• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANG GERILYA RAJA TOMBOLOTUTU

Dalam dokumen SEJARAH PEJUANG PARIGI MOUTONG (Halaman 109-120)

TOMBOLOTUTU DAN RASA NASIONALISME

C. PERANG GERILYA RAJA TOMBOLOTUTU

beberapa orang yang disebut yakni Brahman, Muhammad, Enci Pua Sadarwaking. Ketiga nama ini menurut penulis nama pertama adalah Borman, kemudian Muhammad, dan selanjutnya Tombolotutu atau Pue Darawati. Ketiga, Kano tersebut beratnya tiga pikul. Satu pikul sama dengan 63 kilogram. Jadi, kano ini memiliki berat 189 kg kalau digunakan bukan hanya satu orang tetapi kurang lebih lima orang.

Terlepas dari prasasti menurut jenisnya kano ini tidak terbuat dari besi cor tetapi dari logam tembaga cor yang sudah dihaluskan. Tradisi kano seperti ini biasanya dibuat di Turki. Melalui perantaraan Kerajaan Aceh, disebar ke seluruh penjuru nusantara atau dibeli oleh pedagang di Malaka. Hal ini membuktikan bahwa sudah ada jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan yang ada di Teluk Tomini dengan Kerajaan- Kerajaan di bahagian barat Nusantara termasuk Kerajaan Aceh dan Kerajaan Malaka.

Untuk menghadapi perang ini, Raja Tombolotutu selalu mengadakan lawatan untuk pencarian dukungan terhadap gerakannya untuk melawan belanda. Selain itu, Raja Tombolotutu juga sering mengunjungi seluruh Olongia, Magau, dan kerajaan-kerajaan tetangga, serta Olongia-Olongia tetangga dengan menggunakan perahu yang dikenal dengan nama ‘Naga- naga’. Dengan perahu ini, Raja Tombolotutu mengawasi seluruh daerah kekuasaannya dan mengunjungi sahabatnya di negeri tetangga seperti Magau Vinono dari Parigi, Raja Makagili dari Binawa, Pua Joli (Malonda) dari Bale, Kaleolangi Olongia Sojol, Raja Tojo, Magau Balaesang, dan Magau Dampelas.

Beliau adalah Raja yang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya terutama di wilayah lingkup kekuasaannya. Upaya memajukan perekonomian rakyatnya, Raja Tombolotutu menganjurkan agar seluruh rakyat menanam pohon kelapa dan padi. Selain itu, aktivitas perdagangan di Teluk Tomini tetap dilaksanakan sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Semakin ramainya Pelabuhan Moutong dari aktivitas perdagangan, menuntut pengamanan yang lebih baik. Untuk itu Raja Tombolotutu memperkuat pertahanannya dengan cara membeli senjata dari Bangsa Portugis dan Sultan Ternate. Hal ini sekaligus dimaksudkan untuk mengantisipasi gejala yang kurang baik yang diperlihatkan oleh pihak Belanda yaitu mulai memperbanyak kapal yang dipersenjatai lengkap dan mulai memperlihatkan ambisi untuk memonopoli perdagangan.

Demi memperbesar dan memperkuat kekuasaannya di wilayah Teluk Tomini, Raja Tombolotutu memperluas system kekuasaannya dengan mengawini seorang putri dari kerajaan local di Toribulu. Pada tahun 1893, Raja Tombolotutu menikah dengan Putri Magau Sapewali dari Toribulu yang bernama “Pua Pika”. Untuk melengkapi kebesaran kerajaannya, maka Tombolotutu merenovasi Istana Raja Besar dan hasilnya kemudian dikenal sebagai Katabang Raja Besar. Dalam perkembangan selanjutnya, Raja Tombolotutu kemudian harus menghadapi keinginan imperialis Belanda untuk memonopoli perdagangan di Teluk Tomini. Oleh karena tanggungjawabnya sebagai seorang raja yang berkuasa di Teluk Tomini,

maka dia menolak dan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda di Teluk Tomini.

Kerajaan Moutong Menghadapi Belanda (1893-1901), Sebagaimana yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, kedatangan bangsa Belanda di Pelabuhan Moutong pada awalnya menunjukkan sifat yang baik dan masih bersahabat. Namun, setelah melihat adanya potensi yang besar pada daerah tersebut, maka secara perlahan pihak Belanda mulai menunjukkan tujuan yang sesungguhnya yaitu memonopoli perdagangan dan bahkan menguasai wilayah itu.8 Keinginan Belanda untuk menguasai wilayah Teluk Tomini telah nampak pada usaha untuk mendekati penguasa setempat dan mencoba menerapkan politik adu domba antar para penguasa Olongia dan Magau dengan Raja Moutong.

Namun, usaha tersebut tidak memperoleh hasil yang memuaskan.

Usaha lain kemudian dilakukan dengan cara melakukan pendekatan langsung kepada Raja Moutong (Tombolotutu) agar bersedia untuk menjalin kerjasama melalui suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Panjang (Lange Contract). Selanjutnya, untuk menjamin kelangsungan Kerajaan Moutong beserta keluarga dan anak cucu Tombolotutu, Belanda membujuk Raja Tombolotutu untuk tunduk pada kekuasaan Mahkota Kerajaan Belanda dengan syarat Raja harus lebih dahulu menandatangani Perjanjian Pendek (Korte Verklaring)9.Namun, usaha- usaha tersebut tidak mempengaruhi pendirian Raja Tombolotutu untuk tetap menolak kerjasama dengan pihak Belanda.

8 Memorie Dutreux september 1931 dan Memorie F.Ch. H. Hirschmann, 15 disember 1934, Memorie van Overgave berbentuk mikro film sudah dikelompokan dalam koleksi MVO eerste bundel rol nomer 34 dan 35.

9 Nomor 420-423 Acte van Verbend Raja Banggai, 2 Oktober 1885, Awaloeddin 21 November 1928; No.424-425 Acte van Verbend Raja Mori, Mokole Ede 25 November 1908, Owoloe 19 November 1928; No.526-540 dan 773-775 Acte van Verbend Raja Bwol, Marens Ponto dengan Pieter Marappij 1771, Kaichil Bolamogila dengan Alexander Cornale 1781, Elan Moh. Sadihidina dengan Joan Pieter Cornelis Combier 12 Agustus 1835; No.650-652 Acte van Verbend Raja Bungku: Hadji Poetra Abdoel Wahab 7 oktober 1908 dan 25 Juni 1933, Peapua Abdurrabie 3 Januari 1942; No.752-753 Acte van Verband Raja Parigi, Keitjil Mujeumba dengan Jacob Munsel; No.759-761 Acte van Verband Raja Tolitoli, Sapiuddin, H. Abdul Hamid dengan Martijn Muller, dalam: ANRI Nomor 420-652 Arkip Kontrak Hindia Belanda dan Raja-Raja (K-89).

Hal tersebut menjadikan Belanda menempuh tindak kekerasan yang diawali dengan melarang dan menenggelamkan kapal dagang lain yang ingin berlabuh di Pelabuhan Moutong. Dengan mengisolasi wilayah Moutong, maka secara terpaksa rakyat Moutong menjual barang dagangannya kepada pihak Belanda dengan harga yang telah ditentukan secara sepihak. Tindakan ini memunculkan berbagai ketidakpuasan dan kebencian penduduk Kerajaan Moutong. Akumulasi kebencian itu berujung pada bangkitnya rakyat Moutong untuk melawan penjajah Belanda.

Sebagai penguasa tertinggi Moutong, Raja Tombolotutu tampil memimpin rakyatnya untuk mengusir Belanda. Pada tahun 1893 Tombolotutu mulai berupaya menghimpun kekuatan dengan jalan mengunjungi seluruh Olongia dan Magau. Kunjungan tersebut menghasilkan berbagai tawaran bantuan bahkan datang dari daerah tetangga yang merasa senasib dengan rakyat Kerajaan Moutong.

Tawaran itu antara lain datang dari Olongia Sojol, Olongia Dondo, Magau Balaesang, Magau Dampelas, dari Kepulauan Walea, dan Kepulauan Togean.

Seluruh Olongia dan Magau segera memobilisasi rakyatnya dan membentuk pasukan yang dipimpin oleh seorang Tadulako. Untuk mengikat persatuan dengan seluruh pasukan yang dibentuk, Raja Tombolotutu mengadakan rapat dengan seluruh pimpinan pasukan (Tadulako) di Tampapopa di Puloposamatului; pada bulan purnama Rabiul Awal tahun 1894 M. Dalam rapat tersebut Tombolotutu mengikrarkan sumpah bersama di depan Batu Puloposamatului, batu yang disakralkan oleh leluhurnya. Dalam rapat itu, juga diputuskan bahwa Dg. Raka diangkat menjadi Panglima Perang dengan gelar Goyabalanda dan diserahi pedang pusaka yang bernama Gampadala. Selain itu, juga diputuskan bahwa 7 (tujuh) orang Tadulako pengawal harus selalu mendampingi Raja Tombolotutu. Ketujuh Tadulako tersebut adalah: Daeng Raka, Moloagu, Kum, Kunciala, Lolibai Rajagau, Tulas, dan Latandu. Setelah rapat dan sumpah diikrarkan, maka masing-masing tadulako kembali ke daerahnya untuk mengatur bersiap sambil menunggu komando.

Perkembangan selanjutnya, seorang Punggawa dari Tinombo yang menjadi Marsaoleh di Moutong bernama Dae Malino (Daeng Malino), berhasil dirayu oleh Belanda untuk diangkat menjadi Raja Moutong, dan bersedia menandatangani kontrak atau korte verklaring pada tanggal 14 Mei 1896, dengan pihak Belanda. Dengan demikian, pihak Belanda tidak mengakui lagi Tombolotutu sebagai Raja Moutong.

Upaya Belanda untuk melumpuhkan aksi Tombolotutu selanjutnya adalah memanfaatkan Daeng Malino yang saat itu masih menjabat sebagai Masraole Moutong. Upaya tersebut yaitu mengadakan pertemuan yang bersifat kekeluargaan pada tanggal 16 September 1896, tetapi ternyata pertemuan tersebut bertujuan untuk menyergap Tombolotutu. Namun berkat kesigapan para pengawalnya yang terdiri dari 10 orang tadulako pilihan, Raja Tombolotutu berhasil menyelamatkan diri dari sergapan Belanda dan antek-anteknya. Tetapi tiga dari sepuluh orang pengawal Tombolotutu, gugur dalam peristiwa itu; dan peristiwa tersebut menandai pecahnya perang antara Kerajaan Moutong dengan imperialis dan kolonialisme Belanda.

Setelah lolos dari sergapan Belanda, Raja Tombolotutu kembali ke Istananya di Lobu. Lobu adalah daerah sebagai salah satu kampong tua yang berada di Tinombo. Setelah melihat dan merasakan langsung kekuatan yang dimiliki oleh Belanda, maka Raja Tombolotutu menyusun strategi dengan jalan membagi pasukannya ke dalam sejumlah kelompok kecil terdiri dari 20 hingga 50 orang. Namun, upaya itu tidak dapat mencapai hasil maksimal karena selain tidak adanya persatuan secara utuh, juga karena persenjataan Belanda jauh lebih modern dibanding persenjataan pasukan Tombolotutu yang hanya menggunakan sumpit, tombak, dan parang. Selain itu, kondisi Moutong yang terdiri dari sejumlah Olongia dan Magau yang terpisah oleh jarak yang jauh menyebabkan Tombolotutu tidak dapat memusatkan seluruh pasukannya pada satu tempat. Mereka terpisah- pisah di antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini menjadikan perlawan Tombolotutu terhadap Belanda berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

Perlawanan Tombolotutu diawali di Istana Raja Besar di daerah Lobu. Strategi untuk membagi pasukan dalam jumlah kecil dan ditempatkan secara berlapis ternyata telah diketahui oleh pihak Belanda melalui mata-matanya, termasuk jumlah kekuatan pasukan Tombolotutu yang ada di wilayah itu. Hal ini menyebabkan Belanda meminta tambahan pasukan dari Gorontalo. Setelah tiba pasukan tersebut, maka berkecamuklah perang di Lobu pada bulan Oktober 1897. Kurang lebih 11 hari perang ini berlangsung dengan korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun, dengan keunggulan persenjataan di pihak Belanda akhirnya Tombolotutu harus menyingkir dan meninggalkan Lobu dan memulai perang gerilya.

Proses perang gerilya Raja Tombolotutu tidak hanya melalui pegunungan dan lembah, tetapi juga menjelajahi wilayah kepulauan di Teluk Tomini. Mereka bergerak di Pulau Una-Una, Walea, Pulau Katupat, dan Pulau Togean di Teluk Tomini. Kegagalan di Lobu membawa Tombolotutu menghimpun kekuatan pasukannya di Pulau Walea Bahi Kampung Bitila. Mata-mata Belanda yang berasal dari bangsa sendiri ternyata memiliki peran yang cukup besar bagi imperialis Belanda.

Ini terlihat pada diketahuinya setiap gerakan yang dilakukan oleh Tombolotutu. Setelah tiba di Pulau Walea Bahi, Tombolotutu disambut oleh pasukannya yang sudah ada di Bitila. Beberapa waktu kemudian (Nopember 1897) pasukan Belanda juga telah menyusul dan menyerang wilayah itu. Perang ini berlangsung sekitar enam hari, dan Tombolotutu harus kembali meninggalkan Pulau Walea Bahi bersama pasukan dan penduduk Bitila yang tersisa.

Setelah itu, Tombolotutu berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain. Dari setiap pulau yang dikunjungi, Raja Tombolotutu mendapat sambutan yang hangat dari penduduknya Hal ini terjadi karena Tombolotutu menjalin persahabatan dengan para penguasa di pulau- pulau tersebut. Pemerintah Belanda yang kesulitan untuk menemukan Raja Tombolotutu kemudian menyampaikan selebaran yang isinya menjanjikan hadiah uang dan jabatan bagi orang yang berhasil menemukan dan membawa Tombolotutu dalam keadaan hidup atau

mati. Namun, upaya ini tidak membawa hasil. Tombolotutu yang ketika itu berada di Tongkabu, kemudian menuju ke Una-Una dan seterusnya kembali ke Lobu. Istana Raja Besar yang ada di Lobu kembali digunakan oleh Panglima Daeng Raka untuk mempersiapkan pasukan guna menyerang Belanda yang ada di Moutong. Pasukan tersebut berasal dari penduduk daerah-daerah seperti Molosipat, Olongkatan, Salumpengut, Lalap, Tuladenggi, dan dari daerah lainnya.

Tombolotutu melakukan gerakan dengan mengumpulkan pasukan untuk menyerang Moutong, dan pada akhirnya diketahui oleh mata- mata Belanda. Pasukan Belanda setelah mengetahui keberadaan Tombolotutu dan pasukannya di Lobu, Belanda segera mempersiapkan diri untuk kembali menyerang Lobu. Pada bulan Juni 1898 pasukan Belanda menyerang Lobu. Kali ini Belanda mendapat perlawanan keras dari pasukan Tombolotutu. Setelah lebih dua bulan tidak berhasil menguasai Lobu, maka Belanda meminta tambahan pasukan dari Manado dan Gorontalo. Pada bulan Nopember 1898 pasukan Belanda dari Manado dan Gorontalo tiba di Moutong. Setibanya pasukan bantuan tersebut, maka serangan besar-besaran dilancarkan ke Istana Raja Besar yang menjadi pusat kekuatan pasukan Tombolotutu. Setelah sekitar delapan bulan berlangsung perang ini, maka pasukan Tombolotutu harus merelakan Istana Raja Besar dibakar oleh Belanda dan mereka harus meninggalkan daerah itu untuk melanjutkan perjuangannya.

Perjuangan Tombolotutu selanjutnya dan untuk kemudian dilanjutkan di daerah keOlongiaan Bolano. Daerah ini memiliki kondisi alam yang memang sesuai untuk menjadi tempat perlindungan pasukan. Tombolotutu dan pasukannnya yang masih setia beserta rakyat OkeOlongiaan Bolano mempersiapkan diri untuk menghadapi Belanda dalam keadaan apapun. Serangan Belanda terhadap keOlongiaan Bolano dimulai pada pertengahan tahun 1899. Mereka menyerang Benteng Monsologe yang menjadi pusat kekuatan Tombolotutu di wilayah Bolano.

Namun, dengan kekuatan pasukannya dan dukungan dari kondisi alam Bolano, pasukan Tombolotutu beberapa kali berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang melakukan penyerangan ke Bolano.

Peperangan yang terjadi antara Belanda dengan pasukan Raja Tombolotutu di kaeOlongiaan Bolano telah memakan waktu yang cukup lama. Korban yang diderita, khususnya dipihak Belanda cukup banyak, baik dari segi materi maupun dalam bentuk nyawa. Peperangan ini pula yang menyadarkan Belanda bahwa Raja Tombolotutu ternyata memiliki dukungan dari seluruh rakyat Moutong dan penduduk disekitar Teluk Tomini. Oleh karena itu, Belanda kemudian mendirikan pos- pos penjagaan di wilayah keOlongiaan dan kemagauan yang dianggap dianggap dapat membantu gerakan pasukan Tombolotutu. Hal ini yang sangat membatasi pergerakan pasukan Tombolotutu dalam menghimpun kekuatan rakyat dari berbagai daerah di wilayah Kerajaan Moutong.

Pada awal bulan Nopember 1900 setelah melalui perhitungan yang matang dan dukungan bantuan pasukan dari Makassar dan Manado, maka Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke Benteng Monsologe. Setelah melalui pertempuran yang berat, akhirnya Belanda berhasil merebut Benteng Monsologe, namun tidak berhasil meringkus Tombolotutu yang telah diselamatkan dan diungsikan oleh pengawal dan penduduk Bolano. Setelah mengalami kegagalan pada perang Bolano, maka Belanda kemudian memperkuat pasukannya yang ada di pos-pos penjagaan di beberapa keOlongiaan dan kemagauan di wilayah Kerajaan Moutong. Hal ini dilakukan untuk menjaga kemungkinan Raja Tombolotutu dapat menghimpun kembali kekuatan untuk menghadapi Belanda secara besar-besaran di Moutong dan wilayah sekitarnya.

Pergerakan Tombolotutu meninggalkan Bolano menjadi lambat dan terbatas, akibat adanya pos-pos Belanda dan kondisi permaisuri Raja Tombolututu yang sedang hamil tua. Tujuan awal pergerakan ini adalah daerah Boinampal dan Tampapopa, namun daerah tersebut telah dikuasai dan ditempati pasukan Belanda. Pasukan Tombolotutu kemudian bergerak ke wilayah Kerajaan Sojol yakni di Bou. Mereka diterima oleh Olongia Kaleolangi sebagai Raja Sojol. Di daerah ini kemudian Tombolotutu menghimpun kekuatan baru melalui dukungan dari Magau Dampelas dan Magau Balaesang. Di daerah ini pula istri Tombolotutu melahirkan anaknya yang kedua bernama Kuti Tombolotutu.

Beberapa bulan di Bou, pasukan Tombolotutu belum tercium keberadaanya oleh Belanda. Namun, pada awal tahun 1901 pasukan Belanda yang berada di Donggala melakukan penyerangan ke Bou.

Serangan pertama ke Bou ini mendapat perlawanan ketat, bahkan pasukan Belanda tidak dapat bergerak maju memasuki Kampung Bou.

Mereka dipaksa keluar dan meninggalkan Bou. Setelah beberapa bulan melakukan persiapan, maka pasukan Belanda kembali melakukan serangan ke Bou dengan kekuatan yang lebih besar. Dengan strategi menyusupkan pasukan ke wilayah Buo pada malam hari, akhirnya Belanda dapat menguasai Bou dan memaksa pasukan Tombolotutu bergerak meninggalkan daerah itu.

Setelah meninggalkan Bou Kerajaan Sojol, maka pasukan Tombolotutu bergerak menuju Sigenti. Sebelum memasuki daerah tersebut, Tombolotutu mengirimkan utusan untuk menghadap Daeng Mageva (Magau Sigenti). Atas saran Magau Sigenti, Tombolotutu dan pasukannya bergerak menuju ke Kasimbar. Dalam perjalanan ke Kasimbar tersebut, pasukan Tombolotutu ditemukan oleh pasukan Belanda yang sedang berpatroli ke Sigenti. Pertempuran pun tak terhindarkan. Pasukan Tombolotutu yang memang telah kelelahan dalam perjalanan menuju Kasimbar akhirnya harus mundur ke lembah gunung Tamborong untuk menghindari pasukan Belanda. Peristiwa ini dikenal dengan Pertempuran Manggabalu yang terjadi pada awal tahun 1901.

Raja Tombolotutu melanjutkan perjalanan ke wilayah Kasimbar di Pantai Timur. Kedatangannya di Kerajaan Kasimbar ternyata telah diketahui oleh Belanda, maka Tombolotutu mengerahkan pasukannya kembali dan menuju ke arah Selatan yaitu ke Pegunungan Tambu. Namun sebelum ke Selatan Tombolotutu mengirim istri dan anaknya ke Toribulu yang dikawal oleh Tadulako Kunciala. Perjalanan Tombolututu ke Selatan akhirnya tiba di Wani dan Pantoloan, dan membuat kerusuhan di sana.

Menurut keterangan Belanda, Tombolotutu bukan hanya melakukan perompakan namun juga melakukan penjarahan, pembakaran dan perampokan terhadap rumah-rumah penduduk di sepanjang pantai dan kapal-kapal yang singgah di pelabuhan itu.

Untuk mengamankan daerah tersebut, pemerintah Belanda mengirim pasukan mengejar tokoh itu. Dalam pelariannya Tombolotutu berlindung kepada La Makagili Tomaidoda yang kebetulan sedang berada di Pantoloan. Dengan tujuan menangkap tokoh perusuh ini, Gezaghebber bersama beberapa orang pengawal berangkat ke Pantoloan menemui La Makagili. Perundingan ke dua tokoh ini menghasilkan penolakan La Makagili untuk menyerahkan Tombolotutu kepada Gezaghebber.

Penolakan ini, dijadikan alasan oleh Gezaghebber untuk menuduh bahwa penguasa Banawa melanggar kontrak yang telah dibuatnya. Oleh karena itu pejabat ini mendesak pejabat-pejabat adat setempat agar mencopot penguasa tersebut dari jabatannya. Setelah pejabat adat mencapai kesepakatan dan menyerahkan masalah ini kepada pemerintah Belanda, maka La Makagili Tomaidoda diturunkan dari jabatannya dan ditangkap untuk selanjutnya dibawa ke rumah tahanan di Makasar.10

Aktivitas perompakan yang marak terjadi di daerah Teluk Palu, khususnya yang ditujukan pada fasilitas pelabuhan dan perkapalan milik pemerintah kolonial dan orang-orang Belanda, adalah merupakan bukti utama dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap intervensi kekuasaan Belanda. Para perompak dan pemberontak ini selalu melakukan pembakaran terhadap daerah yang telah dirampoknya. Mereka dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat terkenal dari Moutong=Moutong, yang bernama Tombolotutu atau Poidarawati=Puai Darawati.11

10 Pemberhentian La Makagili Tomaidoda ditegaskan dalam Besluit 19 September 1901 nomer 17. Menurut pengak uan La Makagili Tomaidoda dalam interogasi yang dilakukan terhadapnya oleh Jaksa Willem Wolter Carel Baron van Hoevell di Makasar hari Jumat tanggal 9 Agustus 1901 ada beberapa alasan penolakan menyerahkan Tombolotutu kepada pejabat Belanda. Di antaranya adalah kekhawatirannya terhadap pembalasan Tombolotutu terhadap kawulanya, dan pendapatnya bahwa Tombolotutu tidak bersalah karena dia berperang melawan Daeng Malino seorang tokoh Bugis di Pantoloan dan bukan dengan pemerintah Belanda. Namun pada bagian lain dari interogasi itu dia mengakui telah menerima uang seharga 1500 ringgit sebagai pelunasan hutangnya. Lihat Proces Verbal atas La Makagili Tomaidoda di pengadilan tinggi Makasar tanggal 9 Agustus 1901. Tentang tuduhan terhadap La Makagili lihat juga Koloniaal Verslag tahun 1902 hlm. 125.

11 Arsip-arsip pemerintah Belanda menyebut para perompak dan perusuh sebagai “pemberontak” karena mereka menentang kebijakan pemerintah kolonial dan kepentingannya.

Seperti yang telah disebutkan, menurut Belanda bahwa pemberontakan di Kerajaan Moutong oleh Poidarawati alias Tombolotutu setelah pengusiran dan penghancuran tempat persembunyiannya di Boalemo pada bulan Nopember 1900, meninggalkan kampung itu menuju wilayah Celebes en Onderhoorigheden, di mana dia kemudian bersembunyi di daerah Tontoli dan Donggala, di Donggala dengan bantuan penguasa setempat La Makagili Tomaidoda. Usaha-usaha yang dilakukan di daerah ini untuk menangkapnya sebaliknya gagal dan membuat Poidarawati memutuskan untuk kembali ke Teluk Tomini, di mana dia pada bulan Juli 1901 muncul di daerah mertuanya yakni Kepala Toribulu. Pejabat ini menjanjikan juru bicara Bugis Intje Dahlan yang ditugasi untuk memimpin rombongan karena telah berhubungan baik dengan raja-raja Parigi, Ampibabu, Kasimbar dan Sigenti bersama kawulanya, untuk menyerahkan dia apakah dalam kondisi hidup atau mati. Setelah pencarian yang lama di pegunungan Toribulu, di mana dia bersama istri dan pengikutnya yang tinggal dan sedikit bersembunyi, Poidarawati pada tanggal 17 Agustus 1901 diserang dan dalam perlawanannya dia terbunuh12. Para pengikutnya dan anggota kerabatnya yang tersebar meminta ijin untuk bisa kembali ke Moutong.

Penduduk Bulano yang dihancurkan membuat kesepakatan dengan penguasa Moutong. Sebagai bukti bahwa mereka telah tunduk kepada penguasa Moutong mereka bersedia menyerahkan sepersepuluh dari hasil pertaniannya sebagai upeti. Dengan penumpasan Poidarawati yang berasal dari Mandar, pengaruh pemerintah di daerah Moutong, Sigenti, Kasimbar, Toribulu dan Ampibabu yang dijajah oleh orang-orang Mandar bisa bertumpu pada dasar yang kokoh, namun menarik bahwa unsur- unsur Mandar kembali berusaha untuk bisa kembali menguasai daerah yang telah dilepaskannya. 13

12 Perang yang dilakukan oleh Tombolotutu adalah bukan perang sektor tetapi perang gerilya antara lain di Tomini, Gunung Lobu, Gunung Taopa, Bolano Sau, Togian, Pegunungan Tinombo, Kampung Bou, Sojol Dampelas, Kemudian ke daerah Selatan yakni Wani, Pantoloan, Kembali ke Donggulu dan wafat pada tanggal 17 Agustus 1901 di Gunung Ujuularit.

13 Baca Kolonial Verslag 1902-1903.

Dalam dokumen SEJARAH PEJUANG PARIGI MOUTONG (Halaman 109-120)