• Tidak ada hasil yang ditemukan

CINTA EMAK

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 60-66)

50

Sebuah Suplemen Hati:

51

belakangnya. Dan ia memang mentariku, yang memerangkap rindu di kalbu.

Tahukah engkau bagaimana lembar hidupnya dibuka?

Tahukah engkau bagaimana kitab hidupnya ditutup? Kata- kataku hanya jejaring yang berlubang, yang hanya menangkap potongan-potongan yang besar. Sementara remah-remah mutiara yang ia tebar boleh lolos dari jerat jaring kekataku.

Tidak ada orang lain yang memperkenalkan kakiku pada lumpur di sawah, selain Emak. Tiada tangan yang menyentuhkan tanganku pada air embun, hanya tangan Emak.

Bukan, sama sekali bukan aku melupakan Ibuku jika aku berkata demikian. Ibuku punya episode epik lainnya. Saat ini hanya semata-mata tentang Emak. Yang telah pergi jasadnya, namun air mukanya abadi dalam sanubari.

Bagian hari-hari yang aku sukai adalah ketika Emak menuturkan masa lalunya. Zaman-zaman susah. Zaman penindasan dan kebringasan penjajah. Telingaku dengan khusyu’ mendengar Emak melahirkan kisah-kisahnya. Tentang kisah misteri, dimana dia pernah dihampiri seorang lelaki, menabraknya, lalu lelaki itu melaju ke dalam sungai. Maka tersebarlah kisah tentang buaya jadi-jadian yang terpikat pada Emakku kala masih belia.

Emak adalah wanita cerdas dari zamannya. Kala ia masih seorang murid di Sekolah Rakyat (SR), emak adalah primadona. Nilai ujian akhirnya nyaris sempurna. Sampai gulungan rambutnya memutih, masih segar dalam ingatannya tentang penyebab kenyarisan tersebut. 3,14. Itu adalah angka termashur phi dalam rumus lingkaran. Dan Emak salah dalam menempatkan komma-nya saja. Subhanallah…

Ia bahkan sempat dipamerkan di hadapan para gurunya bahwa Emak adalah siswa paling cerdas. Ia disalami dan diberi segumpalan kertas sebagai simbol penghargaan.

Aduhai, betapa sederhananya! Betapa terbatasnya! Zaman susah, tak patut bermewah-mewah. Atau, mungkin saja karena tak ada biaya dari pemerintah untuk sekedar hadiah kecil untuknya. Aku sedih, tapi Emak tetap Emak. Bahagia.

Sebab ia seorang wanita, potensi agungnya lantas dipasung oleh budaya kuno di keluarganya. Sepandai- pandainya anak perempuan, ujung-ujungnya ke dapur juga.

Emakpun menjadi pejuang di dapur, tempat asap-asap yang

52

mengepul. Tapi, Emak tetaplah mutiara. Ia tak lantas redup oleh jelaga tungku nan hitam. Ia tetap bersinar!

Rasakanlah, selepas kepergian suaminya ke keabadian, Emak tidak pasrah bongko’an – pasrah tanpa berusaha untuk lebih baik. Ia tegar berdiri di atas kakinya sendiri. Menjalankan bisnis tempe. Kala itu, seingatku Emaklah satu-satunya penjual tempe di desa. Ia menjajakan tempenya bersama kayuh sepeda onthel-nya. Tangannya terampil membuat tempe yang gurih. Dan aku selalu riang jika membantunya menggilas kedelai seusai direbus untuk menghilangkan kulit arinya.

Emak adalah tipe orang yang tidak bisa diam. Dia akan melakukan apa saja asalkan dunianya bergerak sedemikian hingga ia tidak menganggur. Meski anak dan cucunya sudah bernafkah berkecukupan, ya, Emak tetaplah Emak. Seorang nenek yang rajin merawat kebun, menjual buah-buahannya – ada Mangga, Kedondong, Pisang, dan lain sebagainya – membuat kue-kue tradisional, dan mencari kayu bakar! Meski kami sudah mempunyai kompor gas elpiji, sama sekali tak mengurangi kecintaannya memanfaatkan ranting-ranting kering dan bilah-bilah bambu di kebun. Aku akui bahwa Emak begitu menyatu dengan alam. Jika makan ia lebih suka memakai lembaran daun pisang sebagai piringnya. Air minumnya dari sumur tua turun temurun di samping rumah.

Airnya segar, jernih, dan tersentuh matahari. Kata Emak, air yang terkena sinar matahari itu lebih sehat. Entahlah…

Aku mencintainya, amat. Ia mencintaiku, lebih amat.

Cintanya, cinta mentari yang sinarnya tak diharap kembali.

Cintanya, sederhana. Cukup cinta saja. Harus kuceritakan episode ini. Emak suka menyimpan makanan, minuman, buah- buahan yang ia beli atau pemberian orang lain, dan diberikan khusus untukku. Ia menyimpan buah apel, lalu dengan bersemangat diberikannya buah itu untukku kala aku pulang dari kos di kota. “Aduhai, Emak! Itu buah yang biasa kumakan di kota.” Ia menyimpan roti tawar, lalu bersemangat membaginya denganku. “Emak, aku biasa makan roti yang lebih berkualitas dari ini.” Tapi Emak tetap Emak. Ia lebih memikirkanku dari apa yang pernah aku pikirkan tentangnya. Ibuku mengatakan bahwa Emak sering menangis jika di rumah banyak makanan sementara aku sedang berkelana menuntut ilmu, hidup di kos- kosan. Emak yang melantunkan namaku dalam kidung doanya

53

di sepertiga malam. Kesuksesanku mungkin buah dari cintanya yang panjang tak berujung. Dan cinta itu membuatku meledak dalam duka. Saat kepergiannya menjemput Tuhan, Sang Pemilik Cinta.

Kesadaran akan kebermaknaan kehadiran Emak dalam hidupku telah datang sempurna. Namun sayang, pembuktian dan tindak lanjut atas kesadaran itu hanya bertahan beberapa bulan. Betapa waktu yang amat singkat untuk kebaikan yang telah Emak sepuhkan pada dedaunan kehidupan yang aku tumbuhkan.

Semenjak aku telah mampu – dan kesadaran tadi telah membulat sempurna – pada diri ini, aku menghibahkan segenap waktu dan tenagaku untuk menunaikan apa yang menjadi hajatnya. Terutama di akhir minggu, aku meluangkan waktu untuknya, menjadi “tukang ojek” pribadinya, menjadi teman bicaranya – kami membincangkan saudara-saudaranya, masa lalunya, tentang rerumputan yang memenuhi jalan menuju ladang, tentang keheranannya pada pesawat-pesawat yang berlalu lalang. Jika kami menonton televisi bersama, maka aku dan keluarga lainnya harus siap-siap terlibat diskusi yang macam-macam . “Itu benua Asia ya? Papua itu pulau terbesar di Indonesia, kan? puncak Monas itu dari emas murni loh!” Dan mungkin tinggal aku saja yang setia meladeni pengetahuan dan rasa keingitahuan yang besar darinya.

Mungkin firasatku saja, bahwa keberartian dirinya semakin menguasai diri seiring dengan kekhawatiran akan kehilangannya. Perasaan ini membuat langkahku cepat-cepat menjadi seseorang yang berarti baginya. Dalam kadar yang aku bisa.

Di sebuah keberkahan hari raya, mata kami bersitatap dan kusadari bahwa Emak telah senja. Pada guratan di wajah dan tangannya, tersimpan epik yang telah ia tempuhi sejauh ini. Sementara aku masih demikian payah memaknai kisah hidupnya. Aku hanya bisa memeluk tubuh kurusnya.

Berkeliling kami ke rumah saudara-saudara kandung Emak yang masih hidup. Ada yang telah beranjak tuli, ada yang merasai kepikunan, ada yang demikian lemah menegakkan tubuhnya, ada yang masih bugar – dan itulah Emak.

Menemaninya bersua saudaranya dari rumah ke rumah seolah mengajakku menapaktilasi jalan hidup yang pernah

54

Emak lewati. Jengkal demi jengkal. Ingatannya masih sesegar embun.

Sekitar satu kilo dari rumah kami, melintang lurus rel kereta. Auman sang kuda besi masihlah bisa menyambangi pendengaran kami, meski derap lajunya tak terasa di tanah kami berpijak. Dan kereta Commuter-lah yang sering menjadi topik pembicaraan aku dan Emak - Emak suka salah menyebutnya dengan kereta Komputer, dan harus aku koreksi beberapa kali. Kereta yang cukup baru - kamu pasti tahu sendiri nilai patok 'baru' kereta di negeri ini seperti apa.

Akhirnya, ku ajak Emak mengadakan perjalanan ke Kebun Binatang Surabaya (KBS) bersama seorang sepupu dan keponakan yang masih kecil dengan naik kereta Commuter. Itu adalah kali pertama aku mengajaknya naik Commuter. Dan ternyata itu adalah perjalanan bersama terakhir dalam sejarah hidup kami. Pun demikian, apa yang aku lakukan untuknya bahagia adalah hal yang teramat sederhana. Mungkin sebagian besar kita bertanya retoris, 'apa istimewanya naik kereta? ke KBS pula?' Justru kebahagiaan pada hal-hal yang sederhana itulah kami mendapati keberkahan cinta.

Akhirnya, aku sampai pada episode ini...

Di shubuh yang dingin, Emak terkulai lemah di pembaringan. Kekata hanya hinggap di sesela kerongkongan saja. Meski demikian, ia masih bertanya-tanya semampunya,

“sudah waktunya sholat shubuhkah?” Subhanallah! Batinku sudah mulai tidak tenteram. Hatiku kebat-kebit bertutur, “Emak hari ini sakit, tapi ia pasti tak akan kenapa-kenapa!”

Hari itu adalah episode hidupku yang paling bodoh.

Bagaimana mungkin aku bisa masuk kerja, sementara Emak harus dikirim ke rumah sakit? Itulah kebodohanku. Sebab itu adalah hari terakhirnya menghela nafas dunia.

Dalam sebuah siang nan membakar, sebuah SMS masuk ke HPku. “ Chif, Emak sudah pulang….” Dadaku bergemetaran. Aku buang segala urusan pekerjaan. Aku harus pulang!

Jalanan yang kulalui kering menyengat, namun tidak demikian dengan pelupuk mataku yang basah berlinangan.

Itulah kali pertama aku menangis sesenggukan bersama laju motor di jalan raya. Aku tak peduli meski pandangan telah terburamkan oleh tangisan yang menderas. Aku harus segera sampai di rumah!

55

Keinginanku hanya satu, melihat wajah Emak untuk terakhir kalinya. Pintaku hanya satu, memeluk tubuh Emak untuk terakhir kalinya. Itu saja!

Tapi aku keliru!

Kedatanganku telah terlambat! Emak sudah dalam keranda beroda empat manusia. Ia siap di dekapan TanganNya. Air mataku jatuh berluncuran. Begitu cengengnya aku! Begitu bodohnya aku! Bahkan melihat wajah Emakku saja, sudah tak bisa. Hanya sesal yang menyesak-nyesak di dada.

Menyempitkan jalan nafasku.

Aku rindu wejangannya. Aku rindu pemberian roti tawarnya. Aku rindu cerewetnya. Aku rindu saat ia berkata,

“Manusia itu dari tanah dan akan kembali ke tanah.” Dan engkau kini telah kembali ke tanah, Emak.

Mungkin karena rindu dan cinta yang bertahta itu, Allah memperlihatkan wajah Emak di dalam mimpiku. Subhanallah, ia berpakaian putih bersih. Wajahnya muda berseri. Air mukanya cerah, terpahat senyum bahagia. Insya Allah itu curahan CintaNya padamu, Emak. Yang tak ada sepertiga malam, kecuali engkau telah berdiri di masjid desa. Bersama merdu senandung ayat-ayatNya. Bersama syahdu untaian doa- doanya.

Emak, aku rindu padamu! Semoga Allah mempertemukan kita lagi dalam mimbar-mimbar indah dari cahayaNya. Cahaya yang mengukir cinta...

... yang tersisa darimu adalah segala yang tersisa dariku hanyalah do'a...

... semoga barakah walau cinta kita, sederhana saja...

56

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 60-66)

Dokumen terkait