KH. Abdurrahman Wahid merupakan satu-satunya pemimpin NU yang diakui dunia, baik wawasan keilmuannya, kepeduliannya kepada masalah demokrasi dan toleransi. Serta besarnya pengaruh politik yang dimilikinya.
1. Pada tahun 1993, KH. Abdurrahman Wahid menerima penghargaan Ramon Magsay Award, sebuah “Nobel Asia” dari pemerintah Filipina.
Penghargaan ini diberikan karena KH. Abdurrahman Wahid dinilai berhasil membangun landasan yang kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangun ekonomi yang adil, dan tegaknya domokrasi di Indonesia.
2. Pada akhir tahun 1994, KH. Abdurrahman Wahid juga terpilih sebagai salah satu seorang presiden WCRP (Werld Council for Religion and Peace atau Dewan Dunia untuk Agama dan Perdamaian).
3. Pada tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan KH.
Abdurrahman Wahid dalam daftar orang terkuat di Asia. KH.
Abdurrahman Wahid menjadi pemimpin besar dan diakui karena pemikirannya dan gerakan sosial yang dibangunnya mempunyai dampak yang kuat terhadap demokrasi, keadilan, dan toleransi keagamaan di Indonesia.
71 Greg Barton, “Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam pengantar Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000), xxvi
4. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM di Israel, karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM.72
5. Ia disebut sebagai “Bapak Pluralisme” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang Di Klenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok pada tanggal 10 Maret 2004
6. Pada tanggal 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan KH. Abdurrahman Wahid mendapat tasrif Award-AJI sebagai pejuang kebebasan Pers 2006.
KH. Abdurrhman Wahid dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagamaan, dn demokrasi di Indonesia.
7. KH. Abdurrahman Wahid memperoleh penghargaan dari Mebel Valor yang berkantor di Los Angeles karena KH. Abdurrahman Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.
8. Ia juga memperoleh penghargaan dari universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi KH. Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies.73
Penghargaan yang diperoleh KH. Abdurrahman Wahid di atas yang diraihnya di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa kapasitas beliau sebagai seorang cendekiawan, aktivis kemanusiaan, dan tokoh pro demokrasi tidak dapat diragukan lagi.
72 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), 43-44
73 Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 2010), 32-33
Selain itu, KH. Abdurrahman Wahid memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Cause) dari beberapa Perguruan Tinggi ternama di berbagai negara antara lain:
1. Doktor Kehormatan bidang hukum dari Netanya University, Israel (2003) 2. Doktor Kehormatan bidang hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea
Selatan (2003)
3. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
4. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002) 5. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University,
Bangkok, Thailand (2000)
6. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Soeborne University, Paris, Perancis (2000)
7. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok,Thai land (2000)
8. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
9. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)74 Meskipun KH. Abdurrahman Wahid tidak mempunyai gelar kesarjanaan, namun dengan adanya gelar doktor dari beberapa negara menunjukkan bahwa Ia adalah seorang intelektual yang progresif yang kapasitas keilmuannya sangat luar biasa.
74 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LkiS, 2010), 45
A. Strategi Pesan Dakwah KH. Abdurrahman Wahid Tentang Pluralisme 1. Strategi Pesan Dakwah Tentang Pluralisme
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan seorang pelaku atau subyek dakwah sangat menentukan keberhasilan kegiatan dakwahnya, baik yang dalam bentuk lisan atau tulisan. Oleh karna itu, peniliti disni akan menjelaskan bagaimana strategi pesan dakwah tentang pluralism yang dilakukan Gus Dur.
“Islam menurut Gus Dur harus diajarkan kepada masyarakat melalui cara-cara yang damai, santun humanis. Untuk itu semua aktivitas dakwah harus dilakukan melalui program aksi untuk menjamin keselamatan fisik warga negara secara individual (hifz an-nafs), hak warga untuk melindungi keluarga dan keturunan mereka (hifz an-nasl), keselamatan milik mereka, dan kewajaran dalam profesi mereka (hifz al-mal). Implementasi jaminan ini harus dapat mendukung lahirnya kesejahteraan material dan spiritual masyarakat”.75
Definisi diatas menjelaskan bahwa, jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan bedasarkan hukum, dengan mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat semua warga. Dari kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial yang sebenar-benarnya, bahwa pandangan hidup atau Worldview atau Weltanschauung yang paling jelas universalitasnya adalah pandangan tentang keadilan sosial.
75 Abdurrahman Wahid, “Islam, Anti-Kekerasan, dan Transformasi Nasional”, dalam Glen D.
Paige, Chaiwat Satha Anand, dan Sarah Gilliatt (eds.) Islam Tanpa Kekerasan, terj. M. Taufiq (Yogyakarta: LKiS, 1998), 74
“Gus Dur berpendapat, bahwa untuk mencapai kesejahteraan material dan spiritual, peran dan partisipasi masyarakat (da’i) secara langsung harus dilibatkan. Dalam hal ini ajaran Islam berfungsi sebagai etika sosial bagi masyarakat untuk mengejar tujuan itu, dukungan strategi dari masyarakat kenegara menjadi perlu, termasuk pertumbuhan perkumpulan yang bebas untuk memperjuangkan peningkatan standar kehidupan sosio ekonomis sekaligus melindungi hak-hak sosio politik dari rongrongan kelompok masyarakat yang merugikan, dan untuk mendukung upaya saling menghormati hubungan antar iman (interfaith relation)”.76
Dari penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa menurut Gus Dur, dakwah Islam harus dilakukan dalam kerangka menjaga atau menegakkan nilai-nilai universalisme Islam sebagai agama samawi yang terakhir kepada warga masyarakat, baik secara individu maupun kelompok.
“Universalisme Islam itu terimplementasikan dalam lima buah jaminan dasar kehidupan yang dalam literatur hukum Islam disebut
“maqasid at-tasyri’ al-khamsah” (lima macam tujuan syara’), yaitu jaminan dasar akan fisik (1) keselamatan warga masyarakat dari tindakan destruktif di luar hukum (hifzan-nafs); (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifz ad-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan (hifz an-nasl); (4) keselamatan harta bendadan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran diluar prosedur hukum (hifz} al-mal); dan (5) keselamatan hak milik dan profesi (hifz al- aql)”.77
Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan pemerintahan dalam menjalankan kekuasaan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil terhadap semua warga masyarakat tanpa membedakan asal usul suku bangsa, agama, dan keturunan, sesuai dengan hak-hak kultural masing-masing. Hanya dengan kepastian hukum, suatu masyarakat bisa mengembangkan wawasan persamaan hak dan kesamaan derajad antara
76 Ibid
77 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia Tranformasi Nasional dan Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 4-5
sesama warganegara. Menurut Gus Dur, dengan kesamaan hak warga masyarakatdan perlakuan yang sama di depan hukum akan menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti yang sebenar-benarnya.
“Gus Dur menyatakan dalam bukunya bahwa, eratnya hubungan budaya dan agama. Sama eratnya dengan menyampaikan lagu-puja dalam qosidah dziba’iyah, yang dibawakan jutaan anak-anak muda NU setiap minggu. Ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam di negeri ini, antara lain lewat budaya, disampaikan secara damai tidak melalui jalan peperangan”.78
Difinisi diatas menjelaskan bahwa, menurut Gus Dur, penyebaran dakwah Islam tidak seharusnya menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan perdamayai dengan meperhatikan aspek sosial budaya yang berlaku pada msyarakat, seperti tradisi dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat.
“Hal kedua yang harus ditegakkannya adalah orientasi yang benar dalam pemerintah, termasuk orientasi ekonomi yang jelas. Jika segala macam kebijakan pemerintah, tindakan yang diambil dan peraturan-peraturan dibidang ekonomi yang selama ini sejak kemerdekaan kita, hampir seluruhnya mengacu kepada kemudahan prosedur dan pemberian pasilitas kepada usaha besar dan raksasa, yang berarti orientasi tidak memihak kepada kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM), maka sekarang sudah tiba saatnya untuk melakukan perubahan-perubahan dalam orientasi ekonomi kita.
Orientasi membangun UKM, dijalankan dengan penyediaan kredit yang berbunga sangat rendah sebagai modal pembentukan UKM terbaru. Yang terpenting, bangunan ekonomi yang dikembangkan, baik tatanan maupun orientasinya, sesuai dengan ajaran Islam, dan juga sesuai dengan ajaran-ajaran berbagai agama lain. Untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat, lalu sama posisinya dengan dibangunnya ekonomi makro yang mementingkan keadilan dan kemakmuran seluru bangsa”.79
78 Abdurrahman Wahid, “Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 42
79 Ibid, 162-163
Tujuan dari penjelasan diatas, demi tegaknya keadilan dalam bangunan ekonomi yang dikembangkan harus menyesuaikan dengan ajaran Islam dan ajaran-ajaran agama lain, akan meningkat dan pada akhirnya akam membawa kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
“Dakwah secara lisan (da’wah bi al-lisan), dakwah tertulis (da’wah bi al-qalam), dan dakwah dengan perbuatan atau tindakan (da’wah bi al-hal). Berdasarkankan tiga metode dakwah tersebut, maka metode dakwah bisa dijabarkan ke dalam metode-metode (1) ceramah, (2) diskusi, (3) konseling, (4) karya tulis, (5) pemberdayaan masyarakat, dan (6) metode kelembagaan.”80
Abdurrahman Wahid yang populer biasa dipanggil Gus Dur, dalam aktivitas dakwah yang dilakukannya, metode dakwah yang ia gunakan meliputi metode-metode sebagaimana yang diuraikan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa Gus Dur merupakan seorang da’i atau pendakwah telah menggunakan berbagai metode (multiple methode) untuk mendakwahkan Islam yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Ungkapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa Gus Dur selain aktif berceramah di berbagai even dan kesempatan, terutama ketika menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ yang setiap saat berkeliling ke daerah untuk memberikan tausiyah atau nasehat, wejangan kepada pengurus atau jamaah Nahdliyin.
Gus Dur dalam hal pemberdayaan masyarakat, yang dilakukan bersama anak-anak muda NU dengan mendirikan lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) ,Lembaga
80 Muhammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah, 358-382. Lihat juga Dzikron Abdullah, Metodologi Dakwah, 14-25; Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Penerbit Al- Ikhlas, t.t.), 105-124; Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 179.
Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAPESDAM), Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), dan eLSAD merupakan kerja nyata Gus Dur.
“Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi parawarga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap salang hormat menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar”.81
Pernyataan di atas memberikan jaminan keselamatan bagi pemeluk agama berdasarkan keyakinan masing-masing, untuk saling hormat-menghormati agar tidak terjadi konflik antar warga yang mengatasnamakan agama. Demikian halnya dengan jaminan akan keselamatan keyakinan agama. Bagi Gus Dur, seharusnya warga masyarakat melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling menghargai, menghormati keyakinan masing-masing, dan menghindari terjadinya sikap kedengkian, permusuhan dan kedzaliman terhadap kelompok minoritas sebagai akibat sempitnya pandangan dan semangat keagamaan yang berlebihan”. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan benturan keyakinan. Jika perbedaan keyakinan bisa ditoleril, tentu sikap tenggang rasa lebih diperkenankan dalam mengelola pandangan politik dan idiologi. Dari aspek ini, jelas Islam memiliki pandangan universal, yang berlaku bagi seluruh umat manusia.
“Menurut pandadangan Gus Dur, cara hidup yang baik bermula dari kesungguhan berpegang pada Islam sebagai suber nilai-nilai yang unik. Nilai-nilai tersebut dapat saja dikembangkan umat
81 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia Transpormasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 5
agama atau paham lain, namun sebagai sistem akan memiliki kekhasan sendiri, mau tidak mau kaum muslim harus memperhatikan dunia politik, yang akan melestarikan kekhasan Islam melalui kelestarian nilai-nilai dalam sebuah sistem sosial yang utuh”.82
Penjelasan diatas mengatakan bahwa, cara hidup tersebut bermula dari kesungguhan berpegang pada Islam sebagai sumber nilai-nilai yang unik, namun sebagai sistem akan memiliki kekhasan sendiri. Pemikiran politik Gus Dur mulai berkembang pada awal 1980-an yang bukan hanya disebabkan oleh faktor bacaan ilmu politiknya yang cukup luas, melainkan juga pergaulannya yang baik dan fleksibel dengan berbagai kalangan pejabat negara maupun para aktivis pergerakan. Kedekatannya dengan pemerintah dan kelompok-kelompok agama minoritas semakin menguatkan citra Gus Dur sebagai tokoh Islam yang paling akomodatif terhadap negara disamping menguatnya citra pluralisme dan humanisme yang menghantarkan Gus Dur mewacanakan akan pentingnya terselenggara kehidupan negara yang demokratis serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Islam dan Wacana Negara Salah satu persoalan krusial yang telah cukup lama memancing debat dan kontroversi baik di dalam literatur-literatur pemikiran keislaman sendiri maupun dalam kajian politik mengenai Islam dalam dinamika kekuasaan adalah yang berkaitan dengan hubungan antara agama dan politik. Paling tidak dalam isu politik Islam Indonesia terdapat dua kelompok, walaupun dalam kenyataannya nanti akan berkembang varian-varian yang beragam dan seringkali
82 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta, LKiS, 1999), 4
berlawanan. Dua kelompok itu adalah kelompok simbolik dan kelompok substantif.
“Jika negara mampu mewujudkan kemakmuran warganya pada taraf tertentu, maka hal itu suda dianggap menunaikan kewajiban menciptakan kesejahteraan, karena negara mampu melindingi para warganya dengan menjamin taraf kehidupan pada titik tertentu, misalnya, melalui asuransi sosial”.83
Tujuan Gus Dur dalam pandangan ini untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan, kalau ini berhasi diwujudkan oleh masyarakat Islam, berarti pula Islam telah berhasil mensejahterakan warga negara tampa menjadi sebuah sistem formal.
“Dalam menegakkan asas persamaan atau egalitarian principle yang memberi kredibilitas cukup besar dalam pandangan ini.
Karena dengan begitu, aspirasi perjuangannya memiliki dimensi moral yang kokoh dan pola sosialisasi yang manusiawi. Dalam perkembangannya, Gus Dur sendiri mengakui bahwa perjuangannya menegakkan HAM lebih ia kukuhkan dalam pengembalian hak-hak kelompok minoritas”.84
Bembelan terhadap HAM hanya mungkin melalui instrumen demokrasi. Meski Gus Dur adalah seorang muslim tulen, ia tek berkehendak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Ini bisa dilihat dari tiga dasar pemikirannya tentang agama. Pertama, keyakinan bahwa Islam harus secara kreatif dan substantive direnterpretasikan atau direformulasi demi merespon kehidupan modern. Kedua, keyakinan bahwa dalam konteks keindonesiaan, Islam tidak seharusnya menjadi agama negara.
83 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), 95
84Abdurrahman Wahid, Gus Dur Bertutur (Jakarta: Proaksi, 2005), 95.
Ketiga, Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokrasi dan pluralistik dari pada menjadi ideologo negara yang eksklusif.