• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membumikan Hukum Preventif Preventif

Dalam dokumen DOKUMEM Dinamika Hukum Islam (Halaman 88-114)

FILSAFAT HUKUM ISLAM

IV. Membumikan Hukum Preventif Preventif

A. Pendahuluan

Hukum preventif adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan untuk mengatur lalu lintas perilaku manusia agar dapat berjalan lancar, tidak tumpang tindih dan memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan. Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum preventif tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus gelombang komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya stagnasi penindakan yang selama ini disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada diri manusia.

Tabiat manusia yang baik akan memberikan manfaat terhadap orang lain sedangkan tabiat manusia yang buruk akan mengakibatkan kerugian pada orang lain. Baik buruknya tabiat seseorang sangat mempengaruhi proses interaksi sosial sehari-hari sehingga setiap ajaran agama manapun melarang untuk membalas dendam perbuatan kejahatan orang lain karena akan menimbulkan kerugian selanjutnya.

Tujuan hukum preventif adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan, kesalahan dan kerugian sejak dini. Menggapai kemanfaatan dan mencegah terjadinya kerugian dalam proses law enforcement menjadi penting karena ada manfaat yang besar di dalamnya. Jangan sampai penegakkan hukum justru menimbulkan

kerugian bagi masyarakat. Karena kalau berbicara tentang penegakkan hukum kita cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan an sich, yang terkadang aturan itu tidak paripurna dan tidak aspiratif dengan konteks masyarakat yang terus berubah. Terkait tujuan hukum berupa kemanfaatan dan mencegah terjadinya kejahatan, kesalahan dan kerugian maka penulis akan menguraikan konsep hukum preventif dalam perspektif Islam dan sistem peradilan.

B. Islamisme dan Upaya Preventif

Di dalam Islam, perbedaan antar norma agama dan realitas sosial adalah sebuah keniscayaan. Terhadap perbedaan tersebut, Islam menawarkan beberapa langkah penyelesaian masalah (problem solving) sebagai berikut: pertama, berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan perbuatan. Kedua, self-regulated berupa kontrol diri dengan meyakini bahwa segala tindakan di muka bumi ada yang mengawasi. Ketiga, character buiding berupa pengasahan integritas diri yang berkelanjutan. Dengan kata lain, upaya preventif di dalam Islam berpijak kepada basis keilmuan, ketuhanan dan kemanusiaan.

C. Mengapa Pencegahan Harus Diutamakan?

Konsep pencegahan yang menjadikan kemanfaatan dan keadilan sebagai tujuan adalah karena sesuai dengan tujuan Islam itu sendiri yang menjadikan kepentingan umum dan pribadi sebagai sasaran utamanya. Seseorang yang berkomitmen memeluk agama

Membumikan Hukum Preventif 67

Islam harus mencegah dirinya agar tidak terjatuh terhadap tindakan kejahatan, kerusakan dan kerugian yang membinasakan dirinya.1

Terkait dengan hubungan antara upaya pencegahan dan tujuan hukum Islam, ada 4 (empat) poin yang dapat dirinci yaitu pertama, tujuan utama sebuah ajaran Islam adalah untuk memberikan kemanfaatan sebanyak-banyaknya kepada seluruh umat manusia.

Kedua, prinsip kemanfaatan yang berdasarkan nilai-nilai moral dijadikan sebagai tolak ukur baik buruknya sebuah perbuatan.

Ketiga, upaya pencegahan terhadap kerugian sangat sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Keempat, kebebasan berperilaku di bawah naungan perlindungan hak asasi manusia merupakan pengejawantahan konsep pencegahan itu sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan terhadap segala macam bentuk kejahatan, kesalahan, kerugian dan kerusakan adalah tindakan utama yang sesuai dengan pokok ajaran Islam. Di dalam sebuah kaidah hukum Islam dikatakan pencegahan lebih utama dari pada penindakan.2

D. Kaidah Fiqih Preventif (Islamic Legal Maxims)

Kaidah fiqih adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan objek hukum-hukum cabang. Adapun objek-objek ini merupakan objek-objek yang terpenting dalam kajian fiqih Islam. Yaitu objek- objek tersebut berkaitan dengan segala perkembangan kehidupan dan perubahan zaman.3 Adapun kaidah fiqih yang bersifat preventif adalah sebagai berikut:

1 Al-Baqarah ayat 195 yang artinya “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.

2 Ah}mad al-Maqqari, Al-Qawa>‘id (Mekkah: Ummul Qura>, t.t.h), hlm. 590.

3 Isma>‘i>l Kaukasal, Tagayyur al-Ah}ka>m fi al-Syari>‘ah al-Isla>miyyah (Beirut: al- Risa>lah, 2000), hlm. 66.

Pertama, kaidah yang artinya “Melakukan kerugian yang bersifat khusus untuk mencegah kerugian yang bersifat umum”.4 Kerugian yang bersifat khusus tidak boleh sama dengan kerugian yang bersifat umum. Seperti seorang dokter atau Hakim yang tidak profesional di bidangnya maka harus segera di non-aktifkan dari jabatannya karena khawatir akan menimbulkan kerugian yang lebih luas yaitu banyaknya pasien yang menderita sakit serta terzaliminya pencari keadilan karena keputusan hukumnya yang keliru.

Kedua, kaidah yang artinya “Mencegah kerugian lebih utama dari pada meraih kemanfaatan”.5 Sesungguhnya perhatian Islam begitu besar kepada hal-hal yang dilarang dari pada hal-hal yang diperintahkan. Meninggalkan sekecil debu yang dilarang lebih utama ketimbang mengerjakan perbuatan yang diperintahkan.6

Ketiga, kaidah yang artinya “Sesuatu yang merugikan harus dicegah semampu mungkin”.7 Bahwasanya ajaran Islam menghendaki untuk mewujudkan kemaslahatan agar tercapai kebahagiaan dan tercegahnya kerugian. Para yuris klasik banyak menggunakan kaidah ini dalam mencegah tindakan kriminal dan kejahatan kemanusiaan lainnya.

Keempat, kaidah yang artinya “Apabila bertentangan antara kerugian dan kemaslahatan maka didahulukan mencegah kerugian tersebut”.8

4 ‘Ali Hayda>r, Durar al-H{ukka>m Sharh Majallah al-Ah}ka>m (Riya>d: Da>r al-Ilm al- Kutub, 2003), Jilid 1, hlm. 40.

5 ‘Ali Hayda>r, Durar al-H{ukka>m Sharh Majallah al-Ahka>m, Jilid 1, hlm. 41.

6 Ibnu Nujaim, Ghamz ‘Uyu>n al-Basha>’ir Sharh Kita>b al-Ashba>h wa al-Naza>’ir (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), Juz 1, hlm. 290.

7 Sa>lih} al-Sadla>n, Al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa ma> Tafara‘a ‘Anha> (Riya>d:

Da>r Balansiyah, 1417 H), hlm. 508-509.

8 Kaidah ini dipelopori oleh ulama mazhab al-Syafi‘i. Lihat di dalam karya Ya>sin al-Fada>ni, Al-Fawa>’id al-Janiyyah: Ha>shiyah al-Mawa>hib al-Sunniyyah Sharh al-Fawa>’id

Membumikan Hukum Preventif 69

E. Konsep Hukum Preventif di Dalam Sistem Peradilan

Pencegahan terhadap segala macam bentuk kerugian di dalam sistem peradilan merupakan suatu komponen penting dalam menegakkan proses hukum di Indonesia. Komponen penting ini menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kebebasan disertai tanggung jawab dengan memperhatikan kemanfaatan.

Upaya mencegah terhadap kejahatan, kerugian dan pengacauan di dalam proses persidangan pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi pihak pencari keadilan dan aparat penegak hukum sendiri. Kerugian tersebut terbagi kepada dua kategori yaitu kerugian internal dan kerugian eksternal. Kerugian internal meliputi tercelanya integritas perilaku Hakim yang menyebabkan jatuhnya martabat wibawa peradilan sedangkan kerugian eksternal meliputi tekanan opini dan emosional para pihak berupa pengrusakan infrastruktur bangunan pengadilan.

F. Regulasi Contempt of Court Sebagai Upaya Pencegahan Jatuhnya Marwah Hukum

Pengrusakan, tekanan opini dan teror kemandirian Hakim dalam memutus perkara merupakan ancaman utama dalam sistem peradilan. Sebelum melakukan pencideraan terhadap pengadilan, seseorang harus memperhatikan kemanfaatan apa yang diperolehnya dan mempertimbangkan kondisi kerugian yang akan terjadi jika melakukan hal-hal yang destruktif. Terhadap pelaku pengrusakan,

al-Bahiyyah fi Nazm al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah (Beirut: Da>r al-Basha>’ir al-Isla>miyyah, 1996), Jilid 1, hlm. 282.

terlepas dari penilaian sosial, dalam proses pembuktian tentang perbuatannya itu akan diupayakan semaksimal mungkin untuk mengungkap kejahatan pengrusakan tersebut serta sanksi yang sebesar-besarnya.9

Perbuatan kriminal seperti pengrusakan infrastruktur pengadilan dapat mengganggu kepentingan hal layak umum.

Terutama mengganggu kenyamanan hak hidup dan privasi seseorang dalam mencari keadilan. Kejahatan dan pengrusakan dapat menimbulkan berbagai macam efek yang serius di dalam standar kehidupan. Ada 4 hal pokok yang dilanggar dalam standar kehidupan tersebut yaitu pertama, fisik bangunan atau fisik seseorang. Kedua, kebutuhan dan kemudahan seseorang. Ketiga, kebebasan hidup seseorang. Keempat, privasi seseorang.10

Upaya pemberian hukuman terhadap pelaku pengrusakan di dalam lingkungan pengadilan merupakan suatu konsep yang masih bersifat kontroversi dan beberapa orang telah melakukan penelitian studi teoritis, studi empiris atau studi eksperimental tentang hal tersebut.11 Upaya pemberian hukuman akibat kerusakan memiliki hubungan yang erat dengan kompensasi yang akan diberikan kepada pihak korban.12

9 Louis Kaplow and Steven Shavell, “Accuracy in the Assessment of Damages”, Journal of Law and Economics 39, no. 1 (1996): 191.

10 Andrew Von Hirsch and Nils Jareborg, “Gauging Criminal Harm: A Living Standart Analisys”, Oxford Journal of Legal Studies 11, no. 1 (1991): 19.

11 Thomas A. Eaton, David B. Mustard and Susette M. Talarico, “The Effects of Seeking Punitive Damages on the Processing of Tort Claims”, The Journal of Legal Studies 34, no. 2 (2005): 343.

12 Theodore Eisenberg, Jhon Goerdt, Brian Ostrom, David Rottman and Martin T.

Wells, “The Predictability of Punitive Damages”, The Journal of Legal Studies 26, no. 52 (1997): 660. Lihat juga A. Mitchell Polinsky, “Are Punitive Damages Really Significant, Predictable, and Rational? A Comment on Eisenberg”, The Journal of Legal Studies 26, no.

52 (1997): 663.

Membumikan Hukum Preventif 71

Sistem pembinaan terhadap pelaku pengrusakan ada dua pilihan yaitu pertama, jika condong terhadap upaya pencegahan maka lakukanlah pencegahan tersebut dengan melakukan hal-hal yang berhubungan. Seperti diperketatnya pengamanan, pemasangan alarm, pemasangan alat screening logam. Kedua, Jika condong upaya pemberian sanksi atau efek jera maka berikanlah sanksi tersebut dengan upaya-upaya yang terkait dengannya.13

Kerusakan karena kelalaian seseorang, ada 3 (tiga) hal yang menarik untuk diperhatikan yaitu pertama, unsur kesengajaan seseorang harus diteliti dan diselidiki secara mendalam tentang kerusakan tersebut sehingga harus mempertanggung jawabkan atas segala resiko yang akan diembannya. Kedua, konsep resiko terkait dengan rasionalitas dan kewajaran. Konsep ini untuk mengetahui segala resiko yang akan ditanggung jika melakukan suatu kesalahan berupa pengrusakan yang akan melahirkan sikap kehati-hatian bagi seseorang. Ketiga, motivasi dan alasan yang digunakan dalam membuat regulasi contempt of court hendaknya memperluas tanggung jawab hukum perbuatan seseorang.14

Di dalam catatan sejarah, kekuasaan kehakiman merupakan komponen penting dari kekuatan kerajaan yang absolut.15 Pendekatan sejarah ini merupakan hal yang berharga bagi para intelektual hukum yang menganalisis hukum secara kronologis.16 Pihak-pihak yang melakukan pengrusakan terhadap infrastruktur

13 Kip Viscusi, “The Challenge of Punitive Damages Mathematics”, The Journal of Legal Studies 30, no. 2 (2001): 346.

14 Marc Stauch, “Risk and Remoteness of Damage in Negligence”, The Modern Law Review 64, no. 2 (2001): 64.

15 Michael Chesterman, “Contempt: In the Common Law, but Not the Civil Law”, The International and Comparative Law Quarterly 46, no. 3 (1997); 559.

16 Lotterhos, “The History of Contempt of Court”, Virginia Law Review 14, no. 5 (1928): 416.

pengadilan seperti memecahi kaca pengadilan, membakar kantor pengadilan, mengganggu proses persidangan, bertengkar di ruang sidang, mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya, berbusana seronok merupakan sebuah tindakan yang melecehkan martabat peradilan17 sehingga dibutuhkan suatu aturan yang memadai guna menjawab permasalahan tersebut. Regulasi contempt of court yang sudah berlaku di sistem common law sudah seharusnya diadopsi menjadi aturan Indonesia guna menjaga wibawa badan peradilan khususnya dan marwah hukum pada umumnya. Regulasi ini diperlukan sebagai sarana untuk mempertahankan hak-hak warga negara untuk memperoleh keadilan dan melindungi sistem administrasi peradilan yang berjalan namun terkadang regulasi seperti ini masih mengalami kendala yang serius yaitu dibenturkannya dengan hak kebebasan seseorang untuk mengungkapkan sebuah pendapat di muka umum termasuk di dalam persidangan.18

Gilbert Ware mengatakan regulasi contempt of court tidak hanya untuk melindungi pihak peradilan tetapi untuk melindungi pihak-pihak yang dirugikan seperti pengadilan federal di Amerika Serikat yang melakukan kampanye untuk menegakkan keadilan dan melindungi pihak korban pencari keadilan.19 Selain pencari keadilan, Hakim dalam menjalankan fungsinya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman harus mendapatkan jaminan keselamatan. Maksudnya

17 Perbuatan tercela adalah perbuatan atau sikap, baik di dalam maupun di luar peradilan yang dapat merendahkan martabat Hakim. Lihat Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

18 Bailey, “The Contempt of Court Act 1981”, The Modern Law Review 45, no. 3 (1982): 301.

19 Gilbert Ware, “Civil Rights and Contempt of Federal Courts”, Phylon 25, no. 2 (1964): 154.

Membumikan Hukum Preventif 73

adalah profesi Hakim diberikan jaminan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Pengamanan persidangan harus disiapkan sebelum adanya tragedi yang akan muncul.

G. Pelanggaran Kode Etik Hakim: Penindakkan atau Pencegahan Nirmoral?

Berbicara mengenai hukum, hukum tanpa etika sama artinya bukan hukum atau bahkan sama artinya dengan kezaliman. Lebih jauh lagi, etika tidak menjadi perhatian masyarakat luas, khususnya para penegak hukum. Hukum dan keadilan tidak dapat dipisahkan sehingga penerapan hukum tidak harus selalu bersifat formalitas literal tanpa unsur keadilan yang sebenarnya.20 Keadilan yang sebenarnya adalah perilaku aparat penegak hukum dalam menjalankan profesi yang sesuai dengan nilai-nilai etis untuk memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan kepada pencari keadilan. Pembahasan mengenai kode etik Hakim maka terkait dengan keputusan bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang isinya sebagai berikut: berperilaku adil,21 berperilaku

20 Amir Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2004), 166.

21 Berperilaku adil seperti Hakim wajib tidak memihak, Hakim menjunjung asas praduga tidak bersalah, Hakim dilarang menunjukan rasa suka atau berat sebelah terhadap salah satu pihak yang berperkara sehingga menimbulkan kesan memihak kepada salah satu pihak, Hakim harus memberikan keadilan semata-mata menegakan keadilan, Hakim memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak dalam persidangan dan tidak boleh berkomunikasi oleh salah satu pihak di luar persidangan.

jujur,22 berperilaku arif dan bijaksana,23 bersikap mandiri,24 berintegritas tinggi,25 bertanggung jawab,26 menjunjung tinggi harga diri,27 berdisiplin tinggi,28 berperilaku rendah hati29 dan bersikap profesional.30 Pelanggaran terhadap kode etik tersebut dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI.

22 Berperilaku jujur seperti Hakim harus jujur dan menghindari perbuatan tercela, sikap Hakim harus menjaga kepercayaan masyarakat, Hakim tidak boleh meminta dan menerima hadiah, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari para pihak, pengacara, jaksa dan pihak ketiga, Hakim tidak boleh menyuruh pegawai di bawahnya untuk meminta hadiah, penghargaan kepada pihak lain, dan Hakim wajib melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.

23 Bersikap arif dan bijaksana seperti Hakim dilarang mengadili anggota keluarga sendiri, tidak boleh terpengaruh oleh keluarga dan pihak ketiga, Hakim dilarang menggunakan wibawa peradilan untuk kepentingan pribadi, Hakim tidak boleh memberikan keterangan mengenai perkara yang sedang berjalan, Hakim tidak boleh memberikan keterangan, saran, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka terhadap suatu putusan, dan Hakim tidak boleh menjadi anggota partai politik.

24 Bersikap mandiri seperti Hakim harus bebas dari pengaruh, tekanan dan campur tangan siapapun dan Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan eksekutif dan legislatif.

25 Bersikap integritas tinggi seperti Hakim dilarang melakukan tawar menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara, menunda eksekusi dan lain-lain, Hakim dilarang mengadili perkara yang memiliki hubungan pertemanan dengan pihak yang berperkara, pengacara dan jaksa.

26 Bertanggung jawab seperti Hakim dilarang mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia untuk tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.

27 Menjunjung harga diri seperti Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan yang memiliki potensi memanfaatkan posisi Hakim dan Hakim dilarang bekerja layaknya seorang pengacara, jaksa, dan Hakim dilarang menjadi eksekutor, administrator atau kuasa pribadi lainnya.

28 Berdisiplin tinggi seperti Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam persidangan, Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

29 Berperilaku rendah hati seperti Hakim melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan bukan sebagai mata pencaharian melainkan sebuah amanat yang diemban dan dipertanggungjawabkan di hadapan masyarakat dan tuhan.

30 Bersikap profesional seperti Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan, Hakim harus tekun melaksanakan tanggung jawab administrasi dan Hakim wajib menghindari kekeliruan dalam membuat keputusan, mengabaikan fakta dalam persidangan.

Membumikan Hukum Preventif 75

Majelis Kehormatan Hakim (MKH) adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang bertugas memeriksa dan memutus adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Dalam arti bahwa Majelis Kehormatan Hakim menjadi forum pembelaan diri bagi Hakim yang akan diusulkan untuk diberhentikan secara tetap.31

Keberadaan majelis kehormatan Hakim ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 22 F ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial jo Pasal 11 A ayat (6) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 jo Pasal 20 ayat (6) UU Nomor 49 Tahun 2009, yang pada intinya menyatakan bahwa Hakim yang akan diusulkan pemberhentian tetap diusulkan dan diberikan hak untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Adapun mengenai komposisi keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim berdasarkan ketentuan pasal 22 F ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial jo Pasal 11A ayat (8) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 yaitu terdiri dari 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial dan 3 (tiga) orang Hakim Agung.

Forum pembelaan diri Hakim ini lebih lanjut terutama terkait dengan tata cara pembentukan dan mekanisme kerjanya diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dengan menerbitkan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 129/KMA/SKB/IX/2009 Nomor:

31 Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim yang dimaksud dalam ketentuan ini bersifat ad hoc (kasus per kasus). Lihat Penjelasan Pasal 11 A ayat (7) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

04/SKB/P.KY/IX/2009 tanggal 8 September 2009 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.

Sejak Periode Tahun 2010 s.d April 2014 berdasarkan laporan yang diterima oleh Komisi Yudisial pada periode yang sama, sebanyak 30 orang Hakim sudah di proses dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH).

Berdasarkan penjatuhan sanksi tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip etika dan hukum berlaku umum dan mutlak serta memiliki hubungan yang terkait.

Keumuman dan kemutlakan ini mesti tetap dalam kerangka batasan dan sebab utamanya masing-masing. Dari segi ini, prinsip etika dan hukum tidak berbeda dengan semua prinsip ilmiah lainnya.32 Etika berfungsi sebagai pagar dalam perilaku Hakim baik dalam menjalankan profesi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku Hakim yang mulia dan bermartabat melahirkan moral dan hati nurani yang suci sehingga produk hukum yang dijatuhkan mengandung nilai-nilai maslahat dan mencegah terjadinya mudarat.

Tujuan akhir adanya prinsip etika di dalam proses penegakkan hukum adalah untuk menjadikan aparat penegak hukum sebagai pribadi yang berakhlak, berperilaku yang baik dan menjauhkan yang buruk. Perilaku yang baik terhadap orang lain akan memberikan kemaslahatan dan kebahagiaan (utility) sedangkan perilaku yang buruk akan menimbulkan mudarat dan kesengsaraan.

Penindakan terhadap pelanggar kode etik masih masif terjadi.

Sedangkan upaya pencegahan perbuatan nirmoral jarang dilakukan seperti diklat internalisasi pedoman perilaku dan kode etik bagi

32 M.T. Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam: Orientasi ke Filsafat Islam Kontemporer (Jakarta: Shadra Press, 2010), 198.

Membumikan Hukum Preventif 77

Hakim sekaligus keluarganya karena tidak tertutup kemungkinan bahwa keluarga mendorong Hakim untuk melakukan tindakan tercela seperti menerima risywah (suap). Upaya pencegahan terhadap aparat agar tidak melanggar kode etik jauh lebih banyak sisi positifnya ketimbang upaya penindakan. Salah satunya adalah pertimbangan kehidupan keluarga pasca penjatuhan sanksi.

H. Konflik Hukum Normatif dan Hukum Responsif

Teori hukum abad ke sembilan belas umumnya menyetujui bahwa norma hukum adalah norma koersif (sebuah norma yang mendukung kekerasan) dan norma hukum dibedakan dari norma- norma yang lain. Pure theory of law khususnya menggambarkan kesadaran penuh akan keunikan sebuah ideologi yaitu teori hukum murni membatasi dirinya pada hukum positif.33

Teori hukum murni merupakan tentang hukum positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu namun ia menyajikan teori penafsiran. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada. Ia merupakan ilmu hukum (yurisprudensi) bukan politik hukum.34 Teori hukum murni berupaya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang tersebut, bukan lantaran ia mengabaikan atau memungkiri kaitannya, melainkan

33 Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum (Bandung: Nusamedia, 2010), hlm. 71.

34 Hubungan antara hukum dengan politik adalah bahwa hukum yang ada itu (maksudnya hukum positif) adalah putusan politik. Undang-Undang Dasar di Indonesia dibuat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan lembaga politik.

Demikian seterusnya terhadap peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Dasar yang merupakan keputusan politik. Hukum yang mengatur lembaga politik itu adalah hukum tata negara karena itu hukum tata negara memiliki kaitan erat dengan politik. Lihat di dalam karya Bintan Saragih, Politik Hukum (Jakarta: HTN Trisakti, 2003), hlm. 14.

Dalam dokumen DOKUMEM Dinamika Hukum Islam (Halaman 88-114)