• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR STRATEGIS

Dalam dokumen penilaian strategis lingkungan (Halaman 46-49)

untuk menganalisa mekanisme yang ada dan menetapkan tujuh prinsip (terdiri dari 17 kriteria dan 32 indikator) sebagai dasar untuk pendaftaran dalam SIS REDD+. SIS REDD+ mulai beroperasi pada Mei 2015. Kemajuan utama dalam kerangka perlindungan dimasukkan dalam ringkasan proses konsultasi di Bagian Error! Reference source not found.. ERP akan menggabungkan dan menangani tujuh prinsip upaya perlindungan yang ditetapkan sebagai referensi global untuk REDD+ melalui SIS REDD+. Selain itu, keseluruhan manajemen perlindungan Program akan sepenuhnya mematuhi kebijakan Perlindungan Bank Dunia yang dipicu oleh operasi.

Badan Restorasi Gambut (BRG), yang dibentuk melalui Perpres No. 1/2016, untuk mengembangkan peta lahan gambut nasional, kemudian memulihkan dan merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi; dan

 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial - Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) sebagai lembaga penelitian yang memiliki mandat untuk memberikan rekomendasi ilmiah untuk menginformasikan kebijakan perubahan iklim.

Di tingkat daerah (misalkan: tingkat provinsi), komitmen politik tercermin dalam:

 Keterlibatan erat dengan komitmen nasional untuk mengurangi emisi karbon sejak 2009.

Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi pertama yang bergabung dengan asosiasi GCF, dan menandatangani Deklarasi Rio Branco, sebuah dokumen yang dengan tegas menyatakan komitmen untuk mengurangi deforestasi tropis, melindungi sistem iklim global, meningkatkan mata pencaharian pedesaan dan mengurangi kemiskinan;

 Penunjukan Satuan Tugas REDD+ provinsi, untuk melakukan kegiatan REDD+ dan untuk merangkul kebijakan prioritas Gubernur untuk transisi ke ekonomi rendah karbon;

 Augmentasi moratorium nasional untuk konversi lahan gambut dan penebangan hutan primer dengan mengeluarkan moratorium tingkat provinsi;

 Integrasi REDD+ ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan alokasi anggaran (APBD, APBN) untuk kegiatan yang berhubungan dengan REDD+;

 Menyiapkan berbagai peraturan daerah untuk mendukung REDD+, termasuk pembentukan Kelompok Kerja REDD+ dan Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI); dan

 Pemahaman dan penerimaan oleh masyarakat (melalui proses PADIATAPA) untuk memastikan partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan yang terkait dengan REDD+.

Refleksi komitmen politik di tingkat kabupaten terbatas pada kabupaten yang telah berpartisipasi dalam inisiatif REDD+ sebelumnya. Kabupaten seperti Paser, Berau, Kutai Kartanegara, Kutai Barat dan Mahakam Ulu telah menghasilkan rencana aksi strategis terkait dengan REDD+ dan / atau pengurangan emisi GRK.

Terlepas dari paparan sebelumnya dan komitmen politik tentang REDD+ di tingkat daerah, masih ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas provinsi untuk mengelola risiko lingkungan dan sosial (misalkan: Penerapan mekanisme perlindungan). Kebutuhan untuk pengembangan kapasitas dalam UPH (pengelolaan hutan di tingkat provinsi) dan lembaga perkebunan (minyak sawit lestari), dan untuk pengelolaan kawasan perhutanan di kawasan hutan non - negara muncul selama rancangan ERP. Hal ini dibahas lebih lanjut dalam Bagian 8.4. Selain itu, ada risiko tata kelola yang perlu dipertimbangkan ketika menerapkan Dana Karbon sebagai inisiatif REDD+, seperti:

 Manfaat karbon dari inisiatif REDD+ tidak nyata, dan tidak dirasakan oleh rakyat (mis., administrasi desa, masyarakat adat, atau kelompok perhutanan sosial). Ini menciptakan beberapa tingkat keraguan di antara orang – orang yang berpotensial sebagai penerima manfaat;

 Ada beberapa mekanisme di bawah inisiatif REDD+ seperti Debt – for - Nature Swap (DNS) dan pembayaran berbasis kinerja (misalkan: Dana Karbon). Yang pertama sering digunakan

sebagai cara untuk mengkompensasi emisi dari negara - negara maju, sedangkan yang terakhir secara eksplisit dirancang untuk mempromosikan pengurangan emisi (terutama emisi berbasis lahan). Ini membutuhkan pemahaman tentang mekanisme di antara para stakeholder / pemangku kepentingan untuk mencegah kesalahan persepsi dan ekspektasi berlebihan atas inisiatif REDD+;

 Inisiatif REDD+, terutama pembayaran berbasis kinerja, membutuhkan kapasitas teknis tentang penghitungan karbon yang bergantung pada penilaian stok karbon, mendefinisikan FREL dan MRV. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena kurangnya pengetahuan teknis di antara pelaksana program; dan

 Inisiatif REDD+ dirancang untuk menghasilkan dampak lingkungan dan sosial yang positif.

Namun, perhatian harus diberikan untuk mengantisipasi potensi dampak negatif, dan merumuskan langkah - langkah untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif menggunakan kerangka manajemen lingkungan dan sosial (ESMF).

Dengan mempertimbangkan tantangan di atas, inisiatif REDD+ seperti Dana Karbon membutuhkan kondisi politik yang kondusif, dukungan ekonomi yang memadai untuk persiapan, dan dukungan kuat dari para stakeholder di tingkat nasional dan daerah. Di Indonesia, dukungan politik di tingkat nasional diresmikan dengan membentuk lembaga BP REDD+. Setelah pembubaran lembaga ini, komitmen Indonesia untuk inisiatif REDD+ dialihkan ke KLHK, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim (DGCC). Di tingkat provinsi, komitmen untuk REDD+ dan pengurangan emisi tercermin dalam komitmen untuk melindungi daerah dengan nilai karbon tinggi. Di Kalimantan Timur, pemerintah provinsi memprioritaskan retensi hutan alam 640.000 ha, dan 50.000 ha lahan gambut di dalam area perkebunan dan konsesi perkebunan (total sekitar 2,5 juta ha konsesi kelapa sawit di area yang diusulkan). Namun, terlepas dari kegiatan LSM, belum diamati pembelian dari para stakeholder di tingkat rakyat.

Dukungan dan komitmen politik perlu didukung oleh kapasitas teknis yang tepat untuk merancang, melaksanakan, dan memantau implementasi REDD+. Pengurangan emisi berbasis lahan di Kalimantan Timur akan bergantung pada area konsesi kehutanan dan perkebunan (masing - masing sekitar 3,5 juta dan 2,5 juta ha konsesi kehutanan dan kelapa sawit, atau hampir setengah dari total area di Provinsi Kalimantan Timur). Ini menunjukkan kebutuhan kapasitas di antara KPH (konsesi hutan), perusahaan kelapa sawit dan petani kecil (perkebunan), dan administrasi desa (kawasan hutan di APL). Kapasitas yang diperlukan untuk Dana Karbon diidentifikasi selama proses konsultasi publik (Bagian 3.1). Dukungan politik juga mensyaratkan pembentukan penanganan pengaduan, serta mitigasi risiko lingkungan dan sosial (misalnya: melembagakan ESMF).

Selain itu, dana diperlukan untuk memastikan persyaratan di atas tercapai. FCPF telah menyediakan dana siap pakai untuk memastikan bahwa persiapan pelaksanaan Dana Karbon dapat diselesaikan.

Dana Karbon menawarkan peluang untuk menyalurkan manfaat karbon kepada pelaksana di tingkat rakyat (UPH, kelompok perhutanan sosial, administrasi desa) hingga dapat memberikan manfaat nyata.

Tantangan dalam implementasi Dana Karbon termasuk menentukan prinsip - prinsip upaya perlindungan, mendefinisikan bidang akuntansi (untuk menghindari penghitungan ganda), dan menyepakati mekanisme pembagian manfaat.

Dalam dokumen penilaian strategis lingkungan (Halaman 46-49)

Dokumen terkait