G. Accomodating Local Culture as a Directional of Educational Goals
2. Evaluasi Program Pelatihan
Evaluasi program merupakan langkah terakhir dari suatu pelatihan, yang seringkali tidak dilakukan. Beberapa alasan tidak dilaksanakannya evaluasi program adalah karena keterbatasan alokasi biaya, kurangnya waktu, keterbatasan keahlian, menganggap bahwa pelatihan pasti akan berhasil atau karena kurangnya metode dan alat ukur (McEvoy & Buller, dalam Eseryel, 2002). Padahal, evaluasi efektivitas program pelatihan merupakan hal yang penting dilakukan, karena tanpa evaluasi maka tidak diketahui apakah program pelatihan yang dilaksanakan memang benar-benar memiliki manfaat.
Apabila evaluasi program dilakukan, maka dapat diketahui secara tepat masalah-masalah yang dihadapi, sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan.
Phillips (1991) mendefinisikan evaluasi sebagai proses sistematik untuk menentukan kepentingan, nilai dan makna dari sesuatu, sedangkan Holli dan Calabrese (1998) mendefinisikan evaluai sebagai pembandingan antara nilai atau kualitas yang diobservasi dengan kriteria standar tertentu. Evaluasi merupakan proses membentuk penilaian mengenai kualitas program, kualitas produk dan sasaran. Shalock (2001) mendefinisikan evaluasi efektivitas sebagai penentu apakah program telah memenuhi sasaran dan tujuan performansi yang diinginkan. Dengan demikian, evaluasi program pelatihan dapat disimpulkan sebagai upaya sistematik untuk menilai apakah program pelatihan yang dilaksanakan telah memenuhi sasaran yang diinginkan, serta menilai apakah program pelatihan yang dilaksanakan memiliki kualitas yang telah ditetapkan sebelumnya.
Untuk dapat melakukan evaluasi yang tepat terhadap pelatihan, Dessler dan Tan (2005) menyatakan bahwa perlu dirancang desain pelatihan yang berbentuk “time series”. Dengan desain ini, dapat dilihat perubahan pencapaian dari sebelum dan sesudah pelatihan diberikan. Cara kedua adalah menerapkan desain penelitian eksperimental dengan menggunakan kelompok kontrol. Hal ini merupakan cara yang lebih baik daripada sekedar ‘time series design’. Dengan adanya kelompok kontrol dapat dipastikan apakah peningkatan pengetahuan, peningkatan keterampilan, perubahan tingkah laku, dan perubahan sikap memang disebabkan oleh pelatihan dan bukan hal-hal lain. Ada dua cara mengevaluasi program pelatihan, yaitu:
143
post-course questionnaires
yaitu memberikan kuesioner kepada peserta training hanya pada hari terakhir pelatihan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pemberian pelatihan. Metode ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, adanya halo effect. Bagi sebagian peserta pelatihan, mengikuti pelatihan dapat merupakan salah satu kegiatan untuk keluar dari rutinitas. Kedua, kuesioner cenderung hanya mengevaluasi pemberian pelatihan bukan pembelajaran yang terjadi pada peserta. Ini berarti, peserta pelatihan lebih menilai kualitas dari pelatih dan media pembelajaran yang ada selama pelatihan, dan bukan mengevaluasi apakah diri mereka sudah mempelajari sesuatu yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan atau menyadari adanya perubahan sikap dan tingkah laku dalam diri mereka sendiri.
pre-course and post-course questionnaires
Metode yang efektif adalah memberikan kuesioner pendek pada peserta di awal pelatihan untuk melihat apa yang mereka harapkan akan diperoleh dari pelatihan. Kemudian pada akhir pelatihan peserta diberikan kuesioner lain mengenai pembelajaran dan apa yang dapat mereka aplikasikan dari hasil pelatihan pada pekerjaan mereka sehari-hari. Selain itu, peserta melengkapi kuesioner lain yang mereviu efek pelatihan terhadap performa kerja mereka. Hal ini dilakukan untuk lebih menekankan pada apa yang peserta pelajari dan bukan menilai kualitas pelatihan yang diberikan.
Ada beberapa model untuk mengevaluasi program pelatihan, namun yang cukup luas digunakan adalah model yang diajukan oleh Kirkpatrick pada tahun 1959 (dalam Bates, 2004). Menurut Model Kirkpatrick, ada empat level dalam evaluasi program yaitu:
Tabel 2. Model Kirkpatrick untuk mengevaluasi Efektivitas Program Pelatihan
Level Pertanyaan Tujuan Caranya
1 – Reaksi/
Reaction
Bagaimana reaksi partisipan terhadap program?
Untuk mengumpulkan data mengenai reaksi peserta di akhir programpelatihan
Mengisi kuesioner umpan balik peserta
Komentar informal dari peserta
FGD peserta 2 – Belajar/
Learning
Seberapa jauh peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta setelah pelatihan?
Untuk mengetahui apakah sasaran belajar program pelatihan tercapai
Sekor tes prauji dan pascauji
on-the-job assessments
laporan dari atasan/
supervisor 3 – Perilaku/
Behaviour
Seberapa jauh peserta mengubah perilakunya dalam pekerjaan sebagai hasil dari
pelatihan?
Untuk mengukur apakan perubahan performansi dalam pekerjaan berubah setelah pelatihan
mengisi kuesioner self assessment
on-the-job observation
laporan dari siswa
4 – Hasil/
Result
Apa manfaatnya bagi organisasi?
Untuk mengetahui ciaya dan manfaat program pelatihan, misalnya berkaitan dengan peningkatan kualitas kerja, peningkatan kuantitas kerja.
Hasil kinerja
Wawancara dengan kepala sekolah
Jadi, evaluasi yang dilakukan di atas pada prinsipnya mencoba 1) mengumpulkan reaksi peserta terhadap pengalaman mereka ketika menjalankan pelatihan, 2) mengukur pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta dari pelatihan, 3) mengukur sejauh apa peserta menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya dan 4) mengukur dampak peningkatan pengetahuan dan keterampilan terhadap belajar siswa.
144 Selain itu tingkat evaluasi menurut Kirkpatrick di atas, pertanyaan lain berkenaan dengan evaluasi program pelatihan menurut Eseryel (2002) berkenaan dengan: Tujuan evaluasi (formatif atau sumatif), Sasaran evaluasi (kognitif, afektif, perilaku, dampak), Tipe sasaran instruksional (pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, sikap), Tipe penyampaian (classroom-based, technology-based, campuran), Besar dan tipe kelompok peserta (individual, kelompok kecil, kelompok besar). Dalam kesempatan ini, evaluasi yang dilakukan lebih berkenaan pada pengetahuan dan keterampilan guru setelah mengikuti pelatihan serta reaksi peserta pelatihan terhadap pengalaman mereka ketika menjalankan pelatihan. Selain efektivitas pelatihan dari segi kompetensi akademik, yang akan diteliti dalam penelitian ini juga mengenai kompetensi yang dimiliki guru, meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, kepuasan kerja, sikap guru terhadap pengajaran (teaching attitude) dan teaching efficacy guru. Oleh karena itu pada bagian berikut akan dibahas mengenai kompetensi, kepuasan kerja, teaching attitude dan teaching efficacy guru.
Kompetensi Guru
Seorang guru yang kompeten diharapkan dapat mengajar dengan baik. Kompetensi merupakan hal yang esensial dimiliki oleh guru. Dalam penelitian ini yang akan disoroti adalah kompetensi akademik dan kompetensi non akademik. Berdasarkan UU no 14, tahun 2205, pasal 8 dan 10, dikatakan bahwa seorang guru selayaknya memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Selanjutnya dikatakan bahwa kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Semua ini dapat diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi ini, berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar, membimbing, dan juga memberikan contoh hidup kepada siswa.
Pengertian Kompetensi
Kompetensi merupakan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu aktivitas. Hal ini dibutuhkan karena agar seseorang dapat bekerja dengan baik, maka ia harus mempunyai bekal, baik berupa pengetahuan, sikap maupun ketrampilan, sehingga ia dapat menjalankan tugas-tugasnya. Pengetahuan, sukap maupun ketrampilan ini harus dapat diterapkan dalam pekerjaannya. Dalam pekerjaan, kompetensi ini seharusnya dapat dituangkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang dapat diamati, sehingga menggambarkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang ingin diukur. Menurut American Heritage Dictionary, kompetensi adalah keadaan atau kualitas yang menunjukkan kualifikasi tertentu, atau sering disebut sebagai kemampuan. Selain itu kompetensi diartikan sebagai serangkaian keterampilan, pengetahuan atau kemampuan. Sedangkan Erraut (1998) mengartikan kompetensi sebagai kemampuan untuk menampilkan tugas dan peran yang dibutuhkan dengan standar tertentu.
1. Kompetensi Akademik. DiPerna dan Elliot (2000) mendefinisikan kompetensi akademik sebagai keterampilan akademik dan hal-hal yang memudahkan belajar dan mendukung prestasi.
Kompetensi akademik dapat berbeda-beda dalam komponennya, tergantung pada pengguna dan institusinya. Selanjutnya dikatakan pula oleh DiPerna dan Elliot (2001), keterampilan akademik ini perlu terus menjadi fokus utama dalam pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, guru perlu memiliki kompetensi akademik yang baik, agar ia dapat mengajar dengan baik.
2. Kompetensi Kepribadian. Faktor kepribadian merupakan faktor yang penting dimiliki oleh seorang guru. Seorang guru sepatutnya memiliki kepribadian yang sehat agar dapat mengajar dengan baik. Guru yang baik dicirikan oleh kepercayaan diri, jujur, matang dan mantap secara pribadi.
3. Kompetensi Sosial. Kompetensi sosial merupakan konstruk yang menggambarkan interaksi antara faktor individu dengan faktor lingkungan atau faktor yang mengarah pada interaksi sosial.
Dibutuhkan keterampilan sosial, emosional, intelektual dan perilaku agar seseorang dapat berhasil dalam masyarakat.
4. Kompetensi Pedagogik. Seorang guru sebaiknya memiliki kesadaran untuk melakukan metode atau strategi pengajaran. Keterampilan ini mengacu pula pada pengetahuan dan penerapan metode instruksional yang paling efektif untuk membantu siswa mencapai sasaran belajar. Artinya memiliki kompetensi akademik saja tidaklah cuku bagi seorang guru. Ia juga hars memiliki
145 pengetahuan dan keterampilan pedagogis yang mencakup penyampaian sasaran, pemilihan metode instruksional yang paling sesuai, penyediaan kesempatan untuk praktik dan umpan balik yang sesuai dan pelayanan yang sesuai untuk kebutuhan para siswanya.
Untuk mempertahankan kompetensi pedagogik, guru perlu terus membenahi diri dan memperkaya dirinya dengan pengetahuan yang relevan serta keteraampilan yang memang dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan melalui membaca buku-buku umum maupun yang spesifik membahas mengenai keterampilan tersebut, namun juga dapat diperoleh melalui pelatihan, konferensi dan workshop yang disediakan oleh institusi-institusi terkait. Kompetensi pedagogik ini bagi seorang guru merupakan kompetensi profesional, karena spesifik terdapat dalam bidang pendidikan. Seorang guru yang profesional diharapkan dapat mengintegrasikan sejumlah pengetahuan dan keterampilannya dan menerapkannya dalam berbagai situasi yang sesuai.
Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja seseorang sangat tergantung pada situasi kerja yang dihadapi. Menurut French (1982) dan Tziner dan Vardi (1984) kepuasan kerja merupakan respon afektif terhadap sejumlah besar kondisi atau aspek pekerjaan yang dihadapi seseorang. Seperti gaji yang diterima, supervisi yang dilakukan, kondisi kerja dan atau pekerjaan itu sendiri dan semua itu dituangkan dalam bentuk perasaan orang tersebut mengenai pekerjaannya (Arches, 1991). Balzer dkk (1997) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan pekerja mengenai pengalaman kerjanya dalam relasinya dengan pengalaman sebelumnya, harapan saat ini dan alternatif yang tersedia.
B. Teaching Attitude
Sikap dapat didefinisikan sebagai kecenderungan yang konsisten untuk bereaksi dalam suatu cara tertentu – positif maupun negatif – terhadap suatu masalah. Fazio dan Roskes (dalam Adediwura &
Tayo, 2007) mengatakan bahwa “sikap sangatlah penting dalam psikologi pendidikan karena sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial, terutama mengenai cara berpikir seorang individu dan proses informasi sosial. Menurut Eggen dan Kauchak (dalam Adediwura & Tayo, 2007), sikap guru yang positif sangat penting dalam pengajaran yang efektif. Kedua tokoh tersebut mengidentifikasikan sejumlah sikap guru yang memfasilitasi terciptanya suasana kelas yang perhatian dan mendukung.
Sikap-sikap tersebut adalah antusiasme, perhatian, teguh, praktek demokratis untuk meningkatkan tanggung jawab siswa, menggunakan waktu pengajaran secara efektif, menciptakan rutinitas yang efisien, dan berinteraksi secara bebas dengan siswa dan memprovide motivasi bagi siswa. Hasil penelitian terhadap perilaku guru menunjukkan bahwa karakteristik-karakteristik guru seperti efficacy guru, modeling dan antusiasme, perhatian dan pengharapan yang tinggi dapat meningkatkan motivasi pelajar. Karakteristik-karakteristik yang sama juga diasosiasikan dengan meningkatnya prestasi akademik siswa. Tingkat yang tinggi dalam belajar dapat terjadi sejalan dengan adanya perasaan yang baik terhadap diri mereka sendiri dan materi yang mereka pelajari ketika guru menggunakan waktu instruksional secara efisien. Belajar akan menjadi lebih mudah dan cepat di bawah pengajaran guru yang well-organized.
Bagaimana guru berinteraksi dengan siswa mempengaruhi motivasi siswa dan sikap terhadap sekolah. Bagaimana siswa menerima sikap guru mereka di sebuah SMP di Nigeria akan diukur berdasarkan beberapa poin-poin yang sudah disampaikan. Untuk meningkatkan keteraturan dan belajar di dalam kelas, tiap guru harus memiliki keterampilan pengajaran yang esensial. Tidak ada seorang pun yang dapat mengajarkan sesuatu kepada orang lain tanpa melakukannya dalam cara-cara tertentu, dan cara pengajaran yang demikian memiliki efek yang penting dalam keseluruhan situasi pengajaran dan belajar. Ehindero and Ajibade (dalam Adediwura & Tayo, 2007) mengemukakan bahwa pengajaran adalah proses pengembangan pribadi yang berkelanjutan dan penemuan diri professional sepanjang pemahaman yang muncul dalam proses pengajaran dan belajar. Jika ada teknik yang penting dalam pengajaran yang baik, itu adalah komunikasi. Hal ini sangatlah penting karena mengajar tidak dapat terjadi tanpa penggunaan komunikasi bahasa verbal atau penggunaan tanda. Hal ini menyiratkan bahwa guru harus memonitor perkataan mereka untuk meyakinkan bahwa presentasi mereka jelas dan logis.
Eggen dan Kauchack (dalam Adediwura & Tayo, 2007) menekankan empat aspek komunikasi yang
146 efektif yang sangat penting dalam belajar dan memotivasi, yaitu terminology yang tepat, diskusi yang berhubungan, transisi signals dan penekanan.
Dalam lingkup pendidikan, terdapat guru yang menunjukkan sikap yang positif dalam memberikan pembelajaran di suatu situasi belajar mengajar. Berbagai pengetahuan (berupa seperangkat fakta, hukum dan data) di transfer oleh guru kepada siswanya. Berdasarkan penelitian di bidang pendidikan dan pembelajaran bidang fisika (Barros & Elia, 1987) ditemukan bahwa hasil yang memuaskan terjadi jika ada keterkaitan antara sekolah sebagai institusi dan masyarakat (budaya, Negara). Dijelaskan pula bahwa keberagaman dari model pembelajaran guru merupakan hasil dari interaksi antara teaching attitudes dan kompetensi guru, sekolah dan masyarakat. Melalui suatu training diharapkan semua aspek ini dapat berpengaruh.
Gambar 2. Hubungan antara pelatihan dengan kompetensi guru dan teacher attitude
Sikap menunjukkan pada apa yang dilihat, didengar, dipikirkan dan dilakukan oleh setiap individu. Sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk bereaksi secara favorable atau unfavorable pada suatu obyek (orang lain atau sekelompok orang, institusi atau kejadian). Sikap bisa positif (nilai) atau negatif (prasangka). Ahli psikologi social membedakan 3 komponen dari respon yaitu: komponen kognitif, yang mengacu pada pengetahuan mengenai obyek dari sikap, tepat atau tidak;
komponen afektif menunjukkan perasaan pada obyek; dan komponen konatif menunjukkan aksi terhadap obyek. Ketiga komponen tersebut muncul membentuk sikap guru di kelas melalui interaksi langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat, guru lain dan sekolah. Barros dan Elia (1987) dalam penelitiannya mengenai sikap guru fisika menunjukkan adanya tujuh tipe dari teaching attitudes yang dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dapat menunjukkan trait guru. Pengelompokan ini disejajarkan dengan kompetensi guru yang dapat menggambarkan bagaimana perilaku guru di kelas.
Dalam penelitian ini, alat ukur teaching attitude akan disusun berdasarkan pendapat dari Barros dan Elia (1987).
C. Teaching Efficacy Guru
Bandura (dalam Erdem & Demirel, 2007; Skaalvik & Skaalvik, 2007) mengemukakan bahwa self efficacy adalah penilaian individu mengenai kapabilitasnya untuk mengorganisasi dan melakukan sejumlah aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu self efficacy merupakan konsep yang multidimensioal dan spesifik tergantung konteksnya.
147 Berdasarkan definisi tersebut teaching efficacy guru dapat didefinisikan sebagai keyakinan guru terhadap terhadap kemampuannya untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan melakukan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditentukan (Skaalvik & Skaalvik, 2007).
Erdem dan Demirel (2007) menambahkan bahwa guru dengan self-efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengontrol, mempengaruhi dorongan berprestasi siswa dan juga motivasi mereka. Teori self-efficacy memprediksikan bahwa guru dengan efficacy yang tinggi bekerja lebih giat dan mampu bertahan lebih lama ketika menghadapi siswa yang sulit untuk dididik, karena mereka percaya diri dan juga percaya pada siswanya.
Skaalvik dan Skaalvik (2007) menyusun kuesioner teaching efficacy guru yang dalam pembuatan skalanya didasarkan pada rekomendasi/aturan konstruksi item yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu : (1) subyek dalam setiap pernyataan adalah “saya” karena tujuannya adalah untuk menilai keyakinan subyektif guru tentang kapabilitas dirinya; (2) pernyataan-pernyataan terdiri kata kerja
“dapat melakukan” (can or be able to) supaya pernyataan yang ada benar-benar menanyakan tentang kemampuan personal; (3) selain itu, setiap pernyataan hendaknya mengandung hambatan (barrier) sebagai contoh berhasil mengajar siswa termasuk siswa yang paling sulit sekalipun. Bila tanpa unsure hambatan, aktivitasnya akan mudah untuk dilakukan sehingga tidak dapat membedakan self efficacy dari guru-guru.
Skala yang disusun oleh Skaalvik dan Skaalvik (2007) terdiri dari enam dimensi yaitu 1) Instruksi (instruction): fokus pada ekspektansi guru terhadap kemampuannya menjelaskan pelajaran kepada siswa, menjelaskan pokok-pokok bahasan, membimbing siswa dalam tugas-tugasnya, dan menjawab pertanyaan agar siswa lebih memahami pelajaran yang disampaikan; (2) Menyesuaikan pengajaran berdasarkan kebutuhan individual siswa (adapting education to individual students’ needs);
(3) Memotivasi siswa (motivating students) : fokus pada ekspektansi guru terhadap kemampuannya dalam memotivasi siswa supaya mereka dapat belajar secara optimal; (4) Penerapan disiplin (keeping discipline) : fokus pada kemampuan guru untuk mempertahankan keteraturan dan disiplin di daam kelas mengingat sering kali situasi kelas tampak sangat ramai; (5) Bekerjasama dengan kolega dan orangtua (cooperating with colleagues and parents): di kebanyakan sekolah, guru bekerja dalam tim dan berbagi tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang ada. Guru juga diharapkan dapat bekerjasama dengan orangtua termasuk memberikan informasi tentang kegiatan dari siswa.; (6) Menghadapi perubahan dan tantangan (coping with changes and challenges): menekankan pada kemampuan guru dalam mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi dan tantangan termasuk mengatasi perubahan dalam kebijakan pemerintah atau kebijakan sekolah.
Berdasarkan skala yang dibuat oleh Skaalvik dan Skaalvik (2007) dibuatlah skala self efficacy guru yang akan dipakai untuk penelitian efektivitas program pelatihan guru SMP di Indonesia. Skala ini dijadikan acuan karena berdasarkan pertimbangan dimensi-dimensinya yang komprehensif dan mencakup area yang dihadapi guru shari-hari dalam melakukan pengajarannya. Selain itu juga ditambah beberapa item yang diperoleh dari skala yang dibuat oleh Erdem dan Darmiel (2007), dengan penambahan faktor hambatan (barrier) yang kurang ditekankan dalam penelitian mereka. Dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia, juga dilakukan sejumlah modifikasi terhadap skala yang ada.
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diajukan maka diajukan pertanyaan penelitian:
Apakah ada dampak pelatihan yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) dan KKG/MGMP dalam bidang penelitian Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Selain itu juga dilihat dampaknya terhadap kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, kepuasan guru dan sikap guru, serta teaching efficacy. Lebih jauh, hipotesis yang diajukan dalam hubungannya dengan permasalahan penelitian ini adalah: (1) Ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi akademik guru dalam pelajaran yang diajarnya antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan masing-masing dalam bidang penelitian Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris; (2) Ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi kepribadian guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (3) Ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi sosial guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (4) Ada perbedaan
148 yang signifikan dalam kompetensi pedagogik guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (5) Ada perbedaan yang signifikan dalam kepuasan kerja guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan: (6) Ada perbedaan yang signifikan dalam sikap guru terhadap mengajar sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; dan (7) Ada perbedaan yang signifikan dalam teaching efficacy guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan.
METODE
Populasi penelitian ini adalah guru-guru SMP pada bidang penelitian Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh (P4TK) Matematika, IPA dan Bahasa, serta KKG/MGMP. Direncanakan dari masing-masing bidang penelitian akan dipilih dua pelatihan yang waktu-waktu pelaksanaannya sangat tergantung pada jadwal yang disusun oleh masing-masing P4TK. Akan tetapi karena beberapa pelatihan tidak dilaksanakan sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan, maka hanya diperoleh data dari pelatihan Matematika dan IPA yang dilaksanakan oleh P4TK dan tidak diperoleh data dari pelatihan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Selain pengambilan data diambil dari P4TK, juga dilakukan pengambilan data dari guru-guru yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP. Dalam hal ini, berhasil diambil data dari empat bidang penelitian, yaitu Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengambilan sampel penelitian ini adalah sifatnya accidental, yaitu berdasarkan ketersediaan dari data yang ada saja.
Variabel yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah: (1) Kompetensi guru di bidang pelajaran yang diajarnya, yaitu Matematika, IPA (Fisika & Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi akademik; (2) Kompetensi kepribadian, mencakup kepercayaan diri, sifat-sifat positif serta kematangan pribadi dan hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi kepribadian; (3) Kompetensi sosial, yaitu kemampuan individu untuk berinteraksi dengan lingkungan atau kemampuan individu untuk mengarah pada interaksi sosial. Hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi social; (4) Kompetensi pedagogik, kemampuan untuk menyampaikan sasaran pengajaran, memilih metode instruksional yang paling sesuai, kemampuan menyediakan kesempatan untuk praktik dan umpan balik yang sesuai dan pelayanan yang sesuai untuk kebutuhan para siswanya. Hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi pedagogic: (1) Kepuasan kerja, yang diukur dari kepuasan terhadap pekerjaan, gaji, kesempatan promosi, supervisi dan rekan kerja.; (2) Sikap guru terhadap mengajar yaitu sikap guru terhadap materi pelajaran, sebagai pemberi informasi, dalam memberikan memberikan teori dan melaksanakan praktik, inovator, mengembangkan metode interaksi, kepercayaan guru terhadap siswa dan ketika berhubungan dengan kondisi-kondisi lain; dan (3) Teaching efficacy guru yaitu keyakinan guru terhadap kemampuannya untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan melakukan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditentukan.
Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kompetensi guru, baik kompetensi di bidang pelajarannya atau disebut sebagai kompetensi akademik, serta kompetensi non akademik yang terdiri dari kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik. Selain itu juga dilihat dampak pelatihan terhadap kepuasan kerja, sikap guru terhadap mengajar dan teaching efficacy. Oleh karena itu, alat ukur yang digunakan adalah alat ukur untuk mengukur: (1) 1. Kompetensi akademik guru di bidang pelajaran yang diajarnya, yaitu Matematika, IPA (Fisika & Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris; (2) Kompetensi kepribadian; (3) Kompetensi sosial,; (4) Kompetensi pedagogik; (5) Kepuasan kerja; (6) Sikap guru terhadap mengajar; dan (7) Teaching efficacy. Instrumen dikembangkan berdasarkan validitas isi (content validity), sedangkan perhitungan reliabilitasnya dengan menggunakan koefisien α.