Di samping empat prinsip penerapan kesantunan dalam berbahasa, berikut dibahas pula aspek- aspek nonlinguistik yang mempengaruhi kesantunan berbahasa. Selain unsur-unsur verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur paralinguistik, kinesik, dan proksemik. Perhatian terhadap unsur- unsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa.
Paralinguistik berkenaan dengan ciri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa. Penutur harus memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara kepada temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang santun, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya.
Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Misalnya, seorang anak diajak ibunya ke dokter, ia menjawab "Tidak, tidak mau" (verbal) sambil menggeleng-gelengkan kepala (kinesik). Akan tetapi, apabila penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur verbal itu, yaitu menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang sebagai pengganti ucapan "Hai, ayo cepat ke sini!". Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan, cukup dengan mengedipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan jari telunjuk secara vertikal di depan mulut agar anaknya (penerima tanda) segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah Jumat berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan kinesik ini.
Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinesik atau gerak isyarat (gesture) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kesantunan berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk menciptakan ketidaksantunan berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara dengan tamunya dianggap kurang santun.
Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah proksemik, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan berkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan berangkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil berjabat tangan dengan kedua tangannya.
Mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kanannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang bersangkutan. Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertukarkan,maka akan terlihat janggal,
123 bahkan dinilai tidak sopan. Masih banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemik ini, misalnya sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi duduk ketika berbicara dengan pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan ketika berbicara di hadapan anak buahnya, dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinesik, dan prolsemika yang sesuai dengan situasi komunikasi diperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa.
Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks situasi.
PENUTUP
Untuk mengungkap kesantunan biasanya dilakukan dengan unsur verbal. Bahasa yang santun dapat ditandai juga dengan pemakaian kata-kata tertentu, seperti: (a) perkataan tolong pada waktu menyuruh orang lain, (b) ucapan terima kasih setelah orang lain memberi sesuatu atau melakukan tindakan seperti yang diinginkan oleh penutur, (c) penyebutan kata bapak, Ibu daripada kata Anda, (d) penyebutan kata beliau daripada kata dia untuk orang yang lebih dihormati, (e) pergunakan perkataan minta maaf untuk ucapan yang dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur. Selain bentuk verbal, pemakaian bahasa santun (dalam ragam bahasa lisan) dapat ditambah dengan pemakaian bahasa nonverbal, seperti: (a) memperlihatkan wajah ceria, (b) selalu tampil dengan tersenyum ketika berbicara, (c) sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur, dan (d) posisi tangan yang selalu merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang). Pemakaian bahasa nonverbal seperti itu akan dapat menimbulkan ”aura santun” bagi mitra tutur. Meskipun belum didukung dengan data yang cukup valid, beberapa penanda pemakaian bahasa yang tidak santun dapat diidentifikasi sebagai berikut. 1) penutur menyatakan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dan dengan kata-kata kasar, 2) penutur didorong rasa emosi ketika bertutur, 3) penutur protektif terhadap pendapatnya, 4) penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, dan 5) penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.
DAFTAR PUSTAKA
Edward, John. 1985. Language, Society, and Identity. New York: Basil Blackwell.
Goody, Esther N (Ed.). 1985. Questions and Politiness: Strategy in Social Interaction. Cambridge.
Gordon, George N. 1969. The Languages of Communication. New York: Hasting House.
Hudson, Richard A. 1996. Sociolinguistics Second Edition. New York:
Cambridge University Press.
Hymes, Dell. 1966. Culture and Society: A Reader in Linguisitics and Anthropology. New York:
Harper & Row.
Koentjoroningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Salam, H. Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics Fifth Edition. New York: Basil Blackwell.
124 KONSEP PENDIDIKAN YANG AKOMODATIF TERHADAP NILAI BUDAYA LOKAL DI
INDONESIA Prof. Dr. R. Madhakomala1
1Universitas Negeri Jakarta [email protected]
Abstrak
Pembangunan pendidikan harus didasari dengan budaya , khususnya budaya lokal.
Budaya lokal berkaitan dengan karya, nilai, kebiasaan, kerja sama, proses pembelajaran, kebutuhan hidup dan pemecahan masalah yang dihadapi oleh kelompok, termasuk masyarakat lokal. Budaya lokal menuntut perancangan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan idealistik dan materialistik dalam kehidupan nyata masyarakat. Perencanaan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan budaya, dan pendidikan harus mampu mengakomodasikan budaya lokal (memberdayakan kearifan budaya masyaarakat setempat), sehingga hasil pendidikan akan sesuai dengan kebutuhan dan haraapan kehidupan masyarakat dilingkungannya (lokal).
Budaya lokal menjadi kepribadian menyeluruh yang membedakan kehidupan masyarakatnya pada suatu daerah dengan daerah lain, premis ini sangat relevan dengan kebutuhan perencanaan pendidikan di Indonesia yang memiliki keragaman budaya dari berbagai daerah, aplikasi aneka budaya lokal bagi kepentingan nasional sangat penting sebagai wawasan multikutural. Pemahaman budaya lokal perlu diakomondir berdasarkan perilaku dan kebiasaan sikap khusus masyarakat daerah dalam rangka mengantisipasi terjadi pergeseran pengembangan dan pengelolaan wilayahnya yang rawan terhadap budaya asing yang dapat merusak nilai-nilai budaya lokal yang berdampak buruk terhadap pendidikan. Sehingga pemahaman tentang budaya lokal sangat dibutuhkan untuk menunjang program pembangunan pendidikan, agar masyarakat benar-benar dapat membangun pendidikan yang tumbuh secara berakar dan implikasinya Perencanaan Pendidikan Berbasis Budaya Lokal.
Kata Kunci: Budaya , budaya lokal, Masyarakat, pendidikan dan perencanaan pendidikan Abstract
Educational development should be based on the culture, especially the local culture. The local culture is related to creation, values, habit, cooperation, learning process, living needs and problems solving faced by the group, including local communities. Local culture required an educational design that fits the needs idealistic and materialistic society in real life. Educational planning can not be separated by culture and the role of education should be able to accommodate the local culture (empowering the wisdom of the local cultural communities), so that the aim of education will fit the needs of community life in their environment.
Local culture become a whole personality that distinguishes the way of live in a region to the other, the premise is very relevant to the needs of educational planning in Indonesia, which has a diversity of cultures from various regions, various applications of local culture is very important for the national interest as multicultural insights. The understanding of the local culture needs to be accommodate by the behavior and habits of specific attitudes from the local communities. It is to anticipate a shift in the development and the region management that is vulnerable to a foreign culture which could undermine local cultural values and will have a negative impact on education. So an understanding of the local culture is needed to support the development of education programs so that people can build educational implications strongly and The implication of Culture-Based Education Local Planning.
Keywords : Culture, Local culture, Community, Education and Educational planning
125 INTRODUCTION
A. Back Ground
According to Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003, education is a a conscious way and planned to create a learning view and process for learners actively to develop student’s potential to be religious, having a spiritual strength restraint, personality, intelligence, good behaviour and also skills required that support their competence as a citizen of their country. This is proved how important the role of education in our state.
The UNESCO has stated a program about developing culture which dictates message to the world that any kinds of developing country is about welfare and culture. Therefore, the educational development shoud be based on the culture and also the local culture itself. The point is to required the local culture in the development planning. Especially the educational planning which is concerned on the local culture. In other words, Educational planning based on the local culture.
Local Culture is related to some other things like a creation, value, custom and cooperation activity, learning process, problems solving faced by groups in the local culture. The further discussion about culture and the cultural debates influenced the behaviour of the local people.
The local citizen is a social local unity which is signed by local culture. So, we can say that the educational function in the community is to ensure the cultural needs and communities which has relationship each other in order to keep a good circumstances. The above statement compliances to the value of social educational in consideration. Furthermore, a good organizing culture shown there is a cultural needs.
The good function of education going well in the society if the substance embeded a number of integrated values. Vice versa, education failed and did not work properly if the teachings and values has conflict one another. The cultural values apply into attitudes and views of ethics and morals and have to be taught to the next generation.
Local culture required an education planning which is suitable to the needs of idealistic and materialistic society in real life. Basicly, a plan is an action in the right time, it is of course highly depent on the implementation of the review process which is relatively to the goals to be achieved.
Some factors affected the achievement of education planning goals both internally and externally. It is consider to the consistency of educational planning concerned. The more consistent implementation, the greater the likelihood of success.
All mankind were born into a culture and live in a culture wading activities. If we argued that a culture in a society , it will affected the kind of people who live in their environment, aspirations, educational background, and status in society, thus educational planning can not be separated from the culture itself. Then the education should be able to accommodate local cultures , so that the results of education will suit the needs of local people's lives.