• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pembelajaran Matematika dalam Setting Kelas Inklusif

Dalam dokumen prosiding - seminar nasional (Halaman 36-51)

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF DI SDN PASAR LAMA 3 BANJARMASIN

3. Evaluasi Pembelajaran Matematika dalam Setting Kelas Inklusif

dipercayakan kepadanya baik mengenai sifat, kebutuhan, minat, pribadi, serta aspirasi dari setiap murid tersebut. (2) Guru harus memiliki kecapakan memberikan bimbingan disamping bimbingan yang berpusat pada kecakapan intelektual, guru perlu memiliki pengetahuan tentang perkembangan setiap anak didiknya baik perkembangan emosi, minat, kecakapan khusus, maupun prestasi skolastik, fisik, dan sosial sehingga guru dapat membangun sebuah rencana atas dasar pengetahuan itu akan membuat siswa benar-benar mengalami pendidikan yang menyeluruh dan integral. (3) Guru harus memiliki dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan di Indonesia pada umumnya. Pengetahuan itu akan memberikan arah pada perkembangan muridnya sehingga akan memudahkan guru memahami kebutuhan murid- muridnya. (4) Guru harus memiliki kebutuhan yang bulat dan baru mengenai ilmu yang dipelajarinya, agar apa yang dikerjakan bermanfaat dalam tujuan hidup yang nyata bagi masyarakat atau individu, sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta akibatnya dalam hidup manusia cepat sekali usang diganti dengan yang baru.

3. Evaluasi Pembelajaran Matematika

belajar siswa dan bagaimana tingkat keberhasilan sesuai tujuan instruksional tersebut. Evaluasi pembelajaran pada ABK, bukan membandingkan siswa satu dengan siswa yang lain, tetapi membandingkan kemampuan awal dengan kemampuan akhir setiap siswa.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pembelajaran matematika dalam setting inklusi di Sekolah Dasar Negeri Pasar Lama 3, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran matematika dalam setting inklusi di Sekolah Dasar Negeri Pasar Lama 3 masih kurang sesuai dengan sistem/aturan dalam mejalankan program inklusif, karena belum adanya asesmen sebelum proses pembelajaran matematika dan belum adanya Program Pembelajaran Individual (PPI).

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (1999). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta : Dirjen Dikti.

Ahmad Rohani. H.M dan Abu Ahmadi.

1991. Pengelolaan Pengajaran.

Jakarta:Rineka Cipta.

Alisuf, Sabri M. (1995). Psikologi Pendidikan. Jakarta. Pedoman Ilmu Jaya

Arif S Sadiman. 2003. Media Pendidikan.

Pengertian, Pengembangan, dan

Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Azhar Arsyad. 2004. Media Pembelajaran.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Bintarto dan Surastopo Hadisumarmo.

1982. Metode Analisa

Geografi. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Dimyati & Mudjiono (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dimyati, Mudjiono.2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.

Ghony, M. Djunaidi. & Fauzan Almanshur.

(2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Gunawan, Imam. (2013). Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta:

PT. Bumi Aksara.

Holm, M. (2003). Dysmathematics, Konsep Bilangan dan Kuantitas. Hand Out.

Norwegia: Departemant of Special Need Education University of Oslo.

Ibrahim R dan Nana Syaodih.

1993. Perencanaan Pengajaran.

Bandung : PT.Remaja

Rosdakarya.Sukardi

Johnsen. B. H & Skjorten. M. D. (2003).

Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar. Bandung:

Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Moh Nazir. (2011). Metode Penelitian.

Bogor: Ghalia Indonesia.

Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati.

1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung. PT.

Remaja Rosdakarya.

Moleong. L. J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya.

Naga. S, Dali (1980). Berhitung, Sejarah, dan Perkembangannya. Jakarta : Gramedia.

Nana Sudjana dan Ahmad Rivai.

2007. Teknologi Pengajaran.

Bandung: Sinar Baru Algesindo Oemar Hamalik. 2003. Proses Belajar

Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.Soetomo

Sanjaya, Wina. 2008. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta

Sumadi, Suryabrata. 1987. Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali.

W. Lerner, Janet.1998. Learning Disabilities: Theories, Diagnosis, And Teaching Strategies. Boston:

Houghton Miffin Company.

Weiner, IB. (2003). Handbook of Psychology. Vol 7 : Educational Psychology. New Jersey: John Wiley

& Sons

Widyastono, H. (1998). Siswa Sekolah Dasar Yang Berkesulitan Belajar Umum Dan Penanganan Kesulitan Belajar Membaca. [Online]. Tersedia:

http://www.

Depdiknas.go.id/jurnal/33/editorial33 .htm. [29 Desember 2005].

Winarno Surakhmad. (1996). Pengantar Interaksi Mengajar_Belajar (Dasar dan Teknik Metodologi Mengajar).

Bandung: Tarsito.sungkono

Yin, R.K. (2003). Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

STIMULASI PERKEMBANGAN ANAK TUNAGRAHITA RINGAN MELALUI RAGAM PERMAINAN TRADISIONAL BANJAR

Murniyanti Ismail

Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin [email protected]

Abstract:

The word of children is playing. Through playing, the potentials of children’s intelligence can develop optimally through a natural way. For children with special needs, playing is also a way to liberate themselves from disadvantages and pressure complex, that certainly inhibit various aspects of child development. One type of children with special needs is the children with mental retardation (Tunagrahita). Tunagrahita is a child who has mental retardation with an IQ below the average of children in general. With this deficiency, children with mental retardation have the obstacles in various various aspeds of development, including the development of language, social, and physical motor. The classification of children with mental retardation is divided into three levels, such as mild, moderate and severe. Now days, activites of playing developed into the the play therapy as a’response to give intervention of the various problems which faced by the children in their development process. This paper use the library research method to reveal the stimulation of the children with mild of mental reterdation’s development through Banjar traditional games. The result of this paper is traditional games can help children with mild mental retardation to improving their intelligence, especially the language, social, and physical motor aspect

Keywords: Developmental stimulation, children with mild of mental reterdation’s, Banjar traditional games.

PENDAHULUAN

Maraknya perkembangan permainan modern semakin menggeser keberadaan permainan tradisional, anak-anak lebih menyukai permainan modern seperti play staysion (PS), game online,

Sebagaimana kita ketahui, keaneka ragaman suku bangsa, tradisi dan budaya memiliki keaneka ragaman corak dan ciri yang unik/khas menjadikan suatu kekayaan budaya dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia sebagai kebudayaan nasional. Seperti juga daerah – daerah lain di Indonesia Kalimantan Selatan merupakan salah satu wilayah Nusantara yang kaya akan khazanah seni dan budaya tapi dengan semakin majunya zaman, saat ini semakin berkurang orang-orang yang mengetahui peristiwa-peristiwa masa

lampau serta memahami makna dari setiap lambang dalam peristiwa adat dan budaya atau berbagai ucapan dan cerita , termasuk permainan tradisional anak di dalamnya, lalu timbul pertanyaan bagaimana dengan generasi berikutnya? Apakah mungkin mereka akan mengenal, memahami dan memiliki nilai-nilai kearifan lokal jati diri mereka, ketika para generasi dewasa kurang atau bahkan tidak berusaha memperkenalkannya, dan mewariskannya dengan sungguh-sungguh?

Seperti kita semua ketahui dalam permainan tradisional mengajarkan banyak nilai baik , antara lain melatih anak untuk bersosialisasi atau mengenal orang-orang di lingkungannya, anak-anak juga belajar kerja sama sebagai tim, mendukung teman, kreatif , mengetahui kelemahan diri, siap

untuk kalah atau menang, gigih untuk mencapai target, mengenal serta dapat memanfaatkan dengan baik benda-benda yang ada di alam sekitar . Untuk kesehatan, melatih fisik anak sehingga anak lebih sehat, daya tangkapnya lebih tinggi, lebih gesit, dan selalu ceria. Nilai edukasinya juga banyak, selain bermanfaat untuk melatih fisik anak agar lebih kuat, juga dapat mengasah kemampuan bersosialisasi, bekerja sama dan mentaati aturan, sesuatu yang tidak ditemukan pada permainan modern yang mungkin dapat membuat cerdas tapi cenderung membentuk watak individualistis.

Bagi anak-anak, menurut para ahli, bermain memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting. Bagi mereka, bermain bukan hanya menjadi kesenangan tetapi juga suatu kebutuhan yang mau tidak mau harus terpenuhi. Jika tidak, menurut (Conny R. Semiawan dalam Musfiroh, 2005 :1) ada satu tahapan perkembangan yang berfungsi kurang baik yang akan terlihat kelak jika si anak sudah menjadi remaja. Maka tidak berlebihan jika Catron dan Allen dalam Musfiroh, 20015:1) mengatakan bahwa bermain merupakan wahana yang memungkinkan anak-anak berkembang optimal. Bermain secara langsung mempengaruhi seluruh wilayah dan aspek perkembangan anak. Kegiatan bermain memungkinkan anak belajar tentang diri mereka sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Dalam kegiatan bermain, anak bebas untuk berimajinasi, bereksplorasi, dan mencipta sesuatu.

Menurut Somantri (2012: 103) Tunagrahita adalah istilah yang dipakai untuk menyebutkan anak yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata anak pada umumnya. Dalam istilah asing digunakan istilah mentally retarded, mental retardation, mental defective, mental deficiency dan lain-lain, istilah-istilah tersebut sebenarnya memiliki arti yang sama yang menjelaskan bahwa anak tunagrahita memiliki kecerdasan di bawah rata-rata ditandai oleh keterbatasan

inteligensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Menurut The American Association on Mental Defiency (AAMD), seseorang dikategorikan tunagrahita apabila kecerdasannya secara umum di bawah rata- rata dan mengalami kesulitan penyesuaian sosial dalam setiap fase perkembangannya (Hallahan dan Kauffman dalam Efendi, 2008: 89).

Permainan tradisional bagi anak berkebutuhan khusus dalam hal ini anak tunagrahita ringan banyak mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak. Nilai- nilai pendidikan dalam permainan tradisional tersebut terkandung dalam permainan melalui gerak, syair lagu, mengenal alam dan sebagainya. seperti juga permainan tradisional nusantara permainan tradisional anak Banjar juga banyak mengandung unsur rasa senang, dimana rasa senang dapat mewujudkan suatu kesempatan yang baik menuju kemajuan aspek perkembangan bagi anak tunagrahita ringan . Beberapa penelitian yang telah dilakukan menjelaskan manfaat permainan tradisional bagi anak berkebutuhan khusus tunagrahita. Penelitian oleh Sari (2015) tentang permainan engklek menemukan bahwa ketika kotak-kotak dalam permainan engklek tersebut diberi angka, maka terjadi peningkatan pengenalan angka bagi anak tunagrahita sedang. Penelitian lain yang dilakukan oleh Alfiza dkk. (2014) membahas permainan lompat tali. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan bermain lompat tali dapat melatih kemampuan melompat anak tunagrahita menjadi lebih baik.

Karena itu menjadi tugas orang tua atau orang dewasa dan pihak sekolah agar dapat menciptakan lingkungan bermain yang edukatif bagi anak tunagrahita ringan agar mereka dapat mengembangkan potensi yang mereka punya secara optimal.

Rangsangan yang diberikan kepada anak tunagrahita ringan tentunya harus sesuai dengan perkembangan dan kemampuan

mereka. Tahap perkembangan ini dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti kognitif, bahasa, emosi, sosial, fisik. Proses penyampaiannya pun harus sesuai dengan dunia anak, yaitu dengan bermain.

Banyak cara pembelajaran yang dapat digunakan dalam menstimulus perkembangan anak tunagrahita ringan salah satunya adalah dengan menggunakan permainan tradisional

METODE

Kajian ini mempergunakan Studi kepustakaan. Pendekatan konsep dan teori dilakukan dengan merujuk dari berbagai sumber seperti referensi umum dan khusus, buku-buku pedoman, buku petunjuk, laporan-laporan penelitian, tesis, jurnal ilmiah , dan bahan-bahan khusus lain yang memiliki korelasi dengan tema kajian ini . Uraian serta gagasan yang didapat dari semua sumber digabungkan dalam satu susunan kerangka berpikir. kajian ini masih dalam tahap proses analisis dan belum melakukan penelitian.

PERMAINAN TRADISIONAL

1. Pengertian Permainan Tradisional Menurut Direktorat Nilai Budaya permainan tradisional anak adalah proses melakukan kegiatan yang menyenangkan hati anak dengan mempergunakan alat sederhana sesuai dengan keadaan dan merupakan hasil penggalian budaya setempat menurut gagasan dan ajaran turun temurun dari nenek moyang. Permainan Tradisional atau biasa disebut dengan permainan rakyat adalah hasil dari penggalian budaya lokal yang di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai pendidikan dan nilai budaya serta dapat menyenangkan hati yang memainkannya. Permainan tradisional sebagai satu di antara unsur kebudayaan bangsa banyak tersebar di berbagai penjuru nusantara.

Namun dewasa ini keberadaanya sudah berangsur-angsur mengalami kepunahan.Terutama bagi mereka yang saat ini tinggal di perkotaan, bahkan beberapa di

antaranya sudah tidak dapat dikenali lagi oleh masyarakat di mana permainan tradisional itu berada. Beberapa jenis permainan tradisional ada pula yang masih dapat bertahan, itu pun disebabkan karena para pelaku permainan tradisional tersebut berada jauh dari jangkauan permainan modern yang lebih menggutamakan alat- alat canggih.

.

2. Karakteristi Permainan Tradisional Pada dasarnya permainan tradisional lebih banyak memberikan kesempatan kepada pelaku untuk bermain secara berkelompok/ permainan tradisional setidaknya dilakukan minimal oleh dua orang, dengan menggunakan alat-alat yang sederhana, mudah dicari, menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar serta mencerminkan kepribadian bangsa sendiri.

Permainan tradisional banyak memiliki nilai-nilai yang positif yang dapat dikembangkan. Nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional dapat ditelaah dari sudut penggunaan bahasa, senandung/nyanyian , aktifitas fisik, dan aktifitas psikis. Permainan tradisional memiliki unsur senang yang dapat membantu anak belajar berdasarkan kesadaran sendiri tanpa dipaksa. Anak yang memiliki masalah penyesuaian sosial cenderung berprilaku ambivalent terhadap aturan dan perintah orang dewasa, sehingga memerlukan pendekatan yang dapat diterima, contohnya melalui parmainan yang memiliki unsur senang sehingga anak dapat melakukan kegiatan dengan sukarela tanpa paksaan.

Permainan tradisional dapat membantu siswa dalam menjalin relasi sosial yang baik dengan teman sebaya (peer group) maupun dengan teman yang usianya lebih muda atau lebih tua. Permainan tradisional juga dapat digunakan untuk melatih siswa dalam mengatasi konflik dan belajar memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DAN PERKEMBANGANNYA

Tumbuh kembang anak memiliki pengertian dua hal yang berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan.

Pertumbuhan (growth) memiliki pengertian yang berkaitan dengan masalah ukuran, jumlah, dan dimensi tingkat sel , organ maupun individu yang dapat diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik.

Perkembangan ( development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan dan belajar. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan intelektual, sosial, emosi dan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi anak dengan linkungannya. Pada anak tunagrahita, pertumbuhan dan perkembangannya mengalami kemunduran.

Anak tunagrahita adalah anak yang kecerdasannya berada dibawah rata – rata teman seusianya yang ditandai oleh ketidak mampuan untuk belajar dan menyesuaikan diri dalam interaksi sosial (perilaku mal adaptif). Anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengikuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, yakni disesuaikan dengan kemampuan anak itu.

Penyesuaian perilaku maksudnya saat ini seorang dikatakan tunagrahita bukanlah hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya . Terjadi pada masa perkembangan sampai usia 18 tahun.

Menurut beberapa ahli ada tiga klasifikasi anak tunagrahita yang salah satunya adalah anak tunagrahita ringan.

Kondisi fisik anak tunagrahita ringan pada umumnya tidak berbeda dengan

kebanyakan anak lainnya, memiliki tingkat IQ berkisar antara 50-70. Meskipun anak tunagrahita ringan memiliki keterbatasan pada segi kecerdasannya. Mereka masih bisa belajar membaca, menulis dan berhitung bersama dengan anak-anak seusianya dengan menerapkan fleksibilitas kurikulum. Seringkali anak tunagrahita ringan tidak dapat diidentifikasi hingga memasuki usia sekolah, ketika anak mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran.

Anak tunagrahita ringan juga dapat menjadi tenaga kerja semi skilled seperti pekerjaan laundry, peternakan, pekerjaan rumahtangga, bahkan jika dibimbing dengan baik dapat bekerja di pabrik – pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun demikian,mereka kurang mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen.

1. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita

Menurut (Suppes dalam somantri 2012:110) bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi semua keterampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi. Sedangkan menurut (Messen, Conger, dan Kagan dalam somantri 2012:110) menjelaskan bahwa kognisi paling sedikit terdiri dari lima proses, yaitu :(1) persepsi, (2) memori, (3) pemunculan ide-ide, (4) evaluasi, (5) penalaran. Proses-prose itu meliputi sejumlah unit terdiri dari skema, gambaran, simbol konsep, serta kaidah-kaidah. Para peneliti dibidang ini tertarik pada perubahan urutan proses kognitif yang dihubungkan dengan usia dan pengalaman . Dalam hal kecepatan belajar, anak tunagrahita ringan berbeda dengan anak pada umumnya walau tidak terlalu jauh.

Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai anak pada umumnya, anak tunagrahita ringan memerlukan pengulangan tentang bahan tersebut. Anak tunagrahita juga sulit menangkap informasi yang kompleks, tugas-tugas yang diberikan sebaiknya dimulai dari yang sederhana dan

diberikan tahap demi tahap.

2. Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita

Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh dengan sangat menakjubkan melalui beberapa cara. Pertama, anak dapat belajar bahasa apa saja yang mereka dengar sehari-hari dari lingkungan dengan cepat.

cara kedua, bahasa apapun memiliki kalimat yang tidak terbatas, dan kalimat- kalimat dari bahasa yang mereka dengar dan mereka ucapkan, dan belum pernah mereka dengar sebelumnya. Hal ini berarti anak-anak belajar bahasa tidak sekedar dari meniru ucapan yang mereka dengar saja , tetapi anak-anak juga harus belajar konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.

Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognitif, sehingga perkembangan bahasa akan sejalan dengan perkembangan kognitif anak . Pada kenyataanya, anak tunagrahita ringan mengalami hambatan dalam perkembangan kognitifnya sehingga perkembangan bahasanya pun menjadi ikut terhambat . Hambatan tersebut ditunjukkan dengan tidak seiramanya antara perkembangan bahasa dengan usia lahir anak (cronologis age), tetapi lebih seirama dengan usia mentalnya (mental age).

Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya).

Karena itu mereka membutuhkan kata – kata konkrit dan sering didengarnya, mereka juga kurang dapat mempergunakan kalimat majemuk lebih banyak mempergunakan kalimat tunggal

3. Perkembangan Fisik Anak Tunagrahita

Fungsi-fungsi perkembangan pada anak tunagrahita ada yang tertinggal jauh oleh anak pada umumnya . Ada pula yang sama atau hampir menyamai anak pada umumnya. Di antara fungsi-fungsi yang menyamai atau hampir menyamai anak

pada umumnya adalah fungsi jasmani dan motorik.

Perkembangan jasmani dan motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak pada umumnya sebagaimana banyak ditulis orang.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita yang memiliki MA (mental age) 2 tahun sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori kurang sekali. Sedang anak pada umumnya pada usia yang sama ada dalam kategori kurang. Dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita setingkat lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya pada umur yang sama.

Ketrampilan gerak fundamental sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak tunagrahita. Anak normal dapat belajar keterampilan gerak- gerak fundamental secara instingtif pada saat bermain, sementara anak tunagrahita perlu dilatih secara khusus. Karena itu penting bagi guru untuk memprogramkan latihan-latihan gerak fundamental dalam pendidikan anak tunagrahita.

4. Perkembangan Sosial Emosional Anak Tunagrahita

Dalam perkembangan sosial anak- anak tunagrahita cenderung senang bermain dengan anak-anak yang lebih muda usianya dan juga dengan anak-anak yang sama usia mentalnya dari pada usia kronologisnya. Anak tunagrahita cenderung menarik diri, acuh tak acuh dan mudah bingung. Tidak jarang dari mereka mudah dipengaruhi sebab mereka tidak dapat memikirkan akibat tindakannya.

Untuk kategori anak tunagrahita sedang dan berat ketergantungan mereka terhadap orang tua dan orang dewasa disekelilingnya sangat besar , tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga anak-anak tunagrahita sedang dan berat harus selalu dalam pengawasan dan bimbingan.

Pada anak tunagrahita ringan kemampuan bersosialisasi ini akan lebih

berkembang apabila mereka memperoleh lingkungan yang mendukung keberadaan mereka. Maksudnya mereka tidak hanya menjadi kelompok minoritas dari anggota atau dihilangkan karena mereka dianggap tidak mampu.

Selain itu anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dengan yang salah. Ini semua karena kemampuannya yang terbatas, sehingga anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari sesuatu perbuatan.

Salah satu pembelajaran yang menarik untuk anak salah satunya dengan bermain, tidak terkecuali juga dengan anak tunagrahita. Melalui kegiatan bermain anak bisa mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi dan sosial.

Perkembangan secara fisik dapat dilihat saat bermain. Perkembangan intelektual bisa dilihat dari kemampuan anak mengunakan atau memanfaatkan lingkungannya. Perkembangan emosi dapat dilihat ketika anak merasa senang, marah, merasakan dalam posisi menang dan kalah.

Perkembangan sosial anak dapat dilihat dari interaksi dengan teman sebaya, menolong, antri dalam menunggu permainan dan memperhatikan kepentingan orang lain.

Seiring perkembangan zaman, jenis permainan yang ada pun semakin beragam.

RAGAM PERMAINAN TRADISIONAL BANJAR

Kalimantan Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan dengan ibu kotanya Banjarmasin serta memiliki etnis terbesar yaitu suku Banjar, seperti juga dengan daerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia, Kalimantan Selatan ( Banjar ) juga memiliki beragam jenis budaya yang bersifat tradisional yang diwariskan kepada generasi penerus yang salah satunya adalah permainan tradisional. Penulis belum menemukan data berapa banyak permainan

tradisional Banjar yang ada karena terbatasnya buku-buku yang berisikan tentang permainan tradisional Banjar.

Beberapa permainan tradisional yang masih ada dan si mainkan di Kalimantan Selatan :

1. Bahasinan

Tidak jelas diketahui asal mula kata bahasinan. Tapi mungkin dari kata seru

“siin” yang diserukan pada saat pemainnya memenangkan permainan tersebut.

Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki dan perempuan berkelompok dengan jumlah pemain paling sedikit tiga orang atau lebih jika dimainkan beregu, dalam permainan bahasinan tidak diperlukan alat permainan. Di beberapa daerah dikenal dengan nama galaasin, gobag sodor dan masih banyak lagi. Secara sederhana permainan bahasinan tidak memerlukan alat hanya membuat garis ditanah sebagai pembatas tempat bermain, jumlah garis dapat disesuaikan dengan jumlah pemain .

Adapun cara bermain bahasinan sama seperti permainan nusantara pada umumnya permainan bahasinan dimulai dengan melakukan “humpimpah” atau

“basiun” untuk menentukan siapa yang yang menjadi “jaga” dan siapa yang menjadi “pasang. Jika permainan dilakukan secara individu dan dimainkan oleh tiga orang setelah mereka melakukan humpimpah atau basiun , satu orang anak yang menjadi jaga dan dua anak menjadi pasang. Anak yang menjadi jaga akan berdiri digaris tengah sambil membentangkan kedua tangannya untuk dapat menyentuh atau menangkap anak yang menjadi pasang. Oleh karenan itu anak yang menjadi pasang akan berusaha membuat siasat memancing berlari ke garis kiri dan kanan agar dapat melewati anak yang menjadi jaga .

Jika kedua anak yang menjadi pasang dapat melewati anak yang menjadi jaga, maka anak yang menjadi jaga harus segera membalikkan badan untuk kembali

Dalam dokumen prosiding - seminar nasional (Halaman 36-51)

Dokumen terkait