1. Latar Belakang Keluarga
Abdurrahman Addakhil, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata
"Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", KH.
Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti "abang" atau "mas".
KH. Abdurrahman wahid adalah putra pertama dari Enam bersaudara54 yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik KH. Abdurrahman Wahid adalah keturunan dari keluarga terhormat atau lebih dikenal dengan sebutan
"darah biru".55 Ayah KH. Abdurrahman Wahid, KH. Wahid Hasyim, Di lahirkan di Tebu Ireng, Jombang pada bulan Juni 1914. Ia adalah putra pertama dan anak kelima dari sepuluh bersaudara dan Ibunya, Ny. Hj.
Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.56 KH. Wahid Hasyim adalah orang yang mempunyai rasa cinta terhadap masyarakatnya, namun demikian ia sering merasa putus asa melihat cupetnya pikiran yang mengekang masyarakatnya ini. KH. Wahid
54 Enam bersaudara itu adalah Abdurrahman Wahid (1940), Aisyah (1941), Salahuddin (1942), Ummar (1944), Chodijah (1948), Hasyim (1953)
55 Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 2010), 4
56 M. Hamid, Gus Gerr, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), 14
Hasyim yang pernah punya jabatan sebagai menteri Agama, ia merasa terganggu oleh sikap tergantung dan manja oleh sikap kementriannya.
Namun demikian, KH. Wahid Hasyim selalu cenderung tidak mau terganggu oleh apa saja yang tidak dapat dikembalikannya. Pada tahun 1952, setelah bertahan selama lima kabinet, KH. Wahid Hasyim kehilangan jabatan ini dalam salah satu pergantian menteri yang sering terjadi dalam periodenya ini. Sebagai menteri, Ia akhirnya bertanggungjawab untuk mengorganisasi perjalanan Naik Haji di Indonesia sehingga beberapa ribu calon jamaah Haji tidak dapat pergi ke Makkah. Kemunduran ini menimbulkan mosi tidak percaya DPR terhadap KH. Wahid Hasyim dan pada umum nyatak ada gunanya untuk mencoba meningkatkan reputasinya. Maka KH. Wahid Hasyim pun dengan senang hati melepaskan jabatannya.
KH. Abdurrahman Wahid Pada hari sabtu tanggal 18 April 1953, bepergian menemani Ayahnya untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, yang dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu beberapa jam saja dan terletak disebelah tenggara Jakarta. Dijalan menuju kota Bandung yang berliku-liku melalui pegunungan berapi dan menjadi punggung pulau Jawa. Ketika perjalanan berada antara Cimahi dan Bandung, KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid bersama dengan Argo Sutjipto, seorang penerbit yang merupakan sahabatnya, terjadi kecelakaan sekitar pukul 01.00 siang tetapi mobil ambulan dari Bandung baru tiba ditempat kejadian sekitar pukul 04.00 sore. Pada pukul 10.30 pagi keesokan
harinya, KH. Wahid Hasyim tak lagi dapat bertahan dan meninggal dunia.
Beberapa jam kemudian Argo juga meninggal dunia. KH. Wahid Hasyim, yang merupakan harapan banyak orang di Indonesia, telah menghembuskan nafas terakhir, ia berusia 38 tahun. KH. Abdurrahman Wahid baru berusia 12 tahun.57 Kakek KH. Abdurrahman Wahid dari pihak ayahnya adalah KH. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan pendiri pesantren Tebuireng Jombang.
2. Latar Belakang Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, KH.
Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an di Ponpes. Tebu Ireng, Jombang. Dalam usia lima tahun Ia telah lancar membaca al-Qur’an. Selanjutnya pada usia 13 tahun, Abdurrahman Wahid harus sudah kehilangan ayahnya, yang meninggal pada usia 38 tahun karena kecelakaan mobil.
Dahulu, pada saat sang ayah pindah ke Jakarta58, disamping belajar formal di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan
57 Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LkiS, 2006), 44-45
58 Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu yang terdiri dari para tokoh dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri Agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering ke rumahnya.
musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertamakali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.59
Namun dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat sebagai siswa yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah ia menamatkan sekolah dasar dan memulai Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam kegagalan tersebut disebabkan oleh karena seringnya ia menonton pertandingan sepak bola sehingga Ia tak mempunyai cukup wakt untuk menegerjakan pekerjaan rumah (PR). Lalupada tahun 1954 tersebut, ketika sang ibu berjuang sendirian untuk membesarkan anaknya (karena telah ditinggalkan suaminya dalam kecelakaan maut) sementara Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Di kota ni Ia berdiam di rumah seorang teman ayahnya Kiai Junaidi, seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dan untuk melengkapi pendidikannya, Ia juga pergi ke pesantren al Munawwir di Krapyak yang terletak di luar kota Yogyakarta tigakali seminggu.60
Setamat dari SMP, dari tahun 1957-1959 Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh KH. Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan guru
59WiwitFathurrohman,BiografiGusDur,http://wiwitfatur.wordpress.com/2009/04/21/biografi- abdurrahmanwahid/
60 Greg Barton,op. Cit, 50-51
yang dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan Kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan KH. Wahab Chasbullah. ia belajar di sini hingga tahun 1963 dan selama kurun waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri Syansuri. Selama tahun pertamanya di Tambak Beras, Gus Dur mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Dan kemudian ia mengajardi madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren dan juga menjadi Kepala sekolahnya. Selama masa ini pula ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Di kota ini ia tinggal di rumah Kiai AliMa’shum. Pada masa inilah Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra arab klasik. Di kalangan pesantren ia dianggap sebagai siswa yang cemerlang. Studinya ini banyak bergantung pada kekuatan ingatan, hampir-hampir tidak memberikan tantangan kepada Gus Dur yang mempunyai ingatan yang amat kuat walaupun ia dikenal sebagai siswa yang malas dan kurang disiplin dalam studi formalnya. Pada bulan November 1963, Gus Dur mendapat beasiswa dari Menteri Agama berangkat ke Kairo-Mesiruntuk melanjutkan studi di Universitas al- Azhar.61
61 Ibid. 53
Pada saat ia tiba di Universitas al-Azhar, ia diberitahu olehpejabat Universitas itu bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan bahasa arabnya karenatidak memilikiijazah dari pesantren, meskipun ia telah lulus berbagai studi di pondok pesantren. Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko bukudi mana ia dapat memperoleh buku- buku yang dikehendaki.62
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasser, seorang nasionalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual.
Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat untuk mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak Ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Baghdad sampai tahun 1970. Selama di Baghdad, Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir.63
Di kota ini Ia merasa cocok karena tidak hanya mempelajari sastra arab, filsafat, dan teori-teori sosial barat, tetapi ia bisa memenuhi hobinya untuk menonton film-film klasik. Bahkan, Gus Dur merasa lebih senang
62 http://gudangbiografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahmanwahidbiografi.html
63 Badiatul Roziqin, dkk, op. cit, 37
dengan sistem yang diterapkan Universitas Baghdad yang dalam beberapa segi dapat dikatakan lebih berorientasi barat dari pada sistem yang diterapkan al-Azhar. Selama belajar diTimur Tengah inilah Gus Dur menjadi Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia untuk Timur Tengah (1964-1970).
Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali Di luar dunia kampus, termasuk makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU.
Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu Universitaske-Universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke Mc Gill University di Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya Ia kembali ke Indonesia setelah terlihami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.64
64 Greg Barton, op. cit, 104-105
Tahun 1971, Sepulang dari Timur Tengah, Gus Dur kembali ke Jombang, menjadi guru. ia mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi Sekretaris Pesantren Tebu Ireng dan pada tahun yang sama, Gus Dur mulai aktif menulis. Lewat tulisan-tulisannya, gagasan dan pemikirannya, Ia mulai mendapat perhatian dari khalayak.
Pertengahan tahun 1970-an, secara beraturan Ia telah menjalin hubungan dengan Cak Nur dan Djohan Efendi. Karena itu, ketika pindah ke Jakarta ia semakin intens bergabung dalam rangkaian forum akademik dan kelompok-kelompok kajian. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapat undangan menjadi nara sumber di sejumlah forum diskusi keagamaan dan dunia pesantren, baik dalam maupun luar negeri.
Semangat belajar Gus Dur memang belumlah surut. Pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah Universitas di Australia guna mendapatkan gelar Doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menganggap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik. Setelah pindah ke Jakarta, mula-mula Gus Dur merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU. Gus Dur pun menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983. pada 1984
Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh timahl halli wa al-’aqdi yang diketuai KH. As’ad Syamsul Arifin untuk menjabat ketua umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan Muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-4. selama menjadi Presiden, pemikiran beliau masih mengundang kontroversi. Sering kali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.65
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah Ia menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masabakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisasi kaum elit Islam’ sebagai dengan organisasi sektarian.
Gus Dur juga pernah mengumumkan Tahun Bam Cina (Imlek) menjadi hari libur nasional dan mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa, berusaha membuka hubungan dengan Israel, sempat tercatat dalam keanggotaan Yayasan Shimon Peres, memisahkan Polri dari TNI, mengembalikan nama Papua, merintis perdamaian dengan GAM di Aceh, dan banyak "pluralisme" lain. Demokrasi juga tentu saja adalah bagian vital perjuangan seorang Gus Dur.
65 Badiatul Roziqin, dkk, loc. cit
Berdasarkan paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.66
Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami.
Kebebasannya dalam berpikir dan luasny cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri. Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo (RSCM), Jakarta, pukul 18.45 WIB.
akibat berbagai komplikasi penyakit, diantaranya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.
Tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga KH. Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana
66 Wiwit Fathurrohman, op. cit.
baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama KH.
Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, KH. Abdurrahman Wahid juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.67
Tahun 1964, KH. Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Namun sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota itu. Dari Mesir Ia pindah ke Universitas Bagdhad mengambil fakultas sastra.68 Tidak terlalu jelas, apakah KH. Abdurrahman Wahid menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar kesarjanaannya di Bagdhad. Karena sebagian orang menganggapnya selesai dan memperoleh gelar LC. Namun sebagain yang lain menyatakan "tidak memperoleh gelar" atau "tidak selesai". Namun yang pasti, usai di Bagdhad, KH. Abdurrahman Wahid ingin menguyam dunia pendidikan liberal Eropa.
Tahun 1971, Ia menjajaki salah satu di Universitas Eropa untuk melanjutkan pendidikannya disana. Akan tetapi, harapannya tidak kesampaian karena kualifikasi-kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui Universitas-Universitas di Eropa. Selanjutnya, yang
67 Gerg Barton, Biografi Gus Dur, 39
68 Fuad Anwar, Melawan Gus Dur, (Yogyakarta: Lkis, 2004), 119-120
memotivasi KH. Abdurrahman Wahid untuk pergi ke MC Gill University Kanada untuk mempelajari kajian-kajian ke Islaman secara mendalam.
Namun pada akhirnya, Ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
Sekembalinya di Indonesia, Ia kembali ke habitatnya semula yakni dunia pesantren. Dari tahun 1972 hingga 1974, Ia di percaya menjadi dosen disamping Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari Jombang.69 Kemudian tahun 1974 sampai 1980 oleh pamannya, KH.
Yusuf Hasyim, di beri amanat untuk menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Selama periode ini Ia secara teratur mulai terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat Katib awal Syuriah PBNU sejak tahun 1979.