Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak‐hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi yang sangat luas ini menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan masalah multi dimensional. Untuk itu Spicker (2006) mengelompokkan berbagai definisi kemiskinan dari kalangan ahli di dunia barat tersebut dalam 4 kluster besar sebagaimana tertera di bawah ini:
a. Kemiskinan sebagai konsep material
Kemiskinan konteks ini berbicara tentang tiga hal yakni (1) ketidakmampuan untuk memenuhi sejumlah kebutuhan dasar, (2) adanya pola kekurangan fisik dan mental yang parah, dan (3) kondisi kekurangan tersebut diakibatkan oleh terbatasnya sumber daya
b. Kemiskinan sebagai keadaan ekonomi
Dalam kluster ini kemiskinan dihubungkan dengan tiga hal yakni (1) adanya suatu standar kehidupan tertentu yang menentukan seseorang miskin atau tidak, (2) ketidaksetaraan (inequality) dimana orang miskin dianggap tidak setara dibandingkan dengan orang lainnya dan (3) posisi ekonomi atau kepemilikan sumber daya yang berbeda menjadi indikator untuk menentukan posisi sosial seseorang atau kelompok.
c. Kemiskinan sebagai keadaan sosial
Kemiskinan sebagai keadaan sosial ini berhubungan dengan (1) pengelompokkan berdasarkan status sosial / kelas sosial, (2) ketergantungan kepada pihak lainnya, (3) kekurangan rasa aman yang mendasar, (4) kekurangan kemampuan untuk menikmati hak (entitlement) yang mendasar dan (5) pengabaian (exclusion) untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan normal.
d. Kemiskinan sebagai sebuah penilaian moral
Kemiskinan merupakan suatu hal yang membawa implikasi dan kewajiban moral bahwa sesuatu harus dilakukan untuk meresponi kondisi kemiskinan tersebut. Jadi bila kita mendeskripsikan seseorang atau sekelompok orang miskin maka ini berimplikasi bahwa harus ada sesuatu yang dilakukan terhadap kelompok orang miskin tersebut. Maka kemiskinan merupakan kondisi kesulitan yang tidak bisa diterima (unacceptable hardship).
Di Indonesia, acuan yang digunakan adalah sesuai dengan kriteria Biro Pusat Statistik dimana kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar baik makanan maupun bukan makanan.
Standar ini disebut garis kemiskinan, yakni sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2,100 kalori energi per kapita per hari, ditambah nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok. Sementara itu secara internasional umumnya digunakan acuan Bank Dunia yang menetapkan kemiskinan absolut atau mutlak adalah hidup dengan pendapatan di bawah 1 USD per hari. Cara pengukuran yang merujuk kepada suatu standar garis kemiskinan ini disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Sementara kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat pendapatan pihak lainnya (Sumodiningrat, Santoso, & Maiwan, 1999, p. 3).
Di samping itu Setiadi dan Kolip (2011) menyebutkan bahwa terdapat bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab dan asal mula kemiskinan yakni (1) kemiskinan alamiah yakni kondisi miskin karena tidak memiliki sumber daya alam dan manusia yang memadai maupun disebabkan oleh faktor alami seperti cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam (2) kemiskinan struktural yakni kemiskinan yang terjadi karena faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi asset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi yang cenderung menguntungkan kelompok tertentu dan (3) kemiskinan kultural yang mengacu kepada sikap dan gaya hidup seperti malas, tidak disiplin dan boros.
Lewis dalam Suparlan (1993, p. 5) menambahkan bahwa kemiskinan kultural cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi sebagai berikut (1) sistem ekonomi dan produksi yang berorientasi pada keuntungan (2) tingginya tingkat pengangguran bagi tenaga tidak trampil (3) rendahnya upah buruh (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah untuk meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral serta (6) kuatnya nilai-nilai pada kelompok kelas yang berkuasa yang menekankan pada penumpukan harta kekayaan dan adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil dari ketidaksanggupan pribadi atau pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. Adapun ciri-ciri dari pengaruh kemiskinan kultural ini pada warga miskin menurut Lewis adalah (1) kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin terhadap lembaga masyarakat karena perasaan ketakutan, kecurigaan maupun apatis (2) pada tingkat komunitas lokal, secara fisik ditemui di pemukiman padat, penuh sesak dan kumuh dan rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti (3) pada tingkat keluarga, ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurangnya pengasuhan oleh orangtua, hidup bersama atau kawin bersyarat, dan kecenderungan ke arah keluarga matrilineal (4) pada tingkat individu , ciri-ciri yang utama adalah kuatnya perasaan tak berharga, tak berdaya, ketergantungan dan rendah diri.
Matriks berikut menunjukkan dimensi dan karakteristik kemiskinan di perkotaan
Tabel 2.1 Dimensi dan Karakteristik Kemiskinan di Perkotaan
Dimensi Karakteristik
Pendapatan tidak memadai - Mengakibatkan konsumsi kebutuhan pokok yang tidak memadai
- Masalah hutang dengan bunga tinggi Kepemilikan asset yang tidak
memadai, tidak stabil atau beresiko
- Asset termasuk material dan non material (perumahan, pendidikan, dll)
- Asset perorangan, rumahtangga dan komunitas
Perumahan yang tidak memadai - Kualitas buruk
- Kepadatan tinggi - Lingkungan tidak aman Prasarana infrastructure yang tidak
memadai
- Pipa air minum, sanitasi, drainase, pembuangan sampah, jalan dan trotoar, listrik Pelayanan publik dasar yang tidak
memadai
- Layanan pendidikan, kesehatan, transportasi - Pelayanan kondisi darurat
- Penegakan hukum, akte tanah - Akses micro finance
Jaring Pengaman Sosial Terbatas - Akses terbatas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, makanan, dll
Perlindungan hukum bagi kelompok miskin tidak memadai
- Hak politik dan sipil
- Perlindungan terhadap diskriminasi dan eksploitasi
- Perlindungan terhadap tindakan kekerasan dan kriminilitas
Kurangnya perwakilan dan suara politik
- Sedikit atau tidak ada kemungkinan memperoleh hak, mengajukan tuntutan, mendapatkan kesempatan yang adil atau respon yang memadai
- Tidak adanya perangkat untuk memastikan akuntabilitas dari instansi pemerintah, LSM, badan bantuan dan swasta
Sumber : Satterthwaite, 2001, 137 - 157
Kondisi kemiskinan tersebut tentu saja membutuhkan upaya penanggulangan secara konseptual, di mana menurut Wrihatnolo (2007, p. 33-34) ada empat jalur strategi pelaksanaannya yakni (1) perluasan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar dan peningkatan taraf hidup berkelanjutan lewat penciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang mendukung (2) pemberdayaan masyarakat melalui upaya penguatan kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat serta memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar (3) peningkatan kapasitas yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan (4) perlindungan sosial untuk memberikan rasa aman
dan perlindungan bagi kelompok rentan (perempuan kepala rumah tangga,fakir miskin, orang jompo, anak terlantar dan penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial.
Untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan tersebut maka menurut Kartasasmita (1996) diperlukan adanya kebijakan penanggulangan kemiskinan baik yang sifatnya tidak langsung, yakni kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan yakni adanya stabilitas ekonomi, sosial dan politik dan kebijakan ini erat hubungannya dengan strategi pertama penanggulangan kemiskinan yakni adanya perluasan kesempatan. Yang berikutnya adalah adanya kebijakan yang ditujukan langsung kepada golongan masyarakat berpenghasilan rendah agar terjadi perbaikan pada kondisi kehidupan mereka melalui tersedianya program pembangunan sektoral untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Kebijakan ini berkaitan dengan strategi perluasan kesempatan maupun strategi perlindungan sosial. Sementara untuk menjamin kelancaran terhadap pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut maka perlu tersedia kebijakan khusus untuk mempersiapkan masyarakat miskin itu sendiri maupun aparat yang bertanggungjawab langsung terhadap kelancaran program melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan yang konsisten dan berkesinambungan.