• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma 5. Administrasi Negara Sebagai Administrasi Negara

Dalam dokumen PENGANTAR ILMU ADMINISTRASI NEGARA (Halaman 58-61)

3.2 Paradigma Ilmu Administrasi Negara

3.2.5 Paradigma 5. Administrasi Negara Sebagai Administrasi Negara

Ketidakpuasan terhadap paradigma lama memaksa para sarjana untuk membangun suatu paradigma baru, yaitu paradigma administrasi negara sebagai administrasi negara.

Paradigmabaru ini menganggap bahwa administrasi negara adalah administrasi negara, bukan merupakan bagian yang berbeda dari ilmu administrasi maupun ilmu politik, walau diakui beberapa konsep dan konstruk banyak diambil dari dua disiplin ini.

Dianutnya paradigma ke 5 ini dapat ditunjukkan dengan semakin banyaknya sekolahan maupun fakultas yang menibina ilmu ini dengan jumlah yang cukup menggembirakan. Menurut catatan Henry yang mengutip hasil studi orang lain dapat diungkapkan hal-hal sebagai berikut. Antara tahun 1973 - 1978 jumlah sekolah profesional yang secara khusus mempelajari Public Administration dan Public Affairs meningkat sebesar 21%. Sebagian besar mahasiswa yang mempelajari admirtistrasi negara berada pada program studi di sekolah profesional yang secara khusus mengajukan ilmu administrasi negara. Kecenderungan lainnya adalah agresifnya didikan administrasi negara dalam merekrut mahasiswa minoritas dan wanita. Pada tahun 1978, 11% dari mahasiswa tingkat MPA adalah orang kulit hitam, dan hampir 22% adalah wanita.

Walaupun belum ada data yang akurat, di Indonesia minat terhadap Public Administration dapat diduga melonjak terus. Dan sampai saat int belum ada jurusan Administrasi Negara (di PTN) yang ditutup.

Selain paradigma administrasi negara yang dikemukakan oleh Nicholas Henry tersebut, masih banyak paradigma yang dikemukakan oleh berbagai sarjana. Salah satunya adalah paradigma yang diungkapkan oleh Mustopadidjaja, yang mengklasifikasikan paradigma administrasi negara ke dalam

- Paradigma Struktural –Fungsional

- Paradigma Perilaku

- Paradigma Sistemik

- Paradigma Deterministik.

Apabila dipelajari lebih lanjut tentang paradigma administrasi negara, perkembangan paradigma administrasi negara dapat dikelompokkan ke dalam 3 perkembangan yaitu.

- Pemikiran Administrasi Negara yang Legalistik

- Humanisasi Pemikiran Administrasi Negara

- Pemikiran Sistem dalam Administrasi Negara.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa administrasi negara itu terkait erat dengan praktik pemerintahan dan politik. Praktek kenegaraan itu perlu diadministrasikan dan distrukturkan secara mantap. Hal ini berlaku baik menurut versi Eropa maupun versi Amerika. Hal ini disebabkan oleh meluasnya pendekatan positivisime dalam hukum tata negara, sehingga administrasi negara, dimana pun, bersifat legalistik-formalistik.

Administrasi negara merupakan pengelolaan dan pengendalian kegiatan pemerintahan secara absah menurut hukum, sehingga tidak terjadi Penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan negara dan masyarakat.

Melihat kondisi yang demikian maka hal yang dirasa urgen adalah mencari petunjuk yang sifatnya operasional. Petunjuk-petunjuk tersebut akhimya diperoleh dari pengalaman manajemen tentara dan manajemen industri. Dari manajemen militer, teori yang menonjol adalah teori Weber yaang mengandalkan prosedur baku, hubungan impersonal dalam organisasi dan sebagainya. Dari manajemen industri kita kenal pemikiran Taylor, Gil-Berth, Fayol dan lain-lain yang juga mengandalkan aspek mekanik untuk mencapai efisiensi kerja. Menurut mereka efisiensi kerja akan dapat dicapai jika

organisasi mementingkan job relations.

Prinsip-prinsip administrasi yang terlalu menekankan job relations, yang menghendaki kenetralan administrasi negara, jelas menghendaki pula dikotomi politik dan administrasi negara. Pemikiran inilah yang kiranya dimaksud oleh Nicholas Henry sebagai paradigma dikotomi politik dan administrasi, dan sejalan pula dengan paradigma structural-fungsional sebagaimana dimaksudkan oleh Mustopadidjaja.

Ternyata paradigma yang menginginkan administrasi negara bebas nilai, terpisah dari politik, dan menekankan pada rasionalitas murni, hubungan yang impersonal dan kemahiran teknis mengandung beberapa kelemahan. Asumsi yang menyatakan bahwa manusia itu adalah manusia rasional, tidak sepenuhnya benar. Manusia adalah makhluk yang disamping rasional, juga emosional, irrasional dan bahkan kontra rasional. Inilah yang dikatakan oleh Herbert A. Simon bahwa rasional manusia adalah Bounded Rationality. Atas dasar itulah maka mulai bermunculan pemikiran yang mengarah ke Humanisasi Administrasi Negara.

Pemikiran humanisasi dalam administrasi negara tidak menganggap manusia semata- mata sebagai faktor produksi. Munculnya pemikiran ini baru dimulai setelah terjadinya suatu penelitian yang dipimpin oleh Elton Mayo yang terkenal dengan Hawthorne Studiesnya. Temuan penting dalam penelitian ini ialah bahwa faktor terpenting dalam organisasi adalah people atau employee relations, dan bukannya job/task relations. Studi ini pulalah yang melahirkan gerakan Human Relations.

Humanisasi dalam administrasi negara ditandai pula dengan munculnya pendekatan behavioral, yang menentang adanya azas universal dalam administrasi negara. Menurut paham dan keyakinan mereka, bahwa setiap prinsip administrasi akan selalu mengundang timbulnya Counter-Principle atau prinsip tandingan. Konsekuensi dari paham ini ialah terdapatnya bermacam-macam sistem administrasi yang tergantung dari sistem politik yang membingkainya. Dengan kata lain paradigma ini menerima administrasi negara sebagai bagian dari politik, namun antara keduanya sangat erat kaitannya.

Pandangan Herbert A. Simon dan kawan-kawan ini akhirnya mendapat Iahan yangsangat subur untuk berkembang menjadi paradigma baru yang menekankan

pentingnya situasi atau lingkungan sebagai determinan utama. Munculnya dan berkembangnya faham liberalisme di kebanyakan negara menyebabkan kontak antar negara dan bangsa semakin tidak dapat dihindari. Kenyataan semacam itulah yang menyadarkan orang akan pentingnya faktor situasi dalam pengelolaan negara. Protagonist aliran ini tentunya adalah Fred W. Riggs yang mengenalkan studi ekologi administrasi negara, Comparative Public Administration dan akhirnya Development Administration.

Kalau Riggs dan kawan-kawan menganalisis pengartih ekologis ini pada azas makro, ada pula sarjana yang menganalisanya dari sudut mikro. Sarjana seperti Hersey, Blanchard dan lain-lain melihatnya pada azas mikro dan berhasil membuktikan bagaimana determinan situasi seperti besarnya organisasi, sistern imbalan dan lain-lain benar-benar berfungsi,sebagai variabel penentu.

Dalam pada itu hampir bersarmaan dengan lahirnya paradigma situasi lahir pula paradigma teori sistem yang dikembangkan oleh Bertalanfy dan kemudian oleh Boulding.

Paradigma ini sebenarnya idenya sama dengan paradigma situasional, dan oleh karenanya paradigma ini bersaling-tunjang dengan paradigma situasional. Paradigma sistem ini mengkonsepsikan administrasi negara sebagai suatu sub sistem dari sistem yang lebih besar yang disebut masyarakat. Oleh karena itu maka administrasi negara berinteraksi dengan komponen lain dalatn masyarakat kultur, sosial, ekonomi, politik dan lain-lain.

Setiap perubahan pada suatu komponan baik kuantitas maupun kualitas akan selalu menimbulkan perubahan pada komponen yang lain. Berdasar atas itulah maka Riggs membuat lingkaran konsentris sistem administrasi negara, dimana sub sistem politik merupakan sub sistem yang paling dekat dengan administrasi negara.

Dalam dokumen PENGANTAR ILMU ADMINISTRASI NEGARA (Halaman 58-61)

Dokumen terkait