• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Pernikahan sampai Perjalanan Tak Terduga ke Tanah Suci

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 47-54)

37

Cahaya kesembilan:

38

mengarus-utamakan harapan positif dalam menanti terbukanya pintu-pintu misterius dalam hidupnya.

Barangkali kita pernah bertanya, “Mengapa harus ada misteri di dalam kehidupan kita?”. Ah, ya! Perlu dicatat bahwa misteri tak serta merta mengarah kepada “dunia lain” yang menyeramkan. Misteri adalah keterhijaban. Belum bermandikan cahaya benderang. Masih tenggelam dalam samudera kegelapan. Nah, kembali pada pertanyaan yang membuka paragraf ini, jawaban saya sederhana saja. Adanya misteri itu adalah untuk mengajari manusia tentang berpengharapan yang baik-baik dalam keadaan sulit atau yang nampak tidak mungkin sekalipun. Adanya misteri adalah untuk megnhindarkan jiwa dari berleha-leha karena telah tahu sebuah hasil sebelum Tuhan menyibak tirai hitam yang menyelimuti keputusanNya. Dan, misteri itu ada agar hidup kita lebih “berasa” kala titah-titah Tuhan muncul secara seketika. Tak terduga. Sama ketika ada hantu tersenyum dan menyapa Anda secara tiba-tiba. Bagaimana rasanya? Lebih “berasa”, bukan?

Hehehe...

Dalam tulisan kali ini, saya ingin membagi peristiwa pecahnya salah satu bola misteri di kehidupan saya. Ia datang tergesa. Lalu memapah langkah pada sebuah perjalanan tak terduga. Tak terencana.

Kami datang kepadaMu...

Kami datang kepadaMu...

Kami datang kepadaMu...

Kami datang kepadaMu...

Apakah engkau pernah bertanya kepada seseorang, atau setidaknya sekadar mendengar sambil lalu sebuah pertanyaan klasik yang ditujukan kepada seseorang yang berdaya, “Kapan engkau ke Baitullah?”

Kepada orang yang belum menguratkan azzam-nya untuk ke tanah yang diberkahi tersebut, jawaban klasik adalah balasan yang kerap dilayangkan dengan mantap. “Belum dipanggil Allah nih”, demikian kiranya rangkuman keraguan yang menimpa ruang kesungguhan yang sejatinya perlu diinisiasi dan dilecutkan. Sebuah alibi yang paling aman untuk sebuah penolakan yang membahayakan keimanan. Padahal kewajiban ke tanah suci sudah dilencanakan di pundak kaum berpunya dan berdaya, jika kemudian kaum itu belum

“dipanggil” atau sengaja menghindar dengan gaya klasikal, bukankah ada lembar-lembar iman yang rapuh dimamah rayap-rayap nakal?

39

Saya tidak hendak memarahi sesiapa, tidak pula menyudut-pojokkan orang-orang yang belum “dipanggil”

olehNya untuk bertamu di “kotak hitam” kebanggaan umat.

Saya sedang berharap agar kisah yang akan saya bagi ini merupa sebentuk percik api yang menyulut bara. Atau riak-riak kecil yang mengundang gelombang raksasa. Sejumput semangat untuk menuju RumahNya.

Semenjak Ramadhan 1432 H / 2011 M, saya secara tidak sengaja mencadai kawan dengan keinginan sekelebat saya untuk melakukan umroh. Dalam berbagai diskusi dan balas membalas komentar, saya sering menyisipkan keinginan saya untuk berangkat umroh. Seringnya masih dalam taraf pelengkap canda, semisal, “Tolong bantuin saya membuat artikel tentang Ramadhan ya, nanti saya bayar pake tiket umroh.

Okay! :DDD”. Tidak lupa saya menaruh emoticon sebagai pemanis “bualan” kala itu. Hehe... Dan, hal demikian berlangsung sampai kemudian candaan itu menunai penguatan niat di beberapa bulan menjelang Ramadhan 1433 H / 2012 M.

Perlu saya utarakan juga, bahwa saya masih mempunyai seorang ibu yang kondisi kesehatannya sedang tidak baik dalam setahun belakangan ini. Bahkan ibu sempat dirawat inap dua kali di rumah sakit swasta karena hipertensi.

Semenjak pulang, ibu sering mengeluhkan tulang pinggul dan pahanya. Seperti ada duri di dalam tulang yang menusuk- nusuk terlebih ketika sholat. Dan, sedihnya, ibu sebenarnya sudah sekian lama merasakan sakit “tambahan” ini sejak lama.

Dipendamnya keluhan itu. Dijadikannya sekadar sakit saja.

Akhirnya ada seseorang yang menyarankan agar ibu mengkonsumsi susu kalsium untuk mencegah osteoporosis. Ya, tidak lama saya pikir, pilihan pun jatuh pada sebuah susu kalsium yang mencolek niat saya dulu untuk berangkat umroh.

Susu ini sedang mempromokan paket hadiah Umroh Ramadhan 1433 H. Maka saya pun menjadi rajin membelikan susu ini untuk ibu. Alhamdulillah, rasa yang menukik di dalam tulang pinggul dan paha ibu berangsur-angsur menguar.

Segala puji bagi Dia Yang Maha Menyembuhkan.

Kotak-kotak kemasan susu kalsium yang saya beli tersebut, tak semuanya berujung di kotak sampah. Saya potong dan ambil bagian yang tertera barcode di atasnya. Ah, kau tahu? Itu semua saya lakukan untuk mengikuti promo Umroh

40

Ramadhan yang diadakan oleh produsen susu kalsium itu.

Saya katakan pada ibu, “Bu, saya mau kirim kemasan susu ini.

Siapa tahu nanti saya mendapat undian umroh-nya? Kalo menang kan lumayan bisa berangkat berdua. Hehe...”

Penyampaian saya itupun berbalas senyum yang menenangkan dari ibu. Entah, antara yakin dan tidak saya bakalan menang nantinya. Toh, dengan rajinnya saya membeli susu kalsium ini, kesehatan ibu menjadi lebih baik sehingga sekiranya nanti tidak mendapat hadiah umroh, saya mendapat hadiah kesehatan ibu.

Saya telah mengirim dua amplop berisi potongan kemasan yang ber-barcode ke alamat undian itu. Setiap amplop berisi dua potong barcode. Sambil terus menyenandungkan harapan, menyeringkan doa, dan ketawakkalan, hari dan bulan mengalun seirama pergantian siang dan malam.

“Ya, Allah! Hamba yang lemah dan penuh dosa ini ingin menuju RumahMu yang mulia. Maka perkenankanlah hamba berteduh disana walau sebentar saja...”

Di bibir bulan Juni 2012, saya mendapat kabar – mungkin lebih tepatnya tawaran – bahwa ada proposal pernikahan yang barangkali sesuai dengan kriteria yang saya harapkan. Ohya, sebagai info penting [atau tidak penting ya? ☺] saya telah sekian bulan menanti jodoh. Telah beberapa

“proposal” yang singgah di ruang baca saya, namun dengan alasan satu dan sekian hal [alasan ini klasikal banget kan? ☺] proses menuju ke jenjang yang lebih serius pun terhenti. Diam.

Dan saya saat itu telah di tepian jurang. Sekiranya angin meniup jiwa ke perut jurang, tidak akan pernah saya membencinya. Jiwa telah berserah diri sepenuhnya pada Sang Penguasa Angin. Dia pasti membawa jiwa saya pada lereng berlabuh yang sudah Ia tentukan sekehendakNya.

Istikhoroh ditegakkan. Hati telah dikokohkan. Pilihan telah jatuh kemudian. Siap! Saya lanjutkan!

Namun, dari pihak calon istri meminta agar pernikahannya dilaksanakan secepatnya. Sesegera saja. Tak perlu yang wah dan mewah-mewah. Akad nikah dengan niat yang suci lebih utama. Kembali, segera saja! Sebab tiga minggu lagi calon istri ingin umroh bersama suami barunya. Secepat itukah?

41

Segala yang di sekeliling berpusar cepat. Adrenalin menghentak-hentak jantung. Permulaan tidur bukan kantuk lagi, namun pikiran-pikiran tentang bagaimana saya bisa menaklukkan waktu yang terbatas. Mengkondisikan keluarga yang perasaannya seperti gunung yang diguncangkan – terutama ibu, kondisinya sempat menurun memikirkan pernikahan yang begitu menggesa jiwa. Namun, Allah telah membuka kanal-kanal mata air untuk saya menuju muara pernikahan nan indah.

Permasalahan tidak berhenti di titik ini. Bagaimana dengan biaya umrohnya? Saya harus merogoh dalam-dalam kantong celana. Ups, sepertinya tidak cukup untuk biaya umroh berdua. Bagaimana ini? Saya telah menyanggupi permintaan calon istri untuk umroh bersama. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Sekiranya undian umroh itu segera diumumkan, hamba teramat sangat ingin menjadi salah satu pemenangnya. Sehingga hamba tidak terkendala belitan dana.

Oh, Allah... Sesungguhnya jika Engkau berkehendak, maka tiada sesuatu pun yang kuasa menghadang KemauanMu. PadaMu, hamba menyerahkan segala urusan...

Lantas sebuah pemberitaan dari pihak calon istri datang menghampiri. Menukar segala gundah. Menawar segala galau. Menikam bimbang yang membelukar bersemayam. Lalu cahaya mulai semburat menyibak tirai malam.

“Umroh ini adalah hadiah untuk pernikahan kalian...”

Subhanallah...

Entah bagaimana saya harus menuliskan keterkejutan ini? Hanya sedikit saja kekata yang sanggup mewakili syukurnya hati. Sementara gumpalan-gumpalan rasa memenuhi rongga dada kanan kiri. Semula kosong, seketika penuh terisi. Maka nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustai?

Selalu ada jalan ke Baitullah. Tidak melihat seberapa miskin dan kaya hartanya. Biar tua, biar pun muda. Entah jauh, entah pula dekat. Allah yang akan mengatur bulatnya niat.

Meski hampir mustahil karena kemampuan yang tinggal sekerat. Kembalilah pada Allah, yang menggenggam seisi dunia sekaligus akhirat. Pada kasus saya ini, siapa yang menyangka jika calon mertua begitu berbaik hati menghadiahkan umroh untuk calon menantunya yang ia kenal dalam pertemuan yang demikian singkat?

42

Sebelumnya jalan menuju Baitullah masihlah di kolong misteri. Tak sesiapa mampu menduga bagaimana ia bermula dan diakhiri. Tak jua diri ini yang tak sempurna berdikari. Namun bermunculan tangan-tangan tak terlihat, berdatangan kesana kemari. Menyalakan lilin-lilin kecil dalam gelapnya perjalanan tanpa rembulan dan matari. Allah selalu mendengar dendang niatmu, kawan. Cukup kau meliatkannya, mengupayakan semampunya, dan menaruh hasilnya di kotak penampungan doa. Allah akan menuntunmu pada niat mulia dengan penyampaian terbaikNya – yang bisa jadi tak terduga-duga.

Potongan-potongan hari kita sesungguhnya dipenuhi misteri. Membuka banyak pilihan yang kadang tak pasti.

Namun janganlah menyikapi ini dengan apatisme dan kemalasan tak berdalih. Sungguh, misteri itu juga bagian dari ujian Ilahi. Bukankah meyakini hal yang ghaib, yang masih misteri, adalah bagian dari paket iman Islami?

Justru dalam keterhijaban itu, kita memiliki banyak pilihan untuk meyakinkan diri bahwa apa-apa yang akan terjadi pada kita nanti semuanya kebaikan. Kita hanya perlu berbaik sangka kepada segala keputusan Tuhan. Dan Allah sesungguhnya menuruti apa yang seorang hamba prasangkakan. Sehingga, berprasangka baik adalah pilihan terbaik untuk meraup sebanyak-banyak karunia Tuhan.

Kita perlu meneladani kisah Sultan Al-Manshur Saifudin Qawalun dan ayahandanya. Sebait sejarah kecil yang begitu memesona. Ayahnya yang semula seorang budak, suatu masa mampu menjadi orang merdeka dengan menebus dirinya sendiri. Dengan dana sendiri yang ia kumpulkan dari arus keringatnya yang tak henti-henti. Pun, setelah dua tahun istrinya menyempurnakan masa penyusuan bayinya, sang ayah harus merelakan kematian istri yang amat dicintai. Sang ayah harus mendidik dan membesarkan putranya sendiri. Ia menyemangati putranya agar tegar di jalan Ilahi. Syahid adalah cita tertinggi. Mereka banyak mengalami kisah senang dan sedih. Namun apa yang mereka utarakan selalu senada sevisi.

Ketika mereka mampu membeli kuda perang terbaik dari tabungan mereka bertahun-tahun, mereka berkata, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah.” Begitupun ketika suatu ketika kuda mereka hilang, mereka seiya sekata menggumamkan kalimat penyerahan diri yang begitu dewasa. Para tetangga merasa

43

prihatin dengan kejadian sedih itu. Selang beberapa hari, kuda itu kembali pulang ke empunya. Ia datang dengan gagahnya, lebih-lebih bahwa ia datang tak sendirian. Ia kembali bersama beberapa kuda liar yang kini berkerumun membersamai kuda anak-beranak itu. Subhanallah... Tetangganya terpasung takjub pada apa yang mereka persaksikan. Qawalun dan ayahnya, kembali berujar, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.” Demikian kalimat sederhana ini mereka sampaikan dalam menghadapi berbagai peristiwa yang masih misterius dalam kehidupan mereka. Sampai akhirnya sang anak menjadi seorang Sultan dan mereka meraih puncak tertinggi sebuah perjuangan.

Syahid fii sabilillah.

Kita memang tidak tahu kesejatian di dalam kamar- kamar misteri kehidupan kita. Yang sejati hanyalah bahwa Allah mengiringi prasangka hambaNya. Sehingga tidak ada alasan kita untuk menyikapi misteri hidup dengan berburuk sangka.

Menikam rahasia Tuhan dengan tuduhan salah. Tapi, hendaklah kita mengiringkan pengharapan yang baik pada setiap hal yang belum mewujud terang. Mengisahi misteri dengan keyakinan akan kebaikan. Dan membiarkan Tuhan menjatuhkan keputusan terbaik untuk setiap apa yang kita niatkan.

*******

44

Cahaya kesepuluh:

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 47-54)

Dokumen terkait