• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Ekonomi Islam dan Peran Filsafat Mulla dan Peran Filsafat Mulla

Dalam dokumen DOKUMEM Dinamika Hukum Islam (Halaman 142-160)

HUKUM EKONOMI ISLAM

I. Eksistensi Ekonomi Islam dan Peran Filsafat Mulla dan Peran Filsafat Mulla

Sadra

A. Pendahuluan

Apakah sistem ekonomi Islam sudah mengadopsi seluruh nilai- nilai Islam yang ada atau justru nilai-nilai Islam itu digunakan hanya untuk mencari keuntungan bisnis semata? Apakah penegakkan hukum terhadap sengketa ekonomi Islam titik tekannya terhadap sahnya suatu akad sebagai wujud seremonial bisnis atau titik tekannya terhadap efek keuntungan dan kerugian dari bisnis tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai reaksi kritis sosial terhadap praktik instansi-instansi kelembagaan yang menjalankan praktik bisnis syariah yang berkembang di Indonesia dalam rangka pembangunan nasional. Pembangunan nasional baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang memerlukan sistem ekonomi yang stabil berdasarkan Pancasila. Yaitu sistem ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, nilai nilai kemanusiaan, nilai-nilai persamaan, nilai-nilai kerakyatan dan nilai- nilai keadilan sosial.

Ekonomi Islam yang merupakan manifestasi dari sistem

‘ekonomi ketuhanan’ merupakan sistem ekonomi yang paling cocok

dengan karakter bangsa Indonesia dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam yang memiliki konsekuensi harus menjalankan nilai-nilai Islam di dalam kehidupannya secara kaffah (total). Tawaran sistem ekonomi Islam oleh lembaga-lembaga keuangan publik bukan untuk memonopoli lembaga keuangan konvensional tetapi sebagai usaha memberikan service jasa keuangan alternatif terhadap masyarakat muslim secara khusus dan masyarakat non-muslim pada umumnya dalam menjalankan lalu lintas transaksi keuangan. Lembaga keuangan publik baik entitasnya berdasarkan nilai-nilai Islam maupun nilai-nilai konvensional memiliki tujuan yang satu yaitu memperoleh keuntungan (profit) dan menjauhkan segala bentuk kerugian (loss).

Salah satu ciri khas sistem ekonomi Islam adalah menggapai keuntungan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat Islam yaitu dengan menjauhkan segala macam bentuk garar (spekulasi), darar (mudarat), riba, untung-untungan (gambling) dan lain-lain.

Ciri-ciri tersebut untuk memperketat setiap transaksi keuangan yang dilakukan oleh kreditur dan debitur serta hal ini yang membedakan dengan transaksi keuangan dengan sistem konvensional. Namun yang terjadi dalam praktek sosial masyarakat, sistem ekonomi Islam terdapat beberapa kendala dan permasalahan yaitu: pertama, adanya ketidakpercayaan (distrust) masyarakat muslim terhadap penawaran sistem ekonomi Islam dikarenakan tidak ada perbedaan substansi antara sistem Islam dan sistem konvensional. Seperti bagi hasil dan bunga. Kedua, statistik profit yang ditawarkan. Setiap orang yang menabung atau investasi di lembaga keuangan baik sistem Islam maupun sistem konvensional tentunya bersikap rasional, investor ingin mendapatkan profit yang tinggi. Lembaga-lembaga keuangan yang berlandaskan sistem Islam cenderung menawarkan profit yang

Eksistensi Ekonomi Islam dan Peran Filsafat Mulla Sadra 121

lebih rendah dibanding sistem konvensional. Ketiga, keraguan masyarakat terhadap integritas SDM yang dimiliki oleh lembaga keuangan publik dalam melakukan penawaran produk. Kualitas SDM yang dimiliki oleh lembaga keuangan publik baik berlandaskan sistem Islam maupun sistem konvensional harus memiliki sifat jujur, transparan, profesional, beretika, dan koperatif.

Berdasarkan permasalahan di atas, konsep ekonomi Islam yang ditawarkan masih terdapat beberapa kekurangan dan memang harus diakui bahwa konsep ekonomi Islam bukan merupakan hasil paripurna dari ulama-ulama terdahulu yang bersifat sempurna dan final tetapi masih membutuhkan beberapa modifikasi dan perbaikan oleh para civitas akademik saat ini agar memiliki nilai jual yang lebih tinggi di pasar publik.

Perspektif masyarakat terhadap sistem ekonomi Islam masih mengkhawatirkan. Mereka phobia terhadap ekonomi Islam disebabkan justifikasi yang salah kaprah dan prematur yang dapat berakibat buruk terhadap perkembangan lembaga keuangan Islam.

Alasannya sederhana yaitu masyarakat memandang bahwa sistem ekonomi Islam yang dijalankan berdasarkan nilai-nilai Islam terkadang terlihat tidak Islami justru sebaliknya sistem ekonomi konvensional yang dijalankan tidak berdasarkan nilai-nilai Islam lebih terlihat Islami. Opini masyarakat tersebut tolak ukurnya adalah profit. Artinya semakin memberikan profit yang besar terhadap masyarakat maka sistem tersebut dipandang lebih islami oleh masyarakat.

Untuk mengantisipasi salah kaprahnya pandangan masyarakat terhadap sistem ekonomi Islam, maka tulisan ini akan memberikan penawaran kajian berupa konsep ekonomi Islam yang diintegrasikan dengan konsep filsafat Islam. Filsafat Islam yang digunakan oleh

penulis adalah filsafat hikmah muta’aliyah karya seorang filosof muslim yang bernama Mulla Sadra. Integrasi keilmuan ini penting sebagai ‘sekoci ilmiah’ yang bersifat integratif yang diharapkan dapat menimbulkan perspektif-perspektif baru dan segar terhadap permasalahan sistem perekonomian Islam yang mencakup berbagai aspek untuk dapat diselesaikan secara komprehensif.

B. Konsep Ekonomi dalam Islam 1. Prinsip Ekonomi Islam

Prinsip ekonomi Islam dikonstruksikan berdasarkan ajaran agama Islam baik secara eksplisit maupun implisit yang bersumber dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi SAW. Menurut Fazlur Rahman1 menjelaskan ada 9 (Sembilan) prinsip dasar di dalam ekonomi Islam yaitu pertama, kebebasan individu.

Kedua, hak terhadap harta. Ketiga, ketidaksamaan ekonomi dalam batas wajar. Keempat, kesamaan sosial. Kelima, jaminan sosial. Keenam, distribusi. Ketujuh, larangan menimbun kekayaan. Kedelapan, larangan anti sosial. Kesembilan, kesejahteraan individu.

2. Kebijakan Ekonomi Islam

Basis pijakan ekonomi Islam adalah pertama, sikap moral dalam menjalankan roda perekonomian. Sikap moral tersebut memiliki beberapa contoh seperti larangan berbuat garar, larangan riba, larangan melakukan transaksi haram dan larangan melakukan transaksi yang memiliki unsur judi atau gambling.

1 Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hlm. 8.

Eksistensi Ekonomi Islam dan Peran Filsafat Mulla Sadra 123

Kedua, kemaslahatan umum. Sistem ekonomi Islam bertujuan untuk memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat luas agar terciptanya iklim pertumbuhan ekonomi yang islami. Di dalam, tujuan dasar syariat Islam (maqa>shid al-syari>‘ah) dikenal konsep tentang menjaga harta (hifz al-ma>l). Menjaga harta ini bertujuan untuk memberikan rambu-rambu kepada masyarakat muslim khususnya dan masyarakat non-muslim pada umumnya agar mereka mengetahui batasan-batasan yang dibenarkan dalam memperoleh harta yang halal dan tata cara penggunaannya.

C. Filsafat Hikmah Muta’aliyah: Identitas Mulla Sadra dan Pemikirannya

1. Identitas Mulla Sadra

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Shirazy yang bergelar Sadr al-Din al-Shirazy yang lebih popular dengan sebutan Mulla Sadra. Mulla Sadra merupakan anak tunggal dari sebuah lingkungan keluarga agamis yang tinggal di Iran. Pada masanya, aliran teologi yang berkembang pesat adalah aliran Syi’ah Imam 12 (dua belas). Dalam konteks kehidupan sosial, Mulla Sadra hidup di mana ilmu-ilmu Islam sedang mengalami kemajuan pesat seperti gelombang interpretasi yang tinggi dan integrasi keilmuan yang komprehensif. Sedangkan dalam konteks politik, Mulla Sadra hidup dalam suasana politik Dinasti Safawi yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Abbas yang berpaham Syi’ah.

2. Pemikiran Filsafat Mulla Sadra

Filsafat Mulla Sadra yang populer dengan sebutan filsafat hikmah muta’aliyah (Teosofi Transendental) merupakan aliran baru dalam diskursus aliran filsafat.

Secara terminologi, hikmah adalah kebijaksanaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh dengan cara melakukan ritual keagamaan yang intensif (intuisi intelektual) yang disajikan secara rasional dengan argumentasi rasional.

Karakteristik hikmah muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dari ajaran-ajaran wahyu berupa Al- Qur’an dan Hadits Nabi SAW, ucapan-ucapan para Imam (pemangku kebijakan keagamaan), kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual (dzawq), iluminasi intelektual, tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional.

Konsep ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui sarana sufisme, iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau yang identik dengan peripatetik atau masysya’iyyah dan ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk teologi.

Secara epistemologis, hikmah muta’aliyah terdiri dari 3 (tiga) prinsip yaitu iluminasi intelektual (haraqah qalbiyyah), pembuktian rasional (haraqah aqliyyah) dan agama (haraqah diniyyah). Artinya secara sederhana, filsafat hikmah muta’aliyah lahir dari rahim 3 (tiga) disiplin keilmuan yaitu ilmu syariat (agama), ilmu filsafat (rasional) dan ilmu tasawwuf (mistik).

Eksistensi Ekonomi Islam dan Peran Filsafat Mulla Sadra 125

D. Ekonomi Islam Dalam Perspektif Filsafat Hikmah Muta’aliyah 1. Komunitas Masyarakat

Dalam konteks ilmu syariat, melakukan transaksi ekonomis yang berlandaskan nilai-nilai Islam telah diatur di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Di dalam Surah Al-Baqarah ayat 172 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadaNya kamu menyembah.” Kemudian di dalam surat adz-Zariyat ayat 57-58 yang artinya: “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberiKu makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” Kemudian dijelaskan kembali dalam surat al-Nisa ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

Ketiga surat tersebut di atas menjadi legal standing bagi seluruh umat Islam untuk melakukan kegiatan ekonomis yang berlandaskan nilai-nilai Islam di dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Konsekuensi hukum logis dengan adanya ketiga surat di atas adalah pertama, hukum yang bersifat mubah yaitu pada prinsipnya diperbolehkan bagi setiap umat muslim untuk melakukan kegiatan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua,

hukum yang bersifat haram yaitu dilarang bagi setiap muslim yang melakukan kegiatan ekonomi baik karena zatnya maupun wujudnya segala jenis ekonomi yang dapat menimbulkan kemudaratan.

Ketiga, hukum yang bersifat wajib yaitu diperintahkan bagi setiap muslim untuk melakukan kegiatan ekonomi yang dapat membantu kebutuhan seseorang yang sedang memerlukan demi tegaknya harkat dan martabat sebagai manusia yang utuh.

Pemahaman terhadap hukum-hukum muamalah di atas tidak dipahami secara simplisis oleh masyarakat muslim tetapi harus melihat realita dan prospek masa depan karena ayat-ayat yang menjelaskan tentang ekonomi Islam termasuk ayat-ayat yang bersifat probabilitas (ta’aquli) sangat terbuka peluang untuk melakukan interpretasi dan pembaruan.

Dalam perspektif hikmah muta’aliyah, sistem ekonomi Islam yang terjadi di tengah masyarakat terefleksi dalam bentuk kaidah moral. Masyarakat muslim harus peka (moral sense) dengan kondisi ekonomi muslim lainnya. Sikap tidak rakus (greedy) yang dimiliki oleh seseorang menjadi stimulus positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitarnya. Ada 6 (enam) faktor yang dapat mengevaluasi konsep moral yang berkembang di tengah masyarakat yaitu: pertama, rasa tanggung jawab setiap anggota masyarakat.

Artinya seseorang harus bertanggung jawab terhadap ekonomi antar sesama dengan melakukan kontrol sosial. Kedua, perasaan bersalah jika tidak membantu. Artinya seseorang harus tanggap terhadap orang lain yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Ketiga, kuantitas bahaya. artinya seseorang harus mempertimbangkan dengan cermat dan tepat terhadap segala bentuk kemungkinan resiko yang akan terjadi dalam melakukan kegiatan perekonomian.

Keempat, kemungkinan terulangnya bahaya atau resiko yang sama

Eksistensi Ekonomi Islam dan Peran Filsafat Mulla Sadra 127

terhadap subjek yang sama. Kelima, keuntungan yang diperoleh.

Artinya setiap kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan profit di dalamnya terdapat hak orang lain. Keenam, sukarela. Artinya kegiatan ekonomi yang dilakukan semata-mata untuk mencari ridha dan anugerah dari Allah SWT.2

Moral sebagai fakta konstruktif kemanusiaan itu berada pada dataran metafisik, bukan pada dataran fisik. Untuk menangkap atau mengobservasi fakta konstruktif tersebut perlu memiliki pandangan kemanusiaan yaitu pandangan yang memahami benar tentang sifat kemanusiaan. Moral berupa sesuatu yang objektif universal. Disebut objektif karena kebenarannya bebas dari subjektivitas individual.

Disebut universal karena bebas dari kasus, bebas dari tempat dan waktu. Karena itu yang objektif universal tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang dapat dibuktikan adalah kasus- kasus yang menggunakan moralitas yang objektif universal itu seperti kasus ekonomi Islam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.3

Masyarakat Indonesia yang termasuk milieu konsumtif masih melihat ekonomi sebagai faktor penentu dalam kebahagiaan hidup sehingga dengan cara apapun seseorang akan melakukan untuk meraih kepuasan tersebut. Di dalam melakukan kegiatan perekonomian, masyarakat perlu memiliki sifat zuhud. Misalnya Syaqiq al-Balkhi (W. 139 H) seorang sufi yang memiliki kekayaan duniawi berlimpah namun tetap memiliki sikap kezuhudan terhadap perekonomiannya. Kekayaan yang dimilikinya hanya sebatas genggaman tangan tidak sampai membuatnya menjadi cinta dunia.

2 Christopher Boorse and Roy A. Sorensen, “Ducking Harm”. The Journal of Philosophy 85, no. 3 (1988): 119.

3 Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, PostPositivisme, dan PostModernisme (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), hlm. 140.

2. Lembaga Keuangan Publik

Lembaga jasa keuangan publik yang memiliki otoritas untuk mengatur, mengawasi dan mengeluarkan kebijakan tentang lalu lintas transaksi keuangan diselenggarakan secara terbuka dan akuntabel berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi Pancasila. Lembaga keuangan publik bermacam-macam bentuk seperti Perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pasar Bursa Saham, Perusahaan Reasuransi, dan lain-lain. Dalam tulisan ini, penulis fokus terhadap lembaga perbankan Islam.

Di dalam menjalankan roda perekonomian nasional, perbankan memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Dana-dana yang tersedia dialokasikan untuk merangsang sektor-sektor produktif bagi masyarakat. Ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan oleh lembaga perbankan Islam dalam menjalankan usaha keuangan tersebut yaitu: prinsip keadilan, prinsip persamaan, dan prinsip kausa.

Ketiga prinsip dasar di atas, telah diatur oleh syariat Islam sebagaimana firman Allah SWT Surat Al-Nahl ayat 90 yang artinya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Pesan yang tersurat di dalam ayat ini adalah pertama, perintah untuk berbuat adil. Kedua, perintah berbuat kebaikan antar sesama.

Ketiga, perintah adanya hubungan timbal balik antara sesama muslim dalam kebaikan. Di dunia Islam, perhatian terhadap moral sangatlah tinggi. Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Nabi,

Eksistensi Ekonomi Islam dan Peran Filsafat Mulla Sadra 129

misalnya dengan membawa banyak ajaran tentang moral.4 Di dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa beliau memiliki moral yang agung.5

Di dalam melakukan kegiatan bisnis, lembaga perbankan tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan-keuntungan materi semata atau pencapaian target tetapi harus pula bertujuan untuk membantu (ta’awun) antar sesama. Prinsip ta’awun tersebut terefleksi dalam bentuk moral publik yang hidup di tengah masyakarat. Misalnya di dalam melakukan penawaran, lembaga perbankan tidak hanya menjelaskan konsep-konsep akad, mekanisme pembiayaan, sistem claim insurance yang sesuai dengan doktrin-doktrin Islam tetapi perilaku dan perbuatan SDM perbankan sebagai user kebijakan pun harus sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Dalam perspektif hikmah muta’aliyah, moral manusia memiliki kebebasan yang besar bahkan mungkin lebih besar lagi dari yang kita bayangkan. Karena tindakan moral terjadi pada tataran spiritual.6 Oleh karena itu timbul frame baru dalam ekonomi Islam yaitu konsep spiritual marketing, spiritual saving, dan lain-lain.

Kata-kata spiritual yang melekat pada produk lembaga perbankan sebagai ciri khas bahwa lembaga perbankan Islam tersebut tidak hanya produk-produk yang sesuai dengan standar Islam tetapi perilaku dan etika para stake holder, karyawan-karyawatinyapun harus sesuai dengan nilai-nilai Islam.

4 Sebuah Hadits yang sangat terkenal yang dilontarkan oleh beliau adalah

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan moral yang mulia”. Hadits ini dari Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh al-Darawardi. Lihat juga al-Bayha>qi>, Al-Sunan al-Kubra>

(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 192.

5 Q.S. al-Qalam/68:4.

6 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 77.

3. Aparat Penegak Hukum

Dalam sengketa ekonomi Islam, Hakim dituntut untuk memeriksa, mengadili dan memutus dengan sebaik-baiknya yang didukung dengan integritas yang tinggi karena sengketa ekonomi Islam terkait dengan sengketa keuangan publik. Untuk membangun integritas tersebut perlu diketuk hati nurani Hakim dan moral yang ada di dalam dirinya.

Dalam perspektif filsafat hikmah muta’aliyah, kebebasan Hakim dalam memutus perkara ekonomi Islam tidak terlepas dari moral dan hati nuraninya karena moral berfungsi sebagai petunjuk dan pembimbing terhadap Hakim dalam menjalankan tugasnya.

Tidak ada alasan bagi seorang Hakim ketika memutus perkara tidak tahu mana nilai-nilai yang baik dan nilai-nilai yang buruk. Dalam filsafat hikmah muta’aliyah yang baik itu disebut al-makruf artinya semua orang secara kodrati tahu dan menerimanya sebagai kebaikan, sedangkan yang jahat itu disebut al-munkar yaitu semua orang mengetahui secara kodrati menolak dan mengingkarinya. Nilai baik atau buruk adalah bersifat universal dan diperintahkan untuk melakukan yang baik dan menjauhkan yang buruk.7 Pelanggaran nilai-nilai moral oleh Hakim tercermin dalam putusan yang dijatuhkannya.

Orang memberikan ganjaran kepada Hakim yang berbuat baik dan menghukum kepada Hakim yang bersalah. Jika kebajikan sudah tersebar di kalangan rakyat, secara alami masyarakat akan cenderung kepada kebajikan dan keutamaan. Nilai moral setiap

7 Musa Asy‘arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi Dalam Berfikir (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 92.

Eksistensi Ekonomi Islam dan Peran Filsafat Mulla Sadra 131

orang menjadi jelas dan sifat-sifat murni dan yang tercemar akan terbedakan.8

Momok kerusakan dan ketidakadilan terhadap hak seseorang dalam sengketa ekonomi Islam akan berakibat kepada stigma negatif terhadap reputasi Hakim dan badan peradilan sehingga diperlukan standar moral yang meliputi dua hal yaitu upaya untuk pencegahan terjadinya kerugian terhadap orang lain dan sebagai upaya menuntut terhadap mereka yang berperilaku abmoral.9 Konsep ketidakadilan masuk dalam kategori moral. Ini merupakan ajaran universal yang meliputi berbagai macam tanggung jawab moral. Konvensi tentang kerugian ketidakadilan termasuk moral internasional selama warga negara percaya terhadap kekuatan politik yang sedang berjalan.10

Para psikiater melemparkan ide dasar bahwa untuk menolak bahaya dan ketidakadilan harus memegang selogan “first, do no harm” yaitu pertama kali dalam berbuat sesuatu, Hakim harus memperhatikan moral dan janganlah membahayakan atau merugikan pihak lain11 baik perorangan maupun lembaga keuangan karena perhatian Hakim dalam menjaga moral dan etika sama pentingnya dengan memproduksi keputusan hukum.12

8 Sayid Mujtaba Musawi Lari, Etika dan Pertumbuhan Spiritual (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 169.

9 Harvard Law Review, “Punitive Damages and Libel Law”, The Harvard Law Review Association 98, no. 4 (1985): 862.

10 Andrew Linklater, “Citizenship, Humanity, and Cosmopolitan Harm Conventions”, International Political Sciense Review 22, no. 3 (2001): 274.

11 Anne C. Lewis, “New Congress Should ‘First do No Harm”, The Phi Delta Kappan 80, no. 6 (1999): 420.

12 Peter Cane, “Taking Law Seriously: Starting Points of the Hart/Devlin Debate”, The Journal of Ethics 10, no. 1 (2006): 21. Berbicara moral dalam diri Hakim maka ada poin yang penting yaitu Hakim atau seseorang yang telah hidup saleh sampai ia meninggal dunia maka kemungkinan besar ia jauh dari sifat rugi baik diri sendiri maupun terhadap

Prinsip moral berimplikasi positif terhadap kohesi sosial masyarakat. Implikasi tersebut diketahui ketika kerugian atau kondisi bahaya itu terjadi atau akan terjadi sehingga akan memahami makna moral yang sebenarnya.13 Budi pekerti, moral atau akhlak yang telah dibicarakan di atas adalah berusaha mencari kebaikan dengan nilai-nilai luhur agama, adat istiadat atau bahkan lahir dari kata hati yang suci dan nurani yang jujur. Hal ini akan menimbulkan etika yang menjadikan Hakim seorang moralis karena dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Misalnya, ada seorang Hakim, ushu>liy, tafaqquh fi di>n, filosof sekaligus seorang sufi yang bernama Abu Yusuf (W. 181 H).

Di dalam karyanya al-Kharraz, dijelaskan untuk membuka tabir dan sekat (mukasyafah) antara dirinya dan sang pencipta setiap malam tidak pernah luput 1000 rakaat dan 10 kali mengkhatamkan Al- Qur’an. Perbuatan tersebut dilakukan bertujuan mempertajam intuisi mistiknya dalam menyidangkan perkara publik terutama kasus perpajakan untuk menerobos cadar penutup keadilan.14

Faktor dasar yang menghasilkan pengetahuan Hakim dan kepantasan serta keluhuran perbuatan Hakim adalah tujuan untuk mendapatkan keridhaan tuhan. Tanda yang terbaik dari keimanan yang mantap kepada Tuhan ialah karakter moral dan spiritual dari niat dan motif-motif seorang Hakim. Dalam hal itu tindakannya

orang lain. Lihat di dalam Mikel Burley, “Winch and Wittgenstein on Moral Harm and Absolute Safety”, International Journal for Philosophy of Religion 67, no. 2 (2010): 81.

13 Matthew Hanser, “The Metaphisycs of Harm”, Philosophy and Phenomenological Research 77, no. 2 (2008): 449.

14 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hlm. 16. Lihat juga karya Al-Nubhani, Jamie Karamat al-Auliya (Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah, 1998), Jilid 1, hlm. 120.

Dalam dokumen DOKUMEM Dinamika Hukum Islam (Halaman 142-160)