TOMBOLOTUTU ATAU PUE DARAWATI
B. JARINGAN KEKELUARGAAN TOMBOLOTUTU
bersama pengikutnya dapat menumpas tuntas para perompak sampai akhirnya kawasan ini menjadi aman. Melihat tata krama, keberanian, dan sopan santun yang ditampilkan Puang Tomessu dalam masyarakat Toibagis khususnya dan masyarakat pesisir Teluk Tomini pada umumnya, maka para pemuka adat dan kepala suku memutuskan bahwa Puang Tomessu memenuhi syarat untuk dijadikan pemimpin.6
Pada tahun 1711 resmi Puang Tomessu menjadi raja dengan gelar Arajang Taunai sebagai raja yang pertama di wilayah ini. Wilayah kekuasaan Toibagis dulunya dari sungai Poli di sebelah utaranya dan berakhir di Ujularit sebelah selatannya. Namun setelah Puang Tomessu menjadi raja maka wilayah kekuasaannya diperpanjang sampai Tanjung Matoro Molosipat di ujung utaranya dan Tanjung Timbaraigi Labua Sori sebelah selatannya. Hubungan persahabatannya dengan kerajaan- kerajaan tetangga pun dijalin dengan baik dan akrab. Menjelang usianya semakin senja mendorong Puang Tomessu mengutus saudaranya Dg. Masangnga untuk memanggil/mengambil salah seorang putra pilihannya di Mandar, dalam bahasa Mandar ia berucap “Laoi alla I Mandawari Kammana I Calla’bitong mara’dia kecce” yang artinya
“Pergilah ambil/panggil Mandawari ayahnya Calla’bitoeng si raja kecil”.
Mara’dia Kecce adalah sebuah gelar bagi raja yang postur tubuhnya kecil seperti Mandawari. Lazimnya pengikut Tomessu menyebut Mandawari adalah Puatta I Kecce, ditirukan oleh seorang pribumi menjadi Puataikaci atau Pataikaci. Puatta I Kecce lalu berangkat bersama isteri dan anaknya di dekat Muara Kali Bomban (Kasimbar sekarang) pada waktu subuh tatkala fajar mulai menyingsing, sehingga mengatakan
“Simbar mi allo” artinya teranglah sudah matahari. Disinilah awal mulanya kita mendengar kata simbar, kemudian Ka sebagai tambahan simbar diambil dari nama daerah.
Leluhur raja Pamboang (Mandar) namanya Kasimba’ yang melahirkan Daeng raja Para’ yang diangkat menjadi raja Parappe’.
Tahun 1756 di Puladang (Pullajonga). Kehadiran Puataikacci di wilayah
6 Profil Desa Kasimbar: 2002.
ini menambah kuatnya armada laut Puang Tomessu. Puang Tomessu sangat merasa lega atas kehadiran anaknya karena setiap tugas yang dibebankan kepadanya selalu sukses. Orang di daerah ini bahkan wilayah Teluk Tomini pada umumnya tidak berani menyebut nama Puataikacci, sehingga orang-orang Lauje dan Tialo hanya menyebut nama Puang Logas, bersamaan dengan dikukuhkannya nama Sambali Tanainolo menjadi Kasimbar atau kerajaan Kasimbar. Sehingga secara matematik usia Kasimbar sampai dengan tahun 2005 sudah 367 tahun, dari tahun 1738 sampai dengan tahun 1740 situasi kerajaan Kasimbar dalam keadaan aman. Akan tetapi setelah 1741 situasi berubah drastis karena kesultanan Ternate membonceng Portugis yang ingin menumbangkan kekuasaan Puang Tomessu. Tujuan mereka adalah mengeruk kekayaan alam daerah ini terutama emas yang melimpah. Dengan demikian Puang Tomessu harus memesan lagi Puataikacci yang baru dua tahun melepas kerinduan kampung halamannya.
Puataikacci kembali lagi ke Kasimbar dengan membawa pasukan dibawah pimpinan Puang Tomessu. Sedang di Kasimbar telah siap pasukan dari Toibagis yang dipimpin oleh Tualangin alias Tadulako Peningka untuk bergabung dengan pasukan Puang Tomessu. Pada tahun 1742 terjadilah pertempuran sengit di Labuan dekat muara sungai Posona.
Kekalahan fatal dialami kesultanan Ternate dan terpaksa harus angkat layar kembali ke negerinya. Pada tahun 1762 secara defacto kekuasaan diserahkan penuh kepada Puatakacci menjadi raja Kasimbar yang II dengan gelar “Puang Logas” atau Arajang Logas untuk memperlancar roda pemerintahan maka Puatakacci mengantar anaknya Magalattu’ ke Tanjung Matoro dan mengatakan Motong yi’o artinya tinggallah kamu.
Dari kata Motong inilah menjadi nama Moutong tahun 1771. Pada tahun 1778 secara defacto kekuasaan Arajang Logas diserahkan kepada anaknya Magalattu’. Oleh karena Magalattu telah memahami benar tentang letak geografis Moutong dan Teluk Tomini pada umumnya, maka Magalattu lebih memilih Moutong menjadi tempat mengendalikan kekuasaan sebagai raja. Itulah awalnya Magalattu diberi gelar “Pua Datu Mula” artinya raja yang pertama menempati Moutong (1778-1822).
Demi membantu kelancaran tugas Pua Datu maka Puang Logas mengangkat anaknya Bura’langi dengan gelar Puang Lei sebagai raja Kasimbar ke-3 dan saudaranya Sariani menjadi Olongia dengan gelar Olongia Gurang serta Daeng Malindu diangkat menjadi Olongia Toribut.
Karena termakan usia maka pada tahun 1895 Puang Lei diganti oleh Pawajoi oleh anaknya To’eng. Empat tahun kemudian Matoa Pawajoi digantikan oleh Suppu tahun 1899-1901 Olongia To’eng diganti oleh Olongia Tanggudi dan mengangkat Malafai sebagai Jogugu, serta Lahia sebagai Kapitalau. Pada masa kekuasaan raja Suppu inilah pemerintahan Kolonial Belanda berhasil membujuk dan bekerja sama, sehingga ratu Wilhelmina di Nederland sebagai kepala pemerintahan kerajaan Belanda mengeluarkan Besluit (surat keputusan) resminya Suppu menjadi paduka raja Kasimbar. Sekitar akhir tahun 1901 raja Suppu wafat dan tepatnya bulan Januari 1902 digantikan oleh Lamangkona alias Pue Sanjata bergelar raja muda menjadi raja Kasimbar ke-6 (1902-1906).
Pemerintah Pue Sanjata tidak efektif karena secara terang-terangan Pue Sanjata menentang kebijakan pemerintah Kolonial. Untuk menghindari tragedi berdarah maka pada tahun 1906 Pue Sanjata meninggalkan Kasimbar menuju daerah Toli-Toli tepatnya di desa Ogotua. Kepergian Pue Sanjata maka secara otomatis digantikan oleh adiknya Pue Masaille dengan gelar raja muda. Pue Masaille sangat efektif dan terkendali yang dibantuk oleh beberapa tokoh kharismatik diantaranya Akas bin Kadang Malingga sebagai Pabicara adat dan Anteng Palimbui sebagai Jogugu, serta Bambalang sebagai Olongia.7
Sekitar tahun 1912 kerajaan Kasimbar diaklamasikan kerajaan Parigi karena dianggap bangsa penjajah tidak menguntungkan lagi. Ketika itu bekas Kerajaan Kasimbar ditawarkan untuk ditempatkan sebagai wilayah yang berstatus Lanschap atau Distrik dibawah Onder Afdeling Parigi.
Tawaran ini ditolak oleh orang-orang tua adat karena kecewa kerajaan mereka dibubarkan, lagipula merupakan pelecehan sebuah kerajaan yang dulunya menjadi kerajaan besar. Oleh karena itu pada tahun 1913
7 Wawancara dengan Ali Badong, 8 November 2005.
kedudukan Distrik ditempatkan di Toribulu dan yang menjadi kepala Distrik pertama adalah Daeng Palewa (1913-1915). Untuk melenyapkan sama sekali kerajaan Kasimbar maka pemerintah Kolonial Belanda mengangkat raja muda Masaille menjadi kepala Distrik ke-2 (1915- 1918). Kasimbar berstatus kampung (desa) maka yang menjadi kepala kampung/desa dari tahun 1915-2005 sudah sebanyak 17 orang, dengan susunan sebagai berikut: Hamadang alias Pua’Madina (1915-1919), Ismail alias Sumaelle (1919-1922), Pasiruai (1922-1931), Lamua (1931- 1934), Basoli (1934-1937), Pamussu’ (1937-1940), Kapeo (1939-1940), Dangge (1940-1941), Ahmad Lanonci (1941-1946), Masaille (1946-1959), A.M. Yusuf (1959-1963), AB. Andi Malla (1963-1964), Abu Minasa (1965- 1969), Mahfud Hi. Lagala (1969-1975), Abd. Rahman Al-Mahdali (1975- 1979), Aziz Saehana (1979-1991), Andi Lantang (1991-2005).8 Mereka ini sebagian masih berdarah Mandar maupun campuran Mandar dengan masyarakat setempat.
Pengganti Raja massu di Kerajaan Moutong telah dipikirkan olehnya untuk melanjutkan kekuasaannya. Sebelum mangkat, Raja Massu telah membagi-bagikan kekuasaan, termasuk kepada anak tirinya dari Pua Lara. Ketiga orang anak Pua Lara hasil perkawinannya dengan Lakaiyang diberi kekuasaan di Kepulauan Walea. Anak pertama yang bernama Pawajoi diberi gelar Matoa, anak kedua yang bernama Makarau diberi gelar Daelolo, dan anak ketiga seorang putri bernama Pasuniang dikawinkan dengan keluarga Raja Tojo Tanjung Bulu. Sedangkan anak Raja Massu dengan Pua Lara yang bernama Tombolotutu, diserahi tahta kerajaan setelah mendapat persetujuan dari seluruh Olongia dan Magau atau Ulea. Dari data ini, maka jaringan kekeluargaan Kerajaan Moutong dengan Kerajaan Togean, Kerajaan Tojo merupakan kekerabatan yang saling membantu dalam perang dengan Belanda nantinya ketika Tombolotutu melakukan perlawanan.
Raja Massu, dalam mengembangkan kekuasaan di wilayah Teluk Tomini, membangun suatu sistem kekuasaan di Kepulauan Walea. Anak
8 Hasil wawancara dengan Bapak Arsad Dg. Rahmatu, 14 Nopember 2005.
Pua Lara sebagai hasil perkawinannya dengan Lakaiyang ditempatkan oleh Raja Massu di Kepulauan Walea menjadi bangsawan kerajaan di sana. Sedangkan, Anak Pua Lara yang perempuan dikawinkan dengan bangsawan dari Kerajaan Tojo yang bernama Tanjung Bulu. Melalui jaringan inilah Massu mendapatkan sistem kekuasaan yang tinggi di wilayah Teluk Tomini karena mendapat dukungan dari kerajaan Togean dan Walea Kepulauan termasuk juga kekuasaan yang berasal dari Kerajaan Tojo.