standar Bank Dunia. Analisa kesenjangan juga dilakukan untuk mengidentifikasi kekurangan dalam kerangka peraturan saat ini untuk mengatasi persyaratan perlindungan.
Analisa ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah peraturan dan perlindungan nasional yang ada (mis, SIS REDD+, PRISAI, dan SES REDD Kaltim) sesuai untuk mengatasi risiko yang disebutkan di atas. Mekanisme upaya perlindungan untuk mengatasi risiko - risiko ini akan dirumuskan dalam dokumen ESMF yang akan dikembangkan secara terpisah dari SESA.
hal implementasi, Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan menuju Kesiapan REDD+
(KLHK, 2018). Negara ini telah menjadi peserta aktif dalam dialog dan program REDD+ sejak 2007.
Pada tahun 2009, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% melalui upaya sendiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional, di bawah skenario business as usual pada tahun 2020. Kemudian pada tahun 2015 (pada COP 21 di Paris) Indonesia berkomitmen untuk mengurangi 29% dari emisinya melalui upayanya sendiri, dan hingga 41% dengan dukungan internasional, di bawah skenario business as usual pada tahun 2030, melalui penyerahan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution / NDC).
Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam pengembangan arsitektur REDD+ nasional dan berada pada titik di mana program yurisdiksi akan memberikan stimulus tambahan dan pengetahuan praktis untuk menyelesaikan sistem nasional. Langkah penting selanjutnya menuju implementasi REDD+ nasional adalah finalisasi dan implementasi kerangka kerja REDD+ daerah.
Program yang diusulkan menawarkan untuk menguji pendekatan komprehensif bagi REDD+ yang mencakup perubahan tingkat kebijakan serta kegiatan berbasis lapangan, dan yang mengatasi pemicu deforestasi yang lazim di sebagian besar wilayah hutan Indonesia. Pemerintah provinsi akan memiliki peran penting dalam implementasi REDD+, misalnya melalui tanggung jawab mereka untuk mengelola sebagian besar Unit Pengelolaan Hutan. Pendekatan tingkat provinsi akan dapat diskalakan ke provinsi lain di seluruh Indonesia. Pelajaran yang didapat dari penerapan ERP di Kalimantan Timur akan sangat berharga dalam menyelesaikan desain kerangka REDD+ nasional, termasuk sistem MRV nasional, pendekatan perlindungan, pembagian manfaat dan pendaftaran ER.
ERP yang diusulkan akan mencakup seluruh provinsi Kalimantan Timur termasuk beragam jenis hutan dan lahan, termasuk hutan pesisir, hutan dataran rendah, dan hutan dataran tinggi, yang telah menjadi sumber emisi nasional yang signifikan. Emisi tahunan Kalimantan Timur dari deforestasi, degradasi hutan, dan degradasi gambut sekitar 38,9 juta MT CO2e / tahun (atau 6% dari emisi setara di tingkat nasional). Selama periode ERPA (2020 hingga 2024) ERP diperkirakan menyebabkan pengurangan emisi total 35,8 juta tCO2e, yang setara dengan pengurangan 18% dalam emisi tingkat referensi provinsi selama periode tersebut.
Di tingkat nasional, ERP ditempatkan di bawah tanggung jawab KLHK. Catatan Gagasan Program Pengurangan Emisi (Emission Reduction Program Idea Note / ERPIN) dikembangkan pada 14 September 2014. Dokumen ini menguraikan peran penting bagi pemerintah provinsi dan kabupaten / kota dalam menerpakan pendekatan Indonesia terhadap REDD+, yang didasarkan pada akuntansi nasional dan implementasi daerah. Setelah menerima ERPIN oleh Bank Dunia, Kalimantan Timur dipilih untuk implementasi ER pada tahun 2015. ERPIN kemudian dikembangkan menjadi ERPD untuk implementasi REDD+ tingkat provinsi di Kalimantan Timur.
Pengembangan kerangka kerja REDD+ tingkat provinsi melibatkan proses pelibatan multi - stakeholder lebih lanjut. Dokumen dan rencana utama yang dikembangkan dengan masukan dari stakeholder provinsi dan lokal termasuk Strategi Pertumbuhan Rendah Karbon Kalimantan Timur, Strategi dan Rencana Aksi REDD+ Kalimantan Timur (Strategy and Action Plan / SRAP REDD+), Rencana Aksi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Kalimantan Timur (RAD GRK), Strategi Pembangunan Berkelanjutan Kalimantan Timur, dan Kepadatan Pertumbuhan Hijau.
Dewan Regional untuk Perubahan Iklim (DDPI) di Kalimantan Timur telah terlibat erat dengan pengembangan Strategi Pembangunan Berkelanjutan Kalimantan Timur, SRAP dan Rencana Induk Kalimantan Timur untuk Perubahan Iklim (2015 - 2035). Di bawah proses SES - REDD+, yang
kepemimpinan DDPI, melakukan proses multi - stakeholder partisipatif untuk menyesuaikan PCI tingkat nasional agar sesuai dengan konteks provinsi secara spesifik. Sebuah lokakarya tentang SESA dan ESMF dilakukan di Samarinda, Kutai Barat, Kutai Kartanegara dan Kabupaten Berau. Lokakarya ini bertujuan untuk mendefinisikan usulan kegiatan ER yang mungkin memiliki dampak lingkungan dan sosial. Strategi untuk mengurangi dampak tersebut dikonsultasikan dengan pemastakeholder terkait di tingkat kabupaten.
Berbagai pertemuan diadakan untuk mengumpulkan masukan dari pemerintah provinsi tentang pengaturan kelembagaan ERP. Konsultasi dengan sektor - sektor utama diadakan untuk mengumpulkan masukan bagi rancangan program dan para stakeholder yang relevan dikonsultasikan pada logframe ERP bulan Juli 2017. Pada 20 November 2017, sebuah diskusi kelompok fokus dilakukan untuk menentukan area prioritas tinggi pada kegiatan ER yang diusulkan di Kalimantan Timur. Pemicu degradasi dan deforestasi, kegiatan ERP, dan mekanisme pembagian manfaat dibahas dengan para stakeholder utama di Kalimantan Timur pada November 2017.
Pada 2010, Indonesia menerima dana FCPF. Dana tersebut, bersama dengan sumber pendanaan lainnya, digunakan untuk meningkatkan kesiapan Indonesia dalam mengimplementasikan REDD+.
Pada Januari 2017, Paket Kesiapan Indonesia diajukan dan disahkan oleh Komite Peserta FCPF.
Proses kesiapan telah memberikan pemerintah Indonesia paparan terhadap mekanisme upaya perlindungan yang disyaratkan oleh UNFCC, serta pengalaman langsung dalam mengembangkan mekanisme upaya perlindungan yang cocok untuk kondisi nasional dan daerah Indonesia. Selain itu, paket kesiapan juga memungkinkan berbagi pengalaman antara berbagai negara (Indonesia, Vietnam, dan banyak negara lainnya) sebagai proses pembelajaran kolektif dalam mempersiapkan ERPD.
Peningkatan SIS - REDD+ Indonesia, peningkatan kapasitas untuk implementasi dan pemantauan upaya perlindungan, dan jaminan kualitas untuk memastikan implementasi upaya perlindungan yang tepat diperlukan untuk memastikan kekokohan dalam menangani aspek lingkungan dan sosial di seluruh inisiatif REDD+ di tingkat nasional dan daerah.
Kunci kemajuan dalam hal kesiapan REDD+ disajikan dalam Bab 1 ERPD dan dirangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1 Ringkasan Kesiapan REDD+ di Indonesia.
Komponen Kemajuan Kesenjangan utama
Komponen 1. Organisasi dan Konsultasi Kesiapan Sub - komponen 1a. Pengaturan
Manajemen REDD+ Nasional
Sejak 2015, semua hal terkait REDD+ dikelola di bawah Direktorat Jenderal Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DGCC).
Di tingkat daerah, DGCC memiliki 5 unit pelaksana teknis untuk mempercepat kemajuan kesiapan di tingkat daerah. Salah satunya bertanggung jawab untuk Wilayah Kalimantan.
Lembaga-lembaga REDD+ daerah telah dikembangkan di 11 provinsi. Lembaga-lembaga REDD+ daerah di 23 provinsi selanjutnya sedang dalam pengembangan.
Koordinasi antar lembaga dan lembaga (Kementerian
Keuangan, Badan Perencanaan Nasional, dan lembaga sektoral lainnya seperti pertanian, pertambangan, agraria, atau sektor lainnya) perlu ditingkatkan lebih lanjut.
Kapasitas sumber daya manusia untuk pemerintah daerah dan kantor regional DGCC perlu diperkuat.
Mekanisme Umpan Balik dan Keluhan Pengaduan tersedia, tetapi perlu disesuaikan lebih baik dengan REDD + dan diuji lebih lanjut.
Sub - komponen 1b. Konsultasi, Partisipasi dan Penjangkauan
Proses partisipasi, keterlibatan dan konsultasi untuk berbagai aspek kesiapan REDD+ telah terjadi di tingkat nasional dan daerah. Ini dirangkum dalam Bagian Error! Reference source not found..
Proses konsultasi, partisipasi, dan penjangkauan yang ada perlu diperluas untuk menjangkau semua entitas yang relevan di seluruh negara.
Komponen 2. Strategi Persiapan REDD+
Sub - komponen 2a. Penilaian Penggunaan Lahan, Penggerak Perubahan Guna Lahan, Hukum Kehutanan, Kebijakan dan Tata Kelola.
Sejumlah penelitian terkait dengan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan, hukum kehutanan, kebijakan dan tata kelola telah dilakukan. Studi - studi ini telah menghasilkan kebijakan yang lebih baik, seperti Kebijakan Satu Peta, kebijakan moratorium konsesi hutan dan lahan gambut, kebijakan
pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dan peningkatan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal.
Hak penguasaan lahan yang tidak jelas tetap menjadi kendala bagi implementasi peraturan penggunaan lahan.
Sistem manajemen data untuk informasi spasial dan statistik yang berkaitan dengan ERP perlu diberlakukan
Sub - komponen 2b. Opsi Strategi REDD+
Strategi nasional untuk implementasi REDD+ Indonesia dikembangkan pada 2010.
Pada 2012, sebelas provinsi pilot telah menyelesaikan strategi REDD+.
Sistem Informasi Safeguard (SIS) REDD+ dikembangkan pada 2013 dan beroperasi di 3 provinsi (Kalimantan Timur, Jambi, dan Kalimantan Barat).
Tidak semua kepentingan politik lokal di tingkat daerah mendukung strategi REDD+.
Pemahaman tentang Strategi Nasional REDD+ lintas sektor perlu diperkuat.
Peran REDD+ dalam NDC Indonesia belum diselesaikan.
Komponen Kemajuan Kesenjangan utama Tingkat emisi referensi Hutan Nasional Indonesia diajukan pada
tahun 2015 dan dinilai oleh UNFCCC.
Panduan untuk FREL Nasional dan Daerah dikembangkan pada 2017 (Peraturan Menteri No. 70 tahun 2017) dan FREL untuk beberapa provinsi telah dibentuk (termasuk Provinsi Kalimantan Timur).
Sistem MRV REDD + Indonesia dan Sistem Registrasi Nasional untuk Perubahan Iklim dikembangkan pada 2016. Pelatihan dan peningkatan kapasitas dalam sistem ini sedang berlangsung.
Instrumen pendanaan telah berlangsung sejak 2015.
Sub - komponen 2c. Kerangka Implementasi
Sejumlah peraturan dan kebijakan terkait dengan program dan kegiatan REDD+ telah dirancang, diberlakukan, diadopsi, dan diimplementasikan. Ini termasuk yang berikut ini:
Peraturan menteri tentang pedoman implementasi REDD+;
Moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut (ini ditinjau setiap 6 bulan);
Kebijakan Satu Peta;
Unit pengelolaan hutan (KPH) sebagai platform untuk implementasi kerangka REDD+ yang saat ini sedang dikembangkan; dan
Registrasi Nasional REDD+ siap dioperasikan.
Hukum dan peraturan yang terkait dengan pembangunan rendah karbon belum sepenuhnya diadopsi oleh sektor swasta.
Belum ada kejelasan kelembagaan, wewenang dan prosedur dalam mengeluarkan izin usaha REDD+ di kawasan hutan lindung.
Sistem Registrasi REDD+ Nasional belum sepenuhnya disebarluaskan kepada entitas yang bertanggung jawab dan relevan.
Sub - komponen 2d. Dampak Sosial dan Lingkungan
Indonesia telah mengembangkan beberapa instrumen
perlindungan untuk mengatasi dampak sosial dan lingkungan. Ini termasuk SES REDD+, Sistem Penilaian Dampak Lingkungan (AMDAL) nasional, Penilaian Lingkungan Strategis (KLHS), dan Sistem Informasi Upaya Perlindungan (SIS) untuk REDD+
Pada tahun 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghasilkan kompilasi informasi latar belakang untuk
pengembangan SESA dan persiapan ESMF dimulai
SESA dan ESMF (bersama dengan kerangka kerja lain) tersedia dan akan diselesaikan sebelum penilaian Bank Dunia.
Konsultasi lebih lanjut di tingkat kabupaten dan masyarakat dan pengumpulan data primer masih akan diperlukan sebagai bagian dari finalisasi SESA dan ESMF.
Komponen Kemajuan Kesenjangan utama Sub - komponen 2e. Instrumen
Pendanaan dan Instrumen Pembagian Manfaat
Rencana strategis untuk membiayai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim telah dikembangkan.
Peraturan Presiden tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan (sebagai payung untuk Badan Layanan Umum) telah diberlakukan (Peraturan Presiden No. 46 tahun 2017).
Partisipasi oleh sektor swasta dalam pendanaan REDD+ perlu ditingkatkan.
Skema pendanaan membutuhkan dasar hukum yang lebih kuat.
Mekanisme pembagian manfaat perlu diselesaikan dan diadopsi di tingkat nasional dan daerah.
Komponen 3. Referensi Tingkat Emisi / Tingkat Referensi Komponen 3. Tingkat Emisi
Referensi / Level Referensi
Dokumen FREL Indonesia dikembangkan berdasarkan metodologi yang kuat, dan proses partisipatif dan telah diserahkan ke
UNFCCC
Batas yurisdiksi yang digunakan oleh sistem nasional dan daerah tidak sepenuhnya selaras.
Kerangka waktu pengukuran di berbagai skema perlu diselaraskan.
Komponen 4. Sistem Pemantauan Hutan dan Upaya Perlindungan Sub - komponen 4a. Sistem
Pemantauan Hutan Nasional / Daerah
Sistem Pemantauan Hutan Nasional (NFMS) dan sistem terkait pemantauan hutan lainnya telah ditetapkan.
Institusi nasional dan daerah tersedia untuk mengimplementasikan NFMS.
Ada kegiatan lain tentang pemantauan hutan dan karbon yang dikembangkan oleh proyek, Kegiatan Demonstrasi dan program terkait REDD+ lainnya (seperti FCPF, INCAS, dll.) yang memberikan data tambahan penting.
Masih ada ketidakpastian dalam data.
Sistem ini tidak termasuk pertumbuhan kembali hutan dan degradasi di dalam hutan sekunder.
Metodologi untuk menilai perpindahan dan pembalikan belum dikembangkan.
Proses validasi data masih dalam pengembangan.
Inisiatif lain yang terkait dengan pengukuran dan pemantauan di tingkat dasar perlu diselaraskan dan diagregasi ke tingkat nasional.
Sub - komponen 4b. Sistem Informasi untuk Berbagai Manfaat, Dampak Lain, Tata Kelola, dan Perlindungan
Peraturan nasional dan instrumen penilaian lingkungan tersedia.
SIS - REDD+ siap dioperasikan.
SIS - REDD+ membutuhkan landasan hukum untuk meningkatkan legitimasi.
Koordinasi di antara lembaga - lembaga yang memiliki data terkait hutan di tingkat nasional dan daerah perlu ditingkatkan.
Sistem terkait perlindungan REDD+ perlu dikoordinasikan dengan lebih baik.
Kapasitas lembaga di tingkat daerah untuk mengoperasikan SIS REDD+ perlu diperkuat.
Keterlibatan masyarakat dalam SIS perlu ditingkatkan.
Di Kalimantan Timur, seri konsultasi REDD+ dimulai dengan identifikasi stakeholder / pemangku kepentingan, mendefinisikan peran dan wewenang, serta pelembagaan MRV, perlindungan dan pembagian manfaat. Ada kesepakatan untuk menetapkan dasar hukum (peraturan gubernur) untuk MRV, lembaga perlindungan dan pembagian manfaat, serta bertujuan untuk pengurangan emisi di Kalimantan Timur. Selain dasar dan lembaga hukum, kondisi yang memungkinkan untuk pengurangan emisi melalui REDD+ termasuk pembangunan kapasitas perlindungan, MRV dan Tingkat Referensi Emisi Hutan (Forest Reference Emission Level / F-REL).
Program ini akan menjadi sistem pembayaran berbasis kinerja, dan pembiayaan dengan pengaturan On Budget – Off Treasury (Langsung ke Pelaksana) akan dicari. Sistem ini membutuhkan mekanisme penghitungan karbon yang valid (yaitu, penentuan tingkat referensi emisi dan pemantauan, pelaporan, dan verifikasi selanjutnya) dan memungkinkan dana dari pembayaran ini untuk dimasukkan ke dalam anggaran pemerintah untuk dicairkan dari tingkat nasional ke tingkat daerah. Disarankan bahwa implementasi Dana Karbon / Carbon Fund di tingkat lokasi akan melibatkan Unit Pengelolaan Hutan dan administrasi desa. Selain itu, perkebunan kelapa sawit lestari diusulkan sebagai komponen dari Dana Karbon. Pelaksanaan dari program ini akan bertujuan untuk mendukung strategi provinsi dalam mengurangi Rencana Aksi Daerah - Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) dan mencapai Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution / NDC) dalam pengurangan emisi.
Kegiatan tambahan termasuk pembentukan kelompok kerja REDD+ di kabupaten terpilih di Kalimantan Timur. Tujuannya adalah untuk mensosialisasikan / mengutamakan ERP dalam kerangka Dana Karbon FCPF di semua kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Timur. Hal ini dilakukan sebagai langkah penting dalam membangun pemahaman bersama antar stakeholder dalam proses pengurangan emisi dan deforestasi serta degradasi. Komitmen daerah pada ERP diamati melalui integrasi program REDD+ di kabupaten RPJMD.
Berkenaan dengan aspek teknis, didirikan 319 plot contoh permanen untuk penilaian stok karbon di Kalimantan Timur. Metodologi yang diterapkan akan menjadi bagian dari metodologi yang disepakati untuk penilaian diri tentang kesiapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia.
Implementasi awal menghasilkan kesepakatan tentang metodologi MRV, serta identifikasi pendorong untuk deforestasi dan degradasi. Selain itu, kebutuhan untuk pengutamaan Dana Karbon diidentifikasikan di tingkat kabupaten, serta persyaratan pembangunan kapasitas untuk pelaksanaan Dana Karbon yang tepat. Pelaksanaan Dana karbon sebagai sistem pembayaran berbasis kinerja perlu diresmikan melalui Nota Kesepahaman (MoU) antara KLHK dan Gubernur Kalimantan Timur. Nota Kesepahaman / MoU semacam itu perlu mengatur organisasi data, serta mengidentifikasi data petugas. Manajemen data harus memungkinkan akses oleh FCPF, DGCC, P3SEKPI, dan DDPI, sesuai dengan perjanjian berbagi data yang menguraikan hak cipta dan protokol data.
Pada akhirnya, ERP akan dilengkapi dengan mekanisme perlindungan untuk memastikan pencegahan / pengurangan dampak negatif, serta memperkuat dampak positif dari program. Setelah COP di Cancun, Meksiko (29 November - 11 Desember 2010), tujuh prinsip upaya perlindungan ditetapkan sebagai referensi utama / global untuk setiap implementasi REDD+. Pemerintah Indonesia mengadopsi prinsip - prinsip Cancun ke dalam Sistem Informasi Safeguard / Perlindungan (Peraturan KLHK No P.70 / 2017), suatu mekanisme perlindungan yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. SIS didirikan melalui serangkaian konsultasi dan pengujian lapangan yang berlangsung antara 2011-2013. Sistem Informasi Safeguard (SIS REDD+) ini dikembangkan antara 2011 dan 2013 dengan menganalisa kompatibilitas mekanisme yang ada (misalkan: FPIC, SESA dan HCV) untuk mengakomodasi prinsip dan kriteria upaya perlindungan (berdasarkan Cancun dan PRISAI). Serangkaian konsultasi dilakukan
untuk menganalisa mekanisme yang ada dan menetapkan tujuh prinsip (terdiri dari 17 kriteria dan 32 indikator) sebagai dasar untuk pendaftaran dalam SIS REDD+. SIS REDD+ mulai beroperasi pada Mei 2015. Kemajuan utama dalam kerangka perlindungan dimasukkan dalam ringkasan proses konsultasi di Bagian Error! Reference source not found.. ERP akan menggabungkan dan menangani tujuh prinsip upaya perlindungan yang ditetapkan sebagai referensi global untuk REDD+ melalui SIS REDD+. Selain itu, keseluruhan manajemen perlindungan Program akan sepenuhnya mematuhi kebijakan Perlindungan Bank Dunia yang dipicu oleh operasi.