• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah sebagai jati diri dan karakter seseorang dalam bertindak dan berucap

Karakter seseorang antara lain dipengaruhi latar belakang budaya, sebut saja budaya Jawa sebagai salah satu kearifan lokal sebagai satu budaya di Indonesia yang tidak hanya mampu mempertahankan eksistensi dirinya. Budaya Jawa khususnya budaya keraton Jawa terus melestarikan keunikan yang dimiliki menjadi budaya yang menarik, berwibawa, dianut pengikut setianya, tidak hanya keluarga keraton tetapi juga dihormati masyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan oleh masyarakat mancanegara. Di sinilah antara lain pendidikan sejarah berperan sangat aktif dalam melestarikan budaya bangsa. Melalui pengalaman sejarah masa lalu dan kini rakyat Jawa melestarikan dan membangun budayanya yang unik menarik. Budaya Bali, Padang, Batak, Dayak, Papua dan lain- lain merupakan citra primitif pada pembentukan karakter bangsa yang otomatis membentuk manusia seutuhnya karena manusia yang berkarakter baik, membentuk dirinya menjadi manusia seutuhnya.

Kehidupan bermasyarakat Jawa menekankan kepada hal-hal yang baik dan luhur, santun dalam bersikap dan bericara, rendah hati dan luwes dalam bergaul. Greertz dalam Suseno (1996) menyebut

103 dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Pertama, dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap hati-hati hingga tidak menimbulkan konflik. Kedua, agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dan dapat menempatkan diri sesuai dengan derajat dan kedudukannya.

Menurut Mulder (1986) bagi orang Jawa selalu rukun, damai, nyaman, terang, aman dan harmonis dalam kelompok lazimnya dianggap sebagai keberhasilan sistem gotong royong. Secara sadar sistem ini dianggap berlaku bagi hidup berkeluarga, bertetangga dan bagi kehidupan desa, kota dan secara ideologis sekarang mulai tampak pada kehidupan berbangsa secara nasional.

Menurut falsafah Jawa, orang harus menyesuaikan diri, bekerja sama, memainkan peranan dengan selalu menjaga sopan santun. Selain itu juga harus patuh pada aturan dan bersikap menerima (nrimo). Hal-hal tersebut merupakan ketentuan yang harus dipatuhi. Jika ada kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan selalu diperhalus dengan teknik kompromi yang bersifat tradisional dan diintegrasikan ke dalam tatanan kelompok di masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, baik individu maupun kelompok. Masyarakat Jawa berusaha mengenyampingkan ambisi pribadi untuk kepentingan bersama. Budaya ini melekat pada orang Jawa yang kadang-kadang dianggap terlalu lemah dan dapat diperlakukan semena-mena.

Orang Jawa diajarkan leluhurnya harus mendahulukan komunitas, baru kepentingan pribadi.

Orang harus menerima dengan keadaan yang ditakdirkan Sang Pencipta dan tidak boleh banyak protes dan memiliki ambisi terlampau besar. Komunitas bertindak sebagai “pagar” terhadap perilaku yang menyimpang, demi mempertahankan nama baik dan kesusilaan. Sopan santun melekat erat dan menjadi keyakinan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Sisi lain falsafah Jawa pentingnya mawas diri bagi yang sedang dikaruniai kebahagiaan hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena hal itu merupakan ujian dari Sang Khalik. Ojo dumeh merupakan peringatan agar seseorang selalu ingat kepada kepentingan sesama, karena itu masyarakat Jawa mengutamakan gotong royong. Aji mumpung adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah manusia pada umumnya. Ambisi, persaingan, urakan, keinginan untuk mencapai keuntukan pribadi dan kekuasaan merupakan sumber bagi segala perpecahan, ketidakselarasan dan kontradiksi yang seharusnya dicegah dan ditindas (Suseno, 1996). Orang Jawa pada umumnya menghindari hal-hal yang bersifat frontal dan kekerasan.

Banyak mengalah untuk kerukunan.

Kondisi lestarinya budaya juga terjadi di Bali yang keanekaragaman budayanya sangat populer di kalangan turis domestik dan mancanegara. Budaya Bali merupakan salah satu aset bangsa Indonesia yang patut dibanggakan. Bahkan kadang-kadang nama Bali lebih populer di telinga orang asing daripada nama Indonesia.

Di Bali, adat, budaya dan kepercayaan bersatu padu menjadi bunga rampai yang indah dan dapat dirasakan masyarakat umum di luar masyarakat Bali. Budaya ramah, selalu ingin membantu, menyenangkan pihak lain, santun terhadap tamu seperti melekat di sanubari orang Bali. Keindahan alam dan kemahiran orang Bali memelihara limpahan kenikmatanNya menjadikan pulau Bali dan masyarakatnya sebagai sesuatu yang unik dan menarik. Budaya Bali menekankan pada hubungan antara manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan penciptanya. Kebudayaan Jawa dan Bali sungguh merupakan fakta sejarah yang mendidik masyarakat untuk selalu berbuat baik terhadap sesama dan menjadi bermakna buat sesama sambil tetap patuh pada Tuhan yang Maha kuasa. Dua kebudayaan tersebut merupakan contoh yang baik di samping budaya-budaya dari daerah lain di Indonesia.

Keanekaragaman budaya Indonesia sungguh merupakan kekayaan tiada tara bagi bangsa Indonesia.

Sejarah sebagai jati diri dan karakter seseorang dalam bertindak dan berucap maksudnya adalah: ketika seseorang mengenali dirinya secara utuh kemudian memahami perannya secara utuh juga. Maka orang tersebut tengah mempunyai sesuatu yang khas, berbeda dengan bangsa lain, secara historik mempunyai pemahaman yang baik tentang pengenalan diri dan perannya dalam kehidupan pribadi, kelompok, maupun bernegara, sehingga dengan berbekal nilai-nilai luhur sejarah diadobsi dengan kreasi dan inovasi jadilah karakter dan jati orang tersebut yang terus mengusung pada arah perbaikan bagi dirinya sendiri, bangsa, negara, maupun agamanya. Berbekal sejarah juga seseorang akan mempunyai jiwa nasionalisme, cinta tanah air, sehingga dalam bertindak, berucap, ataupun mengambil keputusan melandaskan pada jati diri dan karakter bangsa yang telah tertanam secara baik dalam diri pribadi tersebut. Disinilah letak pendidikan sejarah dalam pembentukan manusia seutuhnya, karena manusia yang berkarakter adalah manusia seutuhnya.

104 Landasan Filosofis Pendidikan Sejarah

Landasan filosofis pendidikan sejarah didasarkan pada landasan filosofis kurikulum. Landasan ini menjadi sangat penting agar secara sistemik dan sistematik pendidikan sejarah dapat dijalankan secara berkesinambungan dengan berpijak pada filosofi yang ada. Tanner dan Tanner (1980) mengemukakan empat landasan filosofis dalam mengembangkan pendidikan sejarah yaitu:

1) Perrenialisme, pendidikan sejarah harus mengembangkan rasa bangga terhadap prestasi, prestise dan kejayaan bangsa dimasa lampau. Kisah kebesaran Majapahit dan Sriwijaya, kemashuran kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dalam menjalin perdagangan dan hubungan diplomasi dengan negara lain sudah sepatutnya diceritakan dan diwariskan.

2) Essentialisme, pendidikan sejarah sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual generasi muda. Sejarah sebagai mata pelajaran harus diberikan secara rutin dan continue dalam proses pembelajaran didalam kelas. Siswa diharapkan mampu berpikir kritis, berfikir historis dan berpikir solutif atas permasalahan yang terjadi dengan berpijak pada peristiwa masa lampau dalam mengalami masa kini dan masa depan.

3) Humanisme, pendidikan sejarah harus mengandung nilai-nilai afektif, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk mengembangkan pikiran, tindakan, dan gagasan-gagasan positif dalam hubungannya dengan masyarakat.

4) Reconstructionisme, pendidikan sejarah harus ditekankan pada pola pikir yang bersifat progress, berorientasi ke masa sekarang dan masa yang akan datang. Pendidikan sejarah seharusnya tidak hanya terpaku pada masa lampau, tetapi juga harus memberikan perhatian mengenai apa yang kini terjadi bahkan pada masa yang akan datang.

PENUTUP

Menyadari sepenuhnya bahwa perubahan yang diinginkan tidak semudah membalikkan telapak tangan, apa lagi yang akan dirubah adalah pendidikan sejarah yang dalam rentang sejarah perjalanan bangsa pendidikan sejarah selalu dikaitkan dengan politik kekuasaan.

Sebut saja pada masa pemerintahan Orde Lama pendidikan sejarah justru sebagai alat legitimasi penguasa untuk menggerakkan revolusi dan pada saat yang sama juga menghakimi kelompok yang dianggap anti revolusi, saat itu dikenal istilah Manipol Usdek. Saat pergantian rezim Ode Baru, perubahan pendidikan sejarah pun mengalami politisasi kekuasaan, unsur-unsur Orde Lama dibasmi secara sistemik dalam pendidikan sejarah. Pada saat yang sama peran penguasa Orde Baru mendapat posisi istimewa dalam pendidikan sejarah.

Terlepas dari perdebatan bahwa sejarah seringkali dijadikan sebagai alat legitimasi oleh penguasa, pendidikan sejarah tetap harus berlandaskan pertimbangan akademik didalam penyajian dan penyampaiannya. Sebagaimana disampaikan Wineburg (2001), historical knowledge should serve as a bank of contemplating present problems. Cerita sejarah merupakan cerita yang iluminatif mengenai upaya manusia menjawab tantangan yang dihadapi, serta sebagai media yang sangat baik dalam mengembangkan kreatifitas, inspirasi, inisiatif, dan kemampuan berpikir antisipatif. sejarah merupakan sebuah peristiwa yang terjadi dimasa lampau, yang keberadaannya terus berlanjut ke masa kini dan masa yang akan datang. Ibarat kaca spion, sejarah adalah sebagai “cermin masa lalu, pijakan dimasa depan”.

Akhirnya penulis berkesimpulan sangat dibutuhkan keberanian yang luar biasa seperti para pahlawan bangsa yang melawan penjajah, untuk merumuskan visi dan melaksanakan misi pendidikan sejarah yang lebih humanis dan universal dalam membentuk karakter generasi emas Indonesia mendatang, Insya Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Bigge, Morris L. Learning Theories for Teachers. New York: Harper And Row, Publisher, Inc, 1982 Carr, E. H. The Use of History. London: Penguin Books, 1961.

Dahlan, M.D. (Penyunting). Model-model Mengajar. Bandung: C.V. Diponegoro, 1990.

Gagne, Robert M., Kondisi Belajar dan Teori Pembelajaran, terjemahan Munandir MA, Jakarta:

Depdikbud, 2003.

105 Hasan, Hamid. Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu Dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung: Rizqi

Press, 2012.

Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori Kolektif dan Jati Diri Bangsa.Tulisan sebagai apresiasi untuk Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, 2012.

Hilgard, Ernest R., dan Gordon H. Bower. Theories of Learning. Englewood Cliffs New Jersey:

Prentice-Hall, Inc., 1975.

Kartodirdjo, Kartono. Pembangunan Bangsa Tentang Nasionalisme, Kesadaran, dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media, 1993.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yayasan Bentang Budaya. Yogjakarta. 2001 Penjelasan Sejarah. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2001.

Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia; Mitos, Ideologi, dan Ilmu.

Yayasan Bentang Budaya. Yogyakarta. 2008

Koesoema, D. A. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo, 2007.

Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta: Gunung Agung, 1981.

Prasetyo, J. Reza, dan Andriani, Yeni, Multiply Your Multiple Intelligences Melatih Kecerdasan Majemuk pada Anak dan Dewasa, Yogyakarta: 2009.

Sangkanparan, Hartono, Dahsyatnya Otak Tengah Jadikan Anak Anda Cerdas Saat Ini Juga, Jakarta:

Visimedia, 2010.

Wineburg, Sam. Making Historical Sense, dalam Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives. New York: New York University Press, 2000.

Wineburg, Sam. Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past. Philadelphia: Temple University Press, 2001.

106 PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP

KINERJA KEPALA SEKOLAH:

PENELITIAN PADA KEPALA SMPN DI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Matin1

[email protected] ABSTRACT

The objective of the research is to obtain information concerning with the effect of organizational culture, on the headmasters’ performance. This research was conducted in East Jakarta City Administration in 2011 by using a survey method with path analysis applied in testing hypothesis and 77 State Junior High School Headmaster in East Jakarta City Administration as samples selected randomly. The finding of the research are: there is a direct effect of organizational culture toward headmaster’ performance; Based on these finding, it could be concluded that any change or variation occurred at headmasters’

performance might have been directly effected by organizational culture, When we want to minimize the variation which occurred in headmasters’ performance, these factor such as organizational culture are necessary to be taken into account.

Keywords: organizational culture, headmasters’ performance, High School.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pentingnya peran kepala sekolah dalam pendidikan sangat nyata terlihat ketika pemerintah menggulirkan suatu kebijakan desentralisasi dan otonomi sekolah yang dikenal sebagai manajemen berbasis sekolah. Pada sistem ini, kepala sekolah tidak hanya sebagai seorang manajer yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan administrasi sekolah, tetapi lebih jauh dari itu adalah bahwa kepala sekolah dituntut untuk menjadi seorang pemimpin yang mampu menciptakan visi dan misi sekolah serta mengilhami semua guru dan personil lainnya untuk mewujudkan visi dan misi tersebut.

Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pentingnya kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan juga dapat dilihat dari Permen Diknas No. 13 Tahun 2007 tentang standar kepala sekolah. Pada dokumen tersebut dijelaskan bahwa untuk menjadi kepala sekolah yang profesional maka yang bersangkutan harus memiliki kompetensi dalam: 1) menyusun perencanaan pengembangan sekolah secara sistemik, 2) mengkoordinasikan semua komponen sistem sehingga secara terpadu dapat membentuk sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif, 3) mengerahkan seluruh personil sekolah sehingga mereka secara tulus bekerja keras demi pencapaian tujuan instruksional sekolah, 4) memberikan pembinaan kemampuan profesional kepada guru sehingga mereka semakin terampil dalam mengelola proses pembelajajaran, dan 5) mampu melakukan monitoring dan evaluasi sehingga tidak ada satupun komponen sekolah yang tidak berfungsi secara optimal. Dengan demikian jelas bahwa sekolah membutuhkan kepala sekolah yang memiliki kompetensi tinggi untuk membangun sekolah yang berkualitas. Kepala sekolah merupakan pemegang otoritas dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga perlu memahami proses pendidikan dan mampu menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

Hasil Pengamatan Peneliti tahun 2010 menyimpulkan bahwa banyak kepala sekolah belum memperlihatkan kinerja yang tinggi sesuai harapan masyarakat: (1) kepala sekolah belum memiliki rencana pengembangan sekolah secara sistematis, (2) kepala sekolah belum mampu mengerahkan seluruh sumber daya sekolah guna memberikan konstribusi positif terhadap pencapaian tujuan sekolah, dan (3) kepala sekolah belum mampu melakukan pembinaan kepada guru dan tenaga administrasi yang memiliki masalah pekerjaan.

Pandangan beberapa anggota masyarakat tentang masalah sekolah seperti dikutip oleh Tilaar (2011: h.161) ialah: (1) masih ada kepemimpinan kepala sekolah yang belum efektif, (2) kinerja

107 sekolah yang masih jauh dari harapan, (3) budaya sekolah yang belum kondusif, (4) pengaturan sekolah yang belum efektif, (5) disiplin warga sekolah yang relatif rendah, (6) tidak ada perubahan yang signifikan terhadap perbaikan proses belajar mengajar, kuantitas dan kualitas guru, sarana belajar, dan kesejahteraan warga sekolah, dan bahkan kemampuan kepala sekolah masih jauh dari yang diharapkan masyarakat.

Hal-hal di atas diduga disebabkan oleh (1) rekruitmen kepala sekolah yang tidak mengikuti peraturan sehingga mengakibatkan terjaringnya kepala sekolah yang memiliki mental rendah, kurang memiliki motivasi kerja, tidak punya semangat kerja dan semangat team, tidak punya visi dan misi organisasi, dan tidak memiliki integritas, (2) monitoring dan evaluasi terhadap sekolah tidak berjalan sebagaimana mestinya dari pihak terkait, (3) budaya organisasi yang tidak kondusif seperti memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan buruk pada masyarakat yaitu komunikasi antar warga sekolah yang tersumbat, pengambilan keputusan yang ragu-ragu, pengawasan yang tidak jalan, koordinasi yang tidak ada, serta kepemimpinan yang lemah, (4) kebijakan pemerintah yang tidak tersosialisasikan dengan baik, (5) kepemimpinan para pengelola organisasi pendidikan yang kurang efektif, (6) perubahan pola manajemen sekolah yang dalam prosesnya relatif mendadak, dan (7) munculnya persaingan antar sekolah sebagai akibat dari adanya desentralisasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Rumusan Masalah

Apakah budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap kinerja kepala sekolah?

KAJIAN TEORETIK Deskripsi Konseptual

Kinerja didefinisikan Colquitt, LePine, dan Wesson (2009 h.37) sebagai nilai perilaku karyawan yang berkontribusi secara positif atau negatif terhadap pemenuhan tujuan organisasi. Judith A. Hale (2004;h.2) mendefinisikan kinerja sebagai pekerjaan yang penuh arti dilakukan dengan cara efektif dan efisien Slocum dan Hellriegel (2009;h.127) mengartikan kinerja sebagai tingkat kemampuan dan motivasi seseorang yang mengindikasikan bahwa semakin mampu dan termotivasi seorang pegawai dalam bekerja bisa jadi semakin baik kinerjanya. Nelson dan Quick (2006;h.191) mendefinisikan kinerja sebagai ketuntasan kerja yang terlihat dari hasil-hasil yang ada dan usaha sebagai kinerja yang baik. Sedangkan Sabine Sonnentag (2002;h.156) mengartikan kinerja sebagai aksi yang sesuai dengan tujuan organisasi, kinerja juga diartikan sebagai apa yang pemilik harus korbankan untuk bekerja.

Kinerja menurut Colquitt, LePine, dan Wesson memiliki tiga dimensi yaitu (1) kinerja tugas, (2) perilaku kesukarelaan, dan (3) perilaku kontra produktif. Kinerja tugas dan perilaku kesukarelaan merupakan kontribusi perilaku positif, sedangkan perilaku kontra produktif merupakan kontribusi perilaku negatif. Kinerja tugas adalah serangkaian kewajiban yang nyata dan harus dipenuhi oleh setiap pegawai untuk mendapatkan kompensasi dari pekerjaan yang berkelanjutan yang meliputi tugas-tugas rutin dan tugas-tugas yang bersifat khusus. Tugas rutin meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tugas yang bersifat khusus membutuhkan kemampuan adaptasi seperti penanganan kondisi darurat, ketegangan dalam bekerja, kreatifitas menyelesaikan masalah, mempelajari teknologi dan tugas-tugas baru, adaptasi interpersonal terhadap pekerjaan, dan adaptasi terhadap budaya sekitar. Perilaku kesukarelaan merupakan aktivitas sukarela pegawai yang kemungkinan dihargai atau tidak tetapi memberikan kontribusi pada organisasi untuk memperbaiki kualitas lingkungan pekerjaan seperti kesediaan untuk membantu, kesediaan menginformasikan hal-hal yang relevan, kemampuan menjaga perilaku yang baik, membicarakan perbaikan organisasi, kerelaan melakukan tugas lebih dari standar yang ditentukan, kerelaan mengikuti perkembangan organisasi, dan mewakili organisasi dengan cara positif jika keadaannya jauh dari tempat kerja. Perilaku kontra produktif adalah perilaku pegawai yang bersifat negatif pada pencapaian tujuan organisasi, meliputi penyimpangan kepemilikan seperti sabotase dan pencurian, penyimpangan produksi seperti pemborosan sumber daya dan penyalahgunaan material, penyimpangan politik seperti gossip dan ketidak sopanan, dan penyimpangan individual seperti gangguan dan penyerangan. Menurut Colquit, Lepine dan Wesson, kinerja merupakan produk akhir pada model integrative perilaku organisasi bersama-sama dengan komitmen organisasi yang merupakan hasil individu dalam organisasi.

5

108 Definisi Hale tentang kinerja memberikan tekanan pada keberartian pekerjaan yang dilakukan secara efektif dan efisien. Keberartian pekerjaan dapat diartikan sebagai bekerja dengan sungguh- sungguh menghasilkan produk yang berkualitas, dikerjakan tepat sasaran dan hemat dalam penggunaan sumber daya. Meskipun definisi Hale berbeda penekanan dari pendapat Colquit dkk., namun disepakati bahwa ketepatan waktu dalam pencapaian tujuan dan efisien dalam penggunaan sumber daya dapat merupakan ukuran kinerja seseorang sebagaimana hasil pekerjaan yang diinginkan oleh pimpinan suatu organisasi.

Nelson dan Quick menjelaskan bahwa kinerja berkaitan dengan perilaku seseorang dalam mengemban tugas dengan tanggung jawab sesuai keahlian yang dimilikinya. Ketuntasan bekerja mengindikasikan bahwa hasil yang berkualitas sebagai bagian dari ketelitian, kecermatan dan kemampuan dalam melakukan pekerjaan, dan berhubungan erat dengan usaha-usaha mewujudkan tanggung jawab untuk memperlihatkan kinerja yang baik. Seseorang yang mampu menuntaskan pekerjaan tepat waktu dengan kualitas yang baik dapat dikatakan bahwa ia memiliki kinerja baik, karena untuk itu yang bersangkutan harus melakukan berbagai tindakan yang sesuai dengan tuntutan ketuntasan tugas dalam rangka mencapai kinerja terbaik.

Menurut Sabine Sonnentag, kinerja merupakan perilaku aksi bukan reaksi dan merupakan unsur aktif pegawai yang perlu memiliki dorongan yang kuat dari dalam dan dari luar diri pegawai. Dorongan aktif ini sesuai dengan tujuan organisasi sehingga selaras antara tujuan individu dengan tujuan organisasi yang mengakibatkan munculnya seperangkat tindakan.

Dari beberapa definisi di atas, peneliti menganalisis dan mendefinisikan kinerja sebagai seperangkat perilaku seseorang dalam melakukan tugas yang memberikan konstribusi positif maupun negatif pada pencapaian tujuan organisasi. Secara konseptual, yang dimaksud kinerja kepala sekolah adalah hasil kerja kepala sekolah sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya sebagai administrator, manajer, leader, motivator, dan supervisor sekolah yang meliputi sikap mental dan kemampuan dalam melaksanakan tugas sehingga menghasilkan pekerjaan yang efektif dan berkualitas dengan menggunakan masukan secara efisien dalam usaha menampilkan mutu pekerjaan yang baik.

Budaya organisasi didefinisikan Colquitt, LePine dan Wesson (2009;h. 546) sebagai upaya berbagi pengetahuan sosial melalui penghormatan organisasi terhadap aturan, norma dan nilai-nilai yang membentuk sikap dan perilaku setiap anggota organisasi. Stephen P. Robbins dan Thimoty Judge (2009;h. 585) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem nilai yang dipegang dan dilakukan oleh setiap anggota organisasi, sehingga dengan demikian suatu organisasi dapat dibedakan dari organisasi lainnya. Kinicki dan Kreitner (2008;h. 41) mengartikan budaya organisasi sebagai himpunan asumsi- asumsi yang dibagi bersama kepada setiap anggota organisasi, dan di dalamnya terkandung bahwa suatu kelompok menentukan bagaimana mereka merasa, memikirkan dan bereaksi terhadap lingkungannya.

James L. Gibson, et,al., (2009;h. 30) mendefinisikan budaya organisasi sebagai apa yang dipersepsikan para pegawai terhadap organisasi dan bagaimana mereka menciptakan suatu pola tentang keyakinan, nilai-nilai, dan harapan-harapan. Sedangkan Edward H. Schein (2004;h.17) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh suatu kelompok karena berhadapan dengan penyesuaian lingkungan eksternal dan integrasi lingkungan internal yang telah berjalan cukup baik dan dianggap tepat sehingga dapat diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan ketika berhadapan dengan berbagai masalah.

Menurut Colquitt, LePine dan Wesson, budaya organisasi terdiri atas tiga komponen yaitu: (1) artefak yang dapat diobservasi, (2) nilai-nilai yang tersiarkan, dan (3) asumsi yang sangat mendasar, Menurut Robbins dan Judge, budaya organisasi memiliki karakteristik yaitu: (1) ada inovasi dan keberanian mengambil resiko, (2) perhatian terhadap yang kecil-kecil, (3) berorientasi pada hasil, (4) berorientasi kepada manusia, (5) berorientasi pada tim, (6) terciptanya agresifitas, dan (7) terciptanya stabilitas. Menurut Schein, budaya organisasi harus menjadi dasar bagi anggota organisasi dalam melihat pesoalan, berpikir, dan bertindak. Budaya harus dilihat sebagai suatu yang bersifat informal yaitu cara hidup dan keunggulan dalam suatu organisasi yang mengikat bersama dan mempengaruhi apa yang mereka pikirkan tentang dirinya dan pekerjaannya. Menurut Ricard L. Daft (2005;h.558), budaya memiliki dua fungsi utama yaitu (1) membantu organisasi agar setiap anggotanya mampu berinteraksi secara terintegrasi dalam membangun suatu identitas bersama dan mengetahui bagaimana bekerja sama secara efektif, (2) organisasi mampu beradaptasi dengan dunia luar terutama dalam menentukan bagaimana organisasi mempertemukan tujuan-tujuan dengan pihak luar yaitu dalam