• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdera di Bibir Senja

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 41-47)

31

Cahaya kedelapan:

32

jam saja. Berharap sepanjang perjalanan akan lempeng- lempeng saja. Tak ada aral merintang yang serius.

Angkot mulai melaju setelah sekian lama ngetem menanti sebuah anggukan calon-calon penumpang yang diteriaki oleh sang kernet. Malasnya, sang kernet kadang kurang sensitif dalam mengenali siapa-siapa orang di tepian jalan yang hendak naik angkot. Sehingga, tidak jarang penumpang yang sudah lama “i’tikaf” di dalam angkot yang gerah terang-terangan mengadu dan saling curhat tentang kelambanan sang kernet.

Angkot tersebut sebenarnya adalah mobil Elf yang idealnya berkapasitas 12 orang, sudah termasuk sopir. Namun, untuk mendapatkan untung yang lebih, maka sopir dan kernetnya bisa membengkakkan kapasitas hingga dua puluh orang. Kalau angkot penuh ada enak dan tidaknya. Tidak enaknya yang pasti wilayah tempat menaruh pantat kita menyempit, bahkan kaki-kaki harus dilipat rapat. Lebih parah lagi jika ada penumpang dengan ukuran jumbo dengan kadar kenekatan yang spektakuler mengisi bangku tengah. Selain menyesakkan duduk penumpang lain, penumpang “super”

tersebut bisa memicu kemacetan internal, yang menyumbat arus penumpang yang hendak naik-turun. Sementara enaknya jika penumpang penuh adalah angkot melaju dengan lebih cepat, sopir tidak toleh kanan-kiri, tapi khusyuk menjalankan mobilnya ke depan seperti dipakaikan kacamata kuda.

Dalam angkot yang saya naiki ini, ada lima blok kursi penumpang. Yang ada di samping pak sopir berkapasitas dua orang – kalau dipaksa lagi bisa muat tiga orang. Bayangkan saja! Di bagian body-nya, ada empat blok yang masing-masing mampu menampung empat orang. Kali ini, saya mendapat singgasana di blok ketiga dari depan. Lumayan tidak terlalu sempit, mengingat tidak banyak “manusia jumbo” di samping saya.

Beberapa ratus meter dari tempat semula saya mempercayakan perjalanan saya, suasananya sesuai dengan yang saya harapkan. Lempeng-lempeng saja. Namun, kemudian suasana menjadi riuh rendah, heboh, ramai, dan miris.

Hal ini berawal dari sopir yang memberhentikan mobilnya, lalu kernetnya menaikkan seorang nenek yang sudah amat tua. Wajahnya keriput dengan selempang

33

kerudung bemotif bunga-bunga di kepalanya. Ia mengenakan jarik sebagai bawahannya. Sekilas nampak noda-noda keabuan di pakaiannya. Sepertinya jamur yang membentuk pola bulat-bulat. Suaranya patah-patah dan lemah. Jalannya pelan bagai mengejar siput. Bahkan untuk naik ke mobil harus dibantu oleh sang kernet dan beberapa penumpang yang kebagian tempat duduk di dekat pintu masuk. Dan, hiruk pikuk mulailah bertepuk-tepuk.

Suasana segar pagi hari itu menjadi demikian memburuk. Nenek tersebut naik ke mobil dengan menguarkan aroma yang semriwing sampai bikin penumpang lain pusing.

Jelas bukan wangi, tapi bau yang memuakkan. Baunya super duper enek. Orang Jawa biasanya mengkategorikan bau ini sebagai bau lebus yang berasal dari pakaian kotor yang ditumpuk dan telah berhari-hari tak pernah dicuci.

Sang nenek diminta oleh kernet untuk duduk di blok kedua, namun ia memaksa untuk duduk di blok ketiga dimana saya sedari awal menguasainya. Ah, pastilah saya mengalah, menyerahkan singgasana saya tanpa perlawanan apa-apa.

Saya pun berpindah ke kursi di blok kedua. Namun, hal ini sama sekali tak memperbaiki suasana.

Seluruh penumpang meramai. Merutuki kenaikan sang nenek tersebut. Seorang penumpang di blok dua akhirnya keluar mobil dan berpindah ke kursi di samping sopir yang kebetulan masih kosong. Sang nenek seperti tidak merasa bahwa dirinya sedang menjadi amuk perasaan massa.

Mungkin karena dia sudah demikian senja sehingga kurang awas lagi dengan sekitarnya.

Baru beberapa meter angkot melaju, gelombang aspirasi massa penumpang kian tak terbendung. Hampir semua mufakat untuk melakukan impeachment kepada nenek tersebut.

“ Ayo! Turunkan nenek ini!”

“Aduh! Baunya ga nahaaaan… huweekk…” Saya sendiri seolah berada di kedalaman laut pantai selatan. Susah bernapas karena sengaja tidak bernapas lepas biar bau lebus itu tidak membelai indera penciuman. Seorang ibu-ibu paruh baya sudah mulai membalur-balurkan minyak angin aroma terapi yang berbentuk roll on. Apakah berpengaruh? Tentu tidak! Lebus itu telah membekap seluruh hawa, bahkan aroma terapi pun tak digdaya. Oh, apakah kami masih bisa bernapas

34

lega sampai di tempat tujuan kalau nenek ini masih di dalam kendaraan?

Akhirnya, sopir memberhentikan kendaraan. Sang kernet meminta nenek itu untuk turun. Namun, sang nenek meronta. Sang kernet membujuk-bujuknya. Namun, tetap saja sang nenek kukuh menduduki kursinya. Dan, kejadian miris pun terjadi.

Sang kernet yang telah kehabisan kesabaran menarik- narik paksa tangan sang nenek. Insan senja itu seakan pesakitan yang harus segera disingkirkan. Tangan layu itu harus melawan tangan kekar seorang kernet. Entah tindakan sang kernet itu sebuah heroisme ataukah sadisme. Heroisme bagi mayoritas penumpang, dan sadisme bagi sang nenek seorang.

Yang pasti, ia tak akan sanggup jika seluruh penumpang lainnya turun dan kabur meninggalkan angkotnya – ia pasti rugi – demi seorang nenek yang baunya amat amit-amit.

Saya sebenarnya tak tega menyaksikan peristiwa memprihatinkan ini di depan mata. Hanya saja saya pun tak kuasa untuk menghentikannya. Seorang nenek meronta-ronta agar dibiarkan saja berperjalanan di angkot yang sama.

Sampai sang nenek telah mendarat di tanah, saya mengibainya. Masya Allah, jalanan ini keras sekali.

Kendaraan kami kembali menyusuri jalan, meninggalkan nenek itu yang seperti kebingungan. Meski sudah beberapa menit kendaraan melaju, aroma nenek tersebut seolah menjadi warisan bagi penumpang lainnya.

Wah, hebat juga ya “parfumnya!”

Sembari menanti kembalinya angin segar pagi hari, seorang ibu menuturkan bahwa nenek tersebut sudah pikun.

Anak-anaknya sudah mengingatkan agar sang nenek itu tidak kemana-mana. Namun nyatanya, dia masih bisa berkeluyuran tanpa tujuan yang jelas. Dan hanya satu hal yang jelas; baunya minta ampun!

Ya, pikun. Penyakit yang sering menjangkiti para insan senja. Sebuah kondisi yang menunjukkan gejala penurunan fungsi otak manusia. Banyak insan senja yang harus merasainya. Membuat hampir seluruh keluarganya kerepotan dibuatnya. Bahkan tak sedikit akhirnya insan senja ini

“disekolahkan” di Panti Werda. Sebuah play ground bagi segenap insan senja yang bersiap menjemput seruan maghrib.

35

Setiap fase kehidupan memang mempunyai tantangannya sendiri-sendiri. Anak-anak ditantang untuk menemukan dan mempelajari berbagai cara hidup seorang manusia. Remaja ditantang untuk menemukan jati dirinya.

Orang dewasa ditantang untuk mengharmonikan berbagai dinamika hidup sehingga ada kebaikan bagi keluarga dan orang di sekitarnya. Sementara kaum yang telah renta, ditantang untuk mempersiapkan pertemuan dengan tanah yang akan menidurkannya.

Insan senja sering mengalami dilema. Antara keegoannya untuk tetap membersamai anak-anaknya dan kenyataan bahwa pada akhirnya mereka memang harus rela berpisah. Seperti pembicaraan saya dengan seorang nenek juga di kesempatan lainnya. Tepat di bulan puasa berbilang tahunan lalu. Ia sendirian pulang kampung dari pasar Pucang di Surabaya. Kami naik angkot yang sama. Bersisianlah kita.

Ternyata kita menuju tempat tujuan yang sama. Sehingga sepanjang perjalanan ia pun berkisah-kisah.

Tahukah kamu apa yang dilakukannya di pasar Pucang? Ia berdagang sayur mayur. Dimana tepatnya ia tinggal? Yup, di atas lapak jualannya! Itu sekaligus rumahnya.

Tahu sendirilah kalian bagaimana kondisi pasar tradisional.

Kumuh, kotor, banyak tikus dan kecoa. Ya, keadaan yang kurang beruntunglah yang membuat wanita renta itu harus sehari-hari tidur dan berjaga disana. Sendiri saja!

Ia tiada canggung bercerita tentang keluarganya yang membuat rasa prihatin. Anak-anak yang mereka besarkan dari buaian kini telah terbuai dengan hidupnya sendiri hingga sang nenek berada di sisi dunia yang lain. Terasing. Sesekali ia merutuki kerasnya kehidupan yang harus ia jalani.

Menghembuskan kekesalan yang menyesak. Di pahatan kerut wajahnya, tersimpan kekecewaan yang mendalam. Entah siapa yang salah hingga mereka harus berbalur luka senja.

Alasan utama kepulangannya adalah karena dia merasa sakit beberapa hari. Tidak ada yang tahu sakit apa yang menderanya. Renta sudah tak nyana membuatnya kalah. Dia masih berusaha untuk berpuasa. Dia tidak sahur dengan nasi.

Seringnya malah dengan air saja. Jika sahur dia kurang berminat untuk makan nasi. Kaca-kaca perasaan saya semakin mengembun. Tidak tahulah kapan ia terkondensasi lantas menjadi rintik yang terpilu.

36

Ah, ternyata senja pun tak hanya melempar lembayung. Ada warna-warni yang menyelainya. Mungkin tak selalu melengkungkan segaris pelangi. Hanya noktah kecil yang bersembunyi di sebalik kaki langit. Lalu hitam menjadikannya penikmat malam.

37

Cahaya kesembilan:

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 41-47)

Dokumen terkait