• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peta Pemikiran Fiqih Maqa>shidMaqa>shid

Dalam dokumen DOKUMEM Dinamika Hukum Islam (Halaman 114-128)

FILSAFAT HUKUM ISLAM

V. Peta Pemikiran Fiqih Maqa>shidMaqa>shid

A. Pendahuluan

Hukum Islam adalah akumulasi dialektika antara rumusan teks Al-Qur’an dengan persepsi sosial yang ditetapkan untuk mengatur lalu lintas perilaku manusia agar dapat berjalan lancar, tidak tumpang tindih dan memberikan rasa keadilan. Sebagaimana lazimnya ilmu pengetahuan, hukum Islam tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya stagnasi yang disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada diri manusia.

Tujuan dari sebuah hukum Islam perlu diperhatikan karena semua orang mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Jangan sampai penegakkan hukum Islam justru menimbulkan keresahan masyarakat. Karena kalau berbicara tentang hukum Islam, kita cenderung hanya melihat pada doktrin- doktrin fiqih, yang terkadang aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan masyarakat kekinian.

Terkait dengan tujuan hukum Islam (fiqih maqa>shid), maka penulis akan mengelaborasi konsep fiqih maqa>shid dari perspektif historis dengan cara memetakan pemikiran tujuan hukum Islam lintas generasi mulai dari kelompok tradisional, kelompok moderat

dan kelompok kontemporer agar terlihat tipologi pemikiran serta postulat-postulat sederhana yang membentuknya.

B. Konseptualisasi Fiqih Maqa>shid

Mashlahah merupakan embrio lahirnya konsep baru yang dikembangkan oleh al-Sya>tibi (W. 790 H) menjadi maqa>shid al- syari>‘ah. Adapun tujuan syara’ dalam menetapkan hukum- hukumnya mempunyai enam tujuan yaitu

1. Memelihara agama

William James mengatakan bahwa agama adalah sebuah seni dalam mencari keridaan tuhan atau sebagai suplemen batiniah untuk memenuhi hajat jiwa seseorang. Oleh karena itu, beragama merupakan kekhususan bagi manusia (al-hayawa>n al- fiqriyyah) yang harus dipenuhi karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Emile Durkheim di dalam bukunya yang berjudul The Elementary Forms and Religious Life mengatakan bahwa agama menghasilkan sebuah peradaban yang mapan. Artinya semakin memelihara nilai-nilai agama maka semakin memelihara peradaban dan semakin jauh dari nilai-nilai agama maka semakin menghancurkan peradaban itu sendiri.

2. Memelihara jiwa

Jiwa manusia merupakan kumpulan antara nilai dan realita. Segala bentuk kejahatan terhadap jiwa manusia yang berdampak sistemik terhadap masyarakat luas harus segera diamputasi agar kejahatan tersebut tidak menular ke masyarakat luas sebab jiwa seseorang dilindungi oleh regulasi lokal maupun global.

Peta Pemikiran Fiqih Maqashid 93

3. Memelihara akal

Kaum rasionalis adalah kaum yang paling dimuliakan oleh Allah SWT sebagaimana Muhammad Abduh mengatakan bahwa agama adalah akal. Tidak beragama orang yang tidak berakal. Oleh karena itu, Allah SWT telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paripurna dibandingkan dengan makhluk- makhluk lain dari berbagai macam sebab manusia mempunyai akal sehingga akal merupakan alat vital dalam pandangan Islam.

Memelihara akal dapat dilakukan dengan cara pengayaan pemikiran-pemikiran segar untuk memberikan sumbangsih positif terhadap kelangsungan hidup ilmu pengetahuan.

4. Memelihara keturunan

Berbicara keturunan sangat berhubungan dengan ilmu medis karena keturunan merupakan bagian materialisme medis yang bersatu sehingga mempunyai konsekuensi hukum mengikat. Keturunan seseorang yang merupakan hasil

‘cangkokan’ sperma tidak terhalang oleh hal-hal yang bersifat non-materialisme. Artinya tidak ada ruang bagi hukum alam untuk melakukan intervensi terhadap status seseorang.

William James misalnya, mengatakan bahwa darah yang mengalir pada diri anak sejalan dengan darah yang mengalir di dalam diri orang tuanya sehingga anak cenderung beragama sebagaimana agama orang tuanya sedangkan jika darah anak mengalir ‘berlawanan’ dengan darah orang tuanya maka anak akan cenderung berbeda agama dengan orang tuanya.

5. Memelihara harta benda dan kehormatan

Sesuatu yang bersifat materialis dan duniawi maka akan tersirat di dalamnya sikap kebinatangan. Sikap tersebut menyebabkan seseorang akan melakukan berbagai cara untuk

mendapatkan materi duniawi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Islam melakukan dogmatisasi konsep halal dan haram dalam melakukan transformasi kebendaan antar individu.

Namun yang perlu diingat adalah memiliki materi tidak menyebabkan lahirnya dominasi kelas di dalam masyarakat.

6. Memelihara ekosistem kehidupan

Kelangsungan peradaban manusia terkait dengan kelangsungan ekosistem yang menunjangnya. Kerusakan alam menyebabkan rusaknya sebuah peradaban manusia namun baiknya alam menyebabkan mapannya peradaban manusia.

Alam tidak akan menghianati terhadap kebaikan orang-orang yang memeliharanya. Sayd Hossein Nasser mengatakan bahwa untuk menjaga ekosistem tersebut diperlukan sebuah alat spiritualitas yang mumpuni dan ketulusan hati.

C. Peta Pemikiran Fiqih Maqashid

Di sini penulis akan menggambarkan sejarah singkat perkembangan teori maqa>shid al-syari>‘ah dari zaman sebelum al- Sya>tibi dan setelahnya.

1. Al-Juwayni> (Periode 1028-1085 M)

Imam Juwayni> (W. 478 H) menganalisis mashlahah (kemanfaatan) sebagai basis ekstra tekstual penalaran dalam konteks qiya>s (analogi) dengan ‘illah (motif) menjadi lima kategori. Pertama, makna secara rasional dapat dipahami dan berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan esensial tertentu.

Kedua, menyangkut apa yang merupakan kebutuhan umum.

Ketiga, yang tidak termasuk dalam salah satu bagian di atas tetapi lebih kepada kemuliaan harkat dan martabat. Keempat, hampir sama dengan ketiga namun dalam batasan prioritas.

Peta Pemikiran Fiqih Maqashid 95

Kelima, menyangkut prinsip (ushul) yang maknanya tidak jelas dan tidak dituntut oleh kondisi darurat (primer), tidak pula hajah (sekunder), tidak pula dituntut suatu mukarramah (tersier). Artinya al-Juwaini> (W. 478 H) menjadikan otoritas teks sebagai dasar dilahirkannya konsep mashlahah.

2. Al-Ghaza>li> (Periode 1058-1111 M)

Al-Ghaza>li> (W. 1111 M) tidak menolak sama sekali kepada mashlahah, seperti dilakukannya terhadap istih}sa>n, namun kualifikasi yang diajukan bagi penerimaan mashlahah tidak memungkinkan menjadi prinsip penalaran mandiri. Lebih jauh dengan pembatasan-pembatasan di atas terhadap konsep mashlahah, Al-Ghaza>li> (W. 1111 M) tidak bisa membawa ke fokus, unsur-unsur lain yang dalam pembahasannya sangat relevan dengan mashlahah, semisal taklif, hakikat hukum, fahm al-khitab, niyyah, ta’abbud dan sebagainya. Al-Ghaza>li> (W.

1111 M) terkadang menggunakan mashlahah untuk mengetahui tujuan dari hukum tersebut yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kemudian mashlahah ini terbagi kepada tiga tingkatan yaitu dharu>riyyah (primer), ha>jiyyah (sekunder) dan tah}si>niyyah (tazyi>niyyah) (tersier).

3. Al-Tu>fi> (Periode 1276-1316 M)

Pemikiran al-Tu>fi (W. 751 H) adalah tentang maslahah yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul. ketika itu. Pembahasannya tentang konsep mashlahah bertolak dari Hadits Rasulullah yang berbunyi:

“Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) memudaratkan (orang lain). (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, al-Daruquthni, Ibn Majah dan Ahmad ibn Hanbal)”.

Hadits tersebut, menetapkan mashlahah yang menjadi tujuan utama hukum syariat dan menafikan (meniadakan) mudarat sebab, mudarat adalah kerusakan. untuk memelihara mashlahah maka mashlahah wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya sebagai sarana (metode) untuk mencapai dan merealisasikan tujuan maslahah. Oleh karena itu, tujuan harus lebih diutamakan dari pada sarana.

Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah mashlahah (kemaslahatan) bagi umat manusia. Karenanya seluruh bentuk kemaslahatan disyari’atkan. Dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nash tertentu maupun oleh makna yang dikandung oleh sejumlah nash. Artinya jika nash bertentangan dengan mashlahah maka al-Tu>fi> (W. 751 H) mendahulukan mashlahah itu sendiri. Mashlahah, menurutnya, merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara’.

4. Al-Sya>tibi> (Periode 1388 M)

Al-Sya>tibi> (W. 790 H) menjelaskan bahwa tujuan hukum dapat dikelompokkan kepada dua kategori yang luas yang berkaitan dengan tujuan yang dimiliki oleh syariah dan yang berkenaan dengan tujuan para mukallaf, orang-orang muslim yang telah memiliki kewenangan hukum dan memiliki kewajiban untuk menjalankan hukum. Kategori yang pertama dibagi lagi menjadi empat sub kategori, masing-masing berkaitan dengan maksud tuhan dari sisi yang berbeda. Dalam sub kategori yang pertama, al-Sya>tibi> (W. 790 H) membahas maksud tuhan yang sebenarnya dalam menetapkan hukum, dalam hal ini, untuk melindungi kemaslahatan manusia (baik

Peta Pemikiran Fiqih Maqashid 97

yang berkenaan dengan duniawi maupun agama) sepanjang yang diakui oleh prinsip-prinsipnya dharu>riyyah, ha>jiyyah dan tahsi>niyyah. Intinya syari’ah diturunkan kepada manusia dengan tujuan agar ia dapat mengendalikan nafsu dan keinginan orang Islam. Berbicara mengenai maqa>shid al-syari>‘ah maka berbicara tentang manusia. Skema pembahasan al-Sya>tibi> (W.

790 H) tentang maqa>shid al-syari>‘ah adalah sebagai berikut:

5. Qasd al-Syari (tujuan sang pembuat hukum)

- Aspek pertama: tujuan pokok pembuat hukum dalam melembagakan hukum itu sendiri

- Aspek kedua: tujuan melembagakan hukum adalah agar bisa dipahami (ifham)

- Aspek ketiga: tujuan melembagakan hukum adalah untuk menuntut kewajiban (takli>f)

- Aspek keempat: tujuannya dalam memasukkan mukallaf ke dalam perintahnya

6. Qasd al-Mukallaf

Pembahasan dalam aspek pertama berkaitan dengan mashlahah artinya derajatnya, cirinya serta relativitas atau kemutlakannya. Aspek kedua membahas dimensi kebahasaan masalah taklif yang diabaikan oleh para yuris lain. Suatu perintah yang merupakan takli>f (kewajiban) haruslah bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak hanya dalam kata-kata dan kalimat saja, tapi juga dalam makna kebahasaan dan budaya pemahaman. Al-sya>tibi> membahas masalah ini dengan menjelaskan dua istilah: Dila>lah al-Ashliyyah (arti dasar) dan Dila>lah al-Ummiyyah (arti yang dipahami oleh masyarakat).

Aspek ketiga menganalisis gagasan takli>f dalam kaitannya dengan qudrah (kemampuan), masyaqqah (kesulitan) dan lain-

lain. Aspek keempat mengemukakan aspek huzhuzh dalam kaitannya dengan hawa dan ta’abbud. Pada sisi kedua, yakni sisi mukallaf, al-Sya>tibi> umumnya berkepedulian dengan persoalan niat dan perbuatan.

7. Ibnu A<syu>r (Periode 1879-1973 M)

Setelah al-Sya>tibi>, dekade selanjutnya lahir Ibnu A<syu>r (W. 1390 H) yang mengembangkan konsep maqa>shid al- syari>‘ah dalam teori dan aplikasi yang tertuang dalam magnum opusnya maqa>shid al-syari>‘ah isla>miyyah. Dalam merealisasikan gagasan Ibnu A<syu>r mengkonstruksi maqa>shid al-syari>‘ah dilihat dari sisi egalitasnya dalam ilmu syari’ah dan cara mengaplikasikannya. Ia berpendapat bahwa argumen fiqih harus didasarkan pada maqa>shid al-syari>‘ah yang melatarbelakanginya.

Landasan epistemologi menurut Ibnu A<syu>r menjadi fondasi maqa>shid al-syari>‘ah terbagi menjadi 4 macam yaitu : fitrah. Dalam pandangan Ibnu A<syu>r (W. 1390 H), fitrah adalah keadaan yang dalam keadaan tersebut Allah SWT menciptakan akal manusia. Keadaan dimana akal terbebaskan dari penyimpangan dan adat istiadat yang merusak. Toleran. Pada gagasan ini Ibnu A<syu>r menampilkan kembali dimensi sosial yang bertalian langsung dengan konsep samahah, yang mendorongnya untuk menguraikan bab rukhshah (keringanan dalam taklif) sebagai salah satu perwujudan makna samahah dalam hukum syariat. Kebebasan. Kebebasan berpendapat dimaksudkan sebagai kebebasan untuk menuangkan gagasan, pemikiran dan paham keagamaan dalam lingkup yang diijinkan oleh syariat Islam. Adapun kebebasan untuk berbuat, meliputi kebebasan untuk berbuat dalam lingkup pribadi yaitu

Peta Pemikiran Fiqih Maqashid 99

kebebasannya untuk melakukan perbuatan yang mubah. Haqq.

Dalam pandangan Ibnu A<syu>r (W. 1390 H), gagasan tentang kebebasan tidak dapat dipisahkan dengan hak, karena penggunaan kebebasan terikat dengan hak.

8. Allal al-Fassi (Periode 1910-1974 M)

Allal al-Fassi dalam maqa>shid al-syari>‘ah al-isla>miyyah wa maka>rimuha> dan Ibn A<syu>r dalam maqa>shid al-syari>‘ah al- isla>miyyah menyatakan bahwa segala hukum yang secara umum mewujudkan kemaslahatan berarti mewujudkan maqa>shid al- syari>‘ah. Karena tampak dalam konsep ini terletak fleksibilitas, kelenturan dan dinamisasi hukum Islam. Sekaligus membuka wawasan mereka yang menyatakan bahwa hukum Islam itu kekal, doktrinal dan abadi yang tidak mungkin diselesaikan kepada bentuk perubahan sosial dan modernisasi. Al-Fassi menilai bahwa klasifikasi maqa>shid al-syari>‘ah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu A<syu>r menunjukan bahwa al-Sya>ri (pembuat hukum: Allah dan Rasulnya) dalam menetapkan berbagai hukum, tidak hanya bertujuan memberikan beban kepada umat manusia tetapi lebih bertujuan menciptakan kemaslahatan umat manusia dan menghindarkan dari kemudaratan. Dan dalam mewujudkan terpeliharanya lima hal pokok di atas, al-Fassi mengkategorikannya pada beberapa tingkatan: kebutuhan dharu>riyyah (primer), ha>jiyyah (sekunder) dan tahsi>niyyah (tersier).

9. Jama>luddi>n Atiyah Muh}ammad (Periode 2013 M)

Konsep maqa>shid al-syari>‘ah menurut Jama>luddin Athiyah Muh}ammad bahwa Allah SWT mengutus rasulnya untuk menyampaikan petunjuk dan agama yang hak dengan tujuan meninggikan agama Islam atas segala agama. Allah SWT

telah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul.

Konsep maqa>shid al-syari>‘ah meliputi metode penetapan maqa>shid al-syari>‘ah, pengelompokan maqa>shid al-syari>‘ah dalam zanni dan qathi, maqa>shid al-syari>‘ah lain yang tidak disebut ulama terdahulu dan uraiannya, perurutan dan urgensi maqa>shid al- syari>‘ah, metode aktualisasi maqa>shid al-syari>‘ah. Gagasan utamanya adalah: pertama; gagasan yang bersifat asasi perihal peran akal dan fitrah dalam mendefinisikan dan menetapkan hak dan kewajiban. Kedua; memaparkan teori baru tentang maqa>shid al- syari>‘ah dan kritiknya terhadap pembatasan klasik maqa>shid al- syari>‘ah atas lima bagian, di samping menguraikan empat ruang lingkup maqa>shid al-syari>‘ah yang meliputi lingkup persoalan pribadi, keluarga, umat dan umat manusia secara umum. Ketiga;

berisi uraian terperinci menyangkut metode aktualisasi konsep teori maqa>shid al-syari>‘ah dan tinjauan atas kondisi terkini dalam pendayagunaan maqa>shid al-syari>‘ah, penjelasan tentang apa yang disebut ijtiha>d maqa>shid.

D. Kritik Epistemologi Maqa>shid al-Syari>‘ah

Sebuah konsep yang sedang viral di kalangan para pemikir hukum Islam saat ini adalah konsep maqa>shid al-syari>‘ah. Tingginya permintaan (demand) terhadap konsep maqa>shid al-syari>‘ah oleh para yuris Islam mengakibatkan lahirnya klaim-klaim yang megah seolah-olah maqa>shid al-syari>‘ah tidak berdasar untuk diilmiahkan.

Untuk mencermati terhadap modus operandi epistemologi maqa>shid al-syari>‘ah, maka penulis akan memberikan beberapa kritikan (counter factual) sebagai berikut:

Peta Pemikiran Fiqih Maqashid 101

Berbicara epistemologi maqa>shid al-syari>‘ah, para yuris Islam selalu berangkat dari penafsiran sebuah teks literer (mafhu>m al- nash) Al-Qur’an dan Hadits secara tekstual (taken for granted) tanpa dikaji imajinasi sosial dan fenomena ideologi global sehingga mengakibatkan lahirnya konsep maqa>shid al-syari>‘ah yang terbatas dan peyoratif seperti menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, menjaga harta dan menjaga ekosistem kehidupan padahal Al-Qur’an sendiri merupakan sumber kajian teks bahasa, ideologi dan kohesi sosial yang begitu luas jika dikaji lebih dalam (depth interpretation) akan melahirkan konsep maqa>shid al- syari>‘ah yang lebih uptodate dan universal sesuai dengan zaman kekinian. Konsekuensinya adalah konsep maqa>shid al-syari>‘ah belum tuntas menjawab isu-isu pluralisme, hak asasi manusia, dan gender. Dengan pertumbuhan isu-isu aktual tersebut, maqa>shid al- syari>‘ah kehilangan landasan di kalangan para penganutnya.

Dalam menjelaskan maqa>shid al-syari>‘ah, para yuris Islam selalu menjelaskan teori mashlahah terlebih dahulu sebagai embrio lahirnya teori maqa>shid al-syari>‘ah. Contohnya al-Juwaini>

mengeskpresikan maqa>shid al-syari>‘ah dari teori mashlahah (baca:

Al-Mu’tamad), al-Thu>fi> mengeskpresikan maqa>shid al-syari>‘ah dari teori mashlahah (baca: Syarh Mukhtasar al-Raudah) al-Ghaza>li>

mengeskpresikan maqa>shid al-syari>‘ah dari teori mashlahah (baca:

Al-Mustashfa), al-Sya>tibi> mengeskpresikan maqa>shid al-syari>‘ah dari teori mashlahah (baca: Al-Muwa>faqa>t), Izuddi>n bin ‘Abdul Salam mengeskpresikan maqa>shid al-syari>‘ah dari teori mashlahah (baca: Al-Qawa>’id al-Ah}ka>m). Perlu diingat bahwa epistemologi maqa>shid al-syari>‘ah itu tidak hanya identik dengan teori mashlahah tetapi terkait pula dengan teori daf’u al-d}arar yang include di dalamnya menggapai maslahat dan menolak kerusakan (jalb al-

masalih wa daf’u al-d}arar). Sebab antara dimensi maslahah dan dimensi daf’u al-d}arar merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan layaknya keeping mata uang. Konsekuensinya adalah penekanan para yuris Islam terhadap mashlahah akan melahirkan paradigma hak asasi manusia (HAM) saja. Seharusnya perlu dijelaskan pula oleh para yuris Islam mengenai konsep daf’u al-d}arar yang akan melahirkan paradigma kewajiban asasi manusia (KAM).

Contohnya adalah seseorang mempunyai hak asasi manusia untuk beragama atau kebebasan beragama (jalb al-masalih) tetapi mempunyai kewajiban asasi manusia untuk menghargai dan tidak mengganggu agama orang lain (daf’u al-d}arar). Seseorang mempunyai hak asasi manusia untuk mendapatkan kehidupan yang layak atau kebebasan untuk hidup (jalb al-masalih) tetapi mempunyai kewajiban asasi manusia untuk tidak mencelakakan dan mengganggu kehidupan orang lain (daf’u al-d}arar).

Epistemologi maqa>shid al-syari>‘ah sebagai sebuah kajian tradisi keilmuan yang ditawarkan oleh para yuris Islam masih bersifat absolut dengan dalih validitasnya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Padahal maqa>shid al-syari>‘ah merupakan cabang dari filsafat hukum Islam yang bersifat rasionalis sehingga kebenarannya pun bersifat relatif. Konsekuensinya adalah konseptualisasi maqa>shid al-syari>‘ah bukan sebagai sistem kepercayaan hukum Islam yang tidak lagi bersifat teori (teosentris) tetapi berkembang kepada pendekatan (antroposentris). Jika sudah menjadi sebuah pendekatan (maqa>shid approach), maka 6 aspek yang ada di dalamnya tidak mengikat kepada para user hukum Islam.

Peta Pemikiran Fiqih Maqashid 103

E. Penutup

Tulisan ini memberikan kesimpulan bahwa dalam perspektif historis, tipologi paradigma hukum Islam terbagi 3 zaman yaitu:

zaman klasik, zaman modern dan zaman post-modern. Pada zaman klasik, hukum Islam hadir dan manusia diperintahkan untuk mengikutinya demi tercapainya kemaslahatan. Pada zaman modern sebaliknya, manusia hadir dan hukum Islam diperintahkan untuk menyesuaikannya demi tercapai kemaslahatan. Sedangkan pada zaman post-modern, hukum Islam dan manusia bersama-sama untuk berorientasi terhadap kemaslahatan. Dengan demikian, Syahrur dan Asymawi mengkritik ideologi atas doktrin ushul fiqih tradisional dan menawarkan paradigma baru yaitu paradigma historis-ilmiah.

Paradigma aksiologi fiqih maqa>shid tidak terbantahkan oleh para yuris Islam kontemporer. Master plan mereka adalah merubah orientasi rezim lama dari aspek teosentris (konsep maqa>shid) menjadi rezim baru yang lebih memperhatikan antroposentris (pendekatan maqa>shid).

Esensi pemahaman maqa>shid al-syari>‘ah adalah mengapresiasi manusia seutuhnya. Nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kebebasan merupakan keniscayaan yang melekat kepadanya sebagai subjek hukum.

Konstruksi metodologi maqa>shid al-syari>‘ah yang bersifat diskursif selalu mengalami penyempurnaan oleh para yuris Islam.

Hal ini membuktikan bahwa hukum Islam yang dikonstruksi dengan pendekatan maqa>shid al-syari>‘ah dapat menjawab permasalahan secara tuntas (problem solving) dari segala bentuk permasalahan sosial yang bersifat kekinian.

Pendekatan maqa>shid al-syari>‘ah (maqashid approach) selalu berorientasi terhadap keadilan substansial dan mengenyampingkan

keadilan prosedural yang rigid dan kaku. Dalam konteks saat ini, hukum Islam tidak lagi bercirikan formalisme-elitis tetapi bergerak menuju idealisme-populis.

Rekonstruksi Kaidah Fiqih 105

Dalam dokumen DOKUMEM Dinamika Hukum Islam (Halaman 114-128)