• Tidak ada hasil yang ditemukan

dan perlindungan bagi kelompok rentan (perempuan kepala rumah tangga,fakir miskin, orang jompo, anak terlantar dan penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial.

Untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan tersebut maka menurut Kartasasmita (1996) diperlukan adanya kebijakan penanggulangan kemiskinan baik yang sifatnya tidak langsung, yakni kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan yakni adanya stabilitas ekonomi, sosial dan politik dan kebijakan ini erat hubungannya dengan strategi pertama penanggulangan kemiskinan yakni adanya perluasan kesempatan. Yang berikutnya adalah adanya kebijakan yang ditujukan langsung kepada golongan masyarakat berpenghasilan rendah agar terjadi perbaikan pada kondisi kehidupan mereka melalui tersedianya program pembangunan sektoral untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Kebijakan ini berkaitan dengan strategi perluasan kesempatan maupun strategi perlindungan sosial. Sementara untuk menjamin kelancaran terhadap pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut maka perlu tersedia kebijakan khusus untuk mempersiapkan masyarakat miskin itu sendiri maupun aparat yang bertanggungjawab langsung terhadap kelancaran program melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan yang konsisten dan berkesinambungan.

ketergantungan, pendekatan kebutuhan pokok dan pendekatan kemandirian.

Sementara itu pendekatan pembangunan sosial pada intinya adalah pembangunan yang berpusat pada manusia dimana upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat difokuskan kepada upaya pemberdayaan dan pembangunan manusia itu sendiri.

Adapun pendekatan pembangunan berkelanjutan adalah suatu pendekatan pembangunan yang menekankan pentingnya pembangunan berwawasan lingkungan atau memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.

Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi masih menjadi andalan berbagai negara berkembang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pertumbuhan dan pemerataan ekonomi ini ditandai dengan meningkatnya Gross National Product (GNP) per kapita dan diharapkan kenaikan GNP tersebut akan dinikmati masyarakat luas dalam bentuk pekerjaan dan kesempatan ekonomi lainnya sehingga diharapkan masalah pengangguran dan kemiskinan dapat teratasi dengan sendirinya. Akan tetapi pada kenyataannya sekalipun terjadi peningkatan GNP tersebut tetapi tetap terjadi kondisi ketimpangan dan kesenjangan pada negara-negara berkembang karena proses industrialisasi yang gencar dilakukan pada negara berkembang mengakibatkan adanya ketergantungan negara-negara tersebut dengan negara maju dalam hal teknologi dan kapital. Upaya untuk mendistribusikan pemerataan pendapatan lewat penyediaan lapangan kerja yang memanfaatkan teknologi tinggi yang bersifat padat modal juga tidak berjalan dengan baik karena hanya tenaga kerja yang berpendidikan dan berketerampilan yang dapat diserap oleh lapangan kerja tersebut sementara mereka yang tidak berpendidikan dan berketerampilan yang jumlahnya sekitar 60% dari seluruh angkatan kerja tetap berada di luar jangkauan distribusi kesejahteraan nasional. (Wrihatnolo, 2007, p. 53)

Nampaknya pendekatan pembangunan ekonomi tidak sepenuhnya mampu menjawab permasalahan kemiskinan sehingga di awal 1980an mulai dikenal suatu pendekatan pembangunan baru yakni pembangunan sosial. Pada awalnya pendekatan ini sering dipertentangkan dengan pembangunan ekonomi yang menjadi andalan utama pembangunan. Pendekatan pembangunan sosial merupakan konsep pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan dimana pembangunan ini dilakukan untuk

saling melengkapi dengan dinamika pembangunan ekonomi (Midgley, 1995, p.

25). Konsep pendekatan pembangunan ini mengintegrasikan antara proses pembangunan sosial dan ekonomi yang saling melengkapi satu sama lain dimana pembangunan sosial tidak dapat berjalan baik tanpa pembangunan ekonomi dan pembangunan ekonomi akan tidak memiliki arti apa-apa bila tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan sosial dari masyarakat sebagai suatu kesatuan.

Midgley (1995) mengemukakan bahwa ada tiga strategi besar implementasi pembangunan sosial tersebut yakni (1) melalui individu di mana individu-individu secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat untuk memberdayakan masyarakat (2) melalui komunitas di mana kelompok masyarakat secara bersama- sama mengembangkan komunitas lokalnya (3) melalui pemerintah di mana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah.

Karena tujuan dari pembangunan sosial itu sendiri adalah meningkatkan taraf hidup manusia maka UN-ESCAP melihat bahwa sesungguhnya pembangunan sosial itu adalah pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development) dimana upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat difokuskan kepada upaya pemberdayaan dan pembangunan manusia itu sendiri (Adi, 2008, p. 67). Dalam konsep pembangunan yang berpusat pada manusia maka pembangunan haruslah menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian maupun sumber utama pembangunan. Korten (2001, p. 84) menyatakan bahwa konsep pembangunan berpusat pada manusia memandang inisiatif dan kreatifitas dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Selanjutnya Korten mengemukakan ada tiga tema penting yang dianggap menentukan bagi konsep perencanaan pembangunan yang berpusat pada manusia, yaitu (1) pentingnya dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menangani kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri (2) adanya kesadaran bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional, tetapi sektor tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagai besar rumah tangga miskin dan (3) adanya kebutuhan akan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha

membangun kemampuan para penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan sumber-sumber daya lokal. Dari penjelasan di atas maka pembangunan yang berpusat pada manusia tersebut menempatkan upaya pemberdayaan manusia untuk memampukan masyarakat menjadi aktor utama dalam pembangunan untuk memenuhi kesejahteraan material dan spiritualnya.

Selain konsep pembangunan yang telah disebutkan di atas, dikenal juga adanya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yakni konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan. Konsep pembangunan ini berangkat dari keprihatinan atas isu kerusakan lingkungan hidup yang terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang. Oleh karena itu konsep pembangunan berkelanjutan memperhatikan keselarasan antara aspek lingkungan, sosial dan ekonomi (Wrihatnolo, 2007; Huraerah, 2008)

Dari berbagai konsep pembangunan di atas terlihat bahwa tujuan pembangunan hendaknya tidak semata-mata untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya penghasilan dan berkurangnya angka kemiskinan. Menurut Midgley (1995, p. 14), pembangunan harus dapat memperbaiki kondisi kesejahteraan sosial masyarakat yang ditunjukkan dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan manusia, terkelolanya dengan baik permasalahan sosial dan optimalisasi pemanfaatan kesempatan- kesempatan sosial yang terjadi. Hal ini berarti pembangunan ekonomi harus berjalan beriringan dan saling melengkapi dengan pembangunan sosial dan sebagaimana yang dikemukakan oleh Korten dalam Adi (2008, p. 70) bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan dan kemakmuran manusia, meningkatkan keadilan serta berkesinambungan maka pemikiran yang mendominasi paradigma ini adalah pembangunan yang memperhatikan keseimbangan ekologi manusia.

Upaya pemberdayaan masyarakat menjadi hakekat dari pembangunan yang berpusat pada manusia dimana konsep pembangunan ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internalnya dalam pengambilan keputusannya melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol atas sumber daya material dan non material yang penting melalui partisipasi langsung yang demokratis dan pengalaman pembelajaran sosial. Konsep

pemberdayaan ini yang menurut Friedman (1992, p. vii) menjadi dasar dari konsep pembangunan alternatif untuk meresponi gagalnya model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan.