BAB IV FENOMENA PENDIDIKAN DEWASA INI DAN MUNCULNYA
D. P ENDIDIKAN SEBAGAI A LAT I NTEGRASI S OSIAL DALAM M ASYARAKAT
D. Pendidikan sebagai Alat Integrasi Sosial dalam
sekolah justru dapat dijadikan alat oleh pihak penguasa untuk mengadakan perubahan-perubahan radikal sesuai kepentingannya.
Seperti yang dilakukan Itler di Jerman, partai Komunis di Unisoviet, Jepang di daerah-daerah jajahannya dahulu, dan lain sebagainya.
Hal ini bisa dilakukan pihak penguasa, karena sistem pendidikan merupakan alat propaganda yang sangat ampuh untuk mendoktrinasi pikiran peserta didik untuk menciptakan masyarakat baru sesuai keinginan penguasa tersebut. Misalnya, melalui sistem pendidikan sekolah, pihak penguasa dapat menanamkan ideologi yang dianutnya dan disesuikan dengan kepentingan penguasa dalam melanggengkan kekuasaannya. Sebab menurut Marx (dalam pengantar Buku tentang Ideologi, 1984 :x) ideologi adalah piranti, yang dengannya, ide-ide kelas berkuasa dapat diterima di dalam masyarakat sebagai sesuatu yang normal dan natural. Hal ini bisa terjadi, sebab Marx memahami bahwa para anggota dari kelas subordinat, yakni kelas pekerja, dituntun untuk membayangkan tentang pengalaman sosialnya, hubungan sosial, bahkan dirinya, melalui seprangkat ide yang bukan berasal dari diri mereka sendiri, melainkan datang dari suatu kelas yang tidak hanya memiliki kepentingan sosial, politik, dan ekonomi yang berbeda, namun sungguh-sungguh berlawanan.
Namun, demikian secara teks ideal pendidikan, sesuangguhnya dapat dijadikan alat integrasi sosial dalam masyarakat. Sebab menurut Barnadib (1983:130) pendidikan dapat berperan sebagai arena pembentukan kepribadian seseorang, baik sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, maupun sebagai mahluk beragama. Sebagai arena pembentukan kepribadian peserta didik menuju kehidupan yang seimbang, yakni antara kehidupan individu dengan kehidupan sosial, maka pendidikan
dapat dipandang sebagai alat untuk melakukan integrasi sosial bagi setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa proses pendidikan akan mengalami keselarasan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Artinya, proses pendidikan yang terjadi dalam sebuah sistem pendidikan sekolah akan terbentuk sesuai dengan pandangan hidup masyarakat di mana sekolah itu tumbuh dan berkembang.
Di dalam menghadapi perkembangan dunia yang semakin dinamis, yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh negara-negara maju, maka tidak tertutup kemungkinan negara-negara dunia ketiga akan mengalami banyak permasalahan. Untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul akibat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pendidikan dapat dijadikan salah satu alat integrasi sosial dalam menghadapi dinamika yang sedang terjadi. Sebab melalui sistem pendidikan ini, negara dapat mengantisipasi laju percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh negara-negara maju. Dikatakan demikian, sebab melalui sistem pendidikan negara atau masyarakat dapat mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencari jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi masyarakat sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tersebut.
Namun demikian, pada kenyataannya banyak juga negara- negara berkembang yang menerapkan sistem pendidikan dualistik, yakni di satu sisi sistem pendidikan diarahkan untuk menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi, namun di sisi lain mereka menolak ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kondisi
demikian tentu mengandung suatu resiko, yakni integrasi nasional (persatuan dan kesatuan) bangsa menjadi rawan. Ketika dilema semacam ini dihadapi oleh suatu negara, khususnya negara kesatuan Republik Indonesia, maka tujuan pendidikan nasional sebagaimana diamantkan oleh undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional sulit dicapai (Bastian, 2002:13—18).
Mengingat pendidikan merupakan alat integrasi sosial yang dapat mengintegrasikan seluruh kepentingan masyarakat, maka peningkatan kualitas pendidikan seharusnya menjadi skala prioritas bagi pemerintahan Republik Indonesia, sehingga tujuan nasional yang diamanatkan baik oleh UUD 1945 maupun oleh UU Sistem Pendidikan Nasional segera dapat diwujudnyatakan. Namun, dalam kenyataannya di banyak negara, termasuk Indonesia problem yang dihadapi adalah rendahnya kualitas dan rusaknya manajemen pendidikan itu sendiri. Seharusnya permasalahan mengenai kualitas dan manajemen pendidikan tidak mesti terjadi, sebab lembaga pendidikan merupakan salah satu institusi yang berperan sebagai agen perubahan (agent of change). Artinya, pendidikan adalah pelopor dari setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, oleh karenanya manajemen dan kualitas pendidikan semestinya dinamis dalam mengikuti setiap perubahan yang terjadi. Logikanya, pendidikan selalu berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian pendidikan secara akal sehat selalu dinamis mengikuti arah perubahan sesuai irama perkembangan masyarakat.
Berangkat dari realitas tersebut guru sebagai praktisi pendidikan, hendaknya senantiasa berupaya mengembangkan wawasan peserta didiknya, agar para peserta didik kreatif dan inovatif dalam menunjang terwujudnya atmosfir akademik yang
kondusif bagi pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini senafas dengan para penganut aliran konstruktivistik, yang mengatakan bahwa para peserta didik harus diposisikan sebagai subjek belajar yang harus kreatif dan inovatif dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Hal ini dilandasi oleh sebuah pemikiran bahwa individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Satu konsep dasar yang melatari aliran pemikran konstruktivis ini adalah bahwa pengetahuan yang dikonstruksi oleh individu sebagai subjek belajar akan berkembang menjadi pengetahuan yang bermakna.
Sementara pengetahuan yang diperoleh oleh individu sebagai objek belajar yang diberikan oleh guru melalui metode ceramah (baca:pengetahuan yang terberi) akan menjadi pengetahuan yang hanya diingat sementara setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2008:124).
Menurut Piaget pengonstruksian pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif yang terbentuk melalui proses pengalaman. Sedangkan asimilasi adalah sebuah proses penyempurnaan skema yang telah terbentuk, sementara akomodasi adalah proses perubahan skema.
E. Pendidikan sebagai Agen Sosialisasi Kebudayaan