pengadilan harus dapat menegaskan adanya maksud tersebut. Apabila hal yang demikian itu tidak dapat diketahui, maka pengadilan harus dapat mengungkapkan maksud yang ada pada pembuat undang-undang, apabila segala kesalahan dan cacat itu diberikan kepadanya.
Ke dua, tidak mengijinkan untuk menerima kata-kata perundang-undangan secara mutlak, adalah manakala interpretasi secara harfiah akan membawa kepada kejanggalan dan kepada ketidakmasukakalan sedemikian rupa sehingga jelas terlihat pembuat undang-undang sebetulnya tidak mngkin menghendaki hal tersebut.
5.1.2.2. Interpretasi Fungsional
Pandangan filosofis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa inti dari undang-undang adalah terletak di dalam semangatnya, sedangkan kata-kata itu hanya dipakai untuk menyampaikan maksud yang terkandung di dalamnya.
Interpretasi fungsional dalam usaha menemukan hukum yang konkrit bagi suatu kasus hukum, juga dimulai dari pemahaman dari sudut tata bahasa yang disusul oleh faktor-faktor yang lain. Sebagaimana yang disampaikan oleh Paul Scholten,
bahwa: Dengan demikian, maka yang dilakukan terdiri dari segi bahasa, sejarah undang-undangnya, sistem bukunya dalam keseluruhan, tujuan sosial serta hasil dari penerapan, perkembangan sejarahnya, semua itu adalah faktor-faktor yang diperhitungkan untuk menentukan apa yang menurut suatu undang-undang merupakan hukum pada suatu kasus tertentu. Kesemua faktor tersebut tidak dapat diberi batasan yang pasti dan ditentukan tata urut penggunaannya. Hal ini disebabkan karena pada setiap penentuan mengenai apa yang merupakan taruhan utamanya. Ia dimulai dari keadilan dan diakhiri dengan keadilan pula.
Scholten memberi tempat yang penting pada segi bahasa dan tata bahasa.
Interpretasi itu dimulai dari bahasa dan diakhiri dengan bahasa pula, yaitu berupa pengujian hasil yang ditemukan terhadap rumusan yang dipakai. Namun bagaimana pun penggunaan kata-kata itu tidak boleh diberi arti sendiri, melainkan harus dalam hubungannya dengan kenyataan sehari-hari atau pun pada apa yang dipikirkan oleh orang yang melakukan interpretasi itu sendiri.
Undang-undang adalah pernyataan kehendak dari badan negara yang diberi tugas membuat hukum. Oleh karena itu adalah hal yang layak, manakala dalam usaha untuk menentukan apa yang merupakan maksud dari undang- undang ditelusuri apa yang dikehendaki oleh pembuatnya dengan rumusan itu, yang tidak lain melakukan interpretasi dari sejarah perundang-undangannya.
Setiap undang-undang adalah bagian dari keseluruhan perundang- undangan. Demikian pula halnya dengan undang-undang yang baru, yang segera diserap ke dalam struktur keseluruhan tersebut. Dengan demikian apabila hendak memberi arti pada suatu undang-undang tertentu, maka harus
melakukannya dalam konteks yang demikian itu. Dalam hubungan ini, kata-kata suatu undang-undang mungkin tidak hanya baru menjadi jelas manakala dipahami dalam hubungannya dengan yang lain, melainkan juga mencoba untuk memahami masing-masing undang-undang sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan yang berkaitan satu sama lain. Suatu undang-undang dapat dilihat sebagai suatu penggarapan lebih lanjut, suatu pengisian atau penyimpangan dari yang lain.
Semua hal atau kegiatan yang dikemukakan di atas tidaklah dilakukan oleh praktek melainkan oleh dunia ilmu. Ilmu hukum menggarap massa (bahan- bahan) perundang-undangan itu dengan mengorganisasikannya ke dalam suatu sistem tertentu, sehingga massa yang demikian banyak itu dapat disurutkan menjadi sejumlah ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok saja. Perkembangan langkah yang demikian ini mengarah ke soal sistematisasi bahan-bahan perundang-undangan ke dalam pengertian-pengertian pokok tertentu serta menibulkan pertanyaan; Apakah gunanya pembentukan pengertian-pengertian itu bagi usaha penemuan hukum?
Pengertian-pengertian tersebut dapat berguna atau tidak, bergantung dari bagaimana memperlakukannya. Suatu ajaran yang kemudian disebut sebagai Begriffsjurisprudenz merupakan contoh dari penggunaan pengertian- pengertian sacara berlebihan sehingga tidak membawa pada hasil yang dikehendaki, yaitu keadilan di antara manusia. Pada dasarnya aliran ini mendasarkan pada kemampuan hukum untuk melakukan ekspansi atas dukungan kekuatan sendiri. Ekspansi itu dilakukan lewat penciptaan pengertian-
pengertian hukum yang kemudian diterima secara mutlak kemudian dibiarkan berjalan atas dasar logika. Dengan demikian pengertian-pengertian tersebut diterima sebagai premis yang absolut dan ditarik terus dengan menggunakan hukum logika sehingga diperoleh suatu hasil.
Kesalahan dari aliran pikiran tersebut adalah penerimaannya secara absolut terhadap penerapan yang ketat dari penalaran yang logis tersebut.
Dengan demikian maka bukan keadilan yang dikehendaki sebagai hasil akhir, melainkan lebih menekankan kepada metode yang dipakai. Dikatakan adalah
“benar” bahwa pencarian hukum dilakukan melalui penempatan dari kejadian- kejadian di bawah peraturan-peraturan, tetapi yang terjadi sebetulnya adalah lebih dari itu. Seperti juga halnya tidak dikehendaki agar penalaran yang logis ketat itu menjadi raja. Paul Scholten juga mengatakan bahwa metode sistematisasi dan rekonstruksi dalam hal ini keduanya merupakan pengembangan dari metode penalaran logika merupakan satu-satunya yang menentukan. Dalam usaha penemuan hukum, Paul Scholten banyak menekankan pada segi pembuatan konstruksi sebagai cara untuk mengembangkan massa hukum atau hukum positif, melalui penalaran logis sehingga dapat dicapai hasil yang dikehendaki. Dilihat dari sudut massa hukum, konstruksi hukum merupakan penarikan atau pengembangan lebih lanjut dari bahan tersebut dengan menggunakan penalaran logis. Sedangkan dari sudut konstruksi itu sendiri, tidak boleh melepaskan diri dan mengabaikan massa hukum yang ada tersebut.105
105Ibid.,hlm. 91.