• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.2. Telaah Teori

2.2.4. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)

Menurut Parasuraman dkk, ada lima dimensi pokok yang menentukan kualitas jasa, yaitu (42):

a. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana kamunikasi.

b. Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.

c. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.

d. Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat yang dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko, atau keragu–raguan.

e. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan

2.2.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)

menyediakan, mengelola dan melaksanakan penelitian tentang obat-obatan dengan ruang lingkup meliputi aspek manajemen dan aspek klinik yang berorientasi kepada kepentingan pasien sebagai individu berwawasan lingkungan dan keselamatan kerja berdasarkankode etik (43).

2.3.1.2. Pelayanan IFRS.

Pelayanan di definisikan sebagai faktor terpenting dalam suatu usaha dibidang jasa, dimana pelanggannya merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan terbaik, namun jika pelayanan yang diberi tidak memuaskan maka para pelanggan akan pergi. Menurut Febriawati (2013) pelayanan IFRS secara umum diklasifikasikan menjadi pelayanan non-klinik dan pelayanan klinik. Pelayanan nonklinik merupakan pelayanan yang tidak memerlukan interaksi langsung dengan penderita dan professional kesehatan yang lain dan sebagai penanggung jawab tunggalnya adalah Apoteker. Namun, semua pelayanan IFRS disetujui oleh petugas medis melaui Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). Pelayanan farmasi non- klinik adalah pelayanan farmasi yang termasuk ke dalam pengelolaan logistik.

Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 bahwa pelayanan kefarmasian yang besifat manajerial berupa pengelolaan (logistik) sediaan farmasi, alat kesehatan dan baham medis habis pakai meliputi: pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, serta administrasi (44).

2.3.1.3. Tugas dan fungsi pelayanan IFRS.

Tugas utama pelayanan IFRS menurut Rusli dalam Suherman dan Nurwahyuni (2019) dimulai dengan melaksanakan pengelolaan pada sediaan

farmasi dan perbekalan kesehatan. Sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang dimaksud adalah obat, bahan obat, gas medis dan alat kesehatan, yang dimulai dari saat perencanaan, pemilihan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan dalam kegiatan pelayanan rawat jalan dan rawat inap.

Peran IFRS sangat sentral terhadap pelayanan RS terutama dalam pengelolaan dan pengendalian sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan. IFRS berfungsi sebagai unit pelayanan dan produksi, maksud dari unit pelayanan adalah pelayanan yang sifatnya non klinik (manajemen) yaitu pelayanan dengan pasien dan tenaga kesehatan lain yang tidak berinteraksi secara langsung. Contoh pelayanan yang diberikan dengan menyediakan unsur logistik atau perbekalan kesehatan dan aspek administrasi. Selanjutnya Rudi dalam Ratna dan Solandjari (2019) menyatakan bahwa fungsi IFRS yang sifatnya klinik (non manajemen) berupa pelayanan yang langsung berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lain. Karena fungsi ini berorientasi pada pasien sehingga membutuhkan pemahaaman lebih luas tentang aspek yang berkaitan dengan penyakit dan penggunaan obatnya dengan menjunjung tinggi etika dan perilaku sebagai unit yang menjalankan asuhan kefarmasian yang handal serta professional (45).

2.3.1.4. Standar pelayanan IFRS.

Menurut Sampurno, Aji, dan Dewi (2010) bahwa The International Pharmaceutical Federation (FIP) pada Tahun 1992 menyusun standar pelayanan farmasi, yaitu Good Pharmacy Practice in Community and Hospital Pharmacy.

Selanjutnya pada tanggal 5 September 1993 diadopsi oleh Kongres FIP di Tokyo

dan di deklarasikan sebagai Standar Mutu Pelayanan Farmasi, kemudian pada April 1997 standar tersebut di-endorsed oleh WHO Experts Committee on Specification for Pharmaceutical dan akhirnya pada September 1997 disetujui oleh kongres FIP. Sebagai indikator dan standar dalam Standar Pelayanan Minimal pelayanan Instalasi Farmasi RS, yaitu (46):

1. Indikator waktu pelayanan (obat jadi ≤ 30 menit, racikan ≤ 60 menit);

2. Indikator tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat 100,0 persen;

kepuasan pelanggan ≥ 80 persen;

3. Indikator penulisan resep sesuai formularium 100,0 persen (Kepmenkes RI, 2008). KARS (2018) menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian ini dimaksud untuk menjamin mutu, manfaat, keamanan, serta khasiat sediaan farmasi dan alat kesehatan; menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;

melindungi masyarakat dan pasien pada khususnya, juga staf dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety);

menjamin sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang lebih aman (medication safety); menurunkan angka kesalahan penggunaan obat (medication error). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di RS, meliputi (39):

a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;

b. Mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku;

c. Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di RS;

d. Menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku;

e. Menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian;

f. Mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai ke unit-unit pelayanan di RS;

g. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu, melaksanakan pelayanan obat unit dose/dosis sehari;

h. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (apabila sudah memungkinkan);

i. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;

j. Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat digunakan;

k. Mengendalikan persediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;

l. Melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.

2.3.1.5. Sumber daya manusia (SDM) IFRS.

Peran SDM dalam organisasi adalah sangat penting bagi tercapainya tujuan organisasi. SDM mencakup keseluruhan manusia yang ada di dalam

organisasi, yaitu mereka yang secara keseluruhan terlibat dalam oprasional organisasi. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 bahwa Instalasi farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan instalasi farmasi. Untuk ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan tenaga Taeknis Kefarmasian di RS mengacu kepada ketentuan klasifikasi dan perizinan RS yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Kualifikasi SDM Instalasi Farmasi adalah sebagai berikut (47):

1. Untuk pekerjaan kefarmasian (Apoteker, Tenaga Teknis Kefarmasian);

2. Untuk pekerjaan penunjang (Operator computer/teknisi yang paham kefarmasian, Tenaga Administrasi, Pekarya/Pembantu Pelaksana).

Penghitungan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya. Masih berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 bahwa penghitungan kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan Kefarmasian di rawat inap, yang idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien. Untuk pelayanan di rawat jalan, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien. Untuk pelayanan farmasi yang lain tergantung pada jenis aktivitas dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi. Untuk kegiatan pelayanan diruangan tertentu seperti Instalasi Gawat darurat, Instalasi Intensive Care Unit, dan pelayanan Informasi Obat, dibutuhkan masing- masing 1 orang Apoteker (48).

2.3.1.6. Sarana dan prasarana IFRS.

Pelayanan kefarmasian yang diberikan harus terpisah dengan aktivitas pelayanan yang lain, namun aksesnya harus mudah dan langsung dapat dijangkau masyarakat. Lingkungan IFRS harus terjaga kebersihannya dan harus bebas dari hewan pengerat serta serangga. Suplai listrik yang dimiliki IFRS harus konstan karena diutamakan untuk penggunaan lemari pendingin. Perabotan yang ada di IFRS harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barangbarang lain yang tersusun rapi., terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperature yang telah ditetapkan. Pembagian ruang IFRS dapat menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta kelancaran praktik pelayanan kefarmasian (49).

Kemudian Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 menjelaskam bahwa sarana prasarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di IFRS meliputi sarana yang berfungsi sebagai (49):

1. Ruang administrasi;

2. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai;

3. Ruang distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai;

4. Ruang konseling;

5. Ruang pelayanan informasi obat;

6. Produksi;

7. Ruang aseptic dispensing;

8. Laboratorium farmasi;

9. Ruang produksi non steril;

10. Ruang penanganan sediaan sitostatik;

11. Ruang pencampuran/pelarutam/pengemasan sediaan yang tidak stabil;

12. Ruang penyimpanan nutrisi parenteral.

Selanjutnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 juga menjelaskan bahwa fasilitas peralatan harus dijamin sensitif pada pengukuran dan memenuhi persyaratan, peneraan dan kaliberasi untuk peralatan tertentu setiap tahun. Peralatan paling sedikit tersedia, yakni (49):

1. Peralatan untuk penyimpanan, peracikan dan pembuatan obat baik steril dan non steril maupun aseptik/steril;

2. Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip;

3. Kepustakaan yang memadai untuk melaksanakan pelayanan informasi obat;

4. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika;

5. Lemari pendingin dan pendingin ruangan untuk obat yang termolabil;

6. Penerangan, sarana air, ventilasi dan sistem pembuangan limbah yang baik;

7. Alarm

Dokumen terkait