• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Tarjuman al-Mustafid

BAB III. BIOGRAFI ‘ABD AR-RAUF AS-SINGKILI DAN KITAB

B. Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid

9. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Tarjuman al-Mustafid

Setiap karya tentunya pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, diantara kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:

a. kelebihan tafsir Tarjumân al-Mustafîd 1) Selalu memulai dengan kata Basmalah.

2) Menjelaskan ayat-ayat secara berurutan dimulai dari surat Al- Fâtihah ditutup dengan surat An-Nâs.

3) Menjelaskan ayat-ayatnya dengan singkat, padat dan mudah dipahami, serta cocok bagi semua usia.

4) Sebelum menjelaskan ayat-ayatnya Abdurrauf terlebih dahulu memperkenalkan surat yang akan dijelaskan. Seperti nama surat, tempat turun dan juga fadilah membaca surat tersebut serta jumlah ayat dalam satu surat tersebut.

5) Penjelasan ayat terletak berdampingan dengan ayat, artinya penjelasan ayat dan ayat terletak dalam satu halaman yang sama, sehingga mempermudah bagi pembaca.

6) Setiap penjelasan diberi kode tersendiri sesuai dengan penjelasan yang akan dijelaskan, seperti menjelaskan tentang perbedaan

atau “bayan” di dalam kurung dan kata “wallahu’alam” pada penutup penjelasan bacaan imam qirâ`ât tersebut. Penjelasan mengenai sebab turun ayat biasanya diberi kode “qishoh” atau

“kata” di dalam kurung, dan lain sebagainya.

7) Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu-Jawi.54 b. Kekurangan dan kelemahan tafsir Tarjumân al-Mustafîd

1) Tidak membubuhkan muqoddimah pada awal kitab seperti kebanyakan kitab tafsir.

2) Tidak menjelaskan tentang sanad dan matan hadis ketika menjelaskan fadilah membaca surat tersebut yang dikutif dari Tafsir al-Baidhawi dan Manafi al-Qur`an sebagai pendukung Tarjumân al-Mustafîd.

3) Tidak menjelaskan tentang sanad dan matan hadis pada penjelasan asbab an-nûzul.

4) Ada indikasi yang mengatakan bahwa dalil-dalil yang dikutip dari tafsir al-Baghawi, tafsir al-Baidhawi, Manafi Al-Qur`an serta tafsir khazin banyak mengadopsi cerita-cerita israiliyyat.

5) Penggunaan pada tiga imam dalam perbedaan bacaan dan mengabaikan empat imam lainnya, memberikan kesan bahwa Abdurrauf as-Singkili hanya menggunakan jalur sanad-sanad yang terhubung padanya saja, sanad yang tidak tersambung tidak digunakan.

54 Suarni, “Karakteristik Tafsir Turjuman al-Mustafid”. Dalam Jurnal Substantia, Vol. 17 no. 2, 2015, h. 165

72

TERHADAP PENAFSIRAN

A. Ragam Qirâ`ât Sab’ah Dalam Tafsir Tarjumân Al-Mustafîd

Penjelasan yang penulis paparkan pada bab sebelumnya ketika

‘Abdurrauf mengungkapkan perbedaan qirâ`ât, ungkapan yang sering beliau gunakan adalah:

“(Faedah) pada menyatakan ikhtilaf segala qari yang tiga pada membaca ...

Maka Abu `Amr dan Nâfi` …. Dan Hafsh ….”

Ungkapan ‘Abû ‘Amr dan Nâfi di atas bisa menimbulkan kekeliruan.

untuk para pengkaji qirâ`ât yang hanya melihat sepintas dan belum memahami metodologi yang digunakan ‘Abdurrauf as-Singkili di dalam tafsir beliau. Mereka pasti akan menyangka, bahwa yang dimaksudkan dengan Nâfi` atau Abu `Amr adalah termasuk kedua perawi beliau yaitu Qalûn, Warsy dan ad-Dûri, as-Susi.

ب(

تئاي كم هلنيكمد يرود نأجب غتادنكا يكلا غيادف تبسرت ولكج )لومر هجوت تيا روهشم غي ئراق ماما لكس نراك رمع وبا ناد عفان ديرم جاب

فيت كم اوج -

روهشم غي ث ديرم اود تيئكيرم ادفرد غرؤس فيت

1

Terjemahan: “(Bermula) jikalau tersebut pada yang lagi akan datang bacaan Duri demikianlah, maka yaitu baca murid Nâfi` dan Abu ‘Amr karena segala imam qari’ yang masyhur itu tujuh jua maka tiap-tiap seorang daripada mereka itu dua muridnya yang masyhur”

Pada kutipan di atas ada sedikit kekeliruan pada kalimat “…Duri demikianlah maka yaitu baca murid Nâfi dan Abû ‘Amr….” Di sana tidak disebutkan siapa murid Imam Nâfi’ yang ada dalam tafsir ini. Akan tetapi

1 Abd ar-Rauf as-Singkili, Al-Qur`an al-Karim Wa Bihâmisyi Tarjuman al-Mustafid, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990) h. 2.

setelah membuat kajian dan perbandingan seperti contoh dalam QS. Tâhâ [20]: 75 berikut:

نَم َو ۦِهِتۡأَي ن ِم ۡؤُم َّٰىَلُعۡلٱ ُت ََّٰج َرَّدلٱ ُمُهَل َكِئَََّٰٰٓل ْوُأَف ِت ََّٰحِلََّّٰصلٱ َلِمَع ۡدَق ا

٥٧

Penjelasan qirâ`ât dalam tafsir Tarjumân Al-Mustafîd, “maka Abu `Amr dan Hafsh membaca dia dengan lanjut ha` nya. Dan Nâfi` membaca dia dengan singkat ha` nya”. Berdasarkan kutipan tersebut bahwa ‘Abdurrauf mengatakan bahwa Abu `Amr membaca lafaz

ۦ ِهِتۡأَي

dengan lanjut yaitu mad silah qasirah seperti bacaan Hafsh. Manakala Nâfi` dengan singkat yaitu tanpa mad. Apabila kita merujuk kepada Matan as-Syatibiyyah kita akan mendapati bahwa dalam qirâ`ât Imam Abu `Amr hanya riwayat ad-Dûri yang membaca dengan mad silah. Sedangkan perawi beliau yang kedua al- Susi, membacanya dengan men-sukun-kan ha`. Begitu juga bacaan dengan tanpa mad dalam qirâ`ât Imam Nâfi` hanya riwayat Qalûn saja yang membaca demikian. Sedangkan perawi Imam Nâfi` yang kedua yaitu Warsy membaca seperti riwayat Hafsh yaitu mad silah qasirah. Jelas daripada contoh ini dan kenyataan ‘Abdurrauf pada mukadimah di atas bahwa yang dimaksudkan dengan Nâfi’ dalam karya ini ialah perawinya Qalûn dan yang dimaksudkan dengan Abu `Amr ialah al-Duri. Ini berarti riwayat Warsy dan al-Susi tidak masuk dalam perbincangan karya ini.2

Dari pemaparan di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa kutipan di atas memberikan penjelasan metode penggunaan nama imam atau riwayat dalam tafsir ini. Kutipan di atas menjelaskan bahwa jika disebutkan nama Nâfi` yang beliau maksudkan adalah perawinya atau muridnya Imam Nâfi` yang bernama Qalûn. Demikian pula apabila disebutkan nama Abu `Amr maka yang beliau maksudkan adalah rawinya

2 Ahmad Fathoni, Kaidah Qira`at 1&2, (Jakarta: Yayasan Bengkel Metode Maisura, 2016) Jilid 1, Bab Ha’ Kinayah, h. 69

atau muridnya Imam Abû ‘Amr yang bernama ad-Dûri. Jadi, tidak termasuk perawinya Imam Nâfi` yang kedua yaitu Warsy dan perawinya Imam Abu

`Amr yang kedua yaitu as-Susi.

Demikianlah, dari empat belas riwayat dari Imam Qirâ`ât Sab’ah Tarjumân Al-Mustafîd hanya menampilkan tiga macam riwayat qirâ`ât saja.

Tiga riwayat qirâ`ât tersebut adalah:

1. Riwayat Qalûn dari Imam Nâfi`

2. Riwayat ad-Dûri dari Imam Abu `Amr 3. Riwayat Hafsh dari Imam ‘Âsim

‘Abdurrauf as-Singkili tidak menyatakan di dalam karya ini sebab pemilihan tiga riwayat ini. Kemungkinan besar sebab pemilihan tiga riwayat ini adalah karena tiga qirâ`ât ini merupakan qirâ`ât yang masih ramai pembacanya di negara-negara Islam. Dan jika kita melihat berapa lama beliau belajar di negeri Arab, kemungkinan besar beliau memiliki sanad pada tiga riwayat ini.

B. Pengaruh Perbedaan Qirâ`ât Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat yang Mengandung Farsy al-hurûf

1. Kaidah Umum dan Farsy al-hurûf

Kaidah Umum atau Kaidah Ushuliyyah (

ُةَّيِل ْوُص ُلاا ُةَدِعاَقلا

) adalah

suatu kaidah yang menjelaskan bacaan Imam Qirâ`ât pada suatu hukum bacaan yang dapat diberlakukan di semua tempat dalam Al-Qur`an, misalnya kaidah hukum Mim Jama’, Mad Munfasil dan lain-lain.

Berbeda dengan Farsy al-hurûf (

ِف ُرُحْلا ُش ْرَف

) biasanya disebut Kaidah Khusus, yakni suatu kaidah yang menjelaskan bacaan lafaz tertentu oleh Imam Qirâ`ât sab’ah pada ayat-ayat dan surat tertentu pula. Dengan demikian kaidah ini akan tersebar di setiap surat-surat dalam Al-Qur`an, misalnya kaidah bacaan lafaz

ِكِلَم

pada surat Al-Fâtihah oleh Imam yang

Tujuh hanyalah boleh diberlakukan pada surat Al-Fâtihah saja, tidak boleh diberlakukan pada lafaz

ِكِلَم

dalam surat An-Nâs.3

Seperti yang kita telah ketahui bahwa ragam qirâ`ât terkait atas dua hal, pertama teknik pengucapan lafaz yang menyangkut dialek kebahasaan. Kedua yang menyangkut dengan substansi lafaz.4

Ragam qirâ`ât yang terkait dengan teknis pengucapan lafaz yang menyangkut dialek kebahasaan tidak akan menjadi pengaruh terhadap makna lafaz tersebut, contohnya seperti kata

تا وﻄﺧ

QS. Al-Baqarah [2]:

168 dapat dibaca dengan men-dhamah-kan tha`-nya

ِتا َوُﻄُﺧ

atau bisa dibaca dengan men-sukun-kan tha’ nya

ِتِا َوْﻄُﺧ

keduanya sama-sama berarti jejak.5 Sedangkan qirâ`ât yang terkait dengan substansi lafaz itu terbagi menjadi dua, yang tidak berpengaruh dan yang berpengaruh.

Contoh qirâ`ât terkait subtansi lafaz yang tidak berpengaruh seperti

نهوسمتنأ

QS. Al-Ahzab [33]: 49 dapat dibaca

َّنُه ْوُّسَمَتْن َأ

atau dibaca dengan

َّنُه ْوُّساَمُتْن َأ

kedua qirâ`ât tersebut memiliki makna yang sama yaitu sebelum engkau mencampurinya, yakni menggauli isteri.6 Contoh qirâ`ât terkait subtansi lafaz yang berpengaruh seperti

نرهﻄي

dalam QS. Al-Baqarah [2]:

222 dapat dibaca dengan men-Sukun tha`dan men-dhomah-kan ha` serta membaca takhfif

َن ْرُهْﻄ َي

yang artinya perempuan yang sudah suci dari

3 Ahmad Fathoni, Kaidah Qira`at 1&2, Jilid 2, h. 159.

4 Hasanuddin AF., Perbedaan Qiro`at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam

Al-Qur`an, (Jakarta: Rajawali Press, 1995) h. 150. Dikutip oleh Muhammad Alaika Nashrulloh,

“Perbedaan Qirâ`ât dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran Al-Qur`an Studi Qirâ`ât Sab’ah Pada Tafsir Al-Mishbah Karya Muhammad Quraish Shihab”, Tesis Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2011. Tidak Diterbitkan (t.d). h. 81

5 Kalid bin Muhammad al-Hâfiz dan Sayid Lasyain Abu al-Farah, Taqrîbul Ma’âni fî Syarah Hirz al-Amâni fî al-Qirâ`ât as-Sab’, (Madinah: Dâr az-Zamân, 2003), h.197

6 Muhammad Alaika Nashrulloh, “Perbedaan Qirâ`ât dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran Al-Qur`an Studi Qirâ`ât Sab’ah Pada Tafsir Al-Mishbah Karya Muhammad Quraish Shihab”, Tesis Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2011.

Tidak Diterbitkan (t.d). h. 81

haidnya. Atau dibaca dengan fathah tha` dan Ha` dan men-tasydid-kan keduanya

َن ْرَّه َّﻄَي

artinya perempuan yang sudah suci dari haid dan mandi junub.7

Berdasarkan pemaparan di atas maka penelitian ini secara spesifik dipusatkan pada keanekaragaman qirâ`ât yang digunakan oleh ‘Abdurrauf sebagai alat untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an dalam kitab beliau yakni Tafsir Tarjumân Al-Mustafîd, penelitian ini akan difokuskan hanya pada perbedaan qirâ`ât yang terkait dengan substansi lafaz yang berpengaruh kepada pemahaman maknanya.

2. Contoh Farsy al-hurûf dalam Al-Qur`an

Uraian perbedaan qirâ`ât dalam Turjuman al-Mustafid kebanyakan dalam bentuk farsy al-hurûf. Sedangkan kaidah umum ketiga perawi (Qalûn, ad-Dûri dan Hafsh) kurang dipaparkan oleh beliau. Sub bab kedua ini penulis akan menjelaskan contoh-contoh farsy al-hurûf yang terdapat dalam beberapa surat dalam Al-Qur`an.

a. QS. Al-Fâtihah [1]:4

ِكِل ََّٰم ِنيِ دلٱ ِم ۡوَي

٤

) hah [1]:4 Fâti

- QS. Al di Hari Pembalasan”(

sai Yang mengua

1) Keterangan qirâ`ât beserta maknanya.8

Pada ayat di atas lafaz

كلم

mengandung perbedaan bacaan yang mana dari perbedaan bacaan itu juga memunculkan perbedaan makna atau pemahaman terhadap lafaz tersebut.

7 Kalid bin Muhammad al-Hâfiz dan Sayid Lasyain Abu al-Farah, Taqrîbul Ma’âni fî Syarah Hirz al-Amâni fî al-Qirâ`ât as-Sab’, h. 201

8 Kalid bin Muhammad al-Hâfiz dan Sayid Lasyain Abu al-Farah, Taqrîbul Ma’âni fî Syarah Hirz al-Amâni fî al-Qirâ`ât as-Sab’, h.42

Jika lafaz

كلم

dibaca dengan memakai alif setelah mim

(

ِكِل َما

) maka artinya adalah yang menguasai, yang mempunyai atau

pemilik. Ini merupakan bacaan Imam ‘Âsim dan Al-Kisâ`I.

Sebagaimana dalam ayat berikut:

ُءَٰٓاَشَت نَم َكۡلُمۡلٱ يِت ۡؤُت ِكۡلُمۡلٱ َكِل ََّٰم َّمُهَّللٱ ِلُق

….

“Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki….” (QS.

Al-Imrân [3]: 26).

Jika lafaz dibaca dengan tidak menetapkan alif setelah mim

(

ِكِلَم

) maka memiliki arti raja. Ini merupakan riwayat bacaan Imam

Nâfi’, Ibnu Katsîr, Abû ‘Amr, Ibnu ‘Âmir dan Hamzah.

Di dalam Tafsir Al-Mishbah dikatakan, Mâlik yang biasa diterjemakan dengan Raja adalah yang menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah dan pencabutan dan karena itu biasanya kerajaan terarah kepada manusia dan tidak kepada barang yang sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan. Seorang Pemilik, belum tentu seorang Raja. Di sisi lain kepemilikan seorang Raja biasanya melebihi kepemilikan yang bukan Raja.

Disamping itu ada raja yang wewenangnya lebih rendah dari pemilik kekuasaan yang lain. Raja dalam satu negara demokrasi boleh jadi hanya lambang, sedang kekuasaan dilimpahkan oleh rakyat kepada pemerintah yang dipimpin oleh seorang eksekutif atau perdana menteri.9

2) Penafsiran dalam kitab tafsir Tarjumân Al-Mustafîd

Dalam kitab tafsir Tarjumân Al-Mustafîd ‘Abdurrauf menulis sebagai berikut:

9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 1, h. 42

ِنيِ دلا ِم ْوَي ِكِلاَم ) نكاتيم ادف )ةدئاف(ةميق يراه ادف نكهتنرمم غي جار (

ناد رمع وبا كم كلم جابمم ادف كيت غي ئراق لكس اراتنا فلاتﺧا فلا نغد صفح ناد فلا دايت نغد كلم جابمم ستا ثاودك قافتا عفان نأجركف لكس يئايفمم غي نهوت فلا نغد جابد لكتت ثانعم هلدا كم يراه .ةميق

10

Terjemahan:

ِنيِ دلٱ ِم ْوَي ِكِل َما

raja yang memerintahkan pada hari kiamat. (Faidah) pada menyatakan ikhtilaf antara segala qari yang tiga, pada membaca

كلم

maka adapun Abû ‘Amr dan Nâfi’ ittifaq keduannya atas membaca

ِكِلَم

dengan tiada alif dan Hafsh dengan alif (

ِكِل اَم

), maka adalah maknanya tatkala dibaca dengan alif, tuhan yang mempunyai segala pekerjaan hari kiamat.

Penafsiran dan keterangan ‘Abdurrauf as-Singkili di atas mengindikasikan bahwa beliau menggunaan perbedaan qirâ`ât yang ada untuk menafsirkan makna lafadz terkait, dilihat dari penafsiran beliau terhadap QS. Al-Fâtihah [1]:4 yaitu “Raja yang memerintahkan pada hari kiamat.” maka beliau cenderung menggunakan qirâ`ât yang tidak menetapkan alif setelah mim yakni

ِكِلَم

.

b. QS. Al-Baqarah [2]: 22211

ۡسَي َو ِۖي ِحَمۡلٱ ِنَع َكَنوُل ذَأ َوُه ۡلُق

ِۖي ِحَمۡلٱ يِف َءَٰٓاَسِ نلٱ ْاوُل ِزَت ۡعٱَف ى

َّٰىَّتَح َّنُهوُب َرۡقَت َلا َو َن ۡرُه ۡﻄَي

ُمُك َرَمَأ ُثۡيَح ۡنِم َّنُهوُتۡأَف َن ۡرَّهَﻄَت اَذِإَف

ُّب ِحُي َو َنيِب ََّّٰوَّتلٱ ُّب ِحُي َهَّللٱ َّنِإ ُُۚهَّللٱ َني ِرِ هَﻄَتُمۡلٱ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan

10 Abd ar-Rauf as-Singkili, Al-Qur`an al-Karim Wa Bihâmisyi Tarjuman al-Mustafid, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990) h. 2. Dalam hal penulisan kembali teks asli dari tafsir Tarjuman al- Mustafid ada beberapa bentuk huruf yang tidak dapat dituliskan dan untuk lebih jelasnya mengenai tulisan teks yang sebenarnya silahkan merujuk kembali pada lampiran.

11 Kalid bin Muhammad al-Hâfiz dan Sayid Lasyain Abu al-Farah, Taqrîbul Ma’âni fî Syarah Hirz al-Amâni fî al-Qirâ`ât as-Sab’, h. 201

diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS.

Al-Baqarah [2]: 222)

1) Keterangan qirâ`ât beserta maknanya

Pada ayat di atas lafaz

َن ۡرُه ۡﻄَي

mengandung perbedaan bacaan yang mana dari perbedaan bacaan itu juga memunculkan perbedaan makna atau pemahaman terhadap lafaz tersebut.

Imam Nâfi’, Ibnu Katsir, Abû ‘Amr, Ibnu Amir dan ‘Âsim riwayat Hafsh membaca dengan men-Sukun tha`dan men-dhomah- kan ha` serta membaca takhfif yakni

َن ۡرُه ۡﻄَي

berarti suami boleh bergaul dengan isterinya sesudah darah haid berhenti. Diantara yang berpendapat demikian adalah Mujâhid dan 'Ikrimah.

Imam ‘Âsim riwayat Syu’bah, Hamzah, dan Al-Kisa`I membaca dengan fathah tha` dan Ha` dan men-tasydid-kan keduanya yakni dibaca

َن ۡرَّه َّﻄَي

berarti suami boleh menggauli isterinya setelah terputus darah haid dan telah bersuci (mandi junub).

Hanya saja terjadi perbedaan terhadap maksud bersuci, yaitu:

pertama, Mandi junub. Kedua, Wudhu`. Ketiga Membasuh kemaluan saja.12 Menurut Quraish Shihab yang kedua ini berarti amat suci, yakni mandi setelah haidnya berhenti. Tentu saja yang kedua lebih ketat dari yang pertama, dan agaknya ini lebih baik dan memang lebih suci. Apabila mereka telah suci (bersuci), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kamu.13

2) Penafsiran dalam kitab tafsir Tarjumân Al-Mustafîd

12 Abû Ja’far Ibn Jarîr at-Thabari, Tafsir at-Thabari, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1999), Jilid. 2, Cet. 3, h. 398

13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, h. 479

… ( ُق ْل َو ُه َأ ذ َف ى ْعا ِز َت ِ نلا او ُل َءا َس

َملا ي ِف ِح ِۖ ْي َو َلا َت َر ْق ْو ُب ُه َح َّن َّت ي

َي ُه ْﻄ ْر َن ماكهلوا نكلكغيت كم ىدنكا يتاولد تيا ۖيح مهلوا تاك )

رفمه نغاج ناد تيا ۖيح سامدف نوفمرف لكس يطاوغم دفرد نغد تيئكيرم جوس ئكغيه ىطاو نغد تيئكيرم يدنم

.

14

Terjemahan:

)... َءا َس ِ نلا او ُل ِز َت ْعا َف ى ذ َأ َو ُه ْل ُق (

kata olehmu haid itu dilewati akan dia maka tinggalkan olehmu daripada mengwathi (mendukhul) segala perempuan pada masa haid itu dan jangan hampiri mereka itu dengan wathi (sejenis jima’) hingga suci mereka itu dengan mandi.

Pada penjelasan QS. Al-Baqarah [2]: 222 di atas ‘Abdurrauf as- Singkili tidak mencantumkan sama sekali pembahasan tentang qirâ`ât. Dilihat dari penafsiran beliau terhadap lafaz

نرهﻄي يتح

dengan “hingga suci mereka itu dengan mandi” berarti beliau menafsirkan menggunakan qirâ`ât versi pertama yakni membaca dengan men-Sukun tha`dan men-dhomah-kan ha` serta membaca takhfif yakni

َن ۡرُه ۡﻄَي.

c. QS. Al-Baqarah [2]: 259.15

يِذَّلٱَك ۡوَأ ةَي ۡرَق َّٰىَلَع َّرَم

َلاَق اَهِشو ُرُع َّٰىَلَع ٌةَيِواَﺧ َيِه َو ِهِذ ََّٰه ۦِي ۡحُي َّٰىَّنَأ

ِم ُهَّللٱ ُهَتاَمَأَف اَهِت ۡوَم َدۡعَب ُهَّللٱ ماَع َةَئْا

َل َلاَق َتۡثِبَل ۡمَك َلاَق ۥُهَثَعَب َّمُث ا م ۡوَي ُتۡثِب

م ۡوَي َۖ ۡعَب ۡوَأ َتۡثِبَّل لَب َلاَق

ماَع َةَئْا ِم ۡمَل َكِبا َرَش َو َكِماَعَط َّٰىَلِإ ۡرُظنٱَف

ۡهَّنَسَتَي َّٰىَلِإ ۡرُظنٱ َو ةَياَء َكَلَع ۡجَنِل َو َك ِراَم ِح

َف ۡيَك ِماَظِعۡلٱ ىَلِإ ۡرُظنٱ َو ِساَّنلِ ل

14 Abd ar-Rauf as-Singkili, Al-Qur`an al-Karim Wa Bihâmisyi Tarjuman al-Mustafid, h. 36

15 Kalid bin Muhammad al-Hâfiz dan Sayid Lasyain Abu al-Farah, Taqrîbul Ma’âni fî Syarah Hirz al-Amâni fî al-Qirâ`ât as-Sab’, h. 204

اَه ُزِشنُن َم ۡحَل اَهوُس ۡكَن َّمُث

َهَّللٱ َّنَأ ُمَل ۡعَأ َلاَق ۥُهَل َنَّيَبَت اَّمَلَف ُۚا ء ۡيَش ِ لُك َّٰىَلَع

ِدَق ُري

“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata:

"Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?"

Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata:

"Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS. Al- Baqarah [2]: 259)

1) Keterangan qirâ`ât beserta maknanya

Lafaz yang bergaris bawah di atas dapat dibaca dengan dua bentuk yaitu:

Imam Ibnu ‘Amîr, ‘Âsim, Hamzah dan Al-Kisa`I membaca dengan huruf zai`

اَه ُزِشنُن

maka bermakna kami mengangkatnya dari dalam bumi kemudian kami menyusunnya kembali seperti semula.

Imam Nâfi’, Ibnu Katsir, Abû ‘Amr membca dengan huruf ra’.

Ketika dibaca dengan huruf ra’

اَه ُرِشنُن

maka bermakna menghidupkan kembali.16

2) Penafsiran dalam kitab tafsir Tarjumân Al-Mustafîd

Dalam Tafsir Turjuman al-Mustafid ‘Abdurrauf menulis sebagai berikut:

16 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syariah, Manhaj, (Jakarta: Gema Insani, 2013), Jilid. 2, h. 59

...

ۡيَك ِماَظِعۡلٱ ىَلِإ ۡرُظنٱ َو ( َه ُزِشنُن َف

ُۚاَم ۡحَل اَهوُس ۡكَن َّمُث ا مهلوأ كليت ناد )

يماك كم نيدومك يدنكا نكفوديه يماك افتب تيا وميادلك غلوت دفك غكاد يدنكا نكيكاف ...

ئراق لكس اراتنا فلاتﺧا نكاتيم ادف )ةدئاف(

كيت غي ستأ ثاودك قافتا ورمع وبأ ناد عفان اكم تيا اهزشنن جبمم

دجبمم صفح ناد ار نغد يدجبمم لكتت ثانعم هلدا كم ياز نغد ي

نغد جبد .ملعا هللاو يدنكا نكقرك يماك افتب ياز

17

Terjemahan:

اَم ۡحَل اَهوُس ۡكَن َّمُث اَه ُزِشنُن َفۡيَك ِماَظِعۡلٱ ىَلِإ ۡرُظنٱ َو

Dan tilik olehmu kepada tulang keledaimu itu betapa kami hidupkan akan dia kemudian maka kami pakaikan akan dia daging. (Faidah) Pada menyatakan ikhtilaf antara segala qari yang tiga membaca

اهزشنن

itu maka Nâfi’ dan Abû ‘Amr ittifaq keduanya atas membaca dia dengan ra’ dan Hafsh membaca dia dengan zai maka adalah maknanya tatkala dibaca dengan zai betapa kami gerakkan dia.

Penafsiran dan keterangan ‘Abdurrauf as-Singkili di atas mengindikasikan bahwa beliau menggunaan perbedaan qirâ`ât yang ada untuk menafsirkan makna lafadz terkait, dilihat dari penafsiran beliau terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 259 yaitu “kami hidupkan akan dia kemudian maka kami pakaikan akan dia daging” maka beliau cenderung menggunakan riwayat qirâ`ât yang membaca dengan huruf ra’ yakni

اهرشنن

.

d. QS. An-Nisa [4]: 2518

اَّم نِمَف ِتََّٰنِم ۡؤُمۡلٱ ِتََّٰنَص ۡحُمۡلٱ َحِكنَي نَأ لا ۡوَط ۡمُكنِم ۡعِﻄَت ۡسَي ۡمَّل نَم َو ِإِب ُمَل ۡعَأ ُهَّللٱ َو ُِۚتََّٰنِم ۡؤُمۡلٱ ُمُكِتََّٰيَتَف نِ م مُكُن ََّٰمۡيَأ ۡتَكَلَم ۢن ِ م مُكُض ۡعَب ُۚمُكِن ََّٰمي

17 Abd ar-Rauf as-Singkili, Al-Qur`an al-Karim Wa Bihâmisyi Tarjuman al-Mustafid, h. 44

18 Kalid bin Muhammad al-Hâfiz dan Sayid Lasyain Abu al-Farah, Taqrîbul Ma’âni fî Syarah Hirz al-Amâni fî al-Qirâ`ât as-Sab’, h. 229

ُۚ ۖ ۡعَب ِإِب َّنُهوُحِكنٱَف

ِفو ُر ۡعَمۡلٱِب َّنُه َروُجُأ َّنُهوُتاَء َو َّنِهِل ۡهَأ ِنۡذ

ِت ََّٰحِف ََّٰسُم َر ۡيَغ تََّٰنَص ۡحُم ِتََّٰذ ِخَّتُم َلا َو

ُْۚناَد ۡﺧَأ َّن ِص ۡحُأ َٰٓاَذِإَف

َن ۡيَتَأ ۡنِإَف

ةَش ِحََّٰفِب َيِشَﺧ ۡنَمِل َكِلََّٰذ ُِۚباَذَعۡلٱ َنِم ِتََّٰنَص ۡحُمۡلٱ ىَلَع اَم ُف ۡصِن َّنِهۡيَلَعَف

ْاو ُرِب ۡصَت نَأ َو ُۚۡمُكنِم َتَنَع ۡلٱ ر ۡيَﺧ

ُهَّللٱ َو ۡۗۡمُكَّل ٌروُفَغ

ٌمي ِح َّر

“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak- budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;

sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa [4]: 25)

1) Keterangan qirâ`ât beserta maknanya

Lafaz yang bergaris bawah di atas bisa dibaca dengan dua bentuk yaitu:

Imam ‘Âsim riwayat Hafsh, Ibnu Katsir, Abû ‘Amr, Ibni Amir dan Nâfi’ membaca dengan men-dhomah-kan hamzah dan meng- kashrah-kan shad

َّن ِص ۡحُأ َٰٓاَذِإَف

. Menurut Ibn 'Abbaâs, bila dibaca demikian maka maksudnya adalah menikah.

Imam Hamzah dan Al-Kisa’I membaca dengan mem-fathah- kan hamzah dan shad

َّنَص ۡح َأ َٰٓاَذِإَف

. Menurut beberapa mufassir seperti

Dokumen terkait