• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interpretasi Gramatikal

Dalam dokumen Kesubaru dalam Dunia yang Berubah (Halaman 113-118)

5.1. Metode Interpretasi

5.1.4. Metode Interpretasi Hukum dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam metode. 109

5.1.4.1. Interpretasi Gramatikal

5.1.4. Metode Interpretasi Hukum dapat dikelompokkan menjadi beberapa

dipakai pada permulaan usaha interpretasi, yang selanjutnya interpretasi gramatikal itu dengan sendirinya membimbing hakim ke arah cara-cara interpretasi yang lain, yaitu dengan sendirinya membimbing ke arah interpretasi sistematis.114

Interpretasi gramatikal adalah interpretasi kata-kata dalam undang- undang sesuai dengan norma bahasa atau norma tata bahasa. Bahasa dengan hukum berkaitan erat, hukum tidak mungkin tanpa bahasa, hukum memerlukan kata-kata atau bahasa sebab bahasa merupakan alat satu- satunya yang dipakai oleh pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Interpretasi gramatikal merupakan upaya yang tepat untuk mencoba memahami suatu teks aturan perundang-undangan. Merumuskan suatu perundang-undangan atau suatu perjanjian seharusnya menggunakan bahasa yang dipahami oleh masyarakat yang menjadi tujuan pengaturan hukum tersebut. Karena penafsiran undang-undang pada dasarnya merupakan penjelasan dari segi bahasa yang digunakan, maka jelas bahwa pembuatan suatu aturan hukum harus terikat pada bahasa.115

Peraturan perundang-undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, kata-kata dalam bahasa yang digunakan harus singkat dan jelas, sehingga tidak dapat diinterpretasi dengan berbagai ragam, namun pembuat undang-undang tidak senantiasa mampu menggunakan kata-kata yang tepat, putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang logis sistematis, untuk mengadakan perjanjianpun diperlukan bahasa. Untuk mengetahui makna ketentuan

114Paul Scholten, dalam Utrecht,Ibid.hlm. 237.

115 Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan MetodologiPenelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 220.

perundang-undangan maka ketentuan perundang-undangan itu di interpretasikan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari.

Dalam hal demikian hakim wajib mencari kata-kata yang lazim dipakai dalam pembicaraan sehari-hari, menggunakan kamus bahasa atau pun minta keterangan pada ahli bahasa. Contoh; dilarang masuk bagi orang yang belum dewasa. Apa yang dimaksud dengan “belum dewasa” dan menurut peraturan perundang-undangan mana yang dipakai. Namun sering keterangan yang ada di dalam kamus dan keterangan ahli bahasa masih belum cukup, sehingga hakim harus mempelajari arti kata-kata dalam susunan kalimat peraturan perundang- undangan tersebut atau hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang lain.116

Misalnya apa yang dimaksud dengan pihak ke 3 (tiga) dalam suatu hubungan kontrak, kadang kala tidak jelas. Sebab kadang-kadang pihak ke 3 (tiga) mengacu pada pihak lain yang tidak terkait perjanjian, atau pihak ke 3 (tiga) yang dimaksudkan adalah kreditor konkruen bagi para pihak yang terikat dalam suatu hubungan kontrak.

Oleh karena bahasa satu-satunya alat untuk menyatakan kehendak, maka mula-mula interpretasi yang dipakai hakim adalah interpretasi menurut arti kata. Apakah arti “kata” yang bersangkutan itu? Setiap kata mempunyai sejarahnya masing-masing. Waktu undang-undang dibuat, maka pembuat undang-undang yang memakai kata-kata untuk pertama kali dalam undang- undang pasti mempunyai maksud tertentu, dan pemakaian kata-kata itu sesuai

116Utrecht,Op.cit.

dengan keadaan atau aliran-aliran kejiwaan dalam kemasyarakatan pada waktu kata-kata itu dibuat. Maksud dalam kata-kata itulah yang harus dicari oleh hakim, di samping mencari sejarah dari kata-kata (perkataan itu bersejarah), maka sesuatu kata mempunyai kedudukan dalam sistem hukum yang sedang berlaku atau dulu pernah berlaku, sistem itu juga harus dicari oleh hakim.117

Interpretasi gramatikal, berarti bahwa hendak mencoba menangkap arti suatu naskah menurut bunyi kata-katanya. Ini dapat terbatas pada sesuatu yang otomatis, yang tidak sadar, yang senantiasa dilakukan pada waktu membaca, namun dapat juga lebih mendalam. Suatu kata dapat mempunyai pelbagai arti, kata dalam bahasa hukum, dapat berarti berbeda dengan bahasa pergaulan.

Mencoba menemukan arti kata dengan menelusuri kata mana yang oleh pembentuk undang-undang digunakan dalam mengatur peristiwa semacam itu dan sekali gus menelusuri di tempat mana yang lain dan dalam hubungan apa pembentuk undang-undang menggunakan kata yang sama. Sering didengar apabila kata-katanya jelas, maka tidak boleh menyimpang dari kata-kata tersebut. Apabila memang demikian artinya maka pada “kata-kata jelas” maka tidak boleh menginterpretasi. Siapa yang setuju dengan hal demikian, bahwa membaca selalu berarti menginterpretasi, tidak dapat menyetujui hal demikian ini, sebab menurut kata-kata itu sendiri tidak pernah jelas, namun harus dicari artinya yang berada di belakangnya. Menurut itu menginterpretasi kata-kata secara harfiah merupakan gambaran yang salah, sebab kata “secara harfiah”

hanyalah tinta cetak di atas kertas. Apa yang jelas? Naskah undang-undang yang tampaknya jelas, setelah mengetahui pasal-pasal lain dapat menjadi tidak

117Utrecht,Op.cit.hlm. 208.

jelas, dan inilah yang harus diperhatikan; pasal yang satu yang maknanya dicari, merupakan bagian sistem hukum keseluruhannya dan harus dilihat dalam hubungannya dengan keseluruhannya. Dari setiap tulisan dapat diperoleh gambaran palsu dengan mengeluarkan suatu bagian dan mengutipnya sebagai naskah yang berdiri sendiri. Hal demikian ini berlaku sama dengan undang- undang. Tidak dapat disangkal bahwa nilai suatu kata sangat penting (memang bahasa tanpa kata-kata adalah tidak mungkin).118

Formulasi peraturan untuk pembenaran putusan pengadilan dalam hal ini merupakan interpretasi atau penjelasan istilah atau bagian kalimat dari peraturan tersebut menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Pada dasarnya interpretasi undang-undang itu selalu akan merupakan interpretasi atau penjelasan dari segi bahasa dan disebut juga metode obyektif.

Contoh interpretasi gramatikal, misalnya mengenai istilah

“dipercayakan” sebagaimana dicantumkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 432, kata “dipercayakan” diinterpretasikan menurut bahasa sebagai diserahkan. Pasal 372, istilah “menggelapkan” diinterpretasikan sebagai menghilangkan. Pasal 305, istilah “meninggalkan” diinterpretasikan sebagai menelantarkan. Akan tetapi Hoge Raad dalam putusannya tanggal 6 Desember 1947 (Nederlandse Jurisprudentie 1948, 118), Hoge Raad berpendapat bahwa seorang ibu yang “meninggalkan“ anaknya yang baru dilahirkan, tidaklah melanggar aturan hukum sesuai dengan Pasal 305 apabila ia berusaha agar anaknya dapat diterima oleh suatu keluarga yang dapat mengasuh dan mendidiknya, terkecuali dalam keadaan khusus

118Sudikno Mertokusumo 2,Op.cit. hlm. 60.

Contoh yurisprudensi di Negeri Belanda. Menurut Burgerlijk Wetboek Pasal 1140, penyewa rumah yang tidak membayar uang sewa, maka pemilik rumah mempunyai “hak pendahuluan” atau voorrechtuntuk menjual barang yang ada di rumah itu tanpa mempedulikan siapa pemiliknya agar rumah itu dapat didiami, yang hasil penjualannya untuk melunasi uang sewa rumah tersebut.119

Metode interpretasi ini disebut juga metode interpretasi obyektif, biasanya interpretasi gramatikal dilakukan oleh hakim bersamaan dengan interpretasi logis, yaitu memaknai berbagai aturan hukum yang ada, melalui logika/penalaran hukum untuk diterapkan terhadap teks yang kabur atau kurang jelas.120

Dalam dokumen Kesubaru dalam Dunia yang Berubah (Halaman 113-118)