• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relativitas Emosi

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 36-41)

26

Cahaya ketujuh:

27

Jika dua terminologi tersebut disandingkan, maka jadilah relativitas emosi. Bahwa nilai rasa terhadap satu kejadian yang sama bisa demikian berbeda, relativitas emosi adalah pengalaman yang lumrah. Lazim. Ada di sekitar kita.

Bahkan melekat di alam bawah sadar kita.

Suatu kali, pagi-pagi, saya melajukan motor bebek saya. Cukup kencang menuju tempat kerja sebab kali itu waktu pemberangkatan saya saja yang lebih benderang dari biasanya. Bersama angin yang menabrak-nabrak jaket hitam saya, tiba-tiba terbersitlah memori masa lalu, kala kayuhan sepeda menaklukkan kenyamanan pagi dan keterikan siang.

Pada rute jalan yang kebetulan sama.

Ketika saya masih berseragam putih biru, sehari-hari saya harus menempuh sekitar 5 kilometer perjalanan untuk menjangkau sekolah SMP saya. Jika dihitung pulang-pergi, maka jarak yang saya tempuh bisa dua kali lipatnya. Cukup jauh. Apalagi jika jarak tersebut harus ditapak sejengkal- sejengkal dengan kayuhan sepeda onthel – atau disebut

‘sepeda’ saja biar ringkas. Bila ‘diperparah’ lagi, bolehlah saya tambahkan suasana yang panas membakar, dan kadang hujan menderas. Belum lagi dengan mobil-mobil besar yang serakah memakan badan jalan, bahkan hingga ke tepian, membuat penunggang sepeda (biker) kehilangan lahan perjalanan. Sesekali pun ban sepeda saya harus menggilas kerikil dan tanah berlumpur di kanan kiri jalan aspal.

Hampir tiga tahun, rutinitas itu terlewati. Rasanya, ya mengalir begitu saja. Tanpa keluhan berarti. Tanpa pikiran yang rumit membelit. Tanpa pertimbangan terpaparnya kulit saat mentari menyengat menggigit. Tanpa ragu menembus belantara hujan yang menghunuskan jarum-jarum air dari langit. Dan semua itu menjadi persoalan yang mungkin menelan banyak pertimbangan sebelum benar-benar berani melakukannya lagi. Mengulanginya lagi.

Perasaan kini merasa begitu jauhnya jarak antara tempat bernaung saya dengan tempat saya mereguk ilmu-ilmu SMP yang dialir-percikkan dulu. Secara matematis, jarak itu tidak berubah. Namun secara rasa, secara emosi, jarak itu memanjang berkali-kali. Dan inilah salah satu kisah teramat sederhana yang menguatkan adanya relativitas emosi.

Salah seorang psikolog, yang kebetulan kenalan baik saya, pernah menyatakan bahwa kondisi sosio-ekonomi

28

seseorang mampu membuat relativitas emosi. Para bangsawan akan merasa amat tersiksa seandainya harus berjubelan di pasar tradisional yang amat konvensional.

Sementara kaum proletar cuek bebek saja menikmatinya.

Celoteh para pedagang yang mati-matian mematok harga barangnya dan para pembeli yang merayu-rayu sang pedagang agar harga barang mampu dipinang kantong tipisnya tak ubahnya nyanyian sinden terkemuka di altar keraton. Tas berbanderol seratus ribu hanya sekedar benda lewat di depan mata tanpa ada lirikan yang terpaut di mata kaum berpunya. Tas-tas produksi luar negeri yang berjuta-juta bahkan berpuluh-puluh juta justru liar mencatut hasratnya.

Yang jauh tidak demikian bagi kaum tak berpunya. Barang yang sama, kondisi yang sama, ‘perasaannya’ berbeda.

Saya dulu tak memikirkan hal yang macam-macam untuk bersepeda pulang pergi ke sekolah. Namun kini, di atas kendara motor, rasanya wegah sekali bila menempuh jarak ke sekolah itu dengan bersepeda. Entah nanti jika saya dikaruniai mobil. Apalagi yang mungkin saya rasa. Padahal dulu rasanya nyaman-nyaman saja bersepeda.

Pulang sekolah berpanas-panas ria, memunggungi mentari yang berkobar gerah. Lantas singgah sejenak di sebuah warung kecil yang menjual es setrup dan gethuk yang berwarna-warni. Wah, rasanya begitu nikmat kala itu. Atau ke penjual gorengan dan es tape di pinggir jalan. Segarnya begitu menagihkan. Dulu.

Kini, emosi telah berbeda. Sebisa mungkin jangan terpapar mentari sebab sinar UV A dan UV B bisa merusak jaringan kulit. Kurangi minum es setrup, “Ada sakarinnya!”

Jangan makan gethuk warna-warni, “Ada rhodamin B-nya!” Tak perlu lagi jajan di pinggir jalan, “Banyak debu dan kuman yang berterbangan dan mungkin menempel di makanan itu!” Kini, pertimbangan-pertimbangan analistik-logik mendominasi apa saja keputusan yang akan saya buat. Relativitas emosi telah benar-benar saya alami. Mungkin Anda juga!

Namun, apakah relativitas emosi ini adalah hal yang buruk? Tentu tidak. Ini hanya bagian dari respon perasaan kita terhadap sebuah kondisi yang amat mungkin berseberangan dengan perasaan orang lain. Censor dan processsor rasa itulah yang menimbulkan ekspresi berbeda. Kedua piranti itu amat erat kaitannya dengan pengalaman, pengetahuan, watak

29

(di komponen komputer bisa disebut motherboard), sosio- ekonomi, dan lain sebagainya.

Noktah yang perlu kita perhatikan terkait relativitas emosi ini adalah sejauh mana berkah yang mampu tertangkap oleh sensor rasa kita. Lantas menangkarnya dalam kotak processor rasa yang kita punya. Bagaimana kondisi tertentu bisa bermakna kebaikan yang bertambah. Sebagaimana makna ‘berkah’ yaitu kebaikan yang bertumbuh dan berkembang, begitulah seharusnya kita mengasah rasa agar adanya relativitas emosi ini menjadi hikmah.

Nenek saya dulu sempat mengatakan bahwa di zamannya dulu, bau yang dikeluarkan oleh nasi saja sudah sedemikian menggoda dan nikmat. Sewaktu zaman penjajahan dulu memang tidaklah mudah mendapatkan segenggam nasi. Apalagi ikan, ayam, maupun daging sapi.

Makan nasi saja telah menyeruakkan kebahagiaan di relung hati. Maka bagaimanakah jika kita saat ini hanya disuguhi nasi tanpa lauk, sayur, kerupuk, sambal, dan aneka aksesoris lainnya? Tidakkah kita merasa bahwa ada sesuatu yang hilang?

Iya, mungkin itu adalah berkah yang hilang.

Perjalanan saya kali itu telah mempertemukan saya dengan relativitas emosi. Sementara relativitas emosi ini mengantarkan saya pada perbincangan batin tentang rasa dan berkah. Mungkin saja hal besar yang kita miliki atau lakukan hanya akan dirasai sebagai hal kecil bagi orang lain. Dan demikian sebaliknya. Keberkahan menyebabkan kebaikan yang tak seberapa membunga-buah kebaikan tak terkira. Kualitasnya menguar, meluas, melebar, melampaui bentang batas kuantitasnya.

Sebagaimana dalam sebuah hadits Nabi saw. yang menggambarkan sebuah potret keberkahan, nanti di akhir zaman.

“Akan diperintahkan (oleh Allah) kepada bumi:

tumbuhkanlah buah-buahanmu, dan kembalikan keberkahanmu, maka pada masa itu, sekelompok orang akan merasa cukup (menjadi kenyang) dengan memakan satu buah delima, dan mereka dapat berteduh dibawah kulitnya. Dan air susu diberkahi, sampai-sampai sekali peras seekor onta dapat mencukupi banyak orang, dan sekali peras susu seekor sapi dapat mencukupi manusia satu kabilah, dan sekali peras, susu

30

seekor domba dapat mencukupi satu cabang kabilah.” (Riwayat Imam Muslim).

Hadits tersebut meneguhkan bahwa berkah adalah kualitas kebaikan yang melampaui kuantitasnya. Jika kita sulamkan dengan hukum relativitas emosi, maka semoga kebaikan kita yang kerdil menjelma raksasa. Seremah serasa sebongkah. Jauh terasa begitu dekat. Yang sederhana terasa luar biasa.

31

Cahaya kedelapan:

Dalam dokumen E-book Sang Pemetik Cahaya (Halaman 36-41)

Dokumen terkait