• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengasah Mata Batin

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 32-36)

arangkali terserak di pelataran nalar kita tentang apa pentingnya interaksi bagi kehidupan. Sesungguhnya interaksi tersebut adalah bagian besar dari kehidupan.

Seorang insan hanya akan berakhir pada dirinya sendiri jika hidup secara soliter. Dan besar kemungkinan ia tidak bertahan lama di kehidupan ini. Seandainya pun ia bertahan demikian lama, maka ketika kita seret kepada ladang jiwa, mungkin tidak sekaya insan lainnya yang ramai-ramai berinteraksi di luar sana.

Bagi kawan-kawan yang hendak memperkaya jiwa, memperluas interaksi bolehlah menjadi salah satu cara. Saran yang lebih spesifik dari saya adalah cobalah untuk bepergian dengan naik angkot. Dari kendaraan roda empat yang sederhana ini – untuk tidak mengatakan kurang layak – saya sesekali telah mendapat pengayaan jiwa. Berikut salah satu kisahnya.

“Kuliah dimana, mas?”

“Oh, saya sudah bekerja, bu.” Seorang ibu di kursi pojok belakang menanyai saya sembari meluruskan rambutnya dengan sisir – ah, inilah salah satu kelebihan para wanita, bisa berdandan dimana saja, dan dunia memafhumkannya. Dan pertanyaannya mengingatkan saya pada pertanyaan umum kesekian kali yang menilai bahwa saya masih seolah anak kuliahan.

“Kerja dimana?” Percakapan pun mengalir beriringan dengan deru angkot yang kami tumpangi. Sesekali tangan- tangan menghalau asap putih yang mencoba mendaratkan belaiannya di dahi. Menjepit hidung – meski tak mungkin bertambah mancung.

B

23

Sang ibu, entah kenapa, bersemangat bertutur tentang kehidupannya. Padahal saya tiada kenal sebelumnya, pun tiada pernah menyentuh kisah pribadinya. Namun, kisahnya terlahir demikian bertenaga seolah air bah yang menjebol dinding danau yang tenang semula. Saya seolah sehamparan sajadah yang dipakai para pengeluh atas tangis dan peluh duka.

Dia adalah seorang wanita yang cukup tegas pembawaannya. Mungkin karena sejak kecil sudah harus mempekerjakan dirinya demi sepotong hidupnya yang sederhana. Sekolah, bekerja, lalu hiduplah. Bapaknya telah tiada sudah lama, dan ibunya pun lantas menyusul kepergiannya. Di usia dua puluh lima tahun – ia menanyai umur saya, dan lantas membandingkannya dengan umurnya ketika menikah – ia tinggal seatap dengan seorang pria yang menjadi suaminya. Orang Jawa Tengah. Dari sini, kisahnya semakin menghangat, membuat saya terlibat dalam tanya dan jawab.

“Mulanya saja, dia orang yang ramah, santun… Tapi setelah menikah? Huh!” Nada yang dinyanyikannya merambat mulai emosional. Dan sampailah dia pada kesimpulan bahwa lelaki Jawa Tengah itu kasar – yang bagi saya semua itu hanya belaian di telinga, tak berarti asumsi kuat apalagi aksiomatis.

Pernikahannya tersebut menghasilkan seorang putra.

Ia dibesarkan oleh keluarga sang bapak. Akalku terpancing untuk menanyakan, “ Maaf ya bu, jika boleh tahu, dimana peran suami ibu?” yang kemudian berbalas kata, “Cerai!”

Ya, Tuhan… Sebenarnya saya tidak berniat untuk terseret lebih jauh ke dalam pusaran kerumitan rumah tangganya. Saya sekedar memperjelas apa yang mengusik logika saya terhadap kehidupan suami-istri yang idealnya terikat oleh urat-urat kebersamaan.

Barangkali tiga perempat perjalanan kami dipenuhi dengan ‘curhat’ yang emosional itu. Sama sekali tak saya sangkakan bahwa perjalanan hidupnya dipercayakan kepada saya untuk dibagi. Mungkin saya bisa menangkap apa yang diinginkannya saat ini.

Iya, sebuah pekerjaan!

Dia telah sekian lama hidup sebatang kara. Suami tiada di sisi, anak diambil keluarga si mantan suami. Ibu-

24

bapaknya telah di alam baka. Hanya adiknya yang seorang buruh borongan tinggal bersamanya.

Bersemangat ia menceritakan riwayat pekerjaannya, tentang apa yang dia bisa, tentang kemampuan komputernya, tentang ketaksanggupannya berkomunikasi dengan orang Madura – yang karena perbedaan bahasa ia resign dari pekerjaan sebelumnya, tentang kerja kerasnya, tentang ketaksukaannya jika libur kerja – ia berharap setiap hari adalah hari kerja. Seolah-olah ia sedang menghadapi sebuah wawancara kerja – yang hal ini semakin menguatkan betapa butuhnya ia akan sebuah pekerjaan. Ia pun meminta kepada saya andai-andai saya punya lowongan kerja baginya.

Saya kala itu merasa heran juga, mengapa dipilihnya menjadi ‘pangkalan curhat’ secara tak terduga. Tiba-tiba.

Kepada saya ia menceritakan tentang roman yang sedang dirasainya. Bahwa ada seorang duda yang mengingininya, namun sebab ketakjelasan niat dan rencana dari lelaki itu, sang ibu lebih memilih melupakannya saja. Ia pun pernah akan dikenalkan pada seorang pria oleh kawannya, dan kembali lagi berujung pada ketakjelasan. Dari suaranya, sepertinya ia telah demikian lelah menanggung derita hidup dan romantika kaum marjinal. Kisah ini telah menarik-narik rasa keingintahuan penumpang yang lain, terlebih ibu tersebut bertutur dengan suara yang lantang!

Saya tidak banyak berkata kecuali hanya anggukan – yang tak selalu berarti ‘iya’. Sudah sering saya menjadi tempat curhat oleh orang-orang yang lebih tua, baik ibu-ibu atau bapak-bapak – yang pastilah lebih rumit urusannya. Yang mana persoalan cinta menjadi masalah yang menduduki posisi teratas. Saya mengakui bahwa saya masih sekedar ‘tempat menaruh sebagian luka’ tanpa saya sediakan penawar yang memadai. Kebiasaan orang yang curhat adalah bukan mencari solusi serta merta, namun sekedar membagi gumpalan di batinnya yang bergemerutuk. Menjadi pendengar yang baik saya kira adalah pilihan terbaik, dengan jawaban-jawaban yang singkat sekedarnya. Pada kondisi yang lebih tenang, mereka akan menemukan cahaya yang sesungguhnya telah ada di sanubari masing-masing.

Pembicaraan itu harus berakhir di depan halaman sebuah pusat perkantoran dimana saya bekerja. Saya turun angkot tanpa memperhatikan air mukanya telah seperti apa.

25

Saya hanya berharap semoga Allah akan mengurai kekusutan hidupnya, melapangkan dadanya, menyembuhkan hatinya yang telah tertusuk duri durja.

Batin saya kembali terasah. Bahwa membekali hidup dengan kekayaan jiwa adalah laksana mengaliri sungai panjang dengan mata air yang hadir dari berbagai tempat.

Tempat yang mungkin tak terfikirkan. Meluaskan interaksi berarti menambah mata air – mata air yang akan menggenangi samudera jiwa – hingga kemarau tak mudah

mengeringkannya. Semoga demikian…

*****

26

Cahaya ketujuh:

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 32-36)

Dokumen terkait