BAB IV FENOMENA PENDIDIKAN DEWASA INI DAN MUNCULNYA
A. F ENOMENA P ENDIDIKAN DALAM M ASYARAKAT D EWASA I NI
endidikan dalam pandangan Freire (2002:12—13) merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, sampai pada ketertinggalan.
Sedangkan menurut Kneller (dalam Manan,1989:10) pendidikan seharusnya dapat dijadikan sebuah enkulturasi, bagi proses pembentukan karakter anak-anak, dalam arti sebuah proses pembudayaan. Selain, Freire dan Kneller, Jean Prancois Lyotard dalam bukunya ’’The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), juga banyak menyoroti pendidikan dalam kaitannya dengan filsafat, teori, dan kebijakan pendidikan. Lyotard dalam kajiannya tersebut lebih banyak membahas tentang status pengetahuan yang telah mengalami perubahan, ketika masyarakat mulai memasuki era post industrial. Dalam konteks ini Lyotard berpendapat bahwa pengetahuan di era post industri telah menjadi kekuatan penting dari proses produksi, dalam arti pendidikan telah merubah komposisi tenaga kerja di negara-negara maju.
P
Selain tokoh-tokoh tersebut, Piere Bourdieu seorang ahli Sosiologi Pendidikan berkebangsaan Prancis, dalam bukunya ’’(Habitus X Modal) + Ranah = Praktik’’ (1984) menegaskan bahwa sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan tempat perwujudan kelompok dominan yang mengontrol sumber-sumber ekonomi, sosial, dan politik yang nantinya akan bekerja sebagai strategi reproduksi bagi kelompok dominan. Jika dilacak akar pemikiran Bourdieu mengenai sekolah yang dipandang sebagai tempat perwujudan kebudayaan kelompok dominan, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa, institusi-institusi pendidikan yang ada di era post industrial ini, telah terstruktur untuk menguntungkan mereka-mereka yang telah memiliki modal budaya dalam bentuk habitus fraksi budaya dominan. Misalnya, bagaimana upaya yang dilakukan oleh aktor-aktor yang duduk dalam struktur lembaga pendidikan, seperti guru, kepala sekolah, komite sekolah, dan pihak yayasan untuk kasus sekolah swasta sebagai kaum dominan, dalam melakukan permainan dan upaya saling mempertaruhkan dan memperebutkan modal, baik modal ekonomi, modal budaya, maupun modal sosial, dalam rangka mendominasi kalangan subordinat yang dalam hal ini adalah para orang tua siswa.
Terminologi modal menurut Bourdieu yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh marxist sociology dapat diklasifikasi menjadi tiga bentuk, yakni (1) modal ekonomi, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan uang, barang, atau kepemilikan benda-benda yang dapat dipandang dan digunakan untuk keperluan investasi; (2) modal kultural, adalah segala sesuatu yang terinstitusionalisasi dalam bentuk kualifikasi pendidikan; dan (3) modal sosial, yakni berupa kewajiban-kewajiban sosial, dan diantaranya terinstitusionalisasikan dalam bentuk kehormatan dan kebangsawanan (Hasbullah, 2006:7).
Berangkat dari gambaran tentang sosiologi pendidikan secara konseptual sebagaimana digambarkan beberapa tokoh sosiologi pendidikan di atas, dan jika dikaitkan dengan fenomena pendidikan yang sedang terjadi di Indonesia, pasca munculnya era industrialisasi, maka dapat dinarasikan sebagai berikut. Sebagaimana dipahami bersama bahwa tahun 1998, di Indonesia terjadilah gerakan reformasi di bidang politik dan pemerintahan yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan rezim Orde Baru. Menurut Darmaningtyas (2005:37) selama pemerintahan Orde Baru, bahkan sampai era pemerintahan transisi B.J. Habibie, pendidikan di Indonesia tidak pernah ditempatkan sebagai program utama yang harus diprioritaskan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa selama tiga dasawarsa terkahir sebelum terjadinya reformasi politik dan pemerintahan, yakni sebelum tahun 1998, tidak ada perdebatan paradigmatik menyangkut persoalan pendidikan nasional. Kalau toh terjadi perbedaan pandangan antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan dengan Menteri Riset dan Teknologi B.J.
Habibie mengenai persoalan pendidikan, itu hanya berkutat pada persoalan pendidikan siap pakai dan tidak siap pakai. Atau dalam bahasa lainnya, perdebatan yang terjadi antara Menteri Fuad Hassan dengan Menteri B.J. Habibie mengenai pendidikan nasional dapat dibilang secara involutif hanya berkutat pada masalah kecilnya anggaran pendidikan.
Lebih lanjut menurut Darmaningtyas, keluhan tentang kecilnya anggaran pendidikan di Indonesia, seakan meniadakan faktor-faktor lain, yang justru berpengaruh besar terhadap buruknya sistem pendidikan yang ada selama ini. Misalnya, tidak pernah ada perdebatan yang berarti terhadap lemahnya kemampuan mengelola pendidikan nasional secara profesional, demikian pula tidak pernah kedenagaran adanya perdebatan yang berarti tentang lemahanya
kemampuan manajerial dalam bidang keuangan, sehingga dapat menimbulkan inefisiensi yang cukup besar dalam penyelenggaraan pendidikan. Munculnya gerakan reformasi di bidang politik dan pemerintahan tahun 1998, ternyata berimbas pula pada reformasi kehidupan bidang pendidikan. Akibatnya, banyak orang yang mulai tertarik untuk berdiskusi tentang reformasi pendidikan yang tidak hanya menyangkut reformasi institusi pendidikan, melainkan juga menyangkut otonomi guru dan otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Tidak kurang dari Moctar Buchori dalam bukunya
’’Transformasi Pendidikan’’ (1999) telah menyerukan pentingnya otonomi guru, agar guru lebih profesional dan indevenden dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. Demikian pula Benny Susetyo dalam bukunya ’’Politik Pendidikan Penguasa’’ (2005:33) menegaskan bahwa manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih bersifat sentralistis, sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi pendidikan. Berangkat dari pernyataan Buchori dan Susetyo tersebut, dapat dibangun sebuah kerangka pemikiran bahwa betapa pentingnya otonomi pendidikan itu diselenggarakan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Sebab dalam sistem pendidikan yang bersifat sentralistik, telah berakibat timbulnya keseragaman dalam pengambilan kebijakan pendidikan, sehingga sistem pendidikan yang diterapkan selama ini tidak mampu mengakomodasi perbedaan yang ada di lingkungan masyarakat nusantara, dan juga tidak mampu mengakomodasi kepentingan daerah, sekolah, dan peserta didik, serta sekaligus mematikan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
Kemudian di era pemerintahan Joko Widodo, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, sebagaimana dilansir Kompas.com/24/06/2021 telah mengeluarkan konsep merdeka belajar yang sesungguhnya bertujuan untuk menjawab segala tantangan yang dihadapi dunia pendidikan di era sebelumnya (diakses, 2 Januari 2022). Menurut Makarim konsep merdeka belajar ini dikeluarkan untuk memberikan kebebasan kepada peserta didik agar para siswa dapat mendalami, minat dan bakatnya masing-masing. Jadi, menurut konsep merdeka belajar anak-anak tidak boleh dipaksa untuk mempelajari sesuatu hal yang sebenarnya mereka tidak sukai. Berangkat dari konsep tersebutlah pendidikan harus memerdekakan peserta didik, dalam arti pendidikan harus memberikan keleluasaan kepada setiap anak untuk mempelajari apa yang benar-benar menjadi minat dan bakatnya.
Misalnya, sebagai orang tua atau guru tidak boleh memaksa anaknya atau peserta didiknya untuk mempelajari bidang ilmu komputer, jika anak itu memang tidak berbakat atau berminat terhadap bidang ilmu tersebut. Demikian sebaliknya, jika anak-anak memang berminat dan berbakat dalam bidang seni misalnya, mereka harus diberi keleluasaan dan didukung untuk mempelajari bidang seni sesuai minat dan bakat yang mereka miliki. Tetapi dalam realitasnya banyak orang tua atau masyarakat yang menafsirkan secara keliru esensi dari konsep merdeka belajar yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebaudayaan Nadiem Anwar Makarim.
Ada orang tua atau masyarakat yang menafsirkan bahwa konsep merdeka belajar itu, adalah anak bebas melakukan apa pun berkaitan dengan proses belajar. Mislanya, anak bebas mau belajar atau tidak, anak juga dibebaskan untuk mengerjakan tugas atau tidak, dan berbagai macam kebebasan lainnya. Padahal esensi dari konsep
merdeka belajar itu, sesungguhnya adalah memberi kebebasan kepada setiap peserta didik untuk mendalami minat dan bakat mereka terhadap suatu bidang ilmu tertentu. Jadi, konsep merdeka belajar itu dirancang berdasarkan keinginan untuk memprioritaskan kebutuhan anak sebagai peserta didik, bukan atas adar kebutuhan guru sebagai pendidik. Oleh karena itu, melalui konsep merdeka belajar guru-guru didorong untuk merancang model pembelajaran berbasis projek, sehingga dengan model pembelajaran seperti itu, membuat proses pembelajaran di sekolah dapat memacu peserta didik untuk kreatif dalam mencari dan menemukan materi ajar sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Hal ini sejalan dengan penganut aliran konvergensi yang mengatakan bahwa perkembangan peserta didik dipengaruhi oleh dua hal yang saling mendukung (interdevendence) satu dengan yang lainnya, yakni antara bakat/minat dengan lingkungan (baca:pendidikan) di mana anak- anak itu tumbuh dan berkembang (Ahmadi, 1991: 21). Misalnya, ketika anak-anak memiliki bakat dan minat di bidang seni, kemudian mereka diberi sentuhan pendidikan seni, maka niscaya bakat dan kemampuan mereka akan tumbuh secara maksimal. Demikian sebaliknya, ketika anak-anak memiliki minat dan bakat di bidang komputer, lalu dipaksa untuk mempelajari masalah seni, tentu mereka akan mengalami kesulitan dalam hal perkembangan bakatnya.
Dengan memberikan kemerdekaan kepada setiap peserta didik untuk menentukan bakat dan minatnya dalam mempelajari suatu bidang ilmu tertentu, maka kelak mereka diharapkan dapat memiliki pola-pola perilaku, sikap, pengetahuan, dan keyakinan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, baik norma sosial maupun norma agama. Hal ini sejalan dengan gagasan Erich Fromm (1987) yang menegaskan bahwa esensi manusia dapat
pula dilihat dari perspektif homo esparan, yakni manusia adalah mahluk yang selalu berharap. Harapan akan kehidupan yang lebih baik, harapan untuk memiliki pengetahuan yang lebih sempurna dalam bidang tertentu dan lain-lain. Hal ini menjadi sangat penting sebab ketika manusia menghentikan harapannya, maka ketika itu pula manusia telah memasuki pintu neraka, apakah disadari atau tidak mereka juga telah mengenyahkan kemanusiannya sendiri.
B. Munculnya Berbagai Macam Labeling terhadap