• Tidak ada hasil yang ditemukan

SILSILLAH KELUARGA: SEORANG BANGSAWAN MOUTONG

Dalam dokumen SEJARAH PEJUANG PARIGI MOUTONG (Halaman 86-95)

TOMBOLOTUTU ATAU PUE DARAWATI

A. SILSILLAH KELUARGA: SEORANG BANGSAWAN MOUTONG

Kedududkan Tombolotutu dapat dilihat dalam silsisllah yang telah ditampilkan. Melalui silsilah di atas, dapat dibaca beberapa Raja yang berkuasa di Moutong yaitu antara lain mulai dari Raja Pataikaci hingga Raja Kuti Tombolotutu.1 Wilayah Teluk Tomini merupakan salah satu wilayah strategis dibagian tengah Pulau Sulawesi. Tidak saja karena kondisi lautnya yang aman dari terjangan ombak besar lautan luas, tetapi juga karena wilayah tersebut kaya akan potensi alam. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pelayar dan pedagang baik lokal maupun asing untuk masuk ke wilayah tersebut. Pengaruh orang Mandar dalam dinamika Teluk Tomini menjadi menarik tumbuhnya kekuasaan Mandar di Teluk Tomini. Kondisi itu pula yang menyebabkan wilayah tersebut menjadi sarana bagi para perompak (bajak) laut di Wilayah Teluk Tomini dan sekitarnya.

Pengaruh Mandar ini kelihatan dalam istilah arajang taunae yang menjadi dasar kepemimpinan di Kerajaan Moutong. Arajang Taunae2 seorang tokoh pendatang dari tanah Mandar memiliki peran penting dalam mengamankan wilayah Teluk Tomini dari gangguan bajak laut.

Karena perannya itu, maka Arajang Taunae dan seluruh pengikutnya mendapat kedudukan yang istimewa dalam bentuk pemberian kekuasaan kepada Arajang Taunae untuk mengatur seluruh kegiatan perdagangan dan sekaligus menerima hasil disekitar wilayah Tomini. Arajang Taunae dikalangan masyarakat Mandar dikenal juga dengan nama Tomessu;

setelah terjadi pembauran dengan masyarakat setempat mereka menjalin hubungan perkawinan antara kedua belah pihak.

1 Eddy Rumambi, Mengenal Kerajaan Moutong dan Perang Tombolotutu 1898- 1904 (tanpa Tempat, Penerbit, dan tahun terbitan); baca juga: V.S. Korona, Mengenal Masyarakat Lauje di Bandar Tinombo Negeri Khatulistiwa Sulawesi Tengah (Palu:

Yayasan Khatulistiwa Nusantara, 2001).

2 Gelar Arajang Taunae ini merupakan gelar bagi golongan tertinggi dalam masyarakat Mandar. Mereka biasa dikenal sebagai golongan Pua atau Puang. Golongan ini dianggap sebagai keturunan langung dari Topia/Tomanurung. Selain itu, masyarakat Mandar juga mengenal golongan lain yaitu 1). Golongan Kama atau Maradia, merupakan golongan menengah keturunan Pua atau Puang yang kawin dengan golongan lain.

Golongan Kama ini banyak yang memegang jabatan pemerintahan di kerajaan, 2).

Golongan Ama yang merupakan golongan rakyat biasa/orang kebanyakan.

Tujuan pelayaran Mandar ke Teluk Tomini selain berdagang juga mereka membina komunitas baru di Tomini dan Moutong. Sejak saat itu perantau Mandar banyak berdatangan ke daerah Tomini. Akhirnya, mayoritas penduduk yang mendiami wilayah dari Sungai Molosipat atau Tanjung Matoro sampai ke Timbaraigi atau Labuan Sori merasa dirinya sebagai orang Mandar atau keturunan Mandar dan menyebut dirinya Tomene, yang kemudian berubah menjadi Tomini (nama wilayah tersebut).3

Latar belakang Desa Tomini merupakan desa yang tertua di Kecamatan Tomini yang terdapat di Kabupaten Parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah masyarakatnya sangat ramah serta menjujung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan persatuan. Penduduk asli Tomini mempunyai bahasa daerah sendiri yakni bahasa tialo, kemudian bahasa ini berkembang menjadi empat dialek, yakni: Bahasa Tomini dialek Tilao, Bahasa Tomini dialek Tajio, Bahasa Tomini dialek Lauje, Bahasa Tomini dialek Dondo. Suku bahasa Tialo terus menyebar meliputi daerah desa ampibabo sampai Desa Popayato (Gorontalo) dan kearah utara yakni Desa Dondo dan Dampelas Sojol.

Nama Desa Tomini yang kita kenal sekarang sebagai salah satu desa di kabupaten Parigi Moutong berasal dari bahasa Mandar. Asal kata : “ Tau dan MeneTau artinya orang, sedangkan Mene artinya naik. Jadi Tau dan Mene adalah orang naik atau orang datang. Dari nama Taumene ini kemudian berubah sebutan menjadi “toumini,”

setelah itu disebabkan oleh pengaruh bahasa atau dialek tialo kata toumini berubah lagi menjadi “tomini” yang sampai sekarang ini masih digunakan oleh masyarakat Tomini pada umumnya. Sebelum abad ke 17 masehi masyarakat Tomini sudah mulai ada perkembangan tentang pemerintahan pada saat itu mereka sudah mulai membentuk susunan pemerintahan sederhana, yang dipimpin oleh seorang Olongia (orang berpengaruh) yang bernama Alam dan Bergelar Olingia Jogugu Alam.

3 Haliadi, “Sejarah Perkembangan Nama Teluk Tomini di Pulau Sulawesi ,” Jurnal IKAHIMSI Edisi I, No. 2, Juli-Desember 2011, hal 30-44.

Borman Menjadi Raja pada tahun 1904-1924 Punggawa Borman diangkat menjadi raja Kerajaan Moutong dengan wilayah Moutong sampai Tada. Setelah itu raja Borman kemudian digantikan oleh H.S.

Lahia dari tahun 1925-1929.

Kemudian, pelantikan Raja Kuti Tombolotutu di desa Tomini, pelantikan raja harus sesuai dengan ikrar yang telah disepakati ikrar tersebut adalah yang menjadi raja harus anak dari raja Tombolotutu yakni Kuti Tombolotutu dan wilayah kerajaannya dari Tada sampai Moutong. Kesepakatan itu kemudian disampaikan kepada pemerintah Hindia Belanda. Setelah mendengar permohonan itu disetujui pemerintah Belanda maka saat itu pula masyarakat Tomini berbondong- bondong mempersiapkan segala perlengkapan yang dibutukan pada saat pelantikan tersebut dan sekaligus penetapan tempat pelantikan serta waktunya. Pada tanggal 11 April 1929-10 Juni 1929 setelah H.S.

Lahia memerintah pada tahun 1925-1929.

Maka pemerintah Hindia Belanda4 mengusahakan pengangkatan seorang raja yang resmi bernama Kuti Tombolotutu dan pelantikannya ditetapkan di Desa Tomini, Sebelum pengangkatan itu dilaksanakan masyarakat Tomini mempersiapkan pelaksanaan acara pelantikannya yang harus sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di Desa Tomini, yaitu: 1. Raja disumpah dan dilantik duduk diatas batu 2. Istri raja harus duduk disamping raja serta duduk diatas batu 3. Saat pelantikan raja harus berjalan diatas kain berwarna putih untuk tidak melanggar aturan adat diatas maka masyarakat Tomini segera mencari dua buah batu besar, satu untuk dijadikan sebagai tempat duduk raja dan satu lagi sebagai tempat duduk sang istri yang mendampinginya ketika dilantik. Batu- batu tersebut kemudian didapatkan di Hulu Sungai Tomini yang diambil secara bergotong royong dengan rasa kekeluargaan sehingga kedua batu pelantikan tersebut sampai di tempat pelantikan yaitu dilapangan sepak bola tomini (sekarang dikenal dengan nama lapangan batu raja tomini)

4 ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), Missive Gouvernement Secretaris, 26 Januarie 1901 no. 235, bundle Algemeen Secretarie; baca juga: “Einde der Moetonsche onlusten” in De Locomotief, tanggal 30 September 1901, hlm. 2.

yang berjarak ± 2 km dari hulu sungai. Setelah kedua batu itu didapatkan acara pelantikanmu segera dimulai tetapi sebelum acara pelantikan itu dimulai dibentangkanlah kain berwarna putih sepanjang jalan yang dilalui oleh calon raja dan menuju tempat tempat pelantikan yang berjarak ± 450 M. Dari tepi pantai ketempat pelantikan.

Makna kain putih yakni suci hatinya dalam menjalankan pemerintahan sedangkan makna batu yakni keras hati untuk menegakan kebenaran dalam menjalankan pemerintahan. Pada hari senin tanggal 10 Juni 1929 resmi dilaksanakn pelantikan dalam acara pelantikan tersebut hadir pulah raja-raja tetangga dari daerah Sulawesi Tengah dan dari daerah Sulawesi Utara, Gorontalo, serta di hadiri oleh Residen Manado, Asisten Residen Donggala, Kontroleur Parigi, dan seluruh rakyat Kerajaan Moutong.

Penangkapan Tentara Belanda di Desa Tomini, peristiwa penangkapan tentara Belanda pada tanggal 11 April 1942 oleh toko- toko masyarakat yakni : 1. H. Mbalu 2. M.B Poleh 3. Abdullah Barmawi 4.

A.Thalib 5. Tjaraan 6. Abdullah Dg. Maliki 7. Samana, dll Tentara Belanda yang ditangkap masing-masing bernama: Wilingharts (Weilinga) yang berpangkat Sersan Mayor dan Maitimu sebagai pengawal suku ambon.

Penangkapan dilaksanakan atas perintah kepala Desa Tomini yang bernama A. Lamakada. Setelah ditangkap kedua tentara tersebut diantar ke Tinombo dan diserahkan ke Swapraja. Selain dari gambaran sejarah singkat tentang desa Tomini serta pelantikan raja di Desa Tomini ada pula hal-hal yang menurut faktanya menyimpan pula unsur-unsur sejarah Desa Tomini antara lain: Di Desa Tomini terdapat sebuah perkampungan kecil yang diberi nama Boinampal di Kampung inilah mula-mula penduduk Desa Tomini berada dengan mata pencarian bertani, dan disamping itu mereka mendirikan sebuah pertahanan apabila diserang musuh yang diberi nama benteng, hal ini pertanda bahwa sejak ratusan tahun lalu sudah ada penduduk yang mendiami daerah ini yang meliputi:

orang Tomini, yang tekenal dengan Suku Tialo, selanjutnya penduduknya semakin berkembang serta membuat pemukiman baru disepanjang Pantai Tomini dari situlah desa Tomini dikenal sampai saat sekarang ini

Di lingkungan Desa Tomini ada pulah sebuah dusun yang sekarang diberi nama Popa Jaya. Dusun itu memang sejak dulu bernama Popa.

Popa artinya hutan rumbiah kepunyaan orang-orang Tambalate.

Tambalate yaitu suatu kelompok penduduk yang datang bermukim dan berasal dari Sulawesi Selatan. Suatu hari terjadi pertikaian antara suku Tialo dan Tambalate. Maka terjadilah peperangan yang dimenangkan oleh suku Tialo, kemudian Tambalate mundur dan berpindah-pindah tempat yang akhirnya sampai ke Hulondalangi yang sekarang dikenal dengan nama Gorontalo dan telah menjadi satu Provinsi di wilayah Utara Pulau Sulawesi. Di kota Gorontalo masih terdapat sebuah kampung yang bernama Kampung Tambalate (Tamalate) sampai sekarang. Selain itu pula, di Desa Tomini terdapat sebuah rumah yang merupakan tempat persinggahan raja Kuti Tombolotutu. Rumah tersebut bernama Katabang dan terletak di Dusun Popa Jaya yang sekarang telah menjadi sebuah desa yaitu Tomini Barat. Namun keberadan rumah ketabang sekarang sudah tidak diketahui keberadaannya ada kalangan masyarakat yang mengatakan bahwa rumah tersebut sudah hilang yang disebabkan oleh meluapnya air Sungai Tomini Barat yang sering terjadi banjir. Rumah katabang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para tokoh-tokoh pejuang pada saat itu.

Di Pantai Tomini terdapat pula sebuah bangunan batu dalam bentuk tugu oleh penduduk Desa Tomini sejak dahulu mengenal dan menyebutnya Loji sehingga pantai tersebut disebut Pantai Loji.

Bangunan ini merupakan sala satu situs sejarah Tomini dan di perkirakan tugu tersebut telah berusia tidak kurang dari 350 tahun dan dipercaya merupakan peninggalan Bangsa Portugis dan dilanjutkan oleh Bangsa Belanda pada zaman VOC di abad ke-17 masehi.

Setelah Arajang Taunae termakan usia atau lanjut usia, melalui persetujuan penguasa-penguasa setempat (dalam istilah lokal disebut Olongia); jabatan sebagai penguasa secara de facto wilayah Tomini, diserahkan kepada anaknya yang bernama Pataikaci. Pataikaci inilah yang menjadi pendiri Kerajaan Moutong dan merupakan raja pertama kerajaan tersebut pada tahun 1762 hingga tahun 1778. Raja ini adalah

peletak dasar kekuasaan orang Mandar yang ditegakkan di Kerajaan Moutong di Teluk Tomini Sulawesi Tengah. Komunikasi yang baik antara masyarakat local dengan masyarakat Mandar yang Islamik membuat daerah ini diperhitungkan oleh Hindia Belanda.

Kesinambungan kepemimpinan Mandar di Kerajaan Moutong memnjadi bukti bahwa di wilayah ini telah tersambung wilayah Mandar dengan Teluk Tomini. Regenerasi kekuasaan yang terjadi di wilayah Teluk Tomini memberi peluang bagi Pataikaci untuk lebih jauh menanamkan perannya di wilayah tersebut. Banyak Olongia yang memerintah pada waktu itu merupakan keturunan orang-orang Mandar. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut dipimpin oleh seorang yang bergelar Magau atau Ulea.

Para Magau ini adalah keturunan dari kerabat ayahnya yang kawin dengan puteri Olongia setempat. Beberapa kerajaan kecil tersebut antara lain: Kerajaan Ampibabo, Kerajaan Toribulu, Kerajaan Kasimbar, Kerajaan Maninili, Kerajaan Tampapopa, dan Kerajaan Moutong.

Pengaruh Mandar di wilayah Teluk Tomini semakin berjaya untuk memabngun koloni Mandar di wilayah ini. Terbentuknya kerajaan- kerajaan kecil yang diperintah oleh orang-orang berdarah Mandar ini, sangat menguntungkan Pataikaci sebagai penguasa tertinggi di wilayah Tomini, karena penguasa-penguasa di kerajaan-kerajaan kecil itu menghormati Pataikaci sebagai keturunan Arajang Taunae. Namun demikian, Pataikaci tidak menunjukkan kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaannya. Dia bahkan menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Balinggi, Gorontalo, Tojo, Banggai, dan Ternate. Hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan tetangga tersebut di atas menjadikan Pataikaci dapat membangun kerajaan yang disegani kelak. Para Ologia dan Magau (Ulea) diberi kekuasaan otonom di wilayahnya masing-masing. Hal ini memungkinkan keamanan wilayah Tomini dapat terjamin, aktivitas perdagangan dan usaha masyarakat lainnya dapat berjalan baik.

Pertapakan pertama Orang Mandar di Wilayah Teluk Tomini bermula di Kasimbar. Pada tahun 1771 Pataikaci memindahkan pusat kekuasaanya dari Kasimbar ke Moutong dengan pertimbangan bahwa Moutong

lebih strategis dalam mengawasi seluruh wilayah Teluk Tomini dan juga merupakan pintu gerbang menuju ke wilayah Tomini. Perpindahan pusat kekuasaan ini dijadikan sebagai awal berdirinya Kerajaan Moutong dan sejak saat itu, Pataikaci diberi gelar Arajang Taunae. Pataikaci memerintah Kerajaan Moutong sampai tahun 1778, dan selanjutnya digantikan oleh putranya yang bernama Magalatung. Magalatung bergelar “Pua Datu Mula” (Raja Moutong ke-2, 1778-1822). Magalatung ini yang menjadi peletak dasar terbentuknya kekuasaan awal di Moutong.

Kerajaan Moutong yang berada di Ujung dalam Teluk Tomini sehingga menjadi pangkalan pelayaran yang baik di Teluk Tomini.

Keadaan ini yang menjadikan Kerajaan Tomini sebagai Kerajaan Maritim. Pada masa pemerintahan Raja Magalatung Moutong muncul sebagai salah satu kerajaan yang bercorak maritim. Ini ditandai dengan semakin ramainya para pedagang, baik pedagang lokal (Ternate, Bone atau Bugis, Mandar) maupun pedagang asing (Portugis, Inggris, Belanda, dan Cina) banyak berlabuh di Pelabuhan Moutong. Hasil utama yang diperdagangkan melalui pelabuhan ini adalah emas. Kemajuan yang dialami Kerajaan Moutong ini menyebabkan masa pemerintahan Raja Magalatung dianggap sebagai masa kejayaan/keemasan Kerajaan Moutong. Pada masa ini dikenal istilah “Yele Mooyub, Yele Masanang, Yele Mangana” yang berarti masa yang dinaungi rasa tentram atau aman, bahagia, dan berkecukupan.

Kekuasaan yang dibangun oleh Orang Mandar di Teluk Tomini adalah percampuran darah antara Moutong dengan penguasa atau bangsawan lokal. Raja Magalatung menikah dengan putri Magau Tampapopa yang bernama Minarang dan dikarunia dua orang anak yaitu Pondatu dan Pabu. Pondatu ini kelak diangkat menjadi ulea di Moutong, sedang Pabu diangkat sebagai Kapitalau di Tuladenggi dan sekitarnya. Selain menikah dengan putri magau, Raja Magalatung juga menikah dengan Puang Yude (keturunan Raja Pamboang-Mandar) dan dikarunia seorang putra yang bernama Massu. Sebelum wafat, Raja Magalatung mengangkat puteranya (Massu) dihadapan seluruh Magau/Ulea dan para Olongia menjadi Raja Moutong ke-3 pada tahun 1822.

Raja Massu bergelar “Pua Lapakana Dede’I” (Raja Moutong ke-3, 1822-1874).

Massu muda adalah seorang pengembara yang senang berkunjung ke daerah-daerah disekitar wilayah kekuasaan ayahnya. Ia bahkan telah mandapat kepercayaan untuk mengadakan kunjungan persahabatan ke kerajaan-kerajaan tetangga. Kebiasaan ini tetap diteruskan ketika beliau diangkat menjadi Raja Moutong. Massu masih terus mengadakan perjalanan mengunjungi seluruh wilayah kekuasaannya. Wilayah Moutong pada saat itu meliputi Seluruh daerah Tomini, Una-una, Kepulauan Togean, Kepulauan Walea, sampi ke daerah Balantak.

Salah satu ‘hasil kunjungan’ dari Raja Massu adalah ditemukannya salah seorang kerabat dekatnya yang bernama Pua Lara; yang sebelumnya telah menikah dengan Lakaiyang (seorang keturunan Arajang Sendana) dan tinggal di Walea, telah ditinggalkan oleh suaminya. Pua Lara bersama tiga orang anaknya yang masih kecil kemudian di bawah ke Moutong.

Meski berstatus janda, namun Pua Lara ternyata masih memiliki daya tarik tersendiri bagi Raja Massu, terbukti dengan dinikahinya setelah beberapa lama tinggal di Moutong. Bahkan kemudian, Raja Massu membangun sebuah istana untuk istrinya tersebut yang dikenal dengan nama Istana Raja Besar. Perkawinan antara Raja Massu dengan Pua Lara ini melahirkan dua orang anak, yaitu seorang putra bernama Tombolotutu, dan seorang putri bernama Pa’e.

Kondisi Kerajaan Moutong pada masa pemerintahan Raja Massu, tidak berbeda jauh dengan kondisi kerajaan pada masa pemerintahan ayahnya. Para pedagang lokal dan asing masih terus menjalin hubungan dagang dengan penduduk setempat. Bahkan pada masa ini, pedagang- pedagang Bugis dan Mandar telah mengikutsertakan penyebar Agama Islam yang dikenal dengan sebutan Pandrita. Diantara para Pandrita yang terkenal adalah Pua Tarikati yang mengajarkan Agama Islam di Toribulu dan Lamakaraka di Olongia Siavu.

Dalam dokumen SEJARAH PEJUANG PARIGI MOUTONG (Halaman 86-95)