• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Dakwah KH. Abdurrahman Wahid Tentang Pluralisme Pendekatan dakwah merupakan titik tolak atau sudut pandang kita

Secara keseluruhan, pengertian diatas terkait langsung dari sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan sosil beragama.

C. Pendekatan Dakwah KH. Abdurrahman Wahid Tentang Pluralisme

kepada mad’u melalui bimbingan konseling, kunsultasi dalam urusan keluarga, agama, dan lainnya.

“Pendekatan terhadap mitra dakwah lainnya yang bisa digunakan adalah pendekatan sosial kemasyarakatan. Pendekatan ini meliputi pendekatan sosial politik, pendekatan sosial budaya, dan pendekatan sosial ekonomi. Pendekatan dakwah di atas bisa disederhanakan menjadi dua pendekatan, yakni pendekatan stuktural dan pendekatan kultural.”109

Pendekatan struktural adalah pendekatan dengan menggunakan kekuasaan atau politik. Artinya, untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, kemakmuran, pemerataan, dan sistem kehidupan yang lebih baik, dibutuhkan orang-orang yang duduk di lembaga legeslatif untuk membuat undang- undang. Selanjutnya untuk melaksanakan undang-undang diperlukan orang- orang yang duduk di lembaga pemerintahan (eksekutif) seperti menjadi presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, camat dan seterusnya. Jika jajaran pelaksana pemerintahan ini dipegang orang yang jujur, amanah, dan adil, maka kesejahteraan akan dirasakan oleh masyarakat. Sebaliknya, jika kekuasaan dipegang orang yang tidak amanah dan tidak jujur, maka yang terjadi adalah kerusakan dan kehancuran.

“KH. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwasanya suatu yang sangat komplek terutama bagi organisasi non-politis, seperti NU, pendekatan yang harus diambil adalah pendekatan kultural yang lebih didasarkan pada alternatif-alternatif yang mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan bagi organisasi-organisasi politik, seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tekanan yang harus ditekankan pada penciptaan sistem politik yang bersih, meliputi ketiga bidang eksekutif, legislative, yudikatif. Hanya dengan kombinasi kedua pedekatan kultural dan politis itu dapat ditegakkan proses demokrasi di negeri kita. Sebagaimana diketahui, demokrasi hanya bisa tegak kalau dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan

109 Ibid, 348

adanya perlakuan yang sama bagi semua warga dimuka Undang- Undang”.110

Hal ini bisa melalui jalur pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, mengembangkan kebudayaan yang bernilai tinggi, memberdayakan ekonomi, melatih ketrampilan dan keahlian (life skill), dan menegakkan HAM dan demokrasi.

“KH. Abdurrahman Wahid mengatakan demi tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada suatu pola hidup berdampingan secara damai, karena hal itu masih rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi.”111

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan tidak menimbulkan disintegrasi perlu kiranya melakukan aplikasi idiologi pertama adalah monarki absolut, yang dicoba untuk dikembangkan monarki populis dimana aspirasi rakyat dibidang penemuhan pokok dan akselerasi pengembangan kecerdasan mendapat prioritas utama. “no-idiologis” dikalukan disemua aspek kehidupan, terutama didalam kepentingan umum yang bersifat teknis. Jaminan lapangan kerja, jaminan kesehatan, penyediaan penerangan, dan sarana komunikasi dan angkutan yang memadai, kesempatan pendidikan yang sangat luas, pemeliharaan tingkat hidup cukup menyenangkan (sustaining comfort), dan keterbuaan pasial (controlled introduction) bagi manifestasi kebudayaan asing, semuanya itu diharapkan akan membawa kualitas hidup bangsa secara menyeluruh tampa membawa goncangan politis yang dapat membahayakan kelangsungan monarki absolut itu sendiri.112

110 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 41

111 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999), 145

112 Ibid 145-146

Namun harus ada penghargaan yang tinggi terhadap pluralisme itu, yaitu adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain saling take and give.113

“Latar belakang faham keislaman tradisional faham ahlussunnah wal jama’ah serta pemikirannya yang liberal, Islam menurut KH.

Abdurrahman Wahid harus tampil sebagai pemersatu bangsa dan pelindung keragaman dan mampu menjawab tantangan modernitas sehingga Islam lebih inklusif, toleran, egaliter dan demokratis. Nilai Islam yang universal dan esensial lebih diutamakan dari pada legal- simbolis, Islam mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa membawa “embel-embel”114

Latar belakang faham keislaman tradisional faham ahlussunnah wal jama’ah memang suda jelas, sebagai mana yang tekah ditukis oleh KH.

Abdurrahnan Wahid dalam bukunya yang berjudu Prisma Perisma Pimikiran Gus Dur. Bahwasanya tradisi keilmuagamaan yang dianut NU, sebagai mana yang telah dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofir dan Sidney Jones dalam satu tulisannya, dan yang sebenarnya juga telah dikemukakan secara tebuka oleh warga NU sejak permulaan, bertumpu pada pengertian tersendiri tentang apa yang oleh NU disebut aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Doktrin tersebut berpangkal pada tiga panutan ini: mengikuti paham Al-Asy’ari dan Al- Maturidi dalam bertauhid (mengesahkan Allah dan mengakui keutusan Muhammad), mengikuti mazhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan mengikuti cara yang ditetapkan Al-Junaid Al-baghdadi dalam

113 Abdurrahman Wahid, “Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia”, makalah pada seminar agama dan masyarakat, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 20 November 1992 Umaruddin Masdar. Membaca Pemikiran, 145

114 Islamisasi bukan proses Arabisasi tetapi Islamisasi lebih mengutamakan pada manifestasinya nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Selama ini proses Islamisasi belum dipahami betul oleh sebagian besar kaum muslim, hal ini terlihat misalnya: kata “saudara” tidak perlu diganti

“ikhwan”, “langgar” diganti “mushola”, “sembahyang” diubah menjadi “shalat”. Hal ini terlihat bahwa proses Islamisasi baru pada visualisasi: ketidak-pedean umat Islam.

bertarekat atau bertasawuf. Berbeda dari pandangan kelompok-kelompok lain, seperti Muhammadiyah dan persis (dua-duanya hanya menerima skolastisisme Al-Asy’ari sebagai landasan ke-sunni-an mereka), tetapi NU mengembangkan tradisi keilmuagamaan paripurna yang telah membagi siklus kehidupan para warganya dalam sejumlah lingkaran kegiatan atau bidang perhatin yang baku.115

“Kalau memang Islam ada konsep (yang definitif), tidak akan terjadi demikian, apalagi para sahabat itu adalah orang yang paling takut dengan Rasulullah. Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan, yang ada hanya komunitas agama (kuntum khaira ummah), hanya itu bukan khaira daulah atau khaira jumhuriyah apalagi khaira mamlakah.”116

Menurut Gus Dur Islam itu tidak mengatur konsep Negara, tapi mengatur tentang komunitas agama. Pendekatan yang digunakan Gus Dur dalam usaha menampilkan citra Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan adalah pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat kultural yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu. Pendekatan ini lebih mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual. Pendekatan seperti ini dapat mempermudah masuknya ‘agenda Islam’ ke dalam ‘agenda nasional’ bangsa secara inklusifistik.117

115 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKis, 2000), 155-156

116www. google.com, “Pemikiran Politik Islam Indonesia; gagasan Abdurrahman Wahid”, Abdul Halim, Download (22 Maret 2016. Jam 20:13).

117 www.goggle.com, “Abdurrahman Wahid Telah atas Ide Neo Modernisme”, Abdul Haris, Download (22 Maret 2016, Jam 20:15).

Gagasan Gus Dur selalu bertentangan dengan ide Islam sebagai ideologi alternative seperti yang dilontarkan oleh sejumlah kalangan

‘fundamental Islam’. Di luar negeri, yang semacam ini dipelopori misalnya oleh Al-Maududi, Sayyid Qutub, Khomeini dan yang lainnya. Bagi Gus Dur,

“idealisme mereka begitu tinggi sehingga tidak dapat mendarat dalam kehidupan, sebab gagal menemukan prinsip-prinsip operasional dari nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat”.

Dapat digaris-bawahi bahwa pandangan Gus Dur ini sangat substantifistik, yakni suatu pemikiran yang penekanannya pada manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam (Islamic Injections) dalam aktifitas politik, bukan pada formalitas dan simbolisme; artinya ia tidak mempersoalkan bentuk operasional pemerintahan, asalkan sesuai dengan kenyataan yang berkembang.

Dengan ungkapan lain, bentuk yang paling tepat adalah bentuk yang paling mungkin digunakan, bukannya bentuk-bentuk utopis yang ditawarkan melalui idealisasi sebuah ‘konstruk Islami’.118

Pendekatan kultural digunakan ketika menjadi guru, aktivis organisasi, dan memimpin PBNU. Dalam dunia pendidikan pada tahun 1960-an, ia pernah menjadi tenaga pengajar di pesantren Tambak Beras milik kakeknya yang salah satu muridnya adalah Nuriyah yang kelak menjadi istrinya. Tahun 1970 Gus Dur didaulat menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin, Universitas Hasyim Asy’ari Jombang hingga 1974. Masih dalam bidang pendidikan Gus

118 Abdul Halim, Ibid, www.google.com. (22 Maret 2016, Jam 20:20).

Dur pernah menjadi konsultan di Lembaga Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES),119

Gus Dur adalah figur yang dihormati, betapapun nyleneh dan kontroversialnya ucapan dan tindakannya. Bukan saja ia adalah cucu pendiri NU Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga karena Gus Dur adalah ulama-intelektual NU terkemuka di berwawasan kosmopolitan. Seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batasan-batasan orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk kewacana modern, liberal dan cosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam. Dan NU sebagai organisasi Islam tradisional yang telah

“mendunia” dan diperhitungkan dunia luar.120

Maksud dan tujuan Gus Dur ini untuk mewujudnya masyarakat sejahtera yang dijiwai ajaran Islam Ahlusunnah wal jamaah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berkemakmuran dan berkeadilan yang diridloi Allah SWT, dan mewujudkan masyarakat Indonesia khususnya perempuan, yang sadar beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.121

Kalangan Islam politik simbolik meyakini bahwa Islam harus diwujudkan secara simbolik dalam politik dengan melegal formalkan Islam sebagai sebuah negara. Golongan ini berpendapat bahwa Islam adalah agama yang integratif, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara,

119 Mujamil Qomar, NU “Liberal” Dari Tradisionalisme Ahlussunah Ke Universalisme Islam (Bandung: Mizan, 2002), 160

120 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), xi

121http://www.muslimat.nu.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid=5 7, (4 april 2016, jam 07:23).

antara dunia dan akhirat dan pemisahan dalam bentuk apa pun. Sedangkan kelompok substantif adalah golongan yang menolak seluruh bentuk perjuangan yang hendak melegal formalkan Islam dalam politik. Bagi kelompok ini, usaha simbolisasi syari'at akan mengancam integrasi dan sekaligus mencemarkan makna hakiki agama. Pencampuran antara agama dengan politik, tidak saja keliru dan salah tetapi juga agama hanya sekedar dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik kaum elit.122

“Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sepertinya sangat sulit dan mungkin tidak bisa dipisahkan dengan sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini lebih disebabkan oleh peran dan pengaruh politik Gus Dur yang sangat luar biasa besar di PKB. dalam hal ini semua berspekulasi tentang apa motif Abdurrahman Wahid, menjadi lebih komplek lagi masalahnya dengan dukungan yang ia berikan dan keterlibatannya secara langsung dalam partai politik melalui PKB”.123 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai terbuka dan hadir dalam suatu bangsa yang pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras, sangat menyadari bahwa tatanan kehidupan bangsa Indonesia harus senantiasa berpijak pada nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Agar dapat mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Partai tersebut, Misi utama yang dijalankan Partai Kebangkitan Bangsa adalah upaya menciptakan tatanan masyarakat beradab yang sejahtera lahir dan batin, yang

122Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khalifah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 199-200.

123 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yokyakarta: LKiS, 2000), xxv

mampu mengejawantahkan nilai-nila kemanusiaannya, meliputi;

terpeliharanya jiwa raga terpenuhinya kemerdekaan terpenuhinya hak-hak dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan; hak atas penghidupan atau perlindungan pekerjaan; hak mendapatkan keselamatan dan bebas dari penganiayaan (Hifdzu al-Nafs), terpeliharanya agama dan larangan adanya pemaksaan agama (Hifdzu al-Dīn); terpeliharanya akal dan jaminan atas kebebasan berekspresi serta berpendapat (Hifdzu al-‘Aql); terpeliharanya keturunan; jaminan atas perlindungan masa depan generasi penerus (Hifdzu al-Nasl) dan terpeliharanya harta benda (Hifdzu al-Māl). Misi ini ditempuh dengan pendekatan amar ma‘rūf Nahī Munkar, yakni menyerukan kebajikan serta mencegah segala kemungkinan dan kenyataan yang mengandung kemungkaran. 124

Begitu besarnya peran dan pengaruh politik Gus Dur di PKB setidaknya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, menyangkut persoalan kekerabatan (geneologis). Sistem kekerabatan ini merupakan ciri-ciri pengorganisasian yang hadir dalam tubuh NU seperti pada kegiatan pendidikan pesantren dan lembaga sosial lainnya. Dalam dinamika politik NU, sistem kekerabatan atau geneologis ini dapat menjadi faktor yang turut menentukan signifikan tidaknya perolehan suara sebuah partai politik yang berbasis massa NU.125

124 Lihat Mabda’ Siyasiy Partai Kebangkitan Bangsa.

125 Ali Anwar, Avonturisme NU: Menjejaki Akar Konflik Kepentingan Politik Kaum Nahdhiyyin (Bandung: Humaniora, 2004), 61.

Tidak heran, jika kemudian kehadiran Gus Dur dengan faktor geneologisnya itu sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan pola kepemimpinannya di Partai Kebangkitan Bangsa, sebuah Partai yang juga berbasis massa NU. Kedua, adanya kultur pesantren yang mempunyai hubungan unik antara kiai dan santrinya. Sebab, di pesantren santri akan merasa takut dan patuh terhadap kiai atau patronnya. Dalam budaya pesantren, para kiai dipandang sebagai pemimpin spiritual para santri yang memiliki hubungan yang erat dan diikat dalam ikatan budaya paternalistik. Petuah- petuah mereka akan selalu didengar, diikuti, dan dilaksanakan. Dengan demikian, dalam konteks politik, ajakan dan fatwa politik para kiai yang mereka sampaikan dalam kampanye-kampanye pemilu akan selalu diikuti dan dilaksanakan oleh para santri yang dipimpinnya.126

Hal lain yang membedakan Gus Dur dengan para da’i lainnya, adalah bahwa Gus Dur atau Abdurrahman Wahid sosok pembela bagi mereka orang- orang terancam maupun tertindas dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Bentuk pembelaan itu bisa melalui esai- esai tulisan, ucapan sampai kepada aksi nyata dalam bentuk tindakan. Wahid juga tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, etnis, warna kulit, posisi sosial. Wahid juga tidak ragu untuk mengorbankan image sendiri sebagai kyai berdarah biru, politisi senior, intelektual terkemuka, untuk membela korban yang perlu dibela. Diapun tidak surut karena dikritik, dihujat, dengan berbagai tuduhan negatif seperti ketua ketoprak, neo-PKI, dibaptis masuk Kristen, agen

126 Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,1999), 39

Zionis Yahudi dan sebagainnya. Tidak ada beban bagi dirinya ketika harus membela ketidakadilan.127 Hal-hal seperti itulah yang membedakan Gus Dur dengan para da’i, mubalig maupun ustad-ustad yang lain di Indonesia.

127 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), h. v