PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF DI SDN PASAR LAMA 3 BANJARMASIN
B. Difabel Berdaya di Era Kekinian 1. Memahami Makna Disabilitas
3. Langkah Strategis yang Partisipatif
Spirit UU No. 6 tahun 2014 tentang desa, terutama yang disebutkan pada pasal 3 tentang asas partisipasi dan kesetaraan dalam
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
pembangunan desa, menjadi sebuah momentum pemerintah desa untuk membuka akses seluas-luasnya bagi seluruh kelompok untuk terlibat dalam merumuskan kebijakan pembangunan desa (Syaifudin, 2017: 123). Pemerintah desa juga harus merespon perkembangan jumlah penyandang disabilitas yang semakin tahun semakin banyak dan parahnya disabilitas merupakan salah satu pihak yang rentan dalam pertumbuhan ekonomi. Banyaknya penyandang disabilitas yang kurang mampu bersaing di era kekinian ini lebih disebabkan karena permasalahan struktural yang ada di lingkungan. Perlu adanya langkah strategis yang berpusat pada desa yang dapat dilakukan untuk memperluas akses penyandang disabilitas agar berdaya.
Langkah pemecahan strategis dapat dilakukan dengan menyentuh tiga dimensi, yaitu secara individual, kultural, dan struktural.
Secara individual, dapat dilakukan dengan pemahaman akan kekuatan diri, kelemahan diri, dan tantangan dengan cara pelatihan dan pendekatan personal. Pelatihan dikatakan kontekstual dengan penyandang disabilitas apabila sesuai dengan karakteristiknya.
Penerapan pendekatan personal dilakukan dengan cara mengaitkan konten training dengan situasi dunia nyata untuk membuat hubungan antara pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari. Proses memahamkan makna konten yang dipelajari dengan cara menghubungkannya dengan
33 Sri Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. h.16.
konteks kehidupan dan lingkungan sekitarnya.
Training ini akan dibuat menjadi kegiatan yang menyenangkan, yang dapat membuat penyandang disabilitas berpikir logis dan mampu mengeluarkan ide-idenya dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Tutor harus mampu mengembangkan organisasi instruksional termasuk di dalamnya kemampuan menyelidiki sumber belajar dan seleksi untuk penerapan instruksional, di samping penguasaan konten. Konten yang diajarkan dapat berupa pendidikan kewirausahaan yang berisi kumpulan pengetahuan yang terkait dengan upaya pemahaman diri bahwa setiap orang harus berkreasi, berdaya, dan bermakna bagi diri sendiri dan lingkungan.
Dalam konteks kultural, eksistensi penyandang disabilitas yang semakin tenggelam dalam program kerja tidak hanya dilihat semata-mata dari keadaan penyandang disabilitas itu sendiri.
Kondisi penyandang disabilitas yang semakin terpuruk ini justru lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Tanpa disadari masyarakat cenderung memandang difabel dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial yang terkait partisipasi dan penerimaan sosial menjadi tidak terpenuhi. Meyerson (1980) dalam Sri Moerdiani (1995:
16) menyebutkan bahwa kelainan sering dipandang dari ketidakmampuan (disability) dan merupakan akibat dari suatu yang ditentukan masyarakat.33 Padahal,
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
difabel yang menjalani proses sosial terpisah dengan masyarakat akan mengalami ketidakseimbangan yang dapat dilihat dalam kegagalannya memenuhi kebutuhan secara fisiologis, psikologis maupun sosial. Oleh karena itu, memperluas akses aktualisasi prestasi penyandang disabilitas hal yang mutlak dilakukan.
Dalam dimensi struktural, masyarakat harus aktif dalam advokasi kebijakan publik yang tidak berpihak pada penyandang tunanetra. Apalagi permasalahan kecacatan kini tak lagi dipandang dalam dimensi kesehatan, namun lebih ditekankan pada dimensi sosial. Hal ini diperjelas dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Keputusan Mensos Nomor 82/HUK/2005 tentang Tugas dan Tata Kerja Departemen Sosial yang menyatakan bahwa titik tekan penanganan permasalahan disabilitas di Indonesia diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI. Akibatnya, program- program yang bersifat pemberdayaan menjadi menarik untuk dikembangkan, seperti pemulihan ekonomi, pembangunan sarana umum yang aksesibel bagi penyandang disabiltas, maupun rapat kebijakan publik yang merangkul semua untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan.
konsekuensinya, keterlibatan penyandang tunanetra dalam sektor pembangunan publik bukan hanya sebagai penerima pasif dari manfaat pembangunan melainkan sebagai pelaku aktif dari pembangunan.
Implementasi UU Desa yang diharapkan mampu mempercepat terwujudnya pembangunan desa
yang inklusif dan berkeadilan bagi kelompok penyandang disabilitas, perlu dirumuskan langkah-langkah strategis yang perlu dibangun secara sinergis, yaitu (1) memastikan proses atau siklus pembangunan desa harus melibatkan difabel, (2) memastikan adanya program dan anggaran bagi difabel di desa baik secara inklusif dan khusus, (3) mendorong keterwakilan difabel di ruang publik (RT, RW, BPD, Perangkat Desa), (4) keterlibatan kelompok difabel dalam mengontrol pembangunan, (5) mewujudkan layanan publik yang aksesibel bagi difabel di tingkat desa baik fisik dan non-fisik, (6) mendorong kesadaran kritis difabel di tingkat basis melalui organisasi atau kumpulan, (7) mendorong keterlibatan organisasi difabel dalam melakukan advokasi, edukasi, dan pendampingan di tingkat basis (Syaifudin, 2017:
126).
Rekomendasi ini
menggambarkan wacana yang holistik sehingga dapat menyelesaikan persoalan secara utuh dan mendasar. Harapan dari semua ini adalah terciptanya situasi sosial yang tak lagi memandang penyandang disabilitas dari ketidaberdayaannya. Oleh karena itu adalah keniscayaan bagi kita untuk menggandeng seluruh elemen masyarakat dalam proses membangun tatanan yang lebih baik karena hasil terbaik selalu dari hasil kerja kolektif.
D. Kesimpulan
Untuk dapat menciptakan sheltered workshops berwawasan SDGs, diperlukan pemahaman tentang keberlanjutan, pemahaman tentang
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
keadaan penyandang disabilitas, dan sinergi dari berbagai elemen. Sheltered workshops yang dirancang dengan nuansa SDGs akan memberikan dampak positif bagi penyandang disabilitas, seperti kesejahteraan yang berkelanjutan. Implementasi sheltered workshops dapat dilakukan dengan menentukan langkah strategis yang menyentuh tiga dimensi, yaitu secara individual, kultural, dan struktural.
Sheltered workshops berwawasan SDGs ini merupakan salah satu inisiatif yang menarik sehingga diharapkan penyandang disabilitas dapat berdaya dan dapat menjadi salah satu faktor yang ikut menyukseskan keberhasilan SDGs selama 15 tahun ke depan.
. Daftar Pustaka
Buku, Jurnal, Penelitian, dan Majalah Abdullah, Amin. (2010). Perguruan Tinggi
Agama (PTAI) dan Difabel (Different Ability). Suka News Edisi VII No. 32/
Maret-April.
Antonio, Muhammad Syafii. (2009).
Muhammad Saw The Super Leader Super Manager. Jakarta: Tazkia Publising
Arifin, Ferdi. (2014). Ajaran Moral Resi Bisma dalam Pewayangan. Jantra Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 9, nomor 2, Desember 2014. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Bahar, Syamsuddin. (2016). Sheltered Workshop di Surakarta. Publikasi Ilmiah Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Daming, Saharudin. (2016). Komparasi Nilai Penguatan Hak Penyandang Disabilitas dalam Lex Posterior dan Lege Priori. Jurnal HAM Vol. XIII.
Tahun 2016.
Dharma, Dwitya Sobat Ady.
(2015).Pendidikan Pra-Vokasional yang Berkelanjutan untuk Kemandirian Difabel di Era
Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Anthology Permitha: Galeri Essay Mahasiswa Indonesia di Thailand, Desember 2015.
Dikdasmen Depdiknas. (2003). Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003.
Dirjen Pendidikan Luar Biasa. (2009).
Informasi Pendidikan Inklusi.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
. (2008).
Program Direktorat Pembinaan SLB Tahun 2008 Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Hermanto. (2010). Revitalisasi Peran Lembaga Pendidikan dalam Mewujudkan Hak Difabel. Makalah disampaikan dalam Diskusi Publik Bertemakan “Menggugat Perspektif
’Normalisme’ dan Keadilan bagi Difabel” tanggal 8 April 2010.
Hoelman, dkk. (2015). Panduan SDGs untuk Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan Pemangku Kepentingan Daerah. Jakarta: Infid.
Kutesa, Sam K (2015). Dokumen Hasil Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Jakarta: Infid
Majalah Komunitas. (2010). Menggugat Perpektif Normalisme dan Keadilan bagi Difabel. Volume II No. 1-April 2010.
Muhammad, Jamila. (2008). Special Education for Special Children.
Jakarta: Penerbit Hikmah.
Moerdiani, Sri. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Mumpuniarti, dkk. (2014). Efektifitas Program Pasca Sekolah bagi Kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Luar Biasa Universitas
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
Negeri Malang Volume 1 Nomor 2 Desember 2014.
Mustafa, Asy-Syaikh Fuhaim. (2004).
Manhaj Pendidikan Anak Muslim.
Jakarta: Mustaqim.
Rispler, Vardit. (2010). Disabilitas Dalam Hukum Islam (Disability in Islamic Laws). Israel: The University of Haifa.
Saputro, Sulistyo dkk. (2015). Analisis Kebijakan Pemberdayaan dan Perlindungan Sosial Penyandang Disabilitas. Jakarta: Deputi Bidang Kooordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial.
Suparno. (2009). Pengembangan Keteranilan Vokasional Produktif bagi Penyandang Tunarungu Pasca Sekolah melalui Model Sheltered Workshop Berbasis Masyarakat.
Jurnal Pendidikan Khusus Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta vol 5 no 2 November 2009.
Sutarto (2014). Critical Issues and Challanges of Vocational Education Quality Development in Indonesia.
Makalah disampaikan pada International Congress for School Effectiveness and Improvement (ICSEI). Yogyakarta, 2-7 Januari 2014.
Susetiawan. (2010). Kesejahteraan Masyarakat yang Terpasung:
Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi
Neoloberalisme. Jurnal Inovasi, Edisi Khusus Muktamar Satu Abad Muhammadiyah.
Syaifudin, Muhammad. (2015).
Implementasi Undang-Undang Desa dan Hak Difabel. Solo: PPRBM.
Thohari, Slamet (2007). Menimbang Difabelisme sebagai kritik Sosial.
Mozaik Jurnal Ilmu Humaniora Vol 2 No 2 Desember 2007.
Tobroni, Faiq. (2015). Urgensi Proses Peradilan Afirmatif bagi Perempuan Difabel Korban Pemerkosaan. Jurnal Yudisial vol. 8 no. 3 Desember 2015.
Tjahcoyo, Bambang (2017). Manejemen Pelatihan Vokasional bagi
Penyandang Disabilitas Daksa.
Jurnal Manajemen dan Supervisi Pendidikan Volume 2, no 1 Maret 2017.
UNDP . (2015). Konvergensi Agenda Pembangunan Nawa Cita, RPJMN, dan SDGs. Jakarta: UNDP Indonesia Widiarto, Nova. (2007) Paradigma Baru
Pendidikan Luar Biasa, makalah dalam seminar Seminar Nasional dalam rangka memperingati Hari Penyandang Cacat Internasional dengan tema “Pendidikan Khusus vs Pendidikan Layanan Khusus.”
Tanggal 8 Desember 2007.
Internet
Abdullah, Asrul. (2013). Ibnu Mas’ud Rujukan Penghapal Al-Qur’an Pemilik Kaki Terberat. Diakses dari http://mirajnews.com/2013/11/ibnu- mas-ud-rujukan-penghapal-al-qur- an-pemilik-kaki-terberat.html pada tanggal 8 Januari 2016.
Haniy, Sakinah Ummu (2016). Mengapa Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Bursa Kerja Minim? Diunduh dari
http://www.rappler.com/indonesia/be rita/155758-sebab-solusi-partisipasi- penyandang-disabilitas-tenaga-kerja pada tanggal 9 Juni 2017.
Hermawan, Febri. (2012). Semar dalam Misi Agama Islam : Wayang Kulit dalam perspektif Religi. Diakses di https://febrihermawan.wordpress.co
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
m/2012/10/30/semar-dalam-misi- agama-islam-wayang-kulit-dalam- perspektif-religi/ tanggal 8 Januari 2016.
Kementrian Pendidikan Nasional. (2009).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia No 70 tahun
2009. Diunduh dari
http://www.kopertis12.or.id/wp- content/uploads/2013/07/Permen- No.-70-2009-tentang-pendidiian- inklusif-memiliki-kelainan-
kecerdasan.pdf pada tanggal 7 Januari 2017.
Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M. Julaibib Radhiallahuanhu (Ia Memilih Jihad dan Syahid). Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, diakses dari https://almanhaj.or.id/3797- julaibib-radhiyallahu-anhu-ia- memilih-berjihad-dan-merindukan- syahid.html. pada tanggal 2 Januari 2016.
Republika Online. (2006). Peradaban Islam Pelopor Sistem Penulisan bagi Tunanetra.
http://www.republika.co.id/berita/en siklopedia-
islam/khazanah/08/10/06/7328- peradaban-islam-pelopor-sistem- penulisan-bagi-tunanetra. diunduh tanggal 6 Januari 2016.
Sucipto, Yeni (2013). Akuntabilitas dan Partisipasi Salah Satu Kegagalan Target MDGs, Rendahnya Derajat Transparansi. Diunduh dari http://yennysucipto.blogspot.co.id/20 13/01/oleh-yenny-sucipto-menyoal- berbagai.html pada tanggal 8 Juni 2017.
UNGC (2015). SDG Compass The Guide for Business Action on the SDGs.
Diunduh dari
http://sdgcompass.org/wp
content/uploads/2015/12/019104_SD G_Compass_Guide_2015.pdf pada tanggal 12 Juni 2017.
PERLINDUNGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Isti Rusdiyani
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan Serang Banten
Email: [email protected]
ABSTRACT
Children with special needs are children who are experiencing limitations or extraordinary, whether physical, mental, intellectual, social or emotional that is in the process of growth or development with other children of his age.
Problems that often occur in children with special needs that relate to various issues including: Children with special needs in government policy, Convention on the Rights of Persons with Disabilities , Socio-Cultural, Legal Protection for children with special needs and education for children with special needs.
In social life they have the same rights as other children. But there are still often differences in the treatment of children with special needs. While the government has arranged matters relating to children with special needs in the form of legislation, to accommodate children with special needs, but not yet implemented properly, then reinforcement is needed for protection from many things among others through Parents, Society and Government.
Keywords: Protection, Children with Special Needs
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 65
PENDAHULUAN
Anak adalah amanah dari Allah SWT yang darus dijaga dan diperlakukan dengan sebaik mungkin. Anak merupakan generasi penerus keluarga, penerus bangsa dan penerus peradaban.Anak juga merupakan harapan bagi orang tua, sehingga orang tua diharapkan dapat mempersiapakan anaknya sebaik mungkin untuk masa depannya. Kata-kata bijak harapan orang tua adalah We may not be able to prepare the future for our children, but we can at least prepare our children for the future (Franklin D. Roosevelf). Kita mungkin tidak dapat menyiapkan masa depan untuk anak kita, tetapi setidaknya kita bisa menyiapkan anak kita untuk masa depan.
Saat ini, pembangunan SDM di Indonesia memiliki hambatan yang sangat mendasar, antara lain sekitar 10% anak usia dini mengalami stunting (keterhambatan), mengalami disabilitas fisik dan disabilitas intelektual, dan adanya anak-anak yang mengalami hambatan tumbuh kembang karena hambatan fisik, mental, motorik, dan sensoris. Anak berkebutuhan khusus tersebut dinilai masih rentan mendapatkan kekerasan dan perlakuan yang salah, karena itu, penanganan anak berkebutuhan khusus memerlukan keberpihakan kultural dan struktural dari berbagai pihak baik
orangtua, masyarakat, dan pemerintah.
Kalau tidak dipecahkan bersama, hambatan-hambatan tersebut akan menimbulkan masalah pengembangan Sumber Daya Manusia, oleh sebab itu anak usia dini harus sedini mungkin mendapatkan layanan pendidikan dan perlindungan yang memadahi.
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental intelektual, sosial maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusianya (Pranawati, Rita, 2015). Anak Berkebutuhan Khusus disebut sebagai anak penyandang Disabilitas.
Berdasarkan dari data yang terhimpun dari berbagai sumber dinyatakan bahwa: (1) 15% dari penduduk dunia adalah penyandang disabilitas; (2) Penyandang disabilitas lebih rentan terhadapkemiskinan; (3) penyandang disabilitas perempuan lebih rentan dibanding laki-laki: (4) Penyandang disabilitas sering terkucil dari pendidikan, pelatihan kejuruan dan peluang kerja: (5) lebih dari 90% anak disabilitas di negara
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 66
berkembang tidak bersekolah (Pranawati, Rita, 2015).
Adapun yang tegolong Anak berkebutuhan Khusus dibagi dalam beberapatipeKebutuhan Khusus antara lain:
1. Tunanetra
Menurut Kaufman & Hallahan (1986) yang dimaksud tunanetra adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan
2. Tunarungu
Suatu keadaan individu-individu yang pendengarannya cacat dan kalau mengutarakan buah pikiran atau pendapat dengan bicara atau bunyi lain menyesuaikan dengan frekuensi dan intensitasnya (Moores,1991 dalam Kaufman &
Hallahan, 2006) 3. Tunagrahita
Dalam bahasa inggris anak tunagrahita disebut mentally retarded atau mentally retardation adalah ketidakmampuan memecahkan persoalan disebabkan kecerdasan kurang berkembang serta kemampuan adaptasi perilaku terhambat. Definisi Anak
Tunagrahita“Anak dengan keterbelakangan mental mengacu pada adanya keterbatasan dalam perkembangan fungsional (Delphie, Bandi, 2005: 61-62)
4. Tunadaksa
Menurut White House Conference (dalamSomantri, S, 2007: 121) menyatakan bahwa tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, atau sendi dalamfungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit atau kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir
5. Tunalaras
Individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya (Mudjito, 2013:30) 6. Kesulitan belajar
Kesulitan belajar atau learning disabilities yang biasa disebut istilah learning disorder
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 67
ataulearning dificulty adalah suatu kelainan yang membuat individu bersangkutan sulit untuk melakukan kegiatan secara efektif (Jamaris, Martini, 2013:3). Senada dengan pendapat Abdurrahman, Mulyono (2009:6) menyatakan bahwa kesulitan belajar adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan.
KOMITMEN PEMERINTAH DAN
DUNIA TERHADAP ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS
Langkah perlindungan khusus diperlukan karena anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental, maupun sosial dan kondisi rentan terhadap tindak eksploitasi, kekerasan dan penelantaran. Anak Berkebutuhan Khusus Secara Yuridis diakomodir melalui berbagai komitmen, baik secara Nasional dan secara Internasional
1. Komitmen Nasional
Hak-hak anak yang dimiliki anak berkebutuhan khusus berdasarkan landasan Yuridis Formal melalui
berbagai peraturan perundangan yang tergambar sebagai berikut:
Gambar 1. Landasan Yuridis anak berkebutuhan khusus (Didaptasi dari www.membumikanpendidikan.com/hak-
hak-yang-dimiliki-anak- berkebutuhan.html)
Penjelasan dari perundangan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen)
Pasal 31ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikandan ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
b. UU No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 3
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 68
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal 5 Ayat: (1): Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ayat (2): Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus
ayat (3) : Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 32 ayat (1): Pendidikan khusus merupakan merupakan pendidikan bagi peserta peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Ayat (2): Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana
alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
c. UU No. 23 tahun tahun 2002 tentang Perlindungan Perlindungan Anak
Pasal 48Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.
Pasal 49 Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
Pasal 50 Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 diarahkan pada :
(1) Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal.
(2) Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
(3) Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai- nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradabanperadaban yang
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 69
berbeda-beda dari peradaban sendiri;
(4) Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawab; dan (5) Pengembangan rasa hormat dan
cinta terhadap lingkungan hidup.
Pasal 51Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang samadan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Pasal 52Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 53
(1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
(2) Pertanggungjawaban
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula mendorong
masyarakat untuk berperan aktif.
d. UU No. 4 1997 tentang Penyandang Cacat.
Pasal (5 ) :Setiap penyandang cacat mempunyai dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
e. Deklarasi Bandung (Nasional) Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif 8-14 Agustus 2004.
(1) Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi generasi penerus yang handal.
(2) Menjamin setiap anak berkelainan dan anak anak berkebutuhan berkebutuhan khusus lainnya lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 70
masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural
f. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga telah menerbitkan Peraturan tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Berkaitan dengan komitmen tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention On The Rigths Of Person With Disabilities)
g. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus.
2. Komitmen Internasional
a. Convention on The Right The Child tahun 1989 (Pemenuhan Hak Dasar Anak) (1) Hak untuk Hidup, Kelangsungan
Hidup & Perkembangan Anak
(2) Kepentingan Yang Terbaik Untuk Anak
(3) Partisipasi/ Penghargaan Terhadap Pendapat Anak
(4) Non Diskriminasi
b. Deklarasi Dakkar (2000): Education For All (Pendidikan Untuk Semua) Butir 1: memperluas & memperbaiki secara keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
c. A World Fit For Chlidren – 2002 (Menciptakan Dunia yang layak bagi Anak)
(1) menempatkan anak sebagai pertimbangan pertama untuk kepentingan terbaik anak
(2) memperhatikan tumbuh kembang anak sebagai dasar utama pengembangan manusia
(3) memberikan kesempatan pendidikan yang sama untuk setiap anak
Berbagai peraturan perundangan yang telah disusun tersebut merupakan upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus. Secara umum, hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak