MODUL
MK ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN (PENDIDIKAN PROFESI GURU)
Tim Pengembang Modul:
Dr. Asep Daud Kosasih, M.Ag.
Dr. Kusno, M.Pd.
Istianah, Lc, M.Hum.
Dr. Ana Andriani, M.Pd.
Penyelaras Akhir:
Arifin Suryo Nugroho, M.Pd.
Dr. Wildan Nurul Fajar
PENDIDIKAN PROFESI GURU
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2023
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Modul yang berjudul “Islam dan Ilmu Pengetahuan untuk Pendidikan Profesi Guru” disusun untuk menjadi referensi matakuliah elektif MK Islam dan Ilmu Pengetahuan sebagai matakuliah penciri yang disajikan pada Semester 1 Pendidikan Profesi Guru Prajabatan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Modul ini pertama kali disusun pada tahun 2022, dan telah dilakukan revisi pada beberapa hal untuk menambahkan materi, penyempurnaan susunan, dan penambahan aktivitas yang lebih lengkap mengakomodir sajian alur m-e- r-d-e-k-a untuk memberikan keragaman aktivitas mahasiswa yang tersaji dalam learning management system(LMS) mata kuliah. Pada modul edisi revisi ini, tersaji aktivitas elaborasi pemahaman dan aksi nyata yang ditambahkan dalam beberaapa topik relevan. Modul ini merupakan sebuah upaya untuk menjembatani antara ilmu pengetahuan modern dan nilai-nilai Islam dalam konteks pendidikan. Pendidikan adalah pondasi bagi perkembangan masyarakat, dan menjadi seorang guru adalah tanggung jawab yang mulia dalam memandu generasi penerus agar menjadi individu yang berakhlak mulia, berwawasan luas, dan berpikiran kritis.
Islam, sebagai agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan, memberikan pedoman yang kuat dalam mengarahkan pendidikan. Modul ini mengajak pembaca untuk menjelajahi hubungan yang erat antara ajaran Islam dan pengetahuan modern, dengan tujuan memperkaya pengalaman belajar para calon guru.
Dalam modul ini, kita akan menyelami berbagai aspek yang relevan, seperti:
1. Pengenalan relasi Islam dan Ilmu pengetahuan, dan konsep pendidikan dalam Islam: Membahas prinsip-prinsip dasar pendidikan dalam Islam, termasuk tugas utama seorang guru dalam membentuk karakter dan pengetahuan siswa.
2. Kiprah pendidikan Muhammadiyah dan filosofi pendidikan Muhammadiyah.
3. Pendidikan sains dan sosial budaya dalam kerangka Islam: Mengeksplorasi bagaimana ilmu pengetahuan modern, termasuk sains dan sosial budaya, dapat dipahami dan diajarkan dalam kerangka nilai-nilai Islam.
4. Profil Guru dan Pembelajaran profetik dengan mengambil keteladanan Rasulullah dan para nabi sebagai Guru untuk membentuk etika dan moralitas seorang guru dalam konteks Islam, serta tanggung jawabnya terhadap siswa dan masyarakat.
Modul ini diharapkan dapat menjadi panduan yang bermanfaat bagi para calon guru yang ingin memahami dan atau mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam metode pengajaran mereka dan menjalani profesi guru dengan penuh dedikasi. Semoga modul ini memberikan inspirasi dan wawasan yang mendalam bagi pembaca dalam perjalanan mereka menjadi guru yang mampu membentuk masa depan yang lebih baik.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Purwokerto, Desember 2023 Tim Modul Pendidikan Profesi Guru FKIP UMP
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER hlmi
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv
TOPIK 1. RELASI ISLAM DAN ILMU
PENGETAHUAN 1
1. PENGANTAR 1
2. MULAI DARI DIRI 1
3. EKSPLORASI KONSEP 2
A. Kedudukan Akal, Indera, dan Wahyu 2
B. Ilmu dalam Islam 5
C. Perintah dan Penghargaan Menuntut Ilmu
dalam Islam 6
D. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Di Dunia
Islam 8
E. Relasi Ilmu dan Islam 9
F. Kesimpulan 12
4. RUANG KOLABORASI 13
5. DEMONSTRASI KONTEKSTUAL 13
6. ELABORASI PEMAHAMAN 14
TOPIK 2. ISLAM DAN PENDIDIKAN 15
1.PENGANTAR 15
2.MULAI DARI DIRI 15
3.EKSPLORASI KONSEP 16
A. Konsepsi Islam tentang Pendidikan 16 B. Sumber Pendidikan dalam Konsepsi Islam 18 C. Dasar Pendidikan dalam Konsep Islam 18 D. Sasaran dan Tujuan Pendidikan dalam
Konsepsi Islam 20
E. Media Pendidikan dalam Konsepsi Islam 22 F. Metode Pendidikan dalam Konsepsi Islam 22
4.RUANG KOLABORASI 23
5.DEMONSTRASI KONTEKSTUAL 24
6.ELABORASI PEMAHAMAN 24
TOPIK 3. PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH 25
1.PENGANTAR 25
2.MULAI DARI DIRI 25
3.EKSPLORASI KONSEP 26
A. Sejarah Pendidikan Muhammadiyah 26 B. Filosofi Pendidikan Muhammadiyah 30
4.RUANG KOLABORASI 35
5.DEMONSTRASI KONTEKSTUAL 36
6.ELABORASI PEMAHAMAN 36
TOPIK 4. MUHAMMADIYAH DAN PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL 37
1.PENGANTAR 37
2.MULAI DARI DIRI 38
3.EKSPLORASI KONSEP 38
A. Pendidikan Multikultural Perspektif Islam 41 B. Pendidikan Multikultural di
Muhammadiyah 42
4.RUANG KOLABORASI 44
5.DEMONSTRASI KONTEKSTUAL 45
6.ELABORASI PEMAHAMAN 45
TOPIK 5. PROFIL GURU PROFETIK 47
1.PENGANTAR 47
2.MULAI DARI DIRI 47
3.EKSPLORASI KONSEP 47
A. Iman, Ibadah, dan Akhlak 47
B. Niat, Motivasi dan Tujuan 52
C. Kepemimpinan Profetik Guru (Sidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah): Menuju Profesionalisme Guru Islami
54
D. Kesimpulan 55
4.RUANG KOLABORASI 57
5.DEMONSTRASI KONTEKSTUAL 58
6. ELABORASI PEMAHAMAN 59
TOPIK 6. INTEGRASI ISLAM DAN ILMU
PENGETAHUAN (ISLAM DAN SAINS, ISLAM DAN ILMU SOSIAL BUDAYA)
59
1.PENGANTAR 59
2.MULAI DARI DIRI 59
3.EKSPLORASI KONSEP 59
A. Islam dan Sains Matematika 59
1) Model Integrasi Islamisasi Matematika 60 2) Model Integrasi Matematisasi Islam 63 B. Integrasi Islam dan Ilmu Sosial Budaya 66
4.RUANG KOLABORASI 70
5.DEMONSTRASI KONTEKSTUAL 71
6. AKSI NYATA 71
TOPIK 7. PEMBELAJARAN PROFETIK 73
1.PENGANTAR 74
2.MULAI DARI DIRI 74
3.EKSPLORASI KONSEP 74
A. Metode Pembelajaran Profetik 74
B. Media dalam Pembelajaran Profetik 78
C. Model Pembelajaran Profetik 80
D. Evaluasi dalam Pembelajaran Profetik 82
4. RUANG KOLABORASI 86
5.DEMONSTRASI KONTEKSTUAL 87
6. AKSI NYATA 87
TOPIK 1
RELASI ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
1. PENGANTAR
A. Ruang Lingkup Materi
Materi yang dikaji dalam topik ini yaitu seputar relasi Islam dan ilmu pengetahuan yang dibagi dalam 5 sub bab pembahasan, yaitu: 1) kedudukan akal, indera, dan wahyu; 2) hakikat ilmu dalam Islam; 3) perintah dan penghargaan Islam dalam menuntut ilmu; 4) perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam; dan 5) relasi ilmu dan Islam.
B. Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran (CP) yang hendak dicapai pada topik ini yaitu:
1) Mahasiswa memahami pembahasan tentang relasi Islam dan ilmu pengetahuan;
2) Mahasiswa mampu menganalisis kedudukan akal, indera, dan wahyu yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan;
3) Mahasiswa memahami kedudukan ilmu dan penuntut ilmu dalam Islam;
4) Mahasiswa mampu menganalisis relasi Islam dan ilmu pengetahuan 2. MULAI DIRI
Masing-masing dari pribadi kita adalah khalifah yang dibekali akal, indera, dan wahyu dari Allah Swt. Ilustrasikan diri kita adalah sebuah bangunan rumah, tiga potensi terpisah tetapi saling terhubung, ibarat sebuah rumah yang memiliki ruang-ruang yang terpisah dan memiliki fungsi masing-masing tetapi saling terhubung melalui pintu-pintu. Ruang- ruang tersebut menjadi komponen pembentuk rumah. Rumah tidak dapat dikatakan sebagai rumah jika hanya terdiri dari kamar, atau hanya terdiri dari ruang tamu, atau hanya terdiri dari dapur dan kamar mandi. Maka ketika satu ruang (akal) berdiri sendiri, tidak dapat disebut sebagai rumah (manusia), demikian halnya ketika hanya ada ruang ke dua (indera) tidak dapat disebut sebagai rumah, pun ketika hanya ada ruang ketiga (wahyu) saja. Ilustrasikan hal tersebut untuk memahami penempatan akal, indera,
dan wahyu, serta untuk memahami fungsi dari ketiganya.
Kemudian, terapkan ilustrasi tersebut, untuk mengukur diri sendiri melalui beberapa pertanyaan reflektif berikut ini:
a) Sejauh mana anda mengoptimalkan akal dan indera untuk memerhatikan fenomena-fenomena yang terjadi di ruang kelas, di sekolah, dan di lingkungan masyarakat?
b) Apakah ketika mencoba mencermati fenomena tersebut, anda juga menggunakan agama (pemahaman akan wahyu) untuk menilai antara kebenaran (haqq) dan kesalahan (baṭil) yang ada dalam fenomena- fenomena tersebut?
3. EKSPLORASI KONSEP
A. Kedudukan Akal, Indera, dan Wahyu
Setiap manusia, sejak ia dilahirkan dari rahim seorang ibu, oleh Allah diberi potensi berupa akal. Konsep akal berasal dari bahasa Arab (‘aql), di mana kata bendanya bermakna al-hijr atau al-nuha yang berarti kecerdasan, sedangkan kata kerjanya (‘aqala) berarti mengikat atau menawan hawa nafsunya. Oleh karena itu, orang yang menggunakan akalnya disebut ‘āqil, artinya orang yang dapat mengikat dan menawan (atau mengendalikan) hawa nafsunya. Sedangkan berdasarkan akar kata ‘aql, yakni huruf ain, qaf danlam, mengacu pada arti kemampuan mengendalikan sesuatu, baik perkataan, pikiran maupun perbuatan (Baharuddin, 2004: 115).
Akal sebagai potensi rohani manusia guna mengendalikan hawa nafsunya akan mendorong manusia untuk dapat memahami kebenaran agama. Sebab, salah satu syarat untuk dapat memahami kebenaran agama adalah apabila orang sanggup mengendalikan hawa nafsunya. Sebaliknya, orang yang dikuasai oleh hawa nafsunya akan sulit memahami kebenaran agama. Dalam QS.
Muhammad/47: 16, Allah menjelaskan:
مَلْعِلْا اوتُوتُ مَيعِلْعْ اوتْامَ مَعِلْعِ لَعِ اوتُ مَمَ امِعِ ىلُمح مَليمْعِ تُعِمُلْمي لَمِ لَتُلْعِ مو لَتُمَا مولُمُ اوتِمَلُا مو لَعُعَوتْتَ ىمْمِ ت لل مُمَمَ مَيعِلْا مَعِمْوتُ افًعْآ مَامَ امِامِ
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi):
"Apakah yang dikatakannya tadi?" Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka
Selain itu, melalui potensi akal, manusia dapat membedakan kebenaran (haqq) dengan keburukan atau kejahatan (bathil). Hal ini karena dengan akalnya manusia dapat memahami mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat.
Jadi, hidayah Allah datang kepada manusia lewat perantaraan akal yang dipergunakan secara optimal.
Akal dalam pengertian di atas, sebenarnya bukan otak sebagai salah satu organ tubuh manusia, melainkan daya pikir yang terdapat pada jiwa manusia.
Melalui akal, manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan yakni dengan cara memperhatikan alam sekitarnya. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran/3: 190 – 191:
يعْوت عأ تٍامي مَ عَامُلْْا مو عَليلْْا عِ مَعُلَا مو عِ لَم لأا مو عٍا موامِلْْا عِلْمَ يعِ لَعِ
عِلْمَ يعِ مَو تَلّمًمُمي مو لَعُعَوتْتُ ىمْمِ مو افِوتِتَ مو افِاميعَ م لل مَو تَتّلِمي مَيعِلْا .عِامَلْم لأا عَالْْا مِامِمِ امْعِمِ مَمْامحلَتْ فَعَامَ امِمُ مٍلِمْمَ امِ امْلَ مَ عِ لَم لأا مو عٍا موامِلْْا
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Selain akal, setiap manusia juga dilengkapi dengan indera agar dapat hidup dan menunaikan tugas-tugas kehidupan secara sempurna, yang dikenal dengan panca indera, yakni mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk bernafas, mulut untuk memasukkan makanan dan minuman ke dalam tubuh, serta lidah untuk merasakan nikmatnya makanan dan minuman.
Juga, indera yang lain seperti jantung, paru-paru, tangan, kaki, dan alat-alat reproduksi. Indera merupakan anugerah pemberian Allah kepada manusia agar diberdayakan secara optimal dalam kerangka perlombaan untuk berbuat kebajikan (fastabiq al-khairāt). Maka dari itu, indera harus dipergunakan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, berdoa dan beribadah
kepada-Nya. Indera tidak boleh dimanfaatkan untuk berbuat keburukan dan kejahatan.
Berbicara mengenai indera, dalam kaitannya dengan pengetahuan akan selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat empiris atau bukti nyata. Dalam Sejarah ilmu pengetahuan di negara manapun, sumbangan aliran empiris ini telah banyak membawa kemajuan bagi negaranya (Muliadi, 2020). Indera menangkap/mengamati benda-benda (makhluk, barang, dan objek lainnya) yang berbentuk materi, demikian juga untuk menangkap materi-materi di alam sekitar.
Melalui pengamatan dan pengalaman inderawi ini, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
Meski demikian, indera sebagai perangkat untuk memperoleh data empiris bagi kebenaran dan ilmu memiliki beberapa kelemahan, di antaranya y itu:
a. Indera memiliki keterbatasan ketika melihat benda yang jauh, maka akan terlihat kecil padahal hakikatnya tidak kecil;
b. Indera dapat menipu, seperti halnya orang sakit ketika lidahnya merasakan pahit, padahal hakikatnya tidak pahit melainkan manis;
c. Objek yang tertangkap indera dapat menipu seperti fatamorgana yang membohongi manusia;
Sehubungan dengan kenyataan bahwa akal dan indera manusia bersifat terbatas, dan kecenderungan alamiah indera selalu didorong oleh hawa nafsu untuk berbuat keburukan dan kejahatan, maka manusia memerlukan campur tangan Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para nabi dan rasul. Dalam hal ini, Allah mengutus Nabi Muhammad saw, sebagai Nabi dan Rasul terakhir, yang diberikannya kitab Al-Quran, wahyu Allah, agar dijadikan sebagai petunjuk hidup umat manusia. Dalam QS.Al-Baqarah ayat 2 disebutkan bahwa kitab suci Al-Quran tidak perlu diragukan kebenarannya dan merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Dalam sejarah Islam, aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Wasil ibn Ata’
pada akhir abad ke-8 M merupakan aliran yang paling menekankan penggunaan akal (rasio) dan memberikan daya yang besar kepada akal. Bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan. Bagi aliran Mu’tazilah, wahyu Tuhan diperlukan hanya untuk menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Adapun aliran Maturidiah yang
didirikan oleh Al-Maturidi (wafat pada tahun 944 M) menekankan keseimbangan antara akal dengan wahyu. Sedangkan aliran Asy’ariah yang didirikan oleh Abu Al Hasan Al Asy’ari (873-935 M) merupakan aliran yang memberikan daya terkecil kepada akal dan lebih mementingkan wahyu Tuhan (Nasution, 1986: 61-78).
B. Ilmu dalam Islam
Ilmu atau al ‘ilm berasal dari kata ‘alima-ya’lamu yang artinya mengetahui-pengetahuan. ‘Alima berasal dari satu akar kata dengan ‘alama yang berarti “memberi tanda”, sedangkan ‘alama memiliki mashdar ‘alaman-
‘alamatan artinya petunjuk, tanda, alamat. Selain itu, ‘alima juga berasal dari satu akar kata dengan ‘alam atau ciptaan. Maka ada hubungan erat antara ‘ilm,
‘alama, dan ‘alam, yaitu bahwa alam/ciptaan ini sama kedudukannya dengan ayat yang merupakan tanda/alamat/petunjuk kepada sesuatu di luar dirinya, yaitu Yang Menciptakannya. Berangkat dari hal ini, Syed Mohammad Naquib al Attas mendefinisikan ilmu –sebagaimana yang ia ambil dari definisi ilmu menurut al Jurjani, yaitu husul suurah asy-syai’ fil ‘aql, wushul an-nafs ila ma’na syai’, maka ilmu adalah; segala sesuatu yang diperoleh dari alam dan ayat yang dengannya si pencari ilmu memahami alam/ayat tersebut dan dengannya ia mengenal (ma’rifah) Pencipta alam dan ayat tersebut. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa tujuan ilmu adalah untuk memahami agama dan mengenal Allah dan melaksanakan kesempurnaan tugas menjadi hamba dan khalifah Allah.
Pengetahuan atau al-‘ilm dalam perspektif Islam bersumber dari Allah, oleh karena itu mengandung kebenaran absolut (Qomar, tanpa tahun, 105).
Disamping itu, hal tersebut menjadikan ‘Ilmmemiliki sandaran yang lebih kuat dibandingkan sains dalam versi Barat, di mana wahyu yang menjadi sumbernya lebih memiliki jangkauan intelektual yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan rasional dan empiris, serta memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi dan lebih jujur daripada sains, terlebih lagi jika didukung dengan metode yang valid melalui tahapan-tahapan mekanisme kerja ilmiah. Karena ajarannya yang berkenaan dengan fisik, metafisik, empiris dan metaempiris, bentuk dan substansi menjadikan konsep al ‘ilm melampaui wilayah pemetaan sistematik yang biasanya ada, maka al ‘ilm bukan saja tersusun dari segi-segi apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi), melainkan
juga dari segi-segi darimana, kenapa, dan mau kemana (Qomar, tanpa tahun, 105-106).
Islam meyakini bahwa Allah Yang Maha Tau memberikan kekuatan- kekuatan kepada manusia dan memberikan ilmu dengan sumber dan saluran- salurannya lebih banyak dari sekedar yang diakui oleh ilmuwan Barat, karena pengalaman langsung, pemerhatian dan pengamatan indra hanya sebagian dari sumber-sumber tersebut, demikian menurut pendapat al Syaibany (Qomar, tanpa tahun, 110).
C. Perintah dan Penghargaan Menuntut Ilmu dalam Islam
Banyak ayat dalam kitab suci Al-Quran yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan penghargaan yang sangat tinggi terhadap orang-orang yang berada pada jalur ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sangat sesuai, selaras dan serasi dengan ilmu pengetahuan modern.
Ayat pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah di Goa Hira (QS.
Al ‘Alaq/96: 1-5) menunjukkan bahwa Allah sangat menghargai ilmu pengetahuan.
مِلَلَلْامِ لِلَلع يمِلَْ (3) مُ لَلْل لأَ لَبِ لر لو لْ لَلَْ (2) قٍلَلع لْمِ لَالَلْم لإَ لٍلَلَ (1) لٍلَلَ يمِلَْ لَمِّ لر مِلْامِ لْ لَلَْ
(5) لِلَلْلَ لِلْ الِ لَالَلْم لإَ لِلَلع (4) (1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Pada ayat ini, terdapat dua simbol utama ilmu pengetahuan, yaitu iqra’
(bacalah) dan al-qalam (pena, alat untuk menulis). Membaca dan menulis merupakan dua syarat utama untuk memasuki dunia ilmu pengetahuan, memahami dan menguasai ilmu pengetahuan. Membaca yang didefinisikan sebagai “memahami makna”, dan menulis sebagai “mengikat makna agar tidak mudah lepas”, adalah pintu gerbang utama untuk sampai ke dunia ilmu pengetahuan. Imam Ali ibnu Abi Thalib diberitakan pernah memberikan pesan kepada orang-orang yang belajar kepadanya, dengan pesan singkat: “Ikatlah ilmu (lewat penulisan)” (Hernowo, 2001: 72).
Allah Swt juga sangat menghargai para pencari ilmu, hal tersebut tertuang dalam Al-Quran pada QS. Al Mujadilah/58: 11,
(11) رَيمِلَ لَومَلَلْلَ الَمِ م لل لو قٍالَلرلَ لِلَمْلَْ َومَومْ لَْمِلَْ لو لِمُلْمِ َومْلِآ لَْمِلَْ م لل مِلَ لَلَ ...
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
Allah Swt juga menegaskan bahwa orang yang berakal dan berilmu dapat mengambil pelajaran dan pengetahuan (QS. Az-Zumar/39 ayat 9). Bahkan Allah memerintahkan kepada manusia untuk bertanya kepada ahli ilmu pengetahuan guna mendapatkan pencerahan dan memperoleh kebenaran, tertuang dalam QS.
An Nahl/16: 43,
(43) لَومَلَلْلَ لَ لِمُلْمْ لَمِ مَلْمَِّْ لَلْلْ َومْلَلْالَ لِمِليلْمِ ي مِومْ لَالَ مر لَمِ لَمَلِلْ لْمِ الْلَلْ لرلْ الِ لو Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Orang yang berilmu (’ulama) adalah hamba-hamba yang takut kepada Tuhannya, karena mereka mengenal Tuhannya (Allah) dengan baik, hal itu disebutkan dalam QS. Al Fathir/35: 28, Allah berfirman:
رٌَ مٌلع ل لل لَمِ مُالَلَمْلَْ مِمَالِمع لْمِ ل لل ىلَلْلَ الَلْمِ لَمْلِلْ مُمَْ لولْلْ رٌمَلُلْمِ مُالْلْل لأَ لو مَِّ لولَّْلو مِالَْْ لْمِ لو (28) ررومُلَ
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba- hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.
Pernyataan-pernyataan Rasulullah dan pernyataan salaf juga cukup banyak yang memerintahkan kepada umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan.
Rasulullah Saw bersabda “Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan” (muttafaq ‘alaih). Sedangkan para ulama Salaf mendorong umat muslim agar “menuntut ilmu itu dari buaian hingga ke liang lahat” dan “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.”
Sedangkan mengenai peran dan posisi penting ulama dan para pencari ilmu pengetahuan, Nabi Muhammad Saw. mengakuinya dalam beberapa sabdanya, di antaranya: 1)Para ulama adalah pewaris para Nabi; 2) “Manusia yang paling utama adalah orang mukmin yang alim dan bermanfaat jika dibutuhkan. Jika ia tidak dibutuhkan, maka ia pun mencukupi dirinya sendiri”: 3) “Manusia yang terdekat dari derjat kenabian adalah ahli ilmu dan ahli jihad”; 4) “Orang alim itu orang kepercayaan Allah di bumi-Nya”; dan 5) “Pada hari kiamat yang memberi syafaat adalah Nabi-nabi, kemudian para ulama, kemudian para syuhada” (Ghazali, 1995: 1).
D. Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Dunia Islam
Perkembangan science di dunia Islam pada masa kejayaannya berlangsung sangat pesat bergandeng dengan ekspansi wilayah kekuasaan dan dakwah Islam yang telah mencapai beberapa negara di Afrika Utara yaitu Aljazair, dan Marokko, Libya, dan Tunisia, Iraq, Mesir, Syria, Persia, Palestina, semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis), India, dan Asia (Hodgson 1974).
Islam menyerap tradisi intelektual dari bangsa lain melalui penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani dan Suryani (Syriac) dalam bidang astronomi, fisika, kedokteran, matematika, filsafat, astrologi dan kimia ke dalam bahasa Arab pada masa pemerintahan Bani Umayyah di bawah lembaga Bayt al-Ḥikmah atas dorongan Khalifah al-Ma’mun (w. 833 M). Para penerjemah pada masa itu di antaranya yaitu Hunayn ibn Ishaq dan anaknya Ishaq ibn Hunayn, Yahya ibn ‛Adi, dan Abu Bisr Matta ibn Yunus (Gutas, 1998).
Pada tahap selanjutnya lahirlah ilmuan seperti Jabir ibn Hayyan (w. 815 M), al-Kindi (w. 873) dan Abu Ma‛shar (w. 886 M). Kemudian semakin bermunculan para ilmuan muslim yang memiliki formulasi dan bentuk kekhasan tersendiri sebagaimana al-Khawarizmī (w. 863 M), ilmuan dalam bidang geografi, yang membuat peta disertasi dengan gambar bumi dan merupakan karya peta bumi dan angkasa luar pertama dalam Sejarah Islam. Setelah itu dikenal sejumlah ahli geografi seperti Ibnu Qudamah, Ibnu Rustah, Ibu Faqih al-Hamadzani, Abu Zayd al-Balkhi, al-Ishtarkhi, dan al-Haasn bin Ahmad al- Hamdani (Jalaludin, 2014).
Abu Bakr Zakariyya Al-Razi (w. 930 M) (Istianah, 2020) yaitu seorang filsuf, alkemis, dokter (Tibi, 2006), bahkan dianggap dokter muslim terbesar
dan penulis produktif. Al-Razi telah menyusun buku Kitab al-Jadari wa al- Hasba (Cacar Air dan Campak) dan membuktikannya sebagai dokter pertama yang mendeskripsikan detail gejala dan tanda-tanda cacar air (small pox) dan campak (measles). Demikian juga dengan Ibn Sina (w. 1037 M) menyusun buku al-Qanun fi al-Tibbyang memuat seluruh sains klasik Yunani dan pengetahuan medis Arab di zaman pertengahan (Jalaludin, 2014).
Dalan ilmu kimia, Islam memiliki bapak kimia bangsa Arab setelah al- Razi, yaitu Jabir bin Hayyan (Geber). Ia adalah tokoh terbesar eksperimen jika dibandingkan dengan ahli kimia sebelumnya. Tradisi kesarjanaan Barat memandang Jabir sebagai penemu beberapa formula kimia yang tidak terdapat dalam 22 karya berbahasa Arab yang menyebut namanya. Terdapat juga ilmuan-ilmuan lain yang lahir dari rahim Islam, seperti Ibn al-Haytham (w.
1040 M), al-Biruni (w. 1048 M), al-Idrisi (w.1150 M), ‛Umar al-Khayyam (w.1132 M), Ibn an-Nafis (w. 1288 M), Ibn al-Shabir (w. 1375 M), dan lainnya (Nasr, 1997).
E. Relasi Ilmu dan Islam
Dalam konsep Islam, ilmu dan agama memiliki relasi atau hubungan yang bersifat holistik. Artinya, ilmu dan agama berjalin berkelindan sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena dalam Islam, memahami agama harus dilandasi dengan ilmu pengetahuan, terutama ilmu- ilmu yang berkaitan dengan agama Islam. Rasulullah sendiri menyebutkan dalam sebuah hadits-nya, bahwa “Tidak ada agama tanpa akal”. Artinya, akal sangat diperlukan dalam memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam. Bukankah akal merupakan alat yang paling utama untuk mendapatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan?
Albert Einsten (1879-1955): “Ilmu tanpa agama adalah buta, sedangkan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Berlandaskan pada pemikiran tradisional dari kelompok rohaniawan dan ulama’ ortodoks yang kaku, menjadikan mereka tidak berkembang seperti orang lumpuh. Sebaliknya kaum intelektual sekuler yang sombong, menganggap agama hanya kendala karena hanya merupakan sekedar pengaturan moral agar manusia senantiasa tertib, menjadikan mereka sesat ibaratkan orang buta.
Mengutip pendapat Maurice Bucaille (dalam Afandi, 1995: 15), dijelaskan bahwa relasi antara agama dan ilmu pengetahuan dalam Islam dipandang sebagai saudara kembar. Kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dewasa ini ternyata masih seiring dan sejalan dengan agama Islam.
Banyak data ilmiah tertentu dapat digunakan untuk memahami nash-nash Al- Quran secara lebih baik. Padahal, kebenaran ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan pada abad modern telah menimbulkan pukulan yang hebat terhadap keyakinan agama. Fenomena tersebut tidak berlaku untuk keyakinan agama Islam, karena justru temuan-temuan ilmiah merupakan usaha yang tepat dalam konteks mengagungkan unsur-unsur tertentu dari wahyu Islam yang supernatural. Dengan kata lain, dalam konteks relasi Islam dan ilmu pengetahuan, pengetahuan ilmiah membuat banyak orang mengatakan bahwa semua itu dapat mempertinggi pengabdian dalam meyakini adanya (atau keberadaan) Tuhan. Sedangkan di Barat, sebagian kelompok kecil berupaya mendamaikan agama dan sains, sementara sebagian besar beranggapan bahwa baik ilmu maupun agama masing-masing memiliki wilayah sendiri yang terpisah dan tidak saling terkait serta berbeda dalam struktur logika. Mereka berpendirian bahwa kebenaran agama (religious truth) dan kebenaran ilmiah (scientific truth) adalah dua entitas yang berbeda. Hubungan agama danscience di Barat dalam masa yang cukup panjang mengalami konflik sengit dan ketidakharmonisan antara gereja dengan para saintis di mana masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan bahkan saling menjatuhkan (Istianah & Rahmatullah, 2021).
Relasi antara agama dan sains memiliki sejarah yang panjang dengan para pejuangnya, baik yang mendialogkan dan menyatukan keduanya maupun yang bersikukuh bahwa keduanya adalah entitas yang berbeda dan terpisah. Bila menengok sejarah perkembangannya, perjumpaan religion and science membentuk 3 pola, yaitu pola single entitydi mana pengetahuan agama berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan metodologi satu sama lain baik pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Contohnya perdebatan antara teori geosentris dan evolusi dengan keyakinan agama. Dalam perjalanan panjang muncul upaya mempertemukan ilmu pengetahuan dengan teologi untuk mengurai konflik- konflik tersebut. Kedua, pola isolated entities dimana masing-masing rumpun ilmu berdiri sendiri, tidak bersentuhan secara metodologis dan masing-masing
hanya mengetahui keberadaan rumpun lainnya. Ketiga, pola interconnected entities, di mana masing-masing rumpun ilmu menyadari keterbatasan dirinya dalam memecahkan persoalan manusia, kemudian mulai menjalin kerjasama paling tidak dalam hal pendekatan (approach) dan metode berpikir dan penelitian (Abdullah 2003, 37).
Skema pola relasi Amin Abdullah tersebut terinspirasi dari teori Ian G.
Barbour tentang pola hubungan keagamaan dan keilmuan yang terbagi menjadi empat pola yaitu konflik, independensi. dialog dan integrasi. Konflik, dimana masing-masing kelompok pengetahuan berada pada posisi saling bertentangan dan menyerang, (Barbour, 2002, 54-55). Independensi adalah di mana agama dan ilmu pengetahuan berdiri sendiri-sendiri, mempunyai permasalahan, domain, dan metode tersendiri. Tidak ikut campurnya satu pihak dalam ranah pihak lain mengakibatkan kecenderungan egois (Barbour, 2002, 65). Pola dialog yaitu menekankan kesejajaran dan persamaan pra-asumsi, metode dan konsep antara agama dan ilmu pengetahuan (Barbour, 2002, 74). Sedangkan pola integrasi menawarkan kesatuan konseptual.
Dalam peradaban Islam, proses interaksi tradisi dan peradaban daerah yang berada di bawah pemerintahan Islam tidak selalunya menunjukkan interaksi yang harmonis, melainkan sebagian ada yang dapat ditampung kemudian diterima dan sebagian lainnya ditolak. Proses penyerapan tradisi intelektual dari bangsa lain yang sangat menonjol yaitu dengan adanya penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani dan Suryani (Syriac) dalam bidang astronomi, fisika, kedokteran, matematika, filsafat, astrologi dan kimia ke dalam bahasa Arab pada masa pemerintahan Bani Umayyah di bawah lembaga Bayt al-Ḥikmah atas dorongan Khalifah al-Ma’mun (w. 833 M).
Langkah penerjemahan tersebut merupakan fase awal dari tiga fase perjumpaan Islam dan sains (Sabra 1987). Para penerjemah pada masa itu di antaranya yaitu Hunayn ibn Ishaq dan anaknya Ishaq ibn Hunayn, Yahya ibn ‛Adi, dan Abu Bisr Matta ibn Yunus (Gutas, 1998). Fase kedua yaitu fase adopsi atau penerimaan, kemudian pada fase terakhir yaitu fase asimilasi dan naturalisasi di mana para ilmuan muslim mulai memiliki formulasi dan bentuk kekhasan tersendiri (Nasr, 1997).
Pendidikan merupakan aspek penting dalam menjembatani relasi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Masjid, sekolah/madrasah dan universitas Islam
telah menjadi pusat pembelajaran yang penting dalam sejarah Islam, dan sekarang juga berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Melalui pendidikan yang integratif, menggunakan pola interconnected entities masing- masing rumpun ilmu dapat semakin diperkuat sehingga terjalin kerjasama entitas-entitas tersebut untuk kemaslahatan kehidupan manusia.
F. Kesimpulan
Manusia memiliki tiga potensi yang menjadi bekal dalam menjalani kehidupannya di dunia. Potensi pertama, yaitu akal yang membantu manusia dapat membedakan kebenaran (haqq) dengan keburukan atau kejahatan (bathil).
Potensi kedua, yaitu indera yang membantu manusia menunaikan tugas-tugas kehidupan secara sempurna, yang dikenal dengan panca indera. Potensi ketiga, yaitu wahyu Tuhan melalui para nabi dan rasul sebagai petunjuk hidup umat manusia.
Islam meyakini bahwa Allah Yang Maha Tau memberikan kekuatan- kekuatan kepada manusia dan memberikan ilmu dengan sumber dan saluran- salurannya lebih banyak dari sekedar yang diakui oleh ilmuwan Barat, karena pengalaman langsung, pemerhatian dan pengamatan indra hanya sebagian dari sumber-sumber tersebut,
Islam menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan penghargaan yang sangat tinggi terhadap orang-orang yang berada pada jalur ilmu. Agama dan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya memiliki pertemuan dalam banyak pola, yaitu pola konflik, dialog, independensi, dan integrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. (2003). Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum:
Upaya Mempertemukan Epistiemologi Islam dan Umum. Yogyakarta:
SUKA Press.
Barbour, I. G. (2002). Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama (2nd ed.).
Bandung: Mizan.
Gutas, D. (1998). Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th / 8th-10th Centuries). London: Routledge.
Hodgson, M. G. S. (1974). The Venture of Islam. Chicago: University of Chicago Press.
Istianah. (2020). Morals of Doctor According to Abū Bakral-Rāzī’s View. Al- Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues, 5(1), 244–252.
Retrieved from http://al-irsyad.kuis.edu.my/index.php/alirsyad/ article/
view/53
Istianah, I., & Rahmatullah, L. (2021). Abu Bakr Al-Razi di Antara Agama dan Sains.Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam,22(2), 209–224.
Jalaludin, J. (2014).Filsafat Ilmu Pengetahuan Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban(2nd ed.). Rajagrafindo.
Muliadi, M. (2020). Filsafat Umum (Busro (ed.); 1st ed.). Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Nasr, S. H. (1997).Sains dan Peradaban di dalam Islam(2nd ed.; J. Mahyudin, ed.). Bandung: Pustaka.
Sabra, A. E. (1987). The Appropriation and Subsequent Naturalization of Greek Science in Medieval Islam: A Preliminary Statement. History of Science, 223–243.
Tibi, S. (2006). Al-Razi and Islamic medicine in the 9th century.Journal of the Royal Society of Medicine, 99(4), 206–207. Retrieved from https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/014107680609900425
4. RUANG KOLABORASI
Buat kelompok yang beranggotakan 3 mahasiswa. Dalam kelompok, Mahasiswa mendata peristiwa terkait relasi agama dan ilmu pengetahuan yang tercatat dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia, baik dalam lingkup agama Islam maupun agama lainnya di Dunia Barat. Relasi tersebut dapat berupa peristiwa yang menggambarkan pola konflik, dialog, independensi, maupun integrasi. Tugas berupa narasi jawaban, silahkan masing- masing mahasiswa mengupload ke dalam Unggah Tugas Ruang Kolaborasi.
5. DEMONSTRASI KONTEKSTUAL
Setelah mempelajari materi pada topik relasi Islam dan Ilmu Pengetahuan dan mahasiswa melakukan Diskusi Ruang Kolaborasi saatnya presentasi hasil diskusi kelompok pada Demonstrasi Konstekstual.
Petunjuk Demonstrasi Kontekstual:
Setelah menyelesaikan tugas secara berkelompok, saat ini Anda akan diminta untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok Anda. Adapun tata cara yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Masing-masing kelompok mempresentasikan bahan tayang yang sudah diselesaikan sebelumnya.
2) Masing-masing kelompok wajib memberikan satu pertanyaan / pernyataan / saran / kritik / sanggahan / lainnya, kepada kelompok lain melalui forum diskusi.
3) Ketua kelompok membagi tugas kepada seluruh anggota kelompok (termasuk dirinya sendiri) secara merata, untuk memberikan tanggapan di forum diskusi.
4) Seluruh mahasiswa menyimak tanggapan kelompok dan mengomunikasikan kembali secara kontinyu terhadap pernyataan, saran, kritik, pertanyaan, sanggahan, dll kelompok lainnya.
5) Dosen memberikan umpan balik, penguatan, dan refleksi materi topik perkuliahan.
6. ELABORASI PEMAHAMAN
Setelah anda melaksanakan aktivitas pembelajaran pada topik 1, sebagai elaborasi pemahaman, silakan anda menjawab pertanyaan berikut.
1) Bagaimana hubungan antara indera, rasa dan akal dalam pencarian kebenaran atau ilmu pengetahuan?
2) Sejarah menyebutkan adanya proses penyerapan tradisi intelektual dari bangsa lain melalui penerjemahan karya-karya ilmiah dari Bahasa Yunani dan Suryani (Syiriac) dalam berbagai bidang keilmuan. Uraiakan proses penyerapan tradisi intelektual tersebut dari sisi historis atau sisi sosial politik dan urgensinya bagi dunia pendidikan masa kini!
3) Jelaskan pandangan anda tentang sikap dan pendirian Islam -yang saat itu di bawah pemerintahan Bani Abbasiyyah- terhadap warisan keilmuan bangsa lain (outsiderIslam)!
TOPIK 2
ISLAM DAN PENDIDIKAN
1. PENGANTAR
A. Ruang Lingkup Materi
Pada topik 2 yang berjudul Islam dan pendidikan, mahasiswa PPG akan mengkaji tentang Islam dan Pendidikan. Capaian Pembelajaran yang hendak dicapai setelah mahasiswa mempelajari topik ini adalah mahasiswa mampu memahami, menganalisis, dan memberikan argumentasi kritis tentang konsep Islam dan pendidikan, sumber pendidikan dalam konsepsi Islam, dasar pendidikan dalam konsep Islam, sasaran dan tujuan pendidikan dalam konsepsi Islam, media pendidikan dalam konsepsi Islam, dan metode pendidikan dalam konsepsi Islam melalui kegiatan diskusi kelompok dan presentasi.
B. Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran (CP) yang hendak dicapai pada topik ini yaitu:
1) Mahasiswa memahami pembahasan tentang konsepsi Islam mengenai pendidikan;
2) Mahasiswa memahami sumber dan dasar pendidikan dalam konsepsi Islam;
3) Mahasiswa mampu menganalisis media dan metode pendidikan yang tepat seiring dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan konsepsi Islam;
2. MULAI DARI DIRI
Mari memulai refleksi ini dengan i’tirāf (pengakuan) diri dengan sejujur- jujurnya atas apa yang telah lalu (anda sebagai peserta didik) dan apa yang akan datang (anda sebagai calon pendidik).
Pendidikan dalam konsepsi Islam menyasar pada pengembangan dan pembinaan semua potensi yang dimiliki oleh manusia untuk menunaikan tugasnya sebagai khalifah sekaligus ‘abdullah (hamba Allah) secara seimbang.
Siapapun yang membaca modul ini adalah seorang khalifah sekaligus ‘abdullah.
Sebagai khalifah, anda harus meraih ilmu dan pengetahuan melalui pendidikan yang baik dan berkualitas, agar setiap langkah anda sebagaikhalifah di bumi ini berangkat dari ilmu pengetahuan. Sedangkan sebagai hamba yang patuh dan taat
kepada Allah Swt, anda harus menjalankan setiap perintah ibadah berbekal dengan ilmu, demikian juga ketika menjauhi segala larangan-Nya didasari dengan ilmu. Maka, apakah anda sebagai peserta didik sejauh ini sudah memposisikan diri sebagai khalifah sekaligus ‘abdullah yang taat? Apakah ilmu pengetahuan (dan teknologi) yang anda dapatkan dari pendidikan telah mengarahkan anda menjadikhalifahdan‘abdullahyang taat kepada Tuhan?
Kemudian sebagai calon pendidik, apa saja yang perlu dilakukan agar menjadi pribadi yang siap menjadi pendidik? Di mana ketika anda menjadi pendidikan, maka anda sedang menjadi khalifah yang bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, sekaligus sedang menjadi
‘abdullah yang taat yang mengarahkan peserta didik menuju ketaatan kepada Allah Swt. Demikianlah tujuan pendidikan menurut Islam. Maka jawab apa saja yang perlu anda lakukan? Dan apa yang akan terjadi sekiranya anda tidak melakukan hal-hal yang seharusnya sebagai calon pendidik?
3. EKSPLORASI KONSEP
A. Konsepsi Islam tentang Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Dengan demikian pendidikan merupakan upaya mengoptimalkan potensi diri peserta didik, baik berupa IQ (Intelectual Quotion= kecerdasan intelektual), EQ (Emotional Quotion = kecerdasan emosional), maupun SQ (Spiritual Quotion= kecerdasan spiritual).
Dalam konteks Islam, terdapat empat istilah yang digunakan untuk pendidikan yaitu: Pertama, at-tarbiyah (pendidikan dalam arti pembinaan siswa secara jasmani dan ruhani); Kedua, at-ta’līm (pembinaan untuk meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan); Ketiga, at-ta’dīb (pembinaan untuk memperbaiki adab, akhlak dan sopan santun); dan Keempat, ar-riyāḍah (latihan untuk meningkatkan taqwa).
Secara terminologis, terdapat beberapa pengertian pendidikan Islam dari pakar antara lain: Pertama, Muhammad SA Ibrohimy, menyatakan pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, Omar Muhammad Al- Taumi Al-Syaibani, berpendapat bahwa pendidikan Islam dapat diartikan sebagai proses mengubah tingkah laku individu peserta didik dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai aktivitas asasi dan profesi.
Berpijak pada uraian di atas tentang pengertian pendidikan baik secara etimologis ataupun terminologis, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam konsepsi Islam merupakan proses transformasi dan internalisasi ilmu, keterampilan, dan nilai pada peserta didik melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya (jasmani, rohani, emosi, dan lain sebagainya).
Penyelenggaraan pendidikan di dalam Islam didasarkan pada paradigma sebagai berikut:
1) Pendidikan berlaku untuk semua orang (education for all), baik laki-laki maupun perempuan sehingga tidak ada diskriminasi dan semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas. Hal ini berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW, “Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
2) Pendidikan berlangsung seumur hidup (long life education), artinya upaya untuk mengenyam pendidikan baik formal, informal maupun nonformal berlaku sejak masih kecil hingga dewasa bahkan menjelang kematian. Hal ini berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW, “Menuntut ilmu itu dari buaian hingga ke liang lahat.”
3) Pendidikan dapat diperoleh di mana saja, baik di dalam negeri maupun di mancanegara (education in everywhere). Hal ini berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW,“Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.”
4) Pendidikan dalam konteks Islam diarahkan agar peserta didik memiliki aqidah tauhid yang kokoh (pendidikan berwawasan tauhid).
5) Pendidikan dalam konteks Islam juga diarahkan untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sesuai dengan fitrahnya.
B. Sumber Pendidikan dalam Konsepsi Islam
Dalam konsep Islam, pendidikan bersumber pada, Pertama, wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW berupa Al-Quran. Kitab suci ini mengajarkan bahwa manusia tidak akan dapat mengatur kehidupan mereka secara benar tanpa adanya aturan yang diberikan Allah SWT. Dengan demikian, amat pantas bila umat manusia mengikuti aturan dari Allah SWT yang stabil dan tak bias berubah ini.
Kedua, keteladanan dari sikap, perilaku, perkataan dan perbuatan Rasulullah SWT yang dikenal sebagai Sunnah. Sunnah Rasulullah SAW terdapat pada hadis yang merupakan kumpulan dari keteladanan sikap, perilaku, perkataan dan perbuatan Rasulullah SWT.
Ketiga, intelek manusia dan alat-alatnya yang selalu berinteraksi dengan alam semesta beserta seluruh isinya pada tingkat kontemplasi, observasi, eksperimentasi dan aplikasi. Manusia memiliki kebebasan berkehendak dan bertindak (freewill and freeact), namun harus tetap sejalan dengan Al-Quran dan Sunnah.
Keempat, sejarah Islam, terutama yang memaparkan aspek pendidikan sejak jaman Rasulullah SAW berupa bagaimana beliau mendidik para sahabatnya, jaman Khulafa al-Rasyidin, jaman Bani Umayyah, Abbasiyah dan dinasti lainnya, serta jaman kolonialisme Barat mencengkeram bangsa-bangsa Muslim. Hal itu dapat digunakan sebagai sumber pendidikan bagi umat Islam, khususnya untuk bahan perbandingan.
Dalam kategori yang lain, sumber pendidikan dalam konsepsi Islam dapat dipilah dalam dua aspek, sebagai berikut:
a. Ayat-ayatqauliyahberupa wahyu Allah SWT di dalam kitab suci Al-Quran dan contoh teladan Rasulullah SAW sebagaimana terungkap dalam sunnahnya (hadis).
b. Ayat-ayat kauniyah berupa fenomena alam semesta, manusia dan masyarakat beserta sejarahnya.
C. Dasar Pendidikan dalam Konsep Islam
Pendidikan dalam konsepsi Islam didasarkan pada landasan yang berkaitan dengan posisi manusia dalam kehidupan di dunia atau muka bumi. Ada tiga (3) amanah yang diemban atau disandang oleh manusia dalam hidupnya di muka bumi.
Pertama, amanah fitriyah. Ini adalah beban tanggung jawab sifat kodrati manusia yang ḥanīf, yakni cenderung pada kebenaran dan kesucian. Oleh karena itu, Islam memandang bahwa setiap manusia dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan suci, bersih, tanpa noda dan dosa warisan. Fitrah manusia yang hanif dan suci ini merupakansunnatullāh(hukum Allah) yang tetap.
Dasar hukum bahwa manusia dibebani amanah fitriyah, misalnya termuat dalam Al-Quran surat Al-Rum/30: 30
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Adapun dalam Al Hadits, contohnya Rasulullah pernah bersabda:
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?(HR. Bukhari:No 1385)
Kedua, amanah khilafah. Melalui amanah khilafah, Allah SWT meletakkan manusia dalam posisi dan menjalankan tugas sebagai khalifah (pemimpin atau pengelola), yakni mengelola bumi dan seluruh alam semesta guna kemaslahatan hidup, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh umat manusia.
Dalilnya adalah QS. Al-Baqarah/2: 30,
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"
Ketiga, amanah ibadah, maksudnya di samping sebagai khalifah, manusia juga dibebani posisi sebagai hamba, sehingga diberi tugas untuk senantiasa berbakti, tunduk, patuh, taat dan menyembah kepada Allah SWT. Firman Allah
SWT berfirman di dalam Surat Al-Dzariyah/51: 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
D. Sasaran dan Tujuan Pendidikan dalam Konsepsi Islam
Secara sederhana, sasaran pendidikan dalam konsepsi Islam mengarah pada pengembangan dan pembinaan semua potensi yang dimiliki oleh manusia guna menunaikan tugas-tugas kehidupan secara seimbang. Salah satunya keseimbangan antara tugas kehidupan sebagai khalifah dan hamba yang patuh dan taat kepada Allah SWT. Sehubungan dengan itu, Islam sangat menekankan adanyaekuilibrium atau keseimbangan untuk meraih kebahagiaan hidup baik jasmaniah maupun ruhaniah, orientasi duniawi maupun ukhrawi. Hal itu berkaitan dengan doa yang selalu dipanjatkan setiap Muslim yang dikenal dengan “doa sapu jagat”.
Ujung dari keseimbangan hidup tersebut akan bermuara pada pola sikap taqwa kepada Allah SWT. Taqwa bukan hanya dimaknai sebagai kesadaran untuk menjalankan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya, melainkan juga kesadaran untuk memelihara diri dari segala perbuatan yang jahat, maksiat, kufur, dan zalim.
Sementara itu, tujuan pendidikan dalam konsepsi Islam dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum tujuan pendidikan menurut Islam identik dengan tujuan hidup manusia (dua amanah dalam pembahasan sebelumnya, yakni sebagai khalifah dan untuk beribadah kepada Allah SWT). Tujuan hidup manusia tersebut akan bermuara pada “mendidik anak atau peserta didik menjadi orang-orang yang bertaqwa (muttaqin) kepada Allah”.
Adapun secara khusus, tujuan pendidikan menurut Islam merupakan penjabaran dari tujuan umum, yakni membina dan membimbing peserta didik untuk dapat menunaikan, tidak hanya kewajiban sebagai muslim yang terdapat pada rukun Islam (mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan ibadah haji ke Makkah), tetapi juga segala amal kebajikan atau amal saleh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT (hablum minallah) dan amal saleh yang bersifat sosial (hablum minannas).
Mengacu pada tujuan pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas, ada tiga aspek yang perlu dikembangkan dalam pendidikan, meliputi: (1) menyempurnakan hubungan manusia dengan Allah SWT (hablum minallah); (2) menyempurnakan
hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannas); dan (3) mewujudkan harmoni atau keselarasan di antara kedua hubungan tersebut.
Pendidikan semestinya memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik secara seimbang sehingga memiliki kepribadian yang utuh sebagai manusia. Melalui pendidikan terjadi proses bimbingan dan arahan pada berbagai aspek meliputi aspek spiritual, emosional, intelektual, rasional dan organ- organ inderawi lainnya. Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan menurut Islam adalah menyadarkan kepatuhan secara sempurna manusia kepada Allah SWT pada tingkat individu, masyarakat, dan umat manusia pada umumnya (Husein, 2000: 59).
Dengan demikian, tujuan sejati pendidikan menurut Islam adalah untuk menghasilkan orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan yang saling menopang satu sama lain, berakhlak mulia serta berguna bagi lingkungan masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.
Tujuan pendidikan menurut Islam dapat pula ditelaah dari paradigma pendidikan yang dianut. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya terdapat tiga paradigma pendidikan menurut Islam, sebagai berikut; Pertama, paradigma pendidikan berwawasan tauhid. Paradigma ini bertujuan agar manusia benar-benar hanya berbakti, tunduk, patuh, taat dan menyembah kepada Allah SWT.
Pendeknya, paradigma ini ingin memelihara kebersihan atau kemurnian aqidah tauhid, dan menjauhkan diri sama sekali dari perbuatan syirik (menyekutukan Allah, menduakan-Nya dengan sesembahan lain).
Kedua, paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan. Tujuan paradigma ini adalah untuk membina dan membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang utuh atau sempurna (insān-al-kāmil). Dalam paradigma pendidikan berwawasan kemanusiaan, peserta didik harus diperlakukan dengan cara-cara yang manusiawi, sesuai dengan dimensi-dimensi kemanusiaan yang dimilikinya, seperti:
1) manusia sebagai makhluk budaya (a tool making animal / animal symbolicum);
2) manusia sebagai makhluk historis (historical man);
3) manusia sebagai makhluk rasionalis sekaligus spiritualis (spiritual and rational man);
4) manusia sebagai makhluk transenden (transcendental man), dan;
5) manusia sebagai makhluk yang terbuka terhadap dunia (open ended man).
Ketiga, paradigma pendidikan yang berwawasan pemberdayaan. Paradigma ini bertujuan untuk memberdayakan seluruh potensi dan dimensi yang dimiliki oleh peserta didik, meliputi potensi berupa akal, perasaan, emosi, hawa nafsu, dan lain-lain; dimensi pendidikan yang mencakup tiga ranah dari Bloom, yaitu kognitif/pengetahuan, afektif/nilai dan sikap, dan psikomotor/keterampilan.
E. Media Pendidikan dalam Konsepsi Islam
Mengacu pada tiga paradigma pada pembahasan sebelumnya, dapat dikembangkan berbagai macam media pendidikan dalam konsepsi Islam, yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Pertama, paradigma pendidikan berwawasan tauhid. Media yang dapat dikembangkan meliputi segala sesuatu yang dapat menggugah atau mencerminkan kebesaran Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan seluruh alam semesta.
Kedua, paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan. Media yang dapat dimanfaatkan adalah keluarga dan lingkungan yang menyertainya, seperti lingkungan sekolah, pergaulan dengan teman sebaya (peer group) dan masyarakat.
Ketiga, paradigma pendidikan berwawasan pemberdayaan. Media yang dapat digunakan, misalnya: guru sebagai fasilitator, dan semua media yang terdapat di sekolah yang dapat mengoptimalisasi tiga dimensi pendidikan dari peserta didik.
F. Metode Pendidikan dalam Konsepsi Islam
Dalam rangka untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam, banyak metode yang dapat dipergunakan. Di antara metode-metode tersebut adalah sebagai berikut:
1) Metode Situasional, yakni metode yang bertujuan untuk mendorong anak didik belajar dengan perasaan riang gembira.
2) Metode Conditioning, ialah metode yang dimaksudkan untuk merangsang konsentrasi anak didik agar giat dan rajin belajar.
3) Metode Kebermaknaan, yaitu metode yang diarahkan untuk mendorong anak didik menyukai apa yang dipelajarinya.
4) Metode dialogis, yakni metode yang digunakan untuk melahirkan sikap saling terbuka, take and give, terutama antara siswa dengan guru dan antar siswa sendiri.
5) Metode enquiry (penyelidikan) dan discovery (penemuan fakta-fakta baru), adalah metode yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan sifat aktif, kreatif dan inovatif pada anak didik.
6) Metode uswah al-ḥasanah, yakni metode yang menempatkan guru sebagai contoh teladan yang baik bagi anak didiknya.
7) Metode pembimbingan dengan kasih sayang, ialah metode untuk mengarahkan anak didik menjadi anak yang berguna dengan perhatian dan kasih sayang guru.
8) Metode bercerita, yaitu metode pengajaran melalui kisah-kisah sejarah baik yang terdapat pada Al-Quran maupun sumber-sumber lain (Ihsan, 2001: 189- 182).
4. RUANG KOLABORASI
Setelah mempelajari konsep Islam dan Pendidikan, Anda akan melakukan kegiatan yaitu Diskusi Ruang Kolaborasi. Silakan bekerja dalam kelompok (4-5 orang) untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut.
Identifikasi dan analisis tantangan-tantangan utama dalam pendidikan saat ini, dalam konteks masyarakat Muslim kontemporer. Diskusikan bagaimana nilai- nilai dan prinsip-prinsip Islam dalam pendidikan yang dapat membantu mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Berikan contoh konkret atau studi kasus yang mendukung argumen Anda.
Petunjuk Unggah Penugasan
1) Dari hasil jawaban pertanyaan diatas, buatlah materi presentasi yang menarik dalam bentuk bahan tayang dengan memanfaatkan aplikasi canva.
2) Unggah bahan tayang presentasi hasil kerja kelompok demonstrasi konstekstual pada bagian Unggah Demonstrasi Kontekstual.
5. DEMONSTRASI KONTEKSTUAL
Setelah mempelajari konsep Islam dan Pendidikan dan melakukan Diskusi Ruang Kolaborasi saatnya presentasi hasil diskusi kelompok pada Demonstrasi Konstekstual.
Petunjuk Demonstrasi Kontekstual
Setelah menyelesaikan tugas secara berkelompok, saat ini Anda akan diminta untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok Anda. Adapun tata cara
yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Masing-masing kelompok mempresentasikan bahan tayang yang sudah diselesaikan sebelumnya.
2) Masing-masing kelompok wajib memberikan satu
pertanyaan/pernyataan/saran/kritik/sanggahan/lainnya, kepada kelompok lain melalui forum diskusi.
3) Ketua kelompok membagi tugas kepada seluruh anggota kelompok (termasuk dirinya sendiri) secara merata, untuk memberikan tanggapan di forum diskusi.
4) Seluruh mahasiswa menyimak tanggapan kelompok dan mengomunikasikan kembali secara kontinyu terhadap pernyataan, saran, kritik, pertanyaan, sanggahan, dll kelompok lainnya. Dosen memberikan umpan balik, penguatan, dan refleksi materi topik perkuliahan.
6. ELABORASI PEMAHAMAN
Setelah Anda mempelajari materi dan aktivitas pada Ruang Kolaborasi serta Demonstrasi Kontekstual, silakan anda jawab pertanyaan di bawah ini.
1)Sebagaimana telah dijelaskan pada sub eksplorasi konsep, ada tiga aspek yang dapat dikembangkan dalam tujuan pendidikan yaitu aspek hablum minallah, aspek hablum minannas, dan aspek harmoni keduanya. Analisis faktor-faktor yang kerap menghambat atau mempengaruhi ketercapaian tujuan pendidikan jika dikaitkan dengan tiga aspek tersebut!
2)Media pendidikan dalam konsepsi Islam adalah media yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Pada dewasa ini, teknologi telah berkembang sangat pesat dan siapapun dapat memanfaatkan serta mengakses teknologi dengan sangat mudah. Jika seorang guru ingin menerapkan media pendidikan berwawasan tauhid, uraikan apa saja media pendidikan dari pengembangan teknologi yang dapat digunakan secara kreatif?
3)Uraikan media pendidikan yang dapat dimanfaatkan dari lingkungan keluarga peserta didik, di mana media tersebut juga dapat dikaitkan dengan permasalahan relasi anak dan orang tua!
TOPIK 3.
PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
1. PENGANTAR
Pada topik ini mahasiswa akan mempelajari tentang dinamika pendidikan Muhammadiyah mulai dari sejarah perkembangan pendidikan Muhammadiyah hingga filosofi pendidikan Muhammadiyah yang menjadi dasar perkembangan pendidikan Muhammadiyah hingga saat ini. Capaian pembelajaran pada topik akhir topik ini mahasiswa diharapkan dapat memahami sejarah perkembangan pendidikan Muhammadiyah serta mampu mengaitkan dan menganalisis dengan kritis filosofi pendidikan Muhammadiyah sebagai dasar perkembangan pendidikan Muhammadiyah hingga dewasa ini.
2. MULAI DARI DIRI
Selamat datang para mahasiswa pada pembelajaran kali ini!
Bagaimana perasaan Anda memasuki pembelajaran ini? Jangan lupa untuk berdoa terlebih dahulu sebelum memulai belajar agar diberikan kemudahan dalam memahami materi atau konsep yang akan dipelajari. Mari kita jawab beberapa pertanyaan pemantik berikut untuk refleksi diri sebelum memulai belajar.
Ketiklah jawaban/respon Anda pada kolom jawaban yang telah disediakan.
1. Apa yang Anda ketahui dan pahami tentang perkembangan pendidikan Muhammadiyah?
2. Apa relevansi filosofi pendidikan Muhammadiyah dengan konteks pendidikan Indonesia saat ini?
3. EKSPLORASI KONSEP
A. Sejarah Pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam di Indonesia yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912. Organisasi ini mengidentifikasi diri sebagai gerakan Islam modernis di Indonesia, yang melakukan perintisan pemurnian dan pembaruan Islam dengan berasaskan ajaran Nabi Muhammad SAW. Meski bukan gerakan pendidikan, manifestasi Gerakan Muhammadiyah yang paling menonjol dan mengakar justru di bidang pendidikan. Bahkan kelahiran organisasi Muhammadiyah berawal dari keinginan KH Ahmad Dahlan untuk memecahkan permasalahan bangsa Indonesia yang masih terjerembab dalam kebodohan, kemelaratan, dan kemunduran melalui sistem pendidikan. Dari situlah lahir lembaga pendidikan Muhammadiyah, yang saat ini mempunyai 3.334 sekolah dalam berbagai jenjang yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia
Tonggak awal berdirinya sekolah Muhammadiyah dapat dihitung sejak K.H. Ahmad Dahlan pertama kali mendirikan “Sekolah Agama Modern”
bernamaMadrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah(MIDI), 1 Desember 1911.
Dengan demikian maka usia pendidikan Muhammadiyah sudah lebih dari satu abad. Bila dihitung mundur dari saat sekarang (2023), maka pendidikan Muhammadiyah telah berusia 113 tahun.
Berdasarkan telaah atas ciri khas pada suatu kurun sejarah dan identifikasi atas perubahan mendasar yang terjadi, Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah membuat rentang perjalanan panjang sejarah pendidikan Muhammadiyah ke dalam empat periode, yaitu: masa perintisan (1900—1923), masa pengembangan (1923—1970), masa pelembagaan (1970—1998), dan masa transformasi (1998—sekarang).
Masa perintisan merupakan periode pertama Pendidikan Muhammadiyah yang merentang dari 1900—1923, yaitu masa di mana K.H.
Ahmad Dahlan berusaha mencari konsepsi baru sistem pendidikan alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan kehidupan kaum pribumi berupa kebodohan, kemelaratan, dan kemunduran. Tonggak awal berdiri sekolah Muhammadiyah pada saat K.H. Ahmad Dahlan (1868—1923)
merintis dan membuka Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI), pada 1 Desember 1911 di ruang tamu rumah beliau. Setahun kemudian, tepatnya 18 Nopember 1912 berdiri Persyarikatan Muhammadiyah, yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan lembaga pendidikan yang baru didirikan itu.
Sebelum mendirikan MIDI, sebenarnya pada 1904—1905 K.H. Ahmad Dahlan berusaha memperbaharui Pondok Langgar Kidul dengan memasukkan kitab-kitab karya pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh (1849—1905) dan M. Farid Wajdi (1875—1958) sebagai referensi dan kurikulum pondok (Ali, 2017, h. 178—198). Bahkan, bila dirunut ke belakang lagi, prakarsa pembaruan berawal ketika mencetuskan gagasan memperbaiki arah kiblat shalat. Memperhatikan kompleksitas kesejarahan tersebut, tonggak awal masa perintisan dimulai sejak 1900, yaitu tatkala K.H.
Ahmad Dahlan berusaha mengamalkan dan menerapkan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki dan memajukan kehidupan kaum pribumi. Periode perintisan berakhir saat KH Ahmad Dahlan wafat pada 1923.
Permasalahan krusial yang dihadapi kaum pribumi pada perguliran awal abad ke-20 adalah peminggiran dan penyingkiran kaum pribumi dari arus kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan sedemikian rupa, sehingga dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda. Melalui Politik Etis, kolonialis Belanda menempatkan pendidikan Barat sebagai senjata penjajahan baru. Sementara itu, kaum santri tetap bertahan dengan pondok pesantren sembari menolak dan mengharamkan pendidikan Barat.
Oleh karena itu, dualisme sistem pendidikan tidak bisa dihindarkan:
pendidikan sekuler berhadap-hadapan dengan pendidikan religius. Secara sosiologis sekolah Barat-Belanda berhadap-hadapan dengan pondok pesantren-pendidikan kaum pribumi.
Dihadapkan pada situasi sosio-kultural yang dikotomis ini dan dualisme pendidikan yang demikian kritis, K.H. Ahmad Dahlan mencari jalan keluar dengan bereksperimen merintis sistem pendidikan Islam baru, yaitu dengan mendirikan “Sekolah Agama Modern” bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI), pada 1 Desember 1911, dengan cara mencangkok sistem persekolahan Barat-Belanda untuk mendinamisasi lembaga pendidikan Islam. Pada 1918 KH Ahmad Dahlan merintis sekolah
menengah bernama Al-Qismul Arqo, pada 1920 berubah nama menjadi Pondok Muhammadiyah yang merupakan cikal bakal pendidikan kader Muhammadiyah Mualimin dan Mualimat. Pada lembaga pendidikan tersebut, pendidikan Muhammadiyah meminjam sistem klasikal dan piranti atau unsur-unsur pendidikan Belanda, termasuk mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama sekaligus. Eksperimen pendidikan Islam baru ini awalnya mendapat reaksi keras dari kaum santri, karena dianggap
“kebelanda-belandaan” dan dinilai dapat merusak struktur pendidikan Islam.
Penolakan keras dari sebagian internal umat Islam atas eksperimen pendidikan baru ini tidak membuat K.H. Ahmad Dahlan bergeming, apalagi menyurutkan langkah. Akan tetapi, justru menjadi energi tambahan untuk menggerakkan dan memperluas kancah dakwahnya. Dalam pandangan K.H.
Ahmad Dahlan, eksperimen “Sekolah Agama Modern” yang dirintisnya merupakan senjata pamungkas untuk mengemansipasi dan memajukan kaum pribumi agar dapat keluar dari pusaran kebodohan, kemelaratan, dan keterbelakangan. Saat K.H. Ahmad Dahlan wafat pada 1923 eksperimen sistem pendidikan baru yang dirintisnya telah tumbuh di luar Yogyakarta, bahkan telah merambah ke daerah-daerah di luar pulau Jawa. Perluasan wilayah dakwah Muhammadiyah identik dengan peluasan sekolah Muhammadiyah.
Periode kedua, masa pengembangan dimulai sejak K.H. Ahmad Dahlan wafat hingga tumbangnya Orde Lama dan kemunculan Orde Baru (1923-1966). Masa ini diwarnai dengan terjadinya perang kemerdekaan dan pergolakan sosial-politik yang berkepanjangan, sehingga urusan pendidikan belum menjadi perhatian utama pemerintah maupun masyarakat.
Permasalahan dualisme pendidikan, yaitu pendidikan sekuler (sekolah umum) berhadap-hadapan dengan pendidikan keagamaan (pondok pesantren) masih menjadi isu penting. Namun demikian, penolakan atas pendidikan Barat-sekuler mulai mengendor, karena secara perlahan, namun pasti kaum santri yang awalnya menentang lambat laun dapat menerima pembaruan.
Proses penerimaan atas pengintegrasian sistem pendidikan sekuler ke dalam lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) berupa pengintegrasian ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama, sebagaimana sekolah Muhammadiyah, justru memunculkan tantangan baru. Sebab, sekolah
Muhammadiyah bukan lagi pemain tunggal dalam penyediaan pendidikan yang mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Dengan kata lain, meski masih dalam skala terbatas, sekolah Muhammadiyah harus berhadapan dengan tantangan dan kompetitor baru dari sesama lembaga pendidikan Islam.
Periode ketiga, masa pelembagaan berlangsung sepanjang pemerintah Orde Baru (1966-1998). Suasana politik yang stabil membuat proses pembangunan (ekonomi) lebih terarah dan terencana, tidak terkecuali pembangunan di bidang pendidikan. Secara umum, arah kebijakan pendidikan pemerintah bercorak sentralistik dan menempatkan sekolah negeri/pemerintah sebagai tolak ukur atau indikator mutu. Sekedar contoh, akreditasi hanya dilakukan kepada sekolah swasta, dan kualifikasi tertinggi mutu sekolah swasta adalah “disamakan” mutunya dengan sekolah negeri.
Dalam masa ini, terjadi proses pengembangan dan peluasan sekolah Muhammadiyah ke seluruh penjuru tanah air, bahkan daerah-daerah di mana pemerintah kesulitan mendirikan sekolah. Namun Muhammadiyah dengan kekuatan swadaya masyarakat mampu menembus hal tersebut. Proses peluasan dan penyebaran sekolah Muhammadiyah yang demikian masif ini kemudian memunculkan problem baru, di mana tata kelola dan pola budaya sekolah Muhammadiyah mengikuti pola pengembangan sekolah negeri (pemerintah). Eksperimen “Sekolah Agama Modern” K.H. Ahmad Dahlan pada awal abad ke-20 dengan formula “sekolah pemerintah plus agama”
telah terlembagakan sedemikian rupa dan semakin dinamis. Dalam situasi demikian, sekolah Muhammadiyah menjadi alternatif dengan tawaran sekolah plus agama, dan memperluas akses pendidikan anak bangsa untuk daerah-daerah di mana sekolah pemerintah belum mampu menjamahnya.
Memasuki periode keempat, masa transformasi, dimulai sejak Orde Baru berakhir yang segera disusul dengan gerakan reformasi sampai sekarang (1998-sekarang). Berbeda dengan era Orde Baru yang sentralistik, arah kebijakan pendidikan pemerintah pada era Reformasi ini bercorak desentralistik-populis, seperti wacana sekolah gratis dan berdirinya unit sekolah baru di daerah-daerah yang dahulu belum terjamah oleh sekolah pemerintah, sehingga daya tampung sekolah pemerintah meningkat. Hal ini menjadi tantangan yang rumit bagi sekolah Muhammadiyah (juga sekolah
swasta lain) yang mengharapkan “luapan siswa” yang tidak tertampung di sekolah negeri. Dampaknya , terjadi penurunan siswa secara drastis di sekolah swasta pada jenjang pendidikan menengah terutama di perkotaan, yang mengharapkan luapan siswa sekolah negeri.
Secara sosiologis, sekolah Muhammadiyah di perkotaan (urban) dan sub-urban juga dihadapkan dengan kemunculan sekolah swasta Islam baru yang menawarkan model-model pendidikan alternatif yang berupaya membidik keluarga kelas menengah muslim. Dengan demikian, pada masa transformasi ini, sekolah Muhammadiyah dihadapkan pada dua tantangan sekaligus: secara vertikal berhadapan dengan kebijakan pendidikan populis- desentralistik dengan isu sekolah gratis dan secara horizontal berhadapan dengan kompetitor baru yang memperebutkan kaum muslim menengah ke atas.
Menghadapi kompleksitas masalah di atas, sekolah Muhammadiyah harus berani keluar dari zona “pelembagaan”, “pemapanan”, “aman” yang telah membirokrasikan sekolah sedemikian rupa untuk kemudian bertransformasi menjadi sekolah berkemajuan (the improving school/modern school) yang menjanjikan masa depan dengan jalan menemukan kembali nilai-nilai keunggulan Persyarikatan. Penampilan sekolah berkemajuan yang merupakan produk dari proses transformasi ini memiliki banyak wajah sesuai kebutuhan masyarakat sekitar, tetapi tetap mengedepankan pada mutu layanan yang prima dan proses pembelajaran yang bermakna.
B. Filosofi Pendidikan Muhammadiyah
Ada beberapa pendekatan yang dapat dijadikan dasar pembahasan filsafat Pendidikan Muhammadiyah; Pertama, pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat pendidikan; Kedua, pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan; Ketiga, pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi persyarikatan;
Keempat, pendekatan historis-filosofis yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci
dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan pendekatan filosofis (Mohamad Ali dan Marpuji Ali, 2010).
Berdasarkan pada pendekatan ketiga dan keempat, tujuan pendidikan Muhammadiyah dapat dibedakan pada era pra-perumusan dan era perumusan formal. Pada era pra-perumusan, tujuan pendidikan Muhammadiyah belum dirumuskan secara eksplisit dan formal. Tujuan pendidikan Muhammadiyah lebih mengacu pada pemikiran K.H Ahmad Dahlan sebagai peletak dasar, baik yang disampaikan secara lisan maupun dalam bentuk tulisan.
Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, KH. Ahmad Dahlan menyatakan,
“Jadi orang Islam itu bersifat dua, yaitu sifat guru dan sifat murid” yang menunjukkan peran untuk terus belajar dan berbagi pengetahuan. Di bagian lain, “Manusia wajib mencari tambahnya ilmu pengetahuan, jangan sekali- kali merasa telah cukup pengetahuannya, apalagi menolak pengetahuan orang lain… Manusia itu perlu dan wajib menjalankan dan melaksanakan pengetahuannya yang utama, jangan hanya sekedar sebagai pengetahuan semata.” (Alim Roswantoro, dkk,
Pada 1923 KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato dalam Konggres Muhammadiyah. Pidato tersebut disampaikan dalam keadaan sakit dan menjadi pidato resmi terakhirnya. Pidato tersebut diberi judul “Tali Pengikat Hidup Manusia”. Pada pidato tersebut KH Ahmad Dahlan menyatakan bahwa salah satu bagian penting dalam diri manusia adalah akal.
Menurutnya:
“akal itu seperti biji yang terbenam di dalam bumi. Agar biji itu dapat tumbuh menjadi pohon yang besar, tentu perlu disiram secara ajek dan dipenuhi kebutuhan lainnya. Demikian juga akal manusia, niscaya tidak dapat bertambah sampai kepada kesempurnaannya, apabila tidak diberi siraman dengan pengetahuan. Dan semuanya itu mesti sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Kuasa.”
Itu sebabnya, dia menegaskan lebih lanjut akan arti pentingnya belajar.
Menurutnya: