PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF DI SDN PASAR LAMA 3 BANJARMASIN
E. Daftar Pustaka
Amin, Moh. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Astati. (2001). Persiapan Pekerjaan Penyandang Tunagrahita. Bandung : CV. Pendawa.
Astati. (2002). Mengenal Anak Tunagrahita dan Pendidikannya (makalah pengayaan). Jakarta : Depdiknas.
Astati dan Lis Mulyati. (2010). Pendidikan Anak Tunagrahita. Cetakan Pertama. Bandung: CV. Catur Karya Mandiri.
Depdiknas. (2011). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kirk dan Gallegher. (1986). Educating Exceptional Chilldren.
Dialihbahasakan oleh Moh. Amin dan I.G. Kusumah. DNIKS. Jakarta Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Soendari, T & Euis Nani M. (2010).
Asesmen Dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Cetakan Pertama. Bandung: CV. Catur Karya Mandiri.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Mengaitkan Inisiatif SDGs (Sustainable Development Goals) dengan Sheltered Workshops Berbasis Desa: Difabel Berdaya di Era Kekinian
Dwitya Sobat Ady Dharma Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Tulisan ini merupakan respon positif terhadap diberlakukannya SDGs (Sustainable Development Goals) di awal tahun 2016. Ide penulisan ini diawali dengan semangat kebaruan dalam mengkaitkan inisiatif SDGs dengan sheltered workshops untuk penyandang disabilitas.
Merespon tentang inisiatif tersebut, penyandang disabilitas sebagai salah satu unsur di masyarakat juga merupakan elemen penunjang keberhasilan SDGs dalam level daerah. Salah satu keniscayaan yang menjadi harapan, penyandang harus berdaya, memiliki daya saing, berpengetahuan, dan dapat menerapkan keseimbangan hidup sesuai dengan nilai-nilai SDGs yang terbingkai dalam sheltered workshops berbasis masyarakat. tulisan ini berisi sumbang saran mewujudkan sheltered workshops berwawasan SDGs sebagai ajang promosi mewujudkan kesejahteraan difabel di tingkat desa.
Kata kunci: SDGs (Sustainable Development Goals), Sheltered Workshops, Difabel
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
A. Pendahuluan
SDGs merupakan semangat baru yang sangat strategis untuk dapat mengangkat kesejahteraan difabel karena berfokus pada pengembangan manusia yang dimulai dari level terkecil yaitu pemerintah daerah.
Keberhasilan tujuan pembangunan berkelanjutan ini tidak dapat dipisahkan dari peranan penting pemerintah daerah karena lebih dekat dengan warga, memiliki wewenang, dana, dan dapat melakukan berbagia inovasi yang diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan daerah. Tujuan ini semakin memberi harapan bagi difabel karena ada banyak tujuan yang memfokuskan diri bagi pengembangan kaum marjinal yang saling berkolaborasi, misalnya saja pengentasan kemiskinan, pendidikan yang merata dan berkualitas, pengentasan kelaparan, maupun pembangunan ekonomi, industri dan infrastruktur. Harapan akan kesejahteraan yang semakin mapan ini adalah wajar terjadi namun akan menjadi impian belaka jikalau tidak disambut dengan aksi nyata.
Dari pengalaman era MDGs (2000–
2015), Indonesia belum berhasil mengangkat kesejahteraan difabel dikarenakan pemerintah daerah tidak aktif dalam pelaksanaan MDGs.1 Melihat kenyataan, usaha-usaha yang dilakukan oleh pegiat difabel dalam memandirikan dan meningkatkan daya saing difabel dihadang oleh kendala besar. Pemerintah daerah dan LSM masih berjalan sendiri- sendiri, adanya kesenjangan yang belum teratasi, kurangnya kepedulian masyarakat, dan minimnya partisipasi difabel dari
1 Hoelman, dkk. (2015). Panduan SDGs untuk Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan Pemangku Kepentingan Daerah. Jakarta: Infid. H. 9
2 UNDP Indonesia. (2015). Konvergensi Agenda Pembangunan Nawa Cita, RPJMN, dan SDGs.
Jakarta: UNDP Indonesia. H. 4.
3 Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota yang menunjukkan derajat partisipasi masyarakat di tingkat musrembang selalu tinggi, namun melemah
berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana publikasi BPS2, penduduk terkaya mengambil lebih dari 48% total presentase pengeluaran rumah tangga, sementara 40%
penduduk termiskin hanya 17%. Ini merupakan suatu perubahan signifikan dari posisi pada awal reformasi yang disebutkan di atas yakni 45% bagi kelompok kaya dan 19% dari kelompok miskin. Lebih jauh lagi, secara spasial tiga pulau paling dinamis (Sumatera, Jawa, dan Bali) mengambil 83%
keseluruhan PDRB pada tahun 2014.
Selain tingginya ketimpangan, problem partisipasi juga menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program pembangunan. Penyebabnya ruang partisipasi yang dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu. Satu-satunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui pemerintah hanyalah forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang).
Sekilas forum ini cukup partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk mengusulkan program/kegiatan sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik dan saran masyarakat akhirnya diamputasi ketika proses penganggaran memasuki internal elit karena di dalam forum tersebut semuanya sudah bersifat tertutup sehingga tidak bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung.3 Data yang diperoleh, tingkat partisipasi difabel dalam dunia kerja pun rendah. Berdasarkan penelitian LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada akhir 2016, estimasi jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 12,15%
ketika memasuki tahapan lebih tinggi. Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Index and Local Budget Study 2010-2011.
Dikutip dari Sucipto, yeni (2013). Akuntabilitas dan Partisipasi Salah Satu Kegagalan Target MDGs, Rendahnya Derajat Transparansi. Diunduh dari http://yennysucipto.blogspot.co.id/2013/01/oleh- yenny-sucipto-menyoal-berbagai.html pada tanggal 8 Juni 2017.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
dari populasi atau hampir 30 juta jiwa. Dari 30 juta tersebut, hanya 51,12% penyandang disabilitas yang berpartisipasi dalam pasar kerja. Jumlah tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan pekerja non-difabel yang mencapai 70,40%. Bahkan hanya 20,27% penyandang disabilitas kategori berat yang bekerja.4
Merespon fakta-fakta di atas, penyelenggara pendidikan bagi penyandang disabilitas mulai memperkenalkan batu loncatan yang membantu siswanya untuk lebih terbiasa dengan dunia kerja yang secara istilah disebut sheltered workshops (bengkel kerja terlindung). Sheltered workshops ini merupakan harapan baru bagi difabel, namun pengembangan yang dilakukan oleh banyak institusi masih memiliki banyak tantangan. Salah satu kendala yang sering terjadi adalah minimnya ragam mata pencaharian dan tidak adanya keberlanjutan sehingga apa yang dilatih dalam bengkel kerja tidak laku di masyarakat. Bagi lembaga yang belum melaksanakan jejaring atau menindaklanjuti vokasional yang disediakan lembaga, kadang-kadang berimplikasi kurang relevansinya antara keterampilan yang dipelajari oleh lembaga dengan kegiatan yang dilakukan setelah menjadi alumni (Mumpuniarti, 2014: 98)5. Hal ini akan berdampak banyak perusahaan yang hanya mau menerima pegawai normal secara fisik karena menganggap penyandang disabilitas kurang mendukung tercapainya target secara finansial. Dengan stigma negatif tersebut, penyandang disabilitas akan kesulitan dalam
4 Data dilansir dari Haniy, Sakinah Ummu (2016).
Mengapa Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Bursa Kerja Minim? Diunduh dari http://www.rappler.com/indonesia/berita/155758- sebab-solusi-partisipasi-penyandang-disabilitas- tenaga-kerja pada tanggal 9 Juni 2017.
5 Mumpuniarti, dkk (2014). Efektivitas Program Pasca Sekolah bagi Kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Luar Biasa UNY.
Volume 1, No. 2. Desember 2014.
berpartisipasi aktif sehingga menimbulkan masalah secara sosial dan personal seperti perasaan tidak berdaya dan tidak berharga di masyarakat.
Sheltered workshops berwawasan SDGs menjadi penting dilakukan karena memiliki berbagai karakteristik yang dapat menjembatani antara dunia kerja dengan program-program vokasi yang dilakukan di sekolah-sekolah dan memiliki paradigma keberlanjutan. Sheltered workshops ini mempunyai karakteristik yang bersesuaian dengan layanan transisi yang dikemukakan oleh Individuals with Disabilities Act (IDEA)6, bersifat global, dan bersifat saling mendukung pada nilai-nilai SDGs sehingga keberhasilan bisa lebih mudah diraih. SDGs ini memiliki 17 point, yaitu (1) menghapus kemiskinan, (2) mengakhiri kelaparan, (3) kesehatan dan kesejahteraan, (4) kualitas pendidikan yang baik, (5) kesetaraan gender, (6) air bersih dan sanitasi, (7) akses ke energi yang terjangkau, (8) pertumbuhan ekonomi, (9) inovasi dan infrastrukstur, (10) mengurangi ketimpangan, (11) pembangunan berkelanjutan, (12) konsumsi dan produksi berkelanjutan, (13) mencegah dampak perubahan iklim, (14) menjaga sumber daya laut, (15) menjaga ekosistem darat, (16) perdamaian dan keadilan, dan (17) revitalisasi kemitraan global (Infid, 2015). Meskipun terdiri dari 17 point, tetapi pada dasarnya SDGs terbagi menjadi tiga pilar utama, yaitu pembangunan manusia, pembangunan ekonomi sosial, dan pembangunan lingkungan.
6 Best practice transitions services correlate with enhanced community living outcomes. Layanan itu meliputi (1) pengetahuan tentang hubungan filosofi pendidikan dan pilihan hidup yang tersedia, (2) perkembangan dari kemampuan self-determination, (3) ketersediaan partisipasi masyarakat dan keterampilan membangunnya, (4) fleksibel, komprehensif, dan hubungan natar lembaga yang mendukung layanan.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
Tuntutan di era kekinian yang menuntut difabel berdaya merupakan sebuah keharusan. Difabel sebagai salah satu bagian dari masyarakat juga mendapatkan tanggung jawab untuk ikut serta menyukseskan SDGs dalam lingkup global yang dimulai dari ranah desa.
Penyandang disabilitas sangat membutuhkan ruang untuk berdaya, berkarya, dan berkreasi sehingga dapat lebih prestatif di era kekinian. Tulisan ini berupaya menjabarkan sumbang saran mewujudkan sheltered workshops berwawasan SDGs untuk mempromosikan kesejahteraan difabel yang berkelanjutan.
B. Difabel Berdaya di Era Kekinian