• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAJAAN-KERAJAAN PENDUKUNG KERAJAAN MOUTONG

Dalam dokumen SEJARAH PEJUANG PARIGI MOUTONG (Halaman 55-61)

SULAWESI TENGAH

B. KERAJAAN-KERAJAAN PENDUKUNG KERAJAAN MOUTONG

Kerajaan-Kerajaan yang mendukung perlawanan Tombolotutu kepada Belanda di Kerajaan Moutong adalah Kerajaan-Kerajaan kecil di

11 Sofyan B. Kambay, Sojol Melawan Belanda, Palu: tanpa Penerbit, 1992, hlm. 40.

12 Haliadi-Sadi, GERAKAN RAKYAT DI SOJOL: Kaleolangi dan Sebuah Gerakan Sosial, Makalah dipresentasikan di Bou Sojol dalam Sosialisasi Sumber sejarah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007, hal. 6.

dekatnya seperti dukungan kuat dari Kerajaan Sojol dan Kerajaan Togean.

Kerajaan Sojol adalah sebuah kerajaan di leher Pulau Sulawesi di sebelah bagian barat, sedangkan Kerajaan Togean adalah sebuah kerajaan di Pulau-Pulau Togean yang ada di dalam teluk Tomini Provinsi Sulawesi Tengah. Kedua kerajaan ini memiliki relasi yang baik dengan kerajaan Moutong karena raja-raja yang pernah berkuasa di kedua daerah ini juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Moutong.

Gerakan sosial di Sulawesi Tengah sejak zaman kolonial Belanda hingga masa Hindia Belanda bahkan jauh pada pasca kolonial dan juga sekarang ini mengalami banyak variasi dari segi sumber gerakan, jenis gerakan, dan arah atau tujuan gerakannya. Gerakan Olongia Kaleolani di wilayah Sojol pada paruh awal abad ke-20 menjadi salah satu bukti bahwa gerakan sosial di Sulawesi Tengah menjadi salah satu fenomena penting dalam historiografinya. Istilah gerakan sengaja digunakan dalam makalah ini karena gerakan merupakan suatu istilah yang netral yang mirip dengan istilah perjungan untuk membebaskan diri dari sebuah belenggu. Gerakan yang dilakukan oleh Olongia Kaleolangi dan Singalam di Sojol merupakan akibat dari adanya perjanjian pendek (korte verklaring) dan dianggap sebagai sempalan gerakan yang dilakukan oleh Tombolotutu di Moutong. Gerakan sosial di awal abad ke-20 di Sulawesi Tengah menjadi semacam gerakan endemik untuk melawan kekuasaan yang baru diperkenalkan dan diterapkan oleh Hindia Belanda di Sulawesi Tengah.13

Substansi gerakan Kaleolangi di Sojol terjadi pada tahun 1903-1904 dengan melibatkan rakyatnya hingga daerah tetanggaya untuk melawan Hindia Belanda yang telah menguasai Kerajaan Banawa dan kerajaan- kerajaan besar di Sulawesi Tengah. Pada awal bulan puasa atau sehari sebelum bulan puasa diperkirakan waktu dini hari, Belanda dengan kapal perangnya merapat di Bou dengan sasaran yang sudah jelas yakni

13 Koloniaal Verslag over het jaar 1905, 1906-1907,1908, Manado; baca juga: Laporan Residen Manado, tanggal 29 Juli 1908, dimuat juga dalam Missives Gouvernement Secretaris tanggal 23 Septemeber 1907 Nomor 2605, dan tanggal 7 April 1908 Nomor. 1014.

rumah dari Kaleolangi. Belanda dalam menghindari kontak senjata dengan masyarakat diupayakan untuk menangkap pemimpinnya yang dianggap sebagai penyebab dari sebuah perlawanan. Pada saat Kaleolangi selesai melaksanakan shalat subuh, dengan tidak ada perlawanan dari Kaleolangidapat ditangkap secara cepat. Kaleoangi tidak melakukan perlawanan karena menjaga ketentraman dalam rumahnya dan menjaga keluarganya agar tidak ditangkap secara keseluruhan. Hal itu juga yang menjadi strategi Kaleolani dalam menjaga sebuah perjuangan, walaupun dia telah ditangkap namun masih ada yang melanjutkan perjuangannya dan hal itu terbukti kemudian karena yang melanjutkan adalah anaknya sendiri yang bernama Singalam. Kaleolangi dibawa ke atas kapal Belanda karena di atas kapal sudah terdapat Raja Banawa yang bernama Makagili untuk melunakkan hati Kaleolangi. Kaleoangi akhirnya diasingkan dari Banawa menuju Makassar, kemudian ke Batavia lalu ke Padang Pariaman Sumatera Utara. Menurut penulis, ada sebuah pelajaran yang diperlihatkan oleh Kaleolangi sebagai seorang pemimpin yakni menghadapi kenyataan dengan tenang dan tetap memperhatikan etika kemimpinan yang dipegangnya. Tidak serta merta memperlihatkan sesuatu yang gelisah, grasa-grusu, dan kemarahan, Beliau menghadapinya dengan tenang dan menerimanya dengan sebuah kepasrahan yang mengandung makna historis yang mendalam.14

Latar belakang keluarga Kaleolangi berasal dari keluarga bangsawan Sojol atau pemimpin kelompok masyarakat Sojol yang disebut Olongia.

Olongia merupakan pemimpin kelompok mayarakat yang disetarakan dengan Kabosenya di Poso, Mokole di Mori, Soosa di Banggai, Magau di Kaili yang ditafsirkan oleh Belanda nantinya sebagai seorang “RAJA.”

Kaleolangi sebagai Olongia di Sojol memiliki latar keluarga yang baik-baik.

Waktu kelahiran Kaleolangi belum ada yang tahu persis, namun pada saat penangkapannya beliau sudah berumur 60 tahun. Kaleolangi memiliki isteri yang bernama Dayang Sumadi yang berasal dari Sojol, sedangkan

14 Haliadi-Sadi, GERAKAN RAKYAT DI SOJOL: Kaleolangi dan Sebuah Gerakan Sosial, Makalah dipresentasikan di Bou Sojol dalam Sosialisasi Sumber sejarah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007, hal. 15.

orang tua Kaleolangi berasal dari Keluarga Lauje Tinombo dan Sojol.

Hasil perkawinan Kaleolangi melahirkan tiga orang anak masing-masing bernama Bidaraiya seorang perempuan, Kuntina seorang laki-laki, dan Singalam anak laki-laki Kaleolangi. Perjuangan Olongia Kaleolangi dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Singalam baik sebagai Olongia maupun sebagai pemimin perjuangan masyarakat Sojol.

Gerakan Kaleolangi di Sojol merupakan sempalan dari gerakan yang dilakukan oleh Tombolotutu yang bergelar Pua Darawati (Raja Moutong ke-4, 1877-1904) dari Kerajaan Moutong. Kerajaan Moutong melawan Belanda selama 12 tahun (1898-1904). Riwayat perlawanan Tombolotutu sebagaimana diuraikan bahwa sebagaimana yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, kedatangan bangsa Belanda di Pelabuhan Moutong pada awalnya menunjukkan sifat yang baik dan masih bersahabat. Namun, dalam perkembangannya setelah melihat adanya potensi yang besar pada daerah tersebut, maka secara perlahan pihak Belanda mulai menunjukkan tujuan yang sesungguhnya yaitu memonopoli perdagangan dan bahkan menguasai wilayah itu. Keinginan Belanda untuk menguasai wilayah Teluk Tomini telah nampak pada usaha untuk mendekati penguasa setempat dan mencoba menerapkan politik adu domba antar para penguasa-penguasa Olongiag dan Magau dengan Raja Moutong. Namun, usaha tersebut tidak memperoleh hasil yang memuaskan. Usaha lain kemudian dilakukan dengan cara melakukan pendekatan langsung ke Raja Moutong (Tombolotutu) agar bersedia untuk menjalin kerjasama melalui suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Panjang (Lange Contract). Selanjutnya, untuk menjamin kelangsungan Kerajaan Moutong beserta keluarga dan anak cucu Tombolotutu, Belanda membujuk Raja Tombolotutu untuk tunduk pada kekuasaan Mahkota Kerajaan Belanda dengan syarat Raja harus lebih dahulu menandatangani Perjanjian Pendek (Korte Verklaring). Namun, usaha-usaha tersebut tidak mempengaruhi pendirian Raja Tombolotutu untuk tetap menolak kerjasama dengan pihak Belanda.

Jaringan Gerakan Kaleolangi di Sojol dibantu oleh anaknya terutama Singalam dan kelompok sosial lainnya seperti Tinombo dan Tomini hingga

Sultan Mindanao. Gerakan rakyat Sojol dibantu oleh Sultan Mindanao dari segi pesenjataan terutama senapan dan meriam. Demikian juga Kaleolangi menggunakan jaringan keluarga dalam melakukan perlawanan, beliau orang Tinombo sehingga gerakan dia selalu melakukan kerjsama dengan orang-orang Tinombo atau orang yang membantu Tombolotutu dalam melakuka perlawanan terhadap Hindia Belanda. Perlu diuraikan disini bahwa persebaran Suku Lauje menurut persebaran bahasanya terdiri atas delapan dialek lauje, yakni: Lauje dialek Siafu (Bandar Tinombo), Lauje dialek Tialo (Tomini Moutong), Lauje dialek Tajio (Tinombo, Ampibabo, dan Malinopura Batusuya Sindue), Lauje dialek Ampibabo dan Pandau di Ampibabo dan Sirenja Balaesang, Lauje dialek Petapa dan Parigimpuu, Lauje dialek Dampelas Balaesang, Lauje dialek Sojol Dampal, dan Lauje dialek Tolitoli dan Buol.

Wacana yang dikembangkan oleh pengikut Kaleolangi terutama Singalam dan kelompoknya mengunakan prinsip-prinsip lokal yang berbnyi: “Pomuyange nya no gaade agama nya no alise e.” yang berarti bahwa: “daerah jangan diambil dan agama jangan dihapuskan.15 Kalau salah satu akan hilang, maka boleh ditempuh mati berdarah atas kebenaran tidak menyesal.” Prinsip tersebut kalau disimak secara seksama mengindikasikan bahwa nilai-nilai yang dikanungnya berasal dari nilai agama dan nilai budaya lokal sebagai sebuah etos kerja maupun etos perjuangan masyarakat Sojol. Singalam dalam melakukan pembenahan persiapan perlawanan mengatur kembali pemerintahan di Sojol dengan susunan: Olongia, Jogugu, Kapitanlau, Yukun, Madinu, dan Tadulako. Mereka kembali mempersiapkan peralatan perang seperti smpit, tombak, keris, parang, senapan, dan meriam. Pimpinan kelompok tentara Sojol dipimpin oleh masing-masing Kuntina, Borahima, dan Madupai. Taduako kerajaan dipercayakan pada Re eyo dan Djaru. Daerah tetangga membantu Singalam dengan mengutus tentaranya lengkap dengan pimpinannya atau tadulakonya seperti Tinombo mengutus tadulakonya yang bernama Lasamandang, Tomini

15 Sofyan B. Kambay, Sojol Melawan Belanda, Palu: tanpa Penerbit, 1992, hlm. 25.

mengutus tadulakonya yang bernama Tuan, dan Dondo mengutus tadulakonya yang bernama Polantap.

Persiapan tersebut, dilakukan oleh Singalam dalam melanjutkan perjangan ayahnya Kaleolangi. Penangkapan Olongia Kalelangi sebagai substansi kausalitas gerakan rakyat Sojol sebagai suatu gerakan sosial dilandasi oleh hubungan Kaleolangi dengan Raja Moutong Tombolotutu.

Hal itu, dibuktikan dengan pernyataan yang dinyatakan bahwa:

“Selain itu, Raja Tombolotutu juga sering mengunjungi seluruh Olongia, Magau, dan kerajaan-kerajaan tetangga, serta Olongia-Olongia tetangga dengan menggunakan perahu yang dikenal dengan nama ‘Naga-naga’.

Dengan perahu ini, Raja Tombolotutu mengawasi seluruh daerah kekuasaannya dan mengunjungi sahabatnya di negeri tetangga seperti Magau Vinono dari Parigi, Raja Makagili dari Banawa, Pua Joli (Malonda) dari Bale, Kaleolangi Olongiag Sojol, Raja Tojo, Magau Balaesang, dan Magau Dampelas.”

Perjanjian pendek yang dilakukan oleh Kerajaan Banawa menjadi penyebab gerakan rakyat Sojol dalam menentang Hindia Belanda.

Perjanjian ini terjadi pada tanggal 2 Mei 1988 Nomor 13 oleh La Makagili To Medoda Raja Banawa bersama Dewan adatnya menandatangan Long Contract (perjanjian panjang), demikian juga Raja Palu yan bernama Toma Siema menandatangani perjanjian yang sama. Inti dari perjanjian ini menjadi pemicu berubahnya sistem pemerintahan tradisional yang diakui secara turun temurun kepada sistem kekuasaan yang bersifat rasionalistik dan birokratis oleh pemerintahan Hindia Belanda.

Akibat dari tertangapnya Kaleolangi dan dibuang ke Padang Pariaman menjadi awal perlawanan Singalam terhadap Belanda. Belanda dalam melakukan persiapan untuk menghadapi masyarakat Sojol yang dipimpin oleh Singalam mengutus kapal perangnya dengan Kapten Berlgheit.

Serangan awal dilakukan pada awal tahun 1904 dengan kematian Kapten Belgheit di pihak Belanda dalam kontak senjata pertama dengan rakyat Sojol yang dipimpin oleh Tadulako Re Eyo. Kemudian, perang dilanjutkan oleh Belanda pada awal tahun 1905 dengan kekalahan yang dialami oleh masyarakat Sojol yang ditandai dengan penangkapan atas

Singalam, Borahima, Kuntina, dan Madupai. Singalam diasingkan ke Padang Sidempuan dan Sibolga. Kuntina diasingkan ke Batravia dan Teluk Betung. Madupai diasingkan ke Samarinda, dan Borahima diasingkan ke Manado. Dua orang yang sempat kembali ke Bou Sojol yakni Singalam dan Borahima, singalam wafat di Dongkas pada 27 Rajab 1368/1948 dan Borahima wafat di Bou pada tahun 1936.

Pada pihak Belanda tercatat bahwa pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke-20 salah seorang yag menjabat sebagai penguasa setempat (civiel Gezaghebber) atas nama Hindia Belanda di Onder Afdeeling Teluk Palu bernama W. H. Niels yang ditempatkan sejak tahun 1899 menggantian M. Muller dan W.H. Niels digantikan nantinya oleh C. Hissink tahun 1912 dan G.J. Hermans. Sedangkan, disekitar tahun-tahun akhir gerakan rakyat Sojol yang menjadi Asisten Residen di Onder Afdeeling Donggala bernama A.J.N. Engelenberg yang diangkat pada tahun 1905. Sedangkan onder Afdeling Poso dipegang oleh masing-masing F.H. Dumas (1898- 1901), A.J.N. Engelenberg (1901-1903), H.J. Voskuil (1903-1907) pada tahun 1898-1907. Nama-nama ini yang menjadi pengambil keputusan terhadap penanganan gerakan-gerakan maupun pengelolaan sistem pemerintan Hindia Belanda di Sulawesi Tengah atau Midden Celebes pada waktu itu.

C. OLONGIA: Sistem Kepemimpinan di Kerajaan Moutong

Dalam dokumen SEJARAH PEJUANG PARIGI MOUTONG (Halaman 55-61)