• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES KONSULTASI REDD+

Dalam dokumen penilaian strategis lingkungan (Halaman 51-64)

Berbagai proses konsultasi diadakan di tingkat nasional dan daerah untuk mengembangkan ERP melalui identifikasi stakeholder utama, isu, serta mekanisme perlindungan untuk mengatasi masalah tersebut. Berikut ini adalah ringkasan dari konsultasi dan kemajuan terkait.

3.5.1 Identifikasi Stakeholder / Pemangku Kepentingan

Identifikasi stakeholder dilakukan selama Komunikasi Publik dari Proses Kompilasi Emission Reduction Program Idea Note (ERPIN) dalam Kerangka kerja Dana Karbon FCPF (November 2015) dan pada Lokakarya tentang Lembaga Program Berbasis Tanah untuk Mengurangi Emisi di Provinsi Kalimantan Timur (Desember 2015). Hasilnya adalah:

 Identifikasi stakeholder (termasuk masyarakat Adat), dan peran serta otoritas yang sesuai untuk pelembagaan MRV, perlindungan dan pembagian manfaat;

 Rancangan Peraturan Provinsi tentang pelembagaan MRV, perlindungan dan pembagian manfaat untuk program yang bertujuan mengurangi emisi di Provinsi Kalimantan Timur. Ini lebih lanjut diintegrasikan ke dalam desain ERP; dan

 Penyelarasan MRV, Safeguards, Sistem Pendaftaran dan FGRM, dengan mekanisme nasional.

Selain itu, proses dilanjutkan dengan keterlibatan stakeholder untuk mensosialisasikan / mengutamakan program pengurangan emisi dalam kerangka Dana Karbon FCPF di Kabupaten Kutai Kartanegara (Juni 2016) dan Penajam Paser Utara (November 2016). Stakeholder yang diidentifikasi dalam proses ini dijelaskan dalam Bagian 2.2.2 dan Error! Reference source not found., masing - masing tentang identifikasi dan pemetaan stakeholder. Pertemuan - pertemuan ini dilakukan di tingkat kabupaten untuk mendorong partisipasi stakeholder di tingkat kabupaten. Namun, partisipasi perlu ditingkatkan dengan melakukan konsultasi dengan kelompok tertentu (misalnya, kelompok adat dan kelompok rentan).

8 Di bawah NDC, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi 29% emisi melalui upaya mandiri, dan hingga 41%

dengan dukungan internasional hingga tahun 2030.

3.5.2 Proses Konsultasi

Catatan dari proses konsultasi menunjukkan bahwa stakeholder utama terlibat dalam diskusi. Para stakeholder utama ini adalah mereka yang memiliki pengaruh tinggi dan minat tinggi pada ERP (seperti yang dijelaskan dalam Bagian Error! Reference source not found.). Selain itu, para stakeholder ini juga mewakili mereka yang mempengaruhi ERP (misalnya, Pemerintah nasional dan daerah, LSM, Dewan adat), serta mereka yang terkena dampak ERP (misalnya, Masyarakat adat, perusahaan perkebunan). Namun, perusahaan pertambangan yang akan terkena dampak ERP tidak cukup terwakili.

Proses konsultasi dilakukan melalui FGD, wawancara dan presentasi ide dan konsep. Ini memungkinkan penyebaran gagasan di antara para peserta dan stakeholder. Proses konsultasi telah berupaya sewajarnya untuk melibatkan dan berkonsultasi dengan kelompok rentan, termasuk perempuan, orang tua, masyarakat adat dan masyarakat miskin lainnya yang bergantung pada hutan.

Penjangkauan terhadap kelompok - kelompok rentan ini telah dilakukan melalui koordinasi dengan lembaga pemerintah daerah dan LSM serta pembentukan kelompok kerja REDD+ provinsi dan kabupaten, dan jaringan pengendalian perubahan iklim di tingkat lokal. Konsultasi awal untuk Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) di tingkat kabupaten dilakukan mulai 18 Juli - 30 Agustus 2019. Diskusi berkisar pada tema - tema berikut: menyeimbangkan pengurangan emisi dan peluang pembangunan tingkat desa, termasuk pembangunan ekonomi, penggunaan dana desa dan kerangka hukum pendukung, jenis, jadwal dan kelayakan manfaat, dan kebutuhan untuk memastikan koordinasi dan dukungan teknis kepada desa - desa untuk mencapai tujuan pengurangan emisi. Dokumentasi dari konsultasi ini ditambahkan dalam Lampiran A.2 pada dokumen ini. Dokumentasi lengkap dari konsultasi hingga saat ini dapat ditemukan di Lampiran A.2.

Selanjutnya, proses itu dilakukan untuk mendorong klarifikasi, pertanyaan dan diskusi mendalam untuk memberikan bobot lebih dalam menganalisa isu - isu utama. Sesi curah pendapat dalam proses konsultasi memungkinkan kekhawatiran dari para peserta (mewakili masing - masing stakeholder) untuk dikompilasi sebagai masalah utama, dan dipertimbangkan dalam ERP. Konsultasi terkini cukup untuk mengkonsolidasikan ide, mengembangkan desain program dan menyepakati risiko lingkungan dan sosial. Namun, konsultasi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan FPIC dan perumusan mekanisme pembagian manfaat.

Saat ini, serangkaian konsultasi untuk mendapatkan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) di tingkat desa dan / atau masyarakat sedang direncanakan, terutama dalam konteks konsultasi pembagian manfaat. Selama konsultasi ini, upaya akan dilakukan untuk menjangkau kelompok - kelompok rentan, termasuk keluarga miskin, perempuan, pemuda dan masyarakat adat. Konsultasi semacam itu akan terus menjadi latihan yang berulang sepanjang pelaksanaan operasi.

3.5.3 Ringkasan Hasil Konsultasi

Berdasarkan identifikasi isu - isu utama, proses konsultasi menghasilkan beberapa hal berikut:

 Aspek konflik tanah dibahas sebagai bagian dari evaluasi kesiapan. Ini termasuk tinjauan kebijakan tentang kepemilikan tanah. Pelatihan mediasi konflik dan penilaian bisnis perkebunan untuk mengurangi risiko konflik. Ini termasuk diskusi tentang FGRM terintegrasi di bawah sekretariat provinsi (SEKDA);

 Diskusi dengan BIOMA mengenai definisi masyarakat adat, termasuk klaim dan penguasaan adat yang bersangkutan. Definisi Masyarakat Adat, dan peraturan yang berlaku untuk mendukung Masyarakat Adat (PERDA No. 1/2015);

 Materi pelatihan untuk penyampaian REDD+ dan kerangka perlindungan, pelaksanaan REDD+

mendukung kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas koordinasi antar lembaga pemerintah serta sektor swasta. Strategi REDD+ Provinsi: Kebijakan, Regulasi, dan Tata Kelola, Pengembangan SES REDD+ Kalimantan Timur dan Pengalaman REDD+ di Jambi memberikan aspek - aspek koordinasi sebagai pertimbangan saat menerapkan REDD+

yurisdiksi kepada para stakeholder (Lembaga pemerintah provinsi);

 Diskusi kerangka kerja manajemen keanekaragaman hayati dengan Universitas Mulawarman (UNMUL) mendorong perlindungan eksplisit yang mencakup kemampuan untuk menegakkan peraturan tertentu (mis. Konservasi HCV dan konservasi habitat spesies langka);

 Membahas dan meningkatkan kapasitas untuk manajemen risiko lingkungan dan sosial selama bimbingan teknis tentang pemantauan HCVF. Acara ini dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk mengisi matriks ESMF;

 Konsultasi publik ERPD membahas perhitungan emisi, mekanisme pembagian manfaat, dan MRV. Skema pengurangan emisi tidak langsung, kondisi pendukung, dan mekanisme pembagian manfaat yang disepakati masih perlu dimasukkan dalam dokumen ERPD.

Konsensus tentang mekanisme pembagian manfaat kepada masyarakat adat juga ditetapkan;

 Dampak yang dihasilkan dari pencabutan izin (yaitu pertambangan, perhutanan, perkebunan) serta peningkatan pengelolaan HCV dan sumber daya alam dibahas selama lokakarya mengenai perkebunan lestari. Pemicu deforestasi diidentifikasikan, dan pencabutan izin dapat menghentikan ekspansi kelapa sawit dan meningkatkan peruntukan kawasan sebagai cadangan karbon; dan

 Proses konsultasi juga mencakup kebutuhan manajemen data dan pengetahuan untuk memungkinkan pembelajaran bersama dan penyebaran informasi selama pelaksanaan ERP.

Ini akan memungkinkan manajemen adaptif untuk perbaikan berkesinambungan selama pelaksanaan ERP.

3.5.4 Rencana selanjutnya untuk Konsultasi dan Keterlibatan

Setelah konsultasi publik di Samarinda (21 Mei 2019) dan Balikpapan (23 Mei 2019), rencana konsultasi dan keterlibatan terdiri dari:

 Pengungkapan informasi selama sosialisasi konsep ERP dan REDD+ kepada stakeholder kabupaten (pemerintah dan non - pemerintah) dijadwalkan untuk 2019 di tujuh kabupaten di Kalimantan Timur, dan;

 Konsultasi dengan masyarakat di tingkat desa, termasuk masyarakat adat, dalam proses PADIATAPA, untuk sosialisasi dan mendapat persetujuan dari masyarakat, dengan isu - isu tertentu seperti hak tenurial dan akses ke sumber daya alam.

Selama proses ini, Lembaga - lembaga kabupaten akan terdiri dari BAPPEDA, Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perkebunan, KPH, Dinas Sumber Daya Energi & mineral, Kantor Pertanahan Kabupaten dan Dinas Lingkungan Hidup. Dewan Adat akan dilibatkan dalam proses ini untuk

memastikan perwakilan masyarakat adat yang tepat (yaitu Adat yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah kabupaten).

3.5.5 Permasalahan Utama

Proses konsultasi mengidentifikasi masalah yang terkait dengan aspek - aspek berikut ini:

 Masalah lingkungan dan sosial yang terdiri dari konflik tenurial dan perselisihan; kendala kapasitas kelembagaan dalam mengelola potensi risiko lingkungan dan sosial; risiko tata kelola; kurangnya partisipasi; kurangnya FGRM yang efektif dan mudah diakses;

ketidaksetaraan gender dan pengucilan sosial; dan pembatasan akses serta dampaknya terhadap mata pencaharian;

 Pemicu deforestasi terdiri dari: perkebunan kayu, tanaman perkebunan, pertambangan, pertanian subsisten, praktik penebangan liar yang tidak berkelanjutan, kebakaran hutan dan lahan, dan akuakultur;

 Desain program ER: Sinkronisasi Pemicu Deforestasi / Synchronising Deforestation Drivers dengan Desain Program ERPD dan Menghitung Target Emisi (November 2017), dokumen SESA dan ESMF (September 2017), dan Safeguards (Desember 2015, Februari 2017, Agustus 2017, September 2017, dan Oktober 2018); dan

 Kapasitas kelembagaan dan pengembangan strategi untuk mengintegrasikan program REDD+

ke dalam kapasitas RPJMD (November 2016), kapasitas untuk menangani risiko / perlindungan lingkungan dan sosial (Juli 2017), dan HCV dan mediasi konflik (Februari 2017).

Kekhawatiran utama yang muncul dari proses konsultasi termasuk dampak potensial dari ERP pada aspek lingkungan dan sosial, sebagaimana dirangkum masing – masing dalam Tabel 2 dan Tabel 3.

Prediksi dampak sosial didefinisikan sebagai potensi manfaat (dampak positif) dan potensi sumber konflik (dampak negatif).

Tabel 2 Prediksi dampak lingkungan dari ERP di Kalimantan Timur.

Dampak Positif Dampak Negatif

Meningkatkan pengamanan kawasan lindung dan mengurangi tingkat penebangan liar

Peningkatan stok karbon

Kawasan hutan akan lebih terlindungi, dan ini akan meminimalkan deforestasi di masa depan

Praktik pengelolaan hutan yang lebih baik

Batas FMU yang jelas akan meningkatkan pengelolaan kawasan hutan oleh FMU

Peningkatan kapasitas FMU untuk mengelola kawasan hutan dengan lebih baik

Peningkatan perlindungan hutan dan pelayanan ekosistem lainnya

Peningkatan kualitas habitat, lingkungan dan kawasan lindung di dalam tanaman perkebunan

Penggunaan lahan desa yang lebih baik dan pengurangan konversi hutan

Manfaat berkelanjutan untuk lingkungan dan masyarakat

Pengurangan kebakaran lahan dan hutan

Peningkatan perlindungan hutan dan habitat alami

Degradasi hutan dan keanekaragaman hayati serta deforestasi dapat meningkat karena ketidakpastian pengelolaan selama periode perumusan mekanisme penyelesaian konflik (status quo)

Kontaminasi tanah dan air, dan risiko kesehatan yang terkait dengan penggunaan pestisida dan akibat praktik pengelolaan limbah yang buruk

Keberhasilan dalam mengurangi dampak pada hutan dapat menyebabkan perpindahan dampak ke daerah lain

Peningkatan pemadatan tanah pada jalan sarad

Limbah dari operasi peralatan dan kendaraan selama praktik RIL

Pembukaan kawasan skala kecil sebagai hasil pengembangan infrastruktur pendukung

Dampak Positif Dampak Negatif

Pengurangan konversi hutan untuk tanaman perkebunan baru

Pengurangan penebangan liar

Kawasan HCV dalam konsesi perkebunan kayu akan lebih terlindungi

Tanggapan dan minat positif dari perusahaan perkebunan yang akan berdampak positif pada pengurangan penebangan liar

Pengurangan degradasi dan deforestasi hutan

Perlindungan hutan konservasi yang lebih baik

Perlindungan dan peningkatan ekosistem bakau yang lebih baik

Tabel 3 Prediksi dampak sosial dari ERP di Kalimantan Timur.

Dampak Positif (Potensi manfaat bagi komunitas atau Masyarakat Adat)

Dampak Negatif (Sumber Potensial Konflik)

 Perlindungan sumber daya budaya alam yang lebih baik karena alokasi untuk ERP

 Potensi inklusi dan kolaborasi antara komunitas lokal dengan pemegang konsesi

 Peningkatan mata pencaharian masyarakat karena dukungan REDD+ dan mekanisme pembagian manfaat yang adil

 Peningkatan kapasitas sektor pemerintah dan swasta, serta kelompok tani melalui kegiatan peningkatan kapasitas

 Peningkatan kapasitas SFM dan RIL untuk berbagai stakeholder

 Peningkatan kapasitas petani kecil dalam praktik pertanian lestari

 Akses yang lebih baik ke sumber daya hutan karena alasan budaya dan hasil hutan non - kayu

 Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat yang berhubungan dengan perhutanan sosial

 Peningkatan kapasitas konservasi hutan

 Peningkatan akses ke hutan melalui skema kemitraan konservasi hutan

 Penghasilan pendapatan berkelanjutan untuk komunitas lokal

 Lebih banyak manfaat untuk komunitas lokal (layanan lingkungan, misalnya Ekowisata dan kegiatan ekonomi lainnya)

 Tidak ada manajemen di dalam area moratorium yang dapat memberikan ruang bagi potensi kegiatan ilegal

Potensi ketidakpastian atas manajemen konflik selama proses perumusan instrumen (mekanisme) penyelesaian konflik (status quo)

Potensi ketidakpuasan di antara kelompok tertentu yang secara tradisional akan memainkan peran penting dalam penyelesaian konflik

 Potensi konflik atas batas desa

Potensi untuk membatasi akses dan kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan lahan, hasil hutan, baik kayu maupun non - kayu, di daerah HCV dan potensi konflik dengan perusahaan.

Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar konsesi kelapa sawit berpotensi untuk berasumsi bahwa area HCV adalah tanah yang tidak digunakan oleh konsesi sehingga memberikan kesempatan bagi mereka untuk melakukan pembukaan lahan

Pekerja local tanpa keterampilan dapat digantikan oleh pekerja terampil dari luar kelompok

Penduduk setempat yang berkaitan dengan kegiatan penebangan liar dapat kehilangan pekerjaan dan penghasilan mereka

Penurunan produksi tambak udang / ikan

Perubahan budaya dan teknologi sistem akuakultur

 Potensi konflik antara hukum formal dan tradisional

 Kekhawatiran masyarakat mungkin tidak diakomodasikan ke dalam program / kegiatan karena kurangnya kapasitas (kurangnya FGRM / FPIC yang efektif)

 Potensi konflik antara masyarakat dan entitas lain (pemegang konsesi, KPH)

3.5.6 Penilaian Kapasitas Kelembagaan

Penilaian cepat dilakukan oleh DDPI untuk mengenali kapasitas kelembagaan dalam mengelola risiko lingkungan dan sosial yang diidentifikasi pada bagian di atas. Rincian penilaian disajikan dalam Lampiran A3 pada laporan ini. Penilaian ini dilakukan pada stakeholder di tingkat nasional dan daerah dengan ringkasan sebagai berikut:

 Di tingkat nasional, koordinasi antara Pemerintah Indonesia dan FCPF membutuhkan kapasitas yang sangat baik di tingkat pribadi dan kelembagaan. Kapasitas untuk membangun koordinasi juga diperlukan untuk memastikan kepentingan nasional dan daerah terpenuhi. Koordinasi sebagaimana disebutkan di atas akan membahas aspek - aspek seperti dukungan politik dan manajemen kebijakan satu peta, pengelolaan hutan lestari, memastikan legalitas kayu, minyak sawit lestari, penambangan lestari, dan integrasi perlindungan lingkungan dan sosial ke dalam strategi pembangunan. Mekanisme pembagian manfaat perlu didefinisikan dan disepakati untuk memastikan aliran Dana Karbon yang efektif kepada penerima manfaat yang memenuhi syarat.

 Di tingkat provinsi, sudah ada peraturan daerah (yaitu PERDA) untuk mendukung Visi Pembangunan Hijau Kalimantan Timur. Namun masih sangat dibutuhkan kapasitas untuk mengkoordinasikan pelaksanaan ERP (termasuk mekanisme perlindungan) dengan tim dukungan teknis dari pemerintah nasional, serta implementasi mekanisme pembagian manfaat yang tepat (misalkan melalui BLU). Kapasitas teknis yang disebutkan di atas diperlukan untuk memastikan operasi KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang optimal, dinas perkebunan (perkebunan tanaman hasil bumi lestari), dan dinas lingkungan. Khususnya, kapasitas yang kuat untuk menyelesaikan konflik (FGRM), mempromosikan perkebunan kelapa sawit lestari, dan diperlukannya perencanaan partisipatif.

 Tingkat Kabupaten membutuhkan kapasitas yang relevan dengan mekanisme pengakuan masyarakat adat (PERDA Kabupaten), serta penerapan standar perkebunan tanaman hasil bumi lestari dan praktik pertambangan dan kehutanan yang baik. Kapasitas di tingkat kabupaten juga akan mencakup rekomendasi untuk HGU (izin perkebunan) untuk tanaman perkebunan.

Rekomendasi tersebut perlu mempertimbangkan potensi risiko seperti pembatasan akses dan / atau pemukiman ulang secara paksa.

 Tingkat Desa membutuhkan kapasitas yang relevan dengan penerapan ERP (terutama dalam APL), serta mengambil bagian dalam mengelola FGRM. Perencanaan partisipatif perlu dilaksanakan pada tingkat ini untuk memungkinkan inklusi sosial dan gender dalam perencanaan pembangunan desa.

 Sektor swasta perlu meningkatkan kapasitas mereka untuk terlibat dengan masyarakat lokal dan pemerintah daerah, serta untuk mengurangi risiko. Sektor swasta membutuhkan kapasitas untuk menerapkan praktik - praktik pengelolaan hutan lestari seperti PHPL (kehutanan), RIL (kehutanan) dan HCV, serta penyelesaian sengketa dan penerapan mekanisme perlindungan yang relevan.

3.6 PELAJARAN YANG DIPEROLEH DARI KEGIATAN PERCONTOHAN ER SEBELUMNYA

Kalimantan Timur memiliki pengalaman dalam melaksanakan program pengurangan karbon dan emisi di berbagai kabupaten. Pelajaran yang diperoleh dari kegiatan ini telah didokumentasikan dan relevan untuk diadopsikan ke dalam Dana Karbon ERP. Mengacu pada penyebab mendasar yang diidentifikasi

dalam proses konsultasi, bagian - bagian berikut merangkum pelajaran yang dapat diterapkan untuk ERP.

3.6.1 Kebijakan untuk Melindungi Sumber Daya Alam dan Hutan

Loft et al (2017)9 mengidentifikasikan bahwa tanpa tujuan REDD+ yang jelas, ada risiko kebijakan yang tumpang tindih dan bertentangan (misalkan, Kebijakan perluasan agribisnis, pertambangan, transportasi dan infrastruktur energi dapat bertentangan dengan visi REDD+). Di Indonesia, kontradiksi antara kebijakan untuk pengurangan emisi dan pembangunan telah diamati pada tahun 2013 ketika Master Plan untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (Keputusan Presiden No. 88/2011) atau MP3EI mengancam hutan Indonesia yang tersisa. Ini bertentangan dengan Rencana Pengurangan Emisi Pemerintah (26% tanpa dukungan asing dan 41% dengan dukungan asing) dari sektor kehutanan10.

Hingga saat ini, upaya REDD+ terutama bersifat sukarela dan bukannya diatur. Penilaian terhadap Program Karbon Hutan Berau menyarankan bahwa kerangka kerja kebijakan yang jelas yang menguraikan tanggung jawab pemerintah atas pengelolaan hutan lindung (misalkan, untuk mendukung tujuan REDD+ yang jelas) masih kurang. Akibatnya, ada kebutuhan untuk menetapkan kebijakan tentang penghitungan karbon, tingkat emisi referensi hutan, dan proses pengambilan keputusan11. Kebijakan juga diperlukan untuk memperkuat metodologi yang berlaku untuk mengurangi emisi seperti Reduced Impact Logging (RIL), sebagai metodologi yang dapat membantu mengurangi emisi dari sektor perhutanan hingga 69% dibandingkan dengan praktik penebangan konvensional12. Pemerintah provinsi memiliki alat pengaturan untuk mendukung REDD+ dalam bentuk Peraturan Gubernur tentang strategi pengurangan emisi provinsi. Namun, kerangka hukum untuk pembangunan didukung oleh peraturan provinsi (PERDA) yang mengalahkan peraturan gubernur. Oleh karena itu, dasar hukum untuk REDD+ perlu ditingkatkan untuk mendapatkan kekuatan hukum yang sama dengan kebijakan pembangunan.

Kerangka kerja peraturan untuk penunjukan HCV sebagai ukuran untuk melindungi sumber daya alam dan hutan di kawasan hutan, serta di area penggunaan lainnya (APL) sebagaimana diperlukan. Sebuah studi yang dilakukan oleh tim penilai HCV di Universitas Mulawarman menunjukkan bahwa kebijakan tentang perlindungan alam dan hutan dapat didasarkan pada klasifikasi HCV untuk melindungi ekosistem, serta mata pencaharian dan nilai - nilai budaya.

Contoh - contoh ini mendukung gagasan bahwa pengembangan kerangka peraturan, diikuti dengan penerbitan peraturan terkait (misalkan, PERDA) di tingkat provinsi akan memperkuat penerapan metodologi rendah emisi. Kerangka kerja pengaturan mungkin perlu memasukkan mandat untuk menerapkah metodologi tertentu untuk pengelolaan hutan lestari dan perkebunan berkelanjutan di masing – masing kawasan hutan dan APL. Konsekuensinya, pelatihan dan pengembangan kapasitas diperlukan untuk memastikan implementasi yang tepat dari metodologi yang diamanatkan.

9 Loft, L, et al. (2017). Risiko terhadap potensi perangkap REDD untuk desain dan penerapan kebijakan. Konservasi Lingkungan, Volume 44, Edisi 1 (Bagian tematik: Jasa Ekosistem Hutan). hlm. 44-55

10 Sumber: https://redd-monitor.org/2013/12/20/redd-fails-to-address-the-drivers-of-deforestation-in-indonesia/

11 Berau Forest Carbon Program / Program Karbon Hutan Berau

12 Pembaruan RIL. TNC 2015.

3.6.2 Perencanaan Partisipatif dan Perencanaan Tata Ruang

Perencanaan partisipatif di tingkat desa telah dilakukan sebelumnya (misalkan, pelaksanaan perencanaan pembangunan desa / Musyarawah Rencana Pembangunan Desa - MusrenbangDes) untuk memastikan bahwa program tersebut sesuai dengan kondisi biofisik, serta sosial ekonomi desa.

Berbagai mekanisme perencanaan seperti musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbagdes) telah menjadi bagian dari prosedur sebelum menerima Dana Desa. Pelaksanaan REDD+ secara eksplisit memasukkan PADIATAPA sebagai metode untuk mendapatkan penerimaan masyarakat lokal atas mekanisme REDD+. Proses Musrenbangdes memberikan pelajaran yang dipetik tentang bagaimana masyarakat mengatasi kebutuhan bersama, dan memastikan perwakilan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dalam banyak kasus, Tata Guna Tanah / Perencanaan Tata Ruang Desa (atau Participatory Rural Appraisal - PRA) digunakan untuk mendorong perencanaan partisipatif di tingkat desa. Pengembangan sketsa desa dari latihan ini dapat dianggap sebagai langkah menuju rencana tata ruang desa. Validasi rencana tata ruang desa oleh pemerintah desa meresmikan proses perencanaan tata ruang desa. Sejalan dengan proses partisipatif, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri) telah mengimplementasikan perencanaan partisipatif, dan melatih fasilitator desa untuk mendukung pelaksanaannya di tingkat desa.

Indonesia adalah penandatangan Deklarasi PBB untuk Hak - Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

Deklarasi ini mengakui PADIATAPA sebagai hak khusus yang berkaitan dengan masyarakat adat. Hal ini memungkinkan mereka untuk memberikan atau menahan persetujuan proyek yang dapat mempengaruhi mereka atau wilayah mereka. Setelah mereka memberikan persetujuan, mereka dapat menariknya pada tahap apa pun. Selanjutnya, FPIC memungkinkan mereka untuk menegosiasikan kondisi di mana proyek akan dirancang, diimplementasikan, dimonitor dan dievaluasi13.

UPH dipandang sebagai perwakilan pemerintah yang bekerja dengan masyarakat lokal sekitar (atau di dalam) kawasan hutan. Skema perhutanan sosial adalah bagian dari ERP untuk menyediakan mata pencaharian berkelanjutan bagi masyarakat lokal (Komponen 4). Saat ini, UPH mengandalkan dukungan dari KLHK (Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan). Namun, dalam ERP, UPH diharapkan memiliki keahlian sendiri untuk melakukan FPIC14, sehingga mereka dapat melakukan FPIC yang tepat secara mandiri dalam ERP.

Secara khusus, pendekatan seperti aksi inspiratif masyarakat terhadap perubahan (Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan - SIGAP) REDD+ juga telah dilaksanakan untuk mematuhi prinsip - prinsip perlindungan dan untuk memastikan partisipasi masyarakat dan penerimaan selanjutnya dari program oleh masyarakat setempat. Pengalaman dari implementasi SIGAP15 menunjukkan keuntungan - keuntungan berikut:

 Berlaku untuk pelaksanaan di tingkat rakyat, termasuk kontribusi pada proses PADIATAPA;

 Kontribusi untuk pengembangan perlindungan. SIGAP dapat menyediakan kondisi aktual dan terkini di tingkat rakyat, dan dapat digunakan untuk meningkatkan implementasi upaya perlindungan dengan beradaptasi dengan kondisi masyarakat, sehingga langkah - langkah upaya perlindungan disesuaikan untuk mengatasi risiko lingkungan dan sosial di tingkat ini. Ini

13 FAO (2016). Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan: Hak Masyarakat Adat dan praktik yang baik untuk komunitas lokal.

14 Implementasi FPIC oleh UN-REDD (2012)

Dalam dokumen penilaian strategis lingkungan (Halaman 51-64)

Dokumen terkait