• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dominant Party Mobilization

Dalam dokumen PENGANTAR ILMU ADMINISTRASI NEGARA (Halaman 87-183)

Dalam tipe ini hanya sedikit sekali kegiatan yang berbau politik. Partai yang dominan rupanya merupakan satu-satunya partai yang sah dan diakui eksistensinya oleh pemerintah. Partai tersebut mempertahankan posisinya dengan teknik-teknik kohersif.

Untuk mencapai maksud tersebut diciptakanlah doktriner dan unjuk rasa yang mendukung kebulatan tekad program pemerintah. Kelompok elit biasanya terdiri dari orang muda yang berdiam di kota dan berpendidikan tinggi serta sekuler. Kepemimpinan kharismatik mendominasi semua gerakan yang membakar semangat nasionalisme dan pembangunan.

Untuk mencapai tujuan pembangunan birokrasi diisi dengan pegawai yang terdidik dan

terlatih dengan baik. Namun dalam sistem ini sering terjadi bentrokan antara tenaga tehnis dan tenaga profesional dalam tubuh birokrasi dengan para politisi yang sangat loyal kepada rezim yang sedang berkuasa. Negara yang mempunyai sistem administrasi negara seperti ini antara lain adalah Mali, Ghana, Bolivia, Tunisia, irak di bawah Saddam Husein dan lain-lain.

Perbedaan yang terjadi dalam sistem administrasi negara tersebut selain disebabkan oleh perbedaan lingkungan, disebabkan pula oleh input, proses konversi dan output serta feedback. Sebagaimana diketahui bahwa komponen dari sistem administrasi negara adalah lingkungan yang merangsang administrator dan yang menerima produk kerja administrator, input yang membawa perangsang dari lingkungan kepada administrator, output yang membawa hasil tindakan administrator kepada lingkungan, konversi yang mengubah input menjadi output dan feedback yang membawa output menjadi input pada proses berikutnya.

Yang termasuk ke dalam lingkungan adalah client atau langganan yang memperoleh nikmat dari kebijaksanaan administrator, golongan kepentingan dan anggota masyarakat lainnya yang memberikan dukungan ataupun menentang kebijaksanaan administrator.

Dengan demikian maka yang dimaksud lingkungan dalam analisis sistem adalah berbagai macam gejala sosial ekonomi dan politik yang memberikan masalah kepada administrator. Mereka ini dapat membantu, dapat pula menghambat terhadap proses pemecahan masalah, sehingga kadang-kadang mereka ini merupakan kekuatan yang memusingkan dan membuat frustasi administrator.

Input adalah transmisi yang dikirim dari lingkungan, yang meliputi (a) tuntutan untuk merumuskan kebijaksanaan (b) dukungan, oposisi atau masa bodoh terhadap administrator dan (c) sumber kekayaan.

Masyarakat dapat menuntut/meminta kepada administrator tentang berbagai macam kebutuhan yang diperlukan untuk hidup dan kehidupannya, seperti menuntut/meminta jasa pelayanan air bersih, penerangan umum, pendidikan dan lain-lain. Sebagai konsekuensi logisnya masyarakat harus memberikan dukungan atau membantu administrator di dalam merealisasikan kebijaksanaannya. Demikian pula mereka dapat bersikap masa bodoh atau bahkan menentang terhadap administrator yang dianggap menyalahi ketentuan, melalui saluran yang telah disepakati bersama.

Proses konversi sering disebut sebagai input dari dalam, karena berasal dari lingkungan dalam sistem itu sendiri. Konversi ini terdiri atas (a) struktur formal administrasi, (b) prosedur yang berlaku dalam sistem itu dan (c) pengetahuan dan pengalaman administrator.

Adapun output yang dihasilkan oleh administrator adalah barang dan jasa, peraturan dan ketentuan yang mengatur perilaku, pernyataan dan himbauan. Output yang baik disebut dengan output positif, sedangkan output yang kurang berkenan di hati masyarakat disebut output negatif. Output negatif ini dapat mengakibatkan deprivasi jangka pendek dapat pula mengakibatkan deprivasi jangka panjang.

Sedangkan feedback merupakan umpan balik terhadap input bagi proses selanjutnya. Keseluruhan unsur tersebut dan interaksi antara unsur tersebut membentuk suatu sistem administrasi.

BAB VI

ASPEK ETIS ADMINISTRASI NEGARA

Gagasan bahwa administrasi negara rnemerlukan etika dalam melayani kepentingan masyarakat sebenarnya bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Plato misalnya, beratus- ratus tahun yang lalu telah mengatakan bahwa one cannot be a good public administrator without being first a philosopher. Jadi menurut Plato, untuk menjadi administrator negara yang baik pertama-tama seseorang harus menjadi seorang filosof terlebih dahulu. Dengan menjadi seorang filosof terlebih dahulu maka ia akan cinta kebenaran, segala keputusannya didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan filosofis yang benar, dan karenanya keputusan yang diambil tidaklah merugikan rakyat. Keputusan yang adil itu disebabkan oleh saratnya nilai kebijakan dan kebajikan yang dimilikinya.

Menggeloranya aspek etis dalam studi administrasi negara ini paling tidak disebabkan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu berdentumnya lonceng kematian dikhotomi politik administrasi, munculnya teori pembuatan keputusan, dan lahirnya kritik serangan balas budaya.

Ketidak-berlakuan dikhotomi politik administrasi menyebabkan admirtistrasi dipandang sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Salah satu implikasinya adalah berubahnya asumsi terhadap manusia. Manusia tidak lagi hanya dipandang sebagai zoon politicon dan economic man, akan tetapi dipandang pula sebagai homo-ethicus yaitu manusia yang sangat concemed dan committed dengan etis. Karenanya maka administrasi negara pun juga harus mengacu di samping kepada aspek ekonontis, efisiensi dan raionalitas, harus pula mengacu pada aspek etis. Rasionalitas dalam administrasi tidak dipandang sebagai rasionalitas murni, akan tetapi lebih dipandang sebagai "bounded rationality".

Munculnya teori pembuatan keputusan khususnya dari Herbert A. Simon, telah menempatkan etika pada posisi yang strategis dalam tubuh administrasi negara.

Administrasi negara kata Simon, di dalam membuat keputusan selain harus mempertimbangkan faktor efisiensi harus pula mempertimbangkan faktor sosial psikologis. Keputusan yang diambil hendaknya berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Di sinilah peran etika dituntut. Tanpa ada dasar pertimbangan etis moral,

niscaya keputusan administrasi negara adalah keputusan yang sifatnya hitam-putih.

Istilah serangan balik budaya digunakan untuk menggambarkan sekumpulan literatur yang mengkritik keadaan administrasi negara yang tidak manusiawi, tehnokratis, impersonal dan tak berwajah. Keadaan tersebut disebabkan oleh keterpengaruhan administrasi negara dari ilmu keras, sehingga adrninistrasi negara tidak lagi menampakkan wajahnya yang lembut. Administrasi negara dipenuhi dengan pertimbangan logis mumi, dan kurang memperhatikan aspek emosional dalam diri manusia. Hal-hal yang bersifat normatif ditiadakan dan sesuatu yang tidak empirik harus dienyahkan dari tubuh administrasi negara.

Atas dasar itulah maka seyogyanya administrasi negara harus bersifat lembut, memperhatikan aspek normatif dan bukannya administrasi negara yang value-free dalam setiap keputusannya.

Menurut Titus yang dikutip oleh Ali Mufiz, setidaknya ada 4 (empat) alasan kenapa etika harus dipelajari.

1. Pertama, untuk menemukan cara mana yang benar, dan mana cara yang salah. Etika dapat menuntun manusia dalam pergaulan dan berfikir yang benar atau salah;

2. Kedua, untuk menunjukkan adanya persetujuan umum mengenai prosedur, baik mengenai prinsip maupun aturannya. Dengan kata lain, ada kode moral yang harus dipatuhi semua orang. Tujuannya tiada lain agar tercipta kehidupan yang bermakna;

3. Ketiga, sistem etika seharusnya dikritik secara wajar,

4. Keempat, untuk meletakkan manusia dalam kerangka hidup yang sejati.

Etika berusaha merangsang rasa moral untuk membuka nilai-nilai kehidupan yang sejati, dan untuk memberikan inspirasi kepada manusia agar mempertautkan dirinya dengan persoalan nilai-nilai itu.

Demikianlah maka di dalam realitas administrasi negara aspek etis ini tidak mungkin untuk disingkirkan begitu saja. Administrasi negara merupakan bidang yang sangat rentan dan sangat rawan terhadap beberapa penyelewengan dan penyimpangan.

Tidak hanya pada zaman modern seperti sekarang ini, pada zaman kuno pun administrasi negara/pemerintahan merupakan bidang yang sangat rentan terhadap penyelewengan.

Pelanggaran etis dalam tubuh administrasi negara tidak pula hanya terjadi di negara sedang berkembang atau negara terbelakang, namun terjadi pula di kebanyakan negara yang sudah maju seperti di Amerika Serikat. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana wajah administrasi negara yang tidak mengenal etika sama sekali.

Raja-raja feodal Eropa dalam abad pertengahan yang bersifat kerohanian katanya, akhirnya juga melakukan penindasan pada orde-orde agama yang terlalu kaya, seperti Raja Perancis Philiphe Four terhadap orde TEMPELIERS (1307). Di Indonesia khususnya di Jawa, pelanggaran oleh birokrasi telah ada sejak zaman dulu. Kita lihat misalnya bagaimana seorang Bupati atau lurah menarik pajak kepada warga masyarakat yang tidak sesuai dengan tarif yang ditentukan. Demikian pula kebiasaan menyerahkan

"glondong pengareng-areng" dari bawahan kepada pejabat sebagai bukti loyalitas dan bukti kehendak bawahan untuk melestarikan jabatan, sebenarnya merupakan benih-benih munculnya penyelewengan terhadap prinsip administrasi negara yang efisien. Di luar negeri, yang termasuk negara sedang berkembang, seperti Filipina, Burma, Thailand dsb., kejadian-kejadian serupa banyak pula ditemui. Temuan yang diungkapkan oleh Gunar Myrdal dan disitir oleh Muchtar Lubis memperkuat argumen ini. Di Negara maju seperti Amerika, penyelewengan-penyelewengan seperti yang terjadi di negara sedang berkembang banyak pula ditemui, bahkan dengan teknik yang lebih canggih. Skandal Watergate misalnya merupakan contoh yang baik untuk memperkuat argumen ini.

Paparan di atas sebenarnya memperkuat pendapat betapa rentannya administrasi negara terhadap godaan penyelewengan dan pertyalahgunaan kekuasaan. Kejadian- kejadian tersebut telah menjadikan etika administrasi negara banyak disorot, banyak diperbincangkan dan banyak ditulis, sehingga menjadi bidang kajian yang kian hari kian banyak diminati tidak hanya dari kalangan praktisi, politisi, dan administrasi negara, melainkan juga dari bidang-bidang yang lain seperti ekonomi, administrasi niaga dsb.

Etika administrasi sebagai bidang kajian baru, menurut Prof. Dennis Thompson involves the application of moral prinsiple to the conduct of officials in organizations.

Jadi yang menjadi fokus perhatian dari etika administrasi adalah penerapan azas moral pada kelakuan para pejabat dalam organisasi. Perlu ditegaskan, sebagaimana diingatkan oleh Dwight Waldo bahwa perlu dibedakan secara tegas antara etika di bidang organisasi publik dan etika di bidang organisasi bukan publik. Apa yang menurut

organisasi publik dinyatakan baik belum tentu baik menurut organisasi non publik.

Menembak orang misalnya, kalau dilakukan oleh tentara yang sedang berada di medan laga, maka tindakan tentara tersebut dinyatakan baik. Namun apabila hal tersebut dilakukan oleh orang sipil, tentu hal tersebut dianggap sebagai tindakan kriminal.

Etika administrasi negara/pemerintahan merupakan bidang pengetahuan tentang ajaran- ajaran moral dan azas-azas kelakuan yang baik bagi para administrator dalam menunaikan masa pekerjaannya dan melakukan tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini diharapkan memberikan berbagai azas etis, ukuran baku, pedoman perilaku dan kebajikan moral yang dapat diterapkan oleh setiap petugas guna terselenggaranya pemerintahan yang baik bagi kepentingan rakyat. Atas dasar itu maka etika administrasi lebih bersifat normatif. Ia berisi norma-norma tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan dan yang harus dilakukan oleh setiap petugas dalam melaksanakan tugasnya.

Setiap organisasi publik mulai dari RT sarnpai ke Presiden harus berpegang pada azas etis yang telah dirumuskan. Ajaran normatif tersebut harus dijadikan pedoman di dalam membuat keputusan dan kebijaksanaan. Dengan azas normatif tersebut diharapkan administrasi negara akan mencapai tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi.

Di dalam administrasi modern telah berkembang azas etis yang dianggap pokok yang meliputi:

- Pertanggungjawaban

- Pengabdian

- Kesetiaan

- Persamaan

- Kepantasan

Azas pertanggungjawaban berarti seorang petugas administrasi negara tidak boleh melemparkan tanggung jawab, semata-mata karena ia hanya melaksanakan perintah atasan. Setiap petugas barus berani memikul tanggung jawab atas segala keputusan dan perbuatan yang ia lakukan sehubungan dengan tugasnya.

Azas pengabdian berkenaan dengan azas loyalitas. Seorang petugas administrasi negara harus mencurahkan sekuat tenaga dan daya fikirannya terhadap

tugas yang diembannya. Ia tidak boleh setengah hati di dalam melaksanakan tugasnya. Seorang dosen sebagai salah satu petugas administrasi negara harus lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada profesinya (pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat) dan bukan pada bidang yang lain seperti berdagang atau bakulan. Ia jangan sampai terlena pada barang dagangannya dan melupakan tugas pokoknya seperti membaca buku untuk memperdalam bidang ilmu yang digelutinya.

Loyalitas atau kesetiaan berarti seorang petugas administrasi negara harus loyal di samping kepada profesinya juga harus loyal kepada bangsa, negara, peraturan perundangan, pekerjaan demi tercapainya tujuan kenegaraan dan pemerintahan.

Azas sensitivitas atau kepekaan berarti petugas administrasi negara harus sensitif terhadap perkembangan yang sedang dan akan terjadi. Sifat cepat puas terhadap pekerjaan rutin bukanlah sifat yang sesuai dengan azas sensitivitas ini, dan yang harus dijauhi serta dihindarkan.

Persamaan atau equity adalah azas yang menuntut kepada admirtistrasi negara agar di dalam menjalankan tugas pelayanan tidaklah di dasarkan atas dasar pertimbangan parokhial seperti pertimbangan etnis, agama, jenis kelamin dan sebagainya. Pemberian pelayanan seharusnya didasarkan atas dasar persamaan dan bukannya pada pertimbangan pribadi.

Selain azas persamaan, diperlukan pula azas kepantasan. Sebab tidaklah adil jika kita memberlakukan hukum yang sama kepada orang yang berbeda.

Dwight Waldo dalam salah satu karyanya yang berjudul The Enterprise of Public Administration mengemukakan adanya selusin azas etis bagi administrator negara. Namun juga diingatkan oleh Waldo bahwa kedua belas prinsip yang ia kemukakan itu adalah bersifat Amerika Sentris, sehingga setiap pembaca diharapkan bersifat kritis di dalam membacanya. Karena diakui pula bahwa prinsip itu mungkin kurang begitu cocok bagi kebanyakan negara sedang berkembang.

Sungguhpun begitu ke-duabelas prinsip tersebut dapat dijadikan bahan pembanding.

Kedua belas prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut.

- Kepatuhan terhadap Kontitusi

- Kepatuhan terhadap Hukum

- Kepatuhan terhadap Bangsa atau Negara

- Kepatuhan terhadap Demokrasi

- Kepatuhan terhadap Norma Birokrasi-Organisasi

- Kepatuhan terhadap Profesi dan Profesionalisme

- Kepatuhan terhadap Famili dan Teman

- Kepatuhan terhadap Dirinya Sendiri

- Kepatuhan terhadap kolektivitas

- Kepatuhan terhadap Kepentingan Umum

- Kepatuhan terhadap Humanitas dan Dunia

- Kepatuhan terhadap Agama dan Tuhan

Sedangkan American Society for Public Administration (ASPA) telah pula menyusun sebuah kode etik yang mengikat para anggotanya dan memberikan tugas kepada anggota, yang kebanyakan adalah petugas administrasi negara, untuk:

1. demonstrate the highest standards of personal integrity, truthfulness, honesty and fortitude in all our public activities in order to inspire public confidence and trust in public institutions (menunjukkan ukuran baku yang tertinggi mengenai keutuhan watak perseorangan, kebenaran, kejujuran dan ketabahan dalam semua kegiatan publik agar dapat membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat pada pranata pranata negara;

2. serve the public with respect, concern, courtesy, and responsiveness, recognizing that service to the public is beyond service to oneself (melayani rakyat dengan penuh hormat, perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan kepada rakyat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri);

3. strive for personal professional excellence and encourage the professional development of our associates and those seeking to enter the field of public administration (berjuang ke arah keunggulan profesional perseorangan dan menganjurkan pengembangan profesional dari rekan-rekan kita dan mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi negara);

4. approach our organization and operational duties with a positive attitude and constructively support open communication, creativity, dedication and compassion (menghampiri kewajiban-kewajiban operasional dan organisasi kita dengan suatu sikap positif dan secara konstruktif mendukung komunikasi yang terbuka, kreativitas, pengabdian dan welas asih);

5. serve in such a way that we don’t realize undue personal gain from the, performance of our official’s duties (melayani dengan suatu cara sedemikian rupa hingga kita tidak mewujudkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi kita);

6. avoid any interest or activity which conflicts with. The conduct of our official’s duties (menghindari suatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam pertentangan dengan penunaian dari kewajiban resmi kita);

7. respect and protect the privileged information to which we have access in the course

of official’s duties (menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak- hak istimewa yang kita dapat memperolehnya dalam pelaksanaan kewajiban- kewajiban resmi);

8. exercise whatever discretionary authority we have under law to promote the public interest (menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang kita miliki menurut hukum untuk memajukan kepentingan umum);

9. accept as a personal duty the responsibility to keep up to date on emerging issues and to administer the public's business with professional competence, fairness, impartially, efficiency and effectiveness (menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan rakyat dengan kecakapan professional, kelayakan,, sikap tak memihak, efisiensi dan efektifitas);

10. support, implement, and promote merit employment and programs of affirmative action to assure equal opportunity by our recruitment, selection, and advancement of qualified person from all elements of society (mendukung, menjalankan, dan memajukan penempatan tenaga kerja

menurut penilaian kecakapan serta program Tindakan afirmatif guna menjamin kesempatan yang sama pada penerimaan, pemilihan, dan peningkatan kita terhadap orang-orang yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat);

11. eliminate all forms of illegal discrimination, fraud, and mismanagement of public funds, and support colleagues if the are in difficulty because of responsible effort to correct such discrimination, fraud, mismanagement or abuse (melenyapkan semua bentuk pembedaan yang tak sah, kecurangan, salah urus keuangan negara serta mendukung rekan-rekan jika mereka dalam kesulitan karena usaha yang bertanggungjawab untuk memperbaiki perbedaan, kecurangan, salah urus atau salah pakai yang demikian itu);

12. respect, support, study, and when necessary, work to improve federal and state constitutions and other laws which define relationships among public agencies, employees, clients, and all citizen (menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana perlu berusaha untuk menyempurnakan konstitusi- konstitusi negara federal; dan negara bagian serta hukum-hukum lainnya yang mengatur hubungan- hubungan di antar instansi-instansi pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah dan semua warganegara)

Berdasarkan pada pendoman etis di atas, diharapkan setiap petugas administrasi negara akan berperilaku, bersikap, dan bertindak secara bersih, jujur, bertanggungjawab, efektif dan efisien. Demikianlah maka untuk menciptakan aparatur yang memenuhi kualifikasi seperti yang dimaksud di atas, setiap negara merumuskan seperangkat peraturan yang memuat kewajiban dan larangan bagi aparaturnya. Sebagai contoh, di Indonesia telah dikeluarkan PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri. Secara garis besar, peraturan ini memuat 5 hal, yaitu:

1. hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang pegawai negeri sipil (kewajiban);

2. hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang pegawai negeri (larangan);

3. hukuman apa saja yang dapat dijatuhkan kepada pegawai negeri sipil yang

tidak memenuhi kewajibannya atau melanggar larangan;

4. tata cara pemeriksaan, penjatuhan dan penyampaian keputusan hukuman disiplin

5. badan pertimbangan kepegawaian

Menurut pasal 2 peraturan tersebut, yang menjadi kewajiban pegawai negeri sipil adalah:

a. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945, negara, dan pemerintah

b. mengutamakan kepentingan engara di atas kepentingan golongan atau sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan negara oleh

kepentingan golongan, diri sendiri atau pihak lain

c. menjunjung tinggi kehormatn dan martabat negara, pemerintah, dan pegawai negeri sipil

d. mengangkat dan menaati sumpah/janji pegawai negeri sipil dan sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku e. menyimpan rahasia negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya f. memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan pemerintah baik yang

langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum

g. melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggungjawab

h. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara i. memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan dan

kesatuan korps pegawai negeri sipil

j. segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan dan materiil

k. menaati ketentuan jam kerja

l. menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik

m. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik- baiknya

n. memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing

o. bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya

p. membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya

q. menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya

r. mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya

s. memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya

t. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan u. berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun

terhadap masyarakat, sesame pegawai negeri sipil dan terhadap atasan v. hormat-menghormati antara sesama warganegara yang

memeluk agama/kepecayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan

w. menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat

x. menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku,

y. menaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang;

z. memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan dite- rima mengenai pelanggaran disiplin.

Sedangkan di dalam pasal 3 peraturan tersebut dimuat beberapa larangan bagi pegawai negeri sipil yang meliputi:

a. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat negara, pemerintah atau pegawai negeri sipil;

b. menyalahgunakan wewenangnya;

c. tanpa izin pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara asing;

d. menyalahgunakan barang-barang, uang, atau surat-surat berharga milik negara;

e. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang dokumen, atau surat-surat berharga milik negara secara tidak syah;

f. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan atau orang lain di dalam maupun di luar hingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;

g. melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya;

h. menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan pegawai negeri sipil yang bersangkutan;

i. memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;

j. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;

k. melakukan sesuatu tindakan atau sengaja tidak melakukan sesuatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya srehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayaninya;

l. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;

m. membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain;

n. bertindak selaku perantara bagi sesuanu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi pemerintah,

o. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada

Dalam dokumen PENGANTAR ILMU ADMINISTRASI NEGARA (Halaman 87-183)

Dokumen terkait