swasta lain) yang mengharapkan “luapan siswa” yang tidak tertampung di sekolah negeri. Dampaknya , terjadi penurunan siswa secara drastis di sekolah swasta pada jenjang pendidikan menengah terutama di perkotaan, yang mengharapkan luapan siswa sekolah negeri.
Secara sosiologis, sekolah Muhammadiyah di perkotaan (urban) dan sub-urban juga dihadapkan dengan kemunculan sekolah swasta Islam baru yang menawarkan model-model pendidikan alternatif yang berupaya membidik keluarga kelas menengah muslim. Dengan demikian, pada masa transformasi ini, sekolah Muhammadiyah dihadapkan pada dua tantangan sekaligus: secara vertikal berhadapan dengan kebijakan pendidikan populis- desentralistik dengan isu sekolah gratis dan secara horizontal berhadapan dengan kompetitor baru yang memperebutkan kaum muslim menengah ke atas.
Menghadapi kompleksitas masalah di atas, sekolah Muhammadiyah harus berani keluar dari zona “pelembagaan”, “pemapanan”, “aman” yang telah membirokrasikan sekolah sedemikian rupa untuk kemudian bertransformasi menjadi sekolah berkemajuan (the improving school/modern school) yang menjanjikan masa depan dengan jalan menemukan kembali nilai-nilai keunggulan Persyarikatan. Penampilan sekolah berkemajuan yang merupakan produk dari proses transformasi ini memiliki banyak wajah sesuai kebutuhan masyarakat sekitar, tetapi tetap mengedepankan pada mutu layanan yang prima dan proses pembelajaran yang bermakna.
dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan pendekatan filosofis (Mohamad Ali dan Marpuji Ali, 2010).
Berdasarkan pada pendekatan ketiga dan keempat, tujuan pendidikan Muhammadiyah dapat dibedakan pada era pra-perumusan dan era perumusan formal. Pada era pra-perumusan, tujuan pendidikan Muhammadiyah belum dirumuskan secara eksplisit dan formal. Tujuan pendidikan Muhammadiyah lebih mengacu pada pemikiran K.H Ahmad Dahlan sebagai peletak dasar, baik yang disampaikan secara lisan maupun dalam bentuk tulisan.
Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, KH. Ahmad Dahlan menyatakan,
“Jadi orang Islam itu bersifat dua, yaitu sifat guru dan sifat murid” yang menunjukkan peran untuk terus belajar dan berbagi pengetahuan. Di bagian lain, “Manusia wajib mencari tambahnya ilmu pengetahuan, jangan sekali- kali merasa telah cukup pengetahuannya, apalagi menolak pengetahuan orang lain… Manusia itu perlu dan wajib menjalankan dan melaksanakan pengetahuannya yang utama, jangan hanya sekedar sebagai pengetahuan semata.” (Alim Roswantoro, dkk,
Pada 1923 KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato dalam Konggres Muhammadiyah. Pidato tersebut disampaikan dalam keadaan sakit dan menjadi pidato resmi terakhirnya. Pidato tersebut diberi judul “Tali Pengikat Hidup Manusia”. Pada pidato tersebut KH Ahmad Dahlan menyatakan bahwa salah satu bagian penting dalam diri manusia adalah akal.
Menurutnya:
“akal itu seperti biji yang terbenam di dalam bumi. Agar biji itu dapat tumbuh menjadi pohon yang besar, tentu perlu disiram secara ajek dan dipenuhi kebutuhan lainnya. Demikian juga akal manusia, niscaya tidak dapat bertambah sampai kepada kesempurnaannya, apabila tidak diberi siraman dengan pengetahuan. Dan semuanya itu mesti sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Kuasa.”
Itu sebabnya, dia menegaskan lebih lanjut akan arti pentingnya belajar.
Menurutnya:
“semua ilmu pembicaraan harus dengan belajar, sebab tidak ada manusia yang mengetahui berbagai nama dan bahasa, tanpa ada yang mengajarnya. Demikian juga yang mengajar itu dapat mengerti dari guru-gurunya, dan demikian seterusnya.”
Dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia, KH Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa :
“Sesungguhnya pengajaran yang berguna dalam mengisi akal itu lebih dibutuhkan oleh manusia daripada makanan yang mengisi perutnya, sebab pengajaran itu lebih cepat menambah besarnya akal daripada makanan yang membesarkan badan.
Dan mencari harta benda dunia itu tidak lebih payah dari mencari pengetahuan yang berguna dalam memperbaiki perbuatan dan kelakuan, sebab apabila dipikir dan diteliti, manusia itu banyak yang hanya ngawur (membuta-tuli) daripada yang memang setiti, hati-hati dan mengerti. Dan orang yang mengerti itu lebih banyak daripada orang yang menjalankan pengertiannya. Maka dari itu orang yang mempunyai akal yang sempurna, harus melihat dan meneliti dirinya sendiri di manakah dirinya sendiri itu.”
Walapun KH Ahmad Dahlan meyakini akan arti pentingnya pendidikan akal, akan tetapi dia mengingatkan keterbatasannya. Itu sebabnya dia menganjurkan untuk melengkapinya dengan pendidikan hati. Hal itu dimaksudkan agar pengetahuan akal yang dimiliki manusia dapat mengantarkannya menjadi “orang budiman”. Dia menguraikan sebagai berikut:
“Akal manusia itu kalau terperosok dalam bahaya sesungguhnya sudah mempunyai bagian hati suci, yaitu mempunyai dasar tidak suka dan cinta pada keluhuran dunia.
Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal harus menjaga dari bahaya yang merusak kesucian hati.
Tidak ada yang berguna tingkatnya pangkat budiman, kecuali hati yang suci. Dan tidak ada manusia yang dapat meraih keluhuran dunia dan akhirat, melainkan orang yang mempunyai sifat budiman.
Oleh karena itu, barangsiapa ingin mengejar menjadi orang yang berpangkat budiman, hendaklah menyediakan dirinya kepada jalannya budiman, yaitu tahan dan kuat mengalahkan hawa nafsunya.”
Di dalam “Tujuh Falsafah dan Ajaran KH. Ahmad Dahlan”
sebagaimana ditulis K.R.H. Hadjid (2004) dijelaskan sebagai berikut:
Pelajaran pertama, kita manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh. sesudah mati akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraankah?.Pelajaran kedua, Kebanyakan diantara manusia berwatak angkuh, dan takabur, mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri.
Pelajaran ketiga, Manusia itu kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang–ulang maka kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai, maka kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk di robah. Pelajaran keempat, Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus Bersama-sama mempergunakan akal fikirannya untuk berfikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? hidup di dunia harus mengerjakan apa? dan mencari apa? dan apa yang dituju? Manusia harus mempergunakan akal fikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati, karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka dan sengsara selama-lamanya. Pelajaran kelima, Setelah manusia mendengarkan Pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam membaca beberapa tumpuk buku dan sesudah memperbincangkan, memikir-mikir, menimbang, membanding-banding ke sana ke mari, barulah mereka itu dapat memperoleh keputusan, memperoleh barang yang benar yang sesungguh- sungguhnya. Dengan akal fikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan inilah perbuatan yang benar. Pelajaran keenam, Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan
jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran.
Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah. Pelajaran ketujuh, Pelajaran terbagi kepada dua bagian, yaitu belajar ilmu (pengetahuan dan teori) dan belajar amal (mengerjakan, mempraktekkan). Semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat.
Pada era perumusan formal pokok-pokok filsafat pendidikan Muhammadiyah dapat ditemukan dalam dokumen Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-46 Tahun 2010. Dalam dokumen tersebut dirumuskan bahwa pendidikan Muhammadiyah merupakan pendidikan Islam modern yang mengintegrasikan agama dengan kehidupan dan antara iman dan kemajuan yang holistik. Pendidikan Muhammadiyah memiliki visi terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkemajuan dan unggul dalam IPTEKS sebagai perwujudan tajdid dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Misi pendidikan Muhammadiyah dalam dokumen tersebut dirumuskan dalam tujuh poin: (1) Mendidik manusia memiliki kesadaran ketuhanan (spiritual makrifat). (2) Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki etos tadjid, berfikir cerdas, alternatif dan berwawasan luas. (3) Mengembangkan potensi manusia berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wirausaha, kompetetif dan jujur. (4) Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan ketrampilan sosial, teknologi, informasi dan komunikasi. (5) Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, kemampuan. (6) Menciptakan dan mengapresiasi karya seni-budaya. (7) Membentuk kader persyarikatan, ummat dan bangsa yang ikhlas, peka, peduli dan bertanggung jawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
Dijelaskan pula dalam doluen tersebut bahwa pendidik yang mengabdi pada lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah pendidik yang memiliki kompetensi dasar sebagai pendidik yang didukung oleh komitmennya pada ideologi persyarikatan Muhammadiyah, nilai-nilai dan pemahaman keislaman sebagaimana yang dipahami. Kompetensi dasar yang dimaksud adalah kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi atau
komitmen ideologi persyarikatan, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian.
Dalam konteks pendidikan Muhammadiyah, pendidik juga diharapkan memiliki pemahaman mengenai pendidikan moral atau akhlak, pendidikan individu dan pendidikan kemasyarakatan. Pendidikan moral atau akhlak dimaksudkan sebagai sarana untuk menanamkan karakter pembelajar yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; pendidikan individu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh; dan pendidikan kemasyarakatan sebagai usaha menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
4. RUANG KOLABORASI
Mahasiswa PPG yang berbahagia, setelah Anda membaca dan memahami materi Pendidikan Muhammadiyah (Historis dan Filosofis), kemudian Anda melanjutkan diskusi tentang topik di atas dalam kelompok kecil (4-5 mahasiswa), cobalah Anda lanjutkan untuk mendiskusikan dan mengidentifikasi tentang tantangan pendidikan Muhammadiyah di setiap masa. Hasil diskusi anda buat dalam bentuk infografis. Unggah Infografis tentang tantangan pendidikan Muhammadiyah di setiap masa pada demonstrasi konstekstual pada bagian Unggah Demonstrasi Konstekstual.
5. DEMONSTRASI KONTEKSTUAL
Petunjuk Demonstrasi Kontekstual
Setelah menyelesaikan diskusi kelompok, silakan anda mempresentasikan infografis yang sebelumnya sudah anda buat. Adapun tata cara yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Masing-masing kelompok mempresentasikan infografis yang sudah
diselesaikan sebelumnya.
2) Masing-masing kelompok wajib memberikan satu pertanyaan / pernyataan / saran / kritik / sanggahan / lainnya, kepada kelompok lain melalui forum diskusi.
3) Ketua kelompok membagi tugas kepada seluruh anggota kelompok (termasuk dirinya sendiri) secara merata, untuk memberikan tanggapan di forum
diskusi.
4) Seluruh mahasiswa menyimak tanggapan kelompok dan mengomunikasikan kembali secara kontinyu terhadap pernyataan, saran, kritik, pertanyaan, sanggahan, dll kelompok lainnya.
6. ELABORASI PEMAHAMAN
Pertanyaan Pemantik elaborasi pemahaman:
1) Pada topik ini, bagian mana yang menurut Anda menginspirasi? Mengapa?
2) Apa yang ingin Anda pelajari lebih lanjut? Mengapa?
3) Berdasarkan teori yang disampaikan pada topik ini, tantangan apa saja yang dihadapi lembaga pendidikan Muhammadiyah saat ini dan bagaimana strategi mengatasinya?
Kami yakin, saat ini Anda sudah mulai tercerahkan namun juga mungkin sekaligus memiliki banyak pertanyaan. Tetaplah semangat, karena semua pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi pemandu dalam perjalanan Anda menuju pemahaman. Silahkan bertanyalah kepada dosen Anda atau diskusikanlah kembali dengan teman Anda jika masih ada yang belum dimengerti dari paparan konsep teori yang tersaji di atas.
TOPIK. 4.
MUHAMMADIYAH DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
1. PENGANTAR
Kebinekaan adalah keniscayaan bagi bangsa Indonesia, sehingga sebagai insan pendidikan memahami kebinekaan adalah penting. Setelah mempelajari topik ini, capaian pembelajaran yang diharapkan adalah mahasiswa memahami pendidikan multikultural dalam perspektif Islam dan menganilis kritis bagaimana Muhammadiyah mencontohkan mengimplementasikan prinsip- prinsip tersebut dalam pendidikan Muhammadiyah. Mahasiswa diharapkan dapat mengambil contoh baik penerapan prinsip-prinsip pendidikan Multikultural di Muhammadiyah dalam menjalankan profesinya sebagai guru Indonesia di masa depan.
2. MULAI DARI DIRI
Selamat datang para mahasiswa pada pembelajaran kali ini!
Bagaimana perasaan Anda memasuki pembelajaran ini? Jangan lupa untuk berdoa terlebih dahulu sebelum memulai belajar agar diberikan pemahaman yang utuh.
Mari kita jawab beberapa pertanyaan pemantik berikut untuk refleksi diri sebelum memulai belajar.
Ketiklah jawaban/respon Anda pada kolom jawaban yang telah disediakan.
1. Berdasarkan pengalaman Anda selama berinteraksi atau mengamati lembaga pendidikan Muhammadiyah, apakah ada yang dapat dibanggakan dalam praktek pendidikan multikultural di lembaga pendidikan Muhammadiyah tersebut? (jika Anda pernah sekolah atau kuliah di lembaga pendidikan Muhammadiyah, maka jawaban atau penjelasan Anda bisa dari pengalaman Anda sendiri.
2. Seberapa puas diri Anda terhadap pelaksanaan pendidikan multikultural di lembaga pendidikan Muhammadiyah tersebut? Jika puas jelaskan alasannya, dan jika tidak puas jelaskan pula alasannya.
3. EKSPLORASI KONSEP
A. Pendidikan Multikultural Perspektif Islam
Secara harfiah, Multikultural berasal dari kata multi artinya banyak dan culture artinya budaya. Dengan demikian multikultural berarti budaya yang bervariasi atau beragam (Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), 2002).
Adapun Pendidikan Multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini diharapkan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Susilo Andrew, 2014).
Keberadaan pendidikan multikultural berkaitan erat dengan gerakan multikulturalisme. Secara historis, gerakan ini muncul pertama kali di Kanada dan Australia sekitar 1970-an, disusul kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Di antara faktor yang melatarbelakangi kemunculan multikulturalisme di negara-negara tersebut adalah menyangkut persoalan rasisme dan tindakan-tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, terutama yang ditujukan kepada orang-orang yang berasal dari Afrika (Bikhu Parekh, 2000).
Setelah beberapa dekade, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting, yaitu: Pertama, multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.Kedua, adalah gelombang multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, sehingga berimplikasi pada semakin kokohnya gerakan multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Bikhu Parekh, 2000).
Dari proses sejarah dengan perkembangan yang cepat, terlihat bahwa multikulturalisme sebagai gerakan yang konsen pada aspek-aspek pluralitas dan nilai-nilai kemanusiaan, merupakan gerakan yang dinilai tepat untuk diposisikan sebagai alternatif dalam menyikapi berbagai persoalan yang berhubungan dengan aspek keragaman. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa kompleksitas keragaman atau perbedaan yang muncul dalam kehidupan manusia, baik secara sosial maupun kultural merupakan hal yang wajar (alamiah). Manusia sebagai makhluk sosial, tidak akan pernah lepas dari proses interaksi dengan segala komponen yang ada disekitarnya yang beragam.
Demikian pula manusia sebagai makhluk budaya, berbagai budaya yang lahir selalu muncul dengan berbagai bentuknya (Muhammad Rasyid, 2017).
Dalam perspektif Islam, seluruh manusia berasal dari satu asal yang sama; Nabi Adam dan Hawa. Meskipun nenek moyangnya sama, namun dalam perkembangannya kemudian terpecah menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum, atau berbangsa-bangsa, lengkap dengan segala kebudayaan dan peradaban khas masing-masing. Semua perbedaan yang ada selanjutnya mendorong mereka untuk saling mengenal dan menumbuhkan apresiasi satu sama lain. Inilah yang kemudian oleh Islam dijadikan dasar perspektif “kesatuan umat manusia”, yang pada gilirannya akan mendorong solidaritas antar manusia. Dasar pandangan ini dapat dilihat di dalam QS. al-Hujurat: 13, sebagai berikut:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Oleh karena Islam memuat ajaran menghargai keragaman yang menyeru kepada seluruh umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan umat manusia tanpa memandang latar belakang ras, etnik, suku, bangsa, bahasa, agama, warna kulit, jenis kelamin, keturunan dan lain-lain, maka sikap diskriminasi terhadap orang lain atau kelompok tertentu bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurut Asep Daud Kosasih, dkk (2022), sebagai sebuah konsep multikulturalisme atau pluralisme yang di dalamnya berisi penghargaan terhadap keragaman, toleransi dan inklusifitas, merupakan bagian dari peradaban Barat yang muncul dan berkembang dalam setting sosial politik humanisme sekuler Barat, yang akhirnya bermuara pada lahirnya sebuah tatanan demokrasi liberal yang tidak semuanya bersesuaian dengan ajaran Islam.
Konsep ini mulai disosialisasikan ke negara-negara Muslim dan menjadi wacana yang menarik sejak tahun 1990-an. Oleh karena itu konsep tersebut harus disikapi secara hati-hati, terutama pada aspek agama.
Pada aspek agama, konsep dasar multikulturalisme atau pluralisme berangkat dari pemikiran bahwa semua agama adalah benar. Agama hanya merupakan jalan untuk menuju keselamatan dan Tuhan. Dengan begitu, pluralisme menjadikan kebenaran agama bersifat relatif atau nisbi, dan tidak mutlak. Oleh sebab itu, pluralisme menawarkan prinsip toleransi (tenggang rasa) dan inklusifitas (keterbukaan) dalam menerima kebenaran semua agama.
Padahal secara normatif dan historis pandangan tersebut berbeda dan bertentangan dengan ajaran Islam yang hanya mengajarkan prinsip toleransi (tenggang rasa) dan inklusifitas (keterbukaan) dalam menerima keberadaan semua agama, bukan pada kebenaran semua agama (Asep Daud Kosasih, dkk, 2022).
Dari sisi historis, pengakuan akan adanya pluralitas di bidang agama tampak pada perjalanan sejarah umat Islam yang panjang yang selalu berpijak pada prinsip toleransi dan inklusifitas serta menerima adanya pluralitas. Bahkan, kepemimpinan Rasulullah SAW dalam masyarakat Madinah (622-632 M) telah menunjukkan sisi pluralitas, toleransi dan inklusifitas yang sempurna, bukan hanya dalam wacana belaka melainkan terwujud dalam praktik kehidupan yang nyata. Piagam Madinah mengakui eksistensi penganut agama lain (Yahudi dan paganisme / para penyembah berhala), dan mendorong kerjasama, saling menolong dan membantu satu sama lain. Walaupun demikian, Rasulullah SAW tidak mengakui kebenaran semua agama yang ada. Itu sebabnya toleransi yang diterapkan bukan mencampuradukan praktek agama tetapi saling menghargai dalam menjalankan agama masing-masing (Asep Daud Kosasih, dkk, 2022).
Menurut Muhammad Rasyid (2017), Islam mengenalkan semangat dan nilai- nilai yang ingin menghendaki umatnya melaksanakan sikap multikultural.
Nilai multikultural secara implisit sebenarnya diajarkan dalam setiap pelaksanaan muamalah dan ibadah dalam Islam. Dalam muamalah terdapat karakter yang dinamai akhlak al-karimah. Dalam kaitanya dengan kehidupan sosial, maka diajarkan tentang keadilan, persatuan, persamaan hak, toleran, saling membantu, dan lain-lain. Demikian pula dalam pelaksanaan berbagai macam ibadah, misalnya ibadah shalat diajarkan berjama’ah sehingga di dalamnya memuat nilai toleransi, persatuan dan persamaan, apakah antara ras, suku, bahasa, budaya dan lain-lain.
Semangat dalam ibadah puasa, secara implisit mengajarkan umat Islam untuk toleransi kepada masyarakat yang kurang berada, fuqara dan masakin.
Orang yang berpuasa harusnya merasakan keadaan mereka, memiliki empati, sehingga tidak semena-mena dan egois sebagai umat muslim.
Ibadah zakat dan haji mengajarkan umat Islam untuk bertoleransi, saling menghormati, saling menghargai, mempererat hubungan di antara sesama umat Islam dari berbagai kalangan yang berbeda, menyatukan yang berbeda, sehingga dapat hidup dengan harmonis dan damai sebagai satu umat berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Berbagai nilai multikultural yang secara implisit terdapat dalam ajaran Islam diajarkan dan dibiasakan di rumah, mesjid dan lingkungan masyarakat.
Dalam perkembangan lebih lanjut bersamaan dengan modernisasi pendidikan di kalangan umat Islam, nilai tersebut disosialisasikan pula di lembaga pendidikan Islam. Di lembaga ini nilai-nilai multikultural ditanamkan dalam pembelajaran akhlak. Ini dipelajari di seluruh pondok pesantren melalui kajian kitab terkait dan madrasah di setiap jenjang pendidikan Islam, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, sampai ke jenjang perguruan tinggi. Dengan demikian, meminjam pendapat Bambang Sugiharto (1996) bahwa pendidikan multikultural dalam perspektif Islam pada hakikatnya adalah pendidikan yang menempatkan multikulturalisme sebagai salah satu visi pendidikan dengan karakter utama yang bersifat inklusif, toleran, egaliter dan humanis, namun tetap kokoh pada nilai-nilai spiritual dan ketuhanan yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bambang Sugiharto: 1996).