BAB I PENDAHULUAN
G. Kerangka Teori
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti menggunakan metode ini untuk menganalisis hasil observasi, interview dan dokumentasi. Jadi dengan analisis induktif ini peneliti memulai mengolah fakta- fakta empiris yang ditemukan kemudian dicocokkan dengan landasan-landasan teori yang ada. Dan akhirnya mampu memberikan pemahaman kepada para pihak terhadap hasil dari penelitian ini.
tiga, dan empat perempuan yang baik, seperti tercantum dalam ayat keempat surat al-Nisa.30
Ayat tersebut dipahami sebagai sebuah aturan kebolehan pernikahan poligami, meskipun turunnya ayat tersebut dilatari oleh praktik pernikahan yang dilakukan laki-laki dengan motivasi penguasaan harta anak dan atau perempuan yatim. Tidak menghendaki adanya pernikahan dengan motivasi tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut untuk menghalangi praktik tersebut. Namun, ayat tersebut kemudian dipahami sebagai sebuah dasar pembolehan praktik pernikahan poligami secara umum.
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
b. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Untuk menyelamatkan suami dari yang hyperssex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
d. Untuk menyelamatkan kaum perempuan dari krisis akhlak yang tinggal di Negara/masyarakat yang jumlah perempuananya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama.31
30Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis:
Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih Dan Hukum Internasional (Jakarta: Kencana, 2013), 29.
31Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, 136.
Islam sebagai Agama samawi terakhir yang turun di dunia, dalam aturan perkawinan tidak bisa luput dari pengaruh Agama sebelumnya. Syari‘at nabi Musa as membolehkan seorang laki-laki kawin
―seenaknya‖, tanpa batas tertentu. Karena saat kelahiran Musa, setiap bayi laki-laki pasti dibunuh. Otomatis ketika Nabi Musa as dewasa dan telah menerima tugas risalah, jumlah orang laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Lebih banyak perempuannya. Jadi wajar jika syari‘atnya harus demikian. Kemudian datang syari‘at Nabi Isa as. yang membatasi perkawinan hanya pada satu istri saja. Hal ini dilakukan karena terjadi perubahan komposisi masyarakat waktu itu, dari yang banyak perempuanya menjadi sedikit. Lalu Islam datang mengopromikan keduanya. Artinya, asal dapat berlaku adil, bolehlah laki-laki kawin lebih dari satu tetapi ada batasnya. Empat saja. Tidak boleh lebih. Ayat yang sering dipakai untuk menjelaskan kebolehan ini adalah Firman Allah SWT yang artinya:
“dan jika kamu takut tidak berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi;
dua,tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidakberlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”.32
Inilah ayat yang sering digunakan untuk melegalkan poligami dalam Islam. Persoalannya,
32 Q.S. An-Nisa‘: 3.
benarkah ayat ini berbicara tentang kebolehan poligami?Dan benarkah Islam melegalkan poligami?.
B. Poligami dilihat dari perspektif konsep Mashlahah, Gender dan pendapat Syahrur
a. Konsep Mashlahah
Kata al-maslahah adalah seperti kata al- manfaah, baik secara lafadz maupun secara makna.
Secara lafadz, kata al-mashlahah sama dengan kata al-manfaah, karena ia merupakan masdar mimi dengan makna al-shalah sebagaimana al-manfaah juga merupakan masdar mimi dengan makna al-naf.
Istilah mashlahah atau al-mashlahah ini dikemukakan oleh ulama ushul fiqh dalam membahas metode yang digunakan saat melakukan istinbath al-ahkam (menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalil yang terdapat pada nash Al-Qur‘an maupun as-Sunah). Artinya dalam melakukan istinbath seseorang dituntut untuk selalu memperhatikan al-mashlahah, karena tujuan syar‘i (Allah SWT dan Rasulnya) dalam memberikan syariat adalah untuk kemaslahatan manusia.33
Begitu halnya yang terdapat dalam A Theory of Justice, John Rawls membangun konsep keadilan sebagai tawaran alternatif terhadap teori-teori keadilan kontraktion yang telah berkembang sebelumnya. Dalam arti ini, teori keadilan John Rawls merupakan koreksi terhadap teori keadilan yang sudah dikenal luas, yang menurutnya, sangat
33 Pujiono, Hukum Islam: Dinamika Perkembangan Masyarakat, Menguak Pergeseran Perilaku Kaum Santri (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), 72
dipengaruhi dan diwarnai oleh teori utilitarianism.
Teori utilitarianisme ini pada umumnya menurut (lembaga-lembaga) untuk memaksimalkan jumlah yang mutlak dari keseluruhan harapan setiap orang yang patut untuk memperolehnya.34
Teori ini mengambil alih pandangan yang berlaku bagi individu, dan kemudian menerapkannya pada masyarakat sabagai keseluruhan dengan mengatakan bahwa masyarakat disebut ditata secara tepat, dan karnanya adil, apabila lembaga-lembaga utamanya diatur sedemikian rupa demi mencapai keseimbangan kepuasan netto yang nerupakan hasil rata-rata dari kepuasan seluruh individu anggota masyarakat yang bersangkutan.
Teori utilitarianisme menempatkan prinsip manfaat sebagai norma yang mana suatu konsep keadilan bisa bertumpu dan dikembangkan. Karna prefensinya untuk memberikan manfaat yang paling besar bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, maka utilitarianisme cendung menganggap bahwa kebahagiaan setiap oarang adalah sama.
Utilitarianisme secara sadar mengalihkan ukuran kesejahtraan manusia dari ukuran yang berpedoman pada tingkat kesejahtraan individu kepada ukuran yang berpatokan kepada kesejahtraan masyarakat sebagai keseluruhan.
Utilitarianisme melihat keinginan individu- individu hanya sebagai bagian dari keinginan keseluruhan masyarakat, sehingga ketika keinginan
34 Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Nai‟m: Efistemologi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 174.
seluruh masyarakat telah tercapai, maka keinginan individu-individu juga diandaikan telah cercapai.
Dengan kata lain manusia disini telah diposisikan sebagai alat, bukan tujuan bagi dirinya sendiri.
Akibatnya, kepentinganm kelompok bisa mengalahkan dan menekan kepentingan-kepentingan minoritas dengan alasan perinsip manfaat yang lebih besar dan lebih menyeluruh.35
b. Konsep Gender
Pada saat ini, perempuan banyak menempati wilayah-wilayah publik yang tidak dapat dianggap remeh. Keadaan demikan akan berimplikasi terhadap akses-akses keagamaan, baik yang bersifat ubudiah maupun muamalah.
Implikasi tersebut juga terjadi pada masalah poligami.
Dalam masalah poligami yang selalau terdiskreditkan adalah perempuan sebagai istri pertama, karena seringkali dalam posisi ini mereka merasa tertekan dan sangat delimatis, satu sisi mereka dituntut mempertahankan keutuhan rumah tangganya (mempertahankan suaminya) di sisi lain, mereka harus mengorbankan perasaan mereka dengan berbagi suami yang tentunya memberikan izin terhadap suaminya untuk beristri lagi.
Dengan berbagai alasan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan seorang suami dapat mengajukan untuk berpoligami tanpa mempertimbangkan hak-hak istri, maksudnya adalah istri mempunyai hak untuk memberikan
35 Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Nai‟m, 175.
izin atau tidak terhadap suaminya dalam pelaksanaan poligami. Dalam hal tidak adanaya izin dari istri, pengadilan dapat memberikan izin terhadap seorang suami untuk berpoligami melalui alasan-alasan yang dapat diterima oleh undang- undang dengan mengenyampingkan izin dari istrinya.
Dalam pasal-pasal yang terdapat baik pada UUP maupun KHI, posisi seorang istri sangat lemah, karena selalu terdiskreditkan dengan tidak dianggapnya ― ketidaksetujuan‖ istri dalam perizinan yang diajukan oleh suami untuk menikah lagi. Padahal dengan dicantumkannya persyaratan tersebut di dalam peraturan maupun undang- undang seharusnya memperkuat kedudukan istri di Pengadilan Agama dalam hal tidak mengizinkan suami beristri lebih dari satu.
Fakta yang demikan nampak jelas bahwa undang-undang di indonesia belum berpihak pada perempuan, apalagi hal tersebut tidak akan pernah berlaku terhadap istri. Artinya apabila segala kelemahan seperti mandul, sakit keras atau bahkan sama sekali tidak dapat melayani istri secara biologis terdapat pada seorang suami, maka seorang istri tidak dapat mengajukan poliandri.36 c. Perspektif Syahrur
Di sini Syahrur merujuk kepada fakta yang disimpulkan dari teks, dengan menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang dihubungkan dengan
36 Mufidah, Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga ( Malang : UIN Maliki Press, 2010), 179.
anak yatim adalah mereka yang telah menjanda. Di awal karyanya Syahrur membatasi beberapa rincian makna yatim sebagai seorang yang bapaknya, bukan ibu, telah meninggal dunia ketika anak itu masih berusia muda. Implikasi dari definisi ini bahwa usia sang janda, ibu anak yatim, relatif juga masih muda.
Dengan demikian, kebolehan untuk menikahi kedua, ketiga, dan keempat berlaku pada kebolehan untuk menikahi janda muda yang akan membawa anak-anak mereka yang masih balia kedalam perkawinan. Inilah keseluruhan makna dibalik kebolehan itu.
Selain istri pertama yang mungkin bukan janda dan anak-anaknya, istri-istri lain beserta anak mereka adalah juga menjadi tanggung jawab suami.
Perintah Al-Quran tentang berlaku adil, kata Syahrur, harus dilihat sebagai tanggungan suami dalam merawat anak-anaknya, baik dari istri pertama maupun dari janda yang membawa anak dalam perkawinan itu.
Dengan kata lain, Al-Qur‘an melarang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri jika mereka tidak dapat merawat dengan persaaan dan kejujuran yang sempurna pada anak yatim yang dibawa oleh perkawinan ibu mereka yang janda. Kata-kata terakhir dari Al-Qur‘an surat al-Nisa‘ ayat 3 mengingatkan bahwa memang sulit untuk berlaku adil, dalam hal ekonomi, atau yang lainnya, ketika terdapat banyak anak dalam satu rumah tangga.37
Melihat dari tiga perspektif di atas baik konsep mashlahah, Gender dan pendapat Syahrur.
37 Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer ( Yogyakarta: Elsaq Press, 2012), 13.
Semuanya menilai bahwa mafsadahnya jauh lebih banyak daripada maslahah yang ditimbulkannya.
karena seperti itulah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ada kecendrungan poligami hanya dijadikan sebagai ajang pelampiasan hawa nafsu dengan ―daun muda‖. Poligami juga dijadikan ajang untuk berbangga-bangga. Seakan-akan dialah yang paling hebat karena dapat menaklukan banyak perempuan. Dan yang sering terjadi, orang-orang melakukan poligami tanpa memahami, apalagi mengamalkan hikmah dan tujuan asasi sebuah pernikahan. Kalau sudah seperti ini, poligami jelas bertentangan dengan prinsip dan tujuan berumah tangga.38
Prinsip al-mawaddah wa al-Rahmah, saling kasih mengasihi, akan menghilang setelah suami kawin lagi. Poligami akan menyulut pertikaian antar sesama istri. Karena siapapun perempuan yang tidak sakit hati dan merana kalau dimadu? Kalaupun ada, mungkin hanya sedikit perempuan yang tidak merasakan seperti itu. Allah SWT. Telah menyindir fenomena ini dalam Al-Qur‘an:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”
38Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah: Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2011), 90.
Syekh Musthafa al-Maraghi dalam tulisannya Abu Yasid39 menjelaskan, yang paling menjamin terwujudnya rumah tangga mawaddah warahmah bila suami hanya memiliki satu istri.
Monogami merupakan jalan yang paling mulus untuk membentuk keluarga sakinah. Namun ketika ada krikil‘ yang menghalanginya pada satu saat poligami dibolehkan, bahkan dianjurkan karna itu merupakan jalan yang lebih maslahah. Misalnya, ketika si istri tidak dapat keturunan. Sementara suami sangat mendambakan seorang keturunan untuk menuruskan dinastinya‘. Atau si istri adalah perempuan yang prigid, sementara suami adalah laki-laki yang perkasa‘. Dalam kasus seperti ini tidak ada alasan untuk melarang suami melakukan poligami. Dan sudah tentu poligami lebih maslahah ketimbang menceraikan istri apalagi sampai harus jajan di luar.
Untuk melihat realita di masyarakat. Terkait dengan izin poligami. Poligami boleh-boleh saja. Tapi jika suami ingin menikah lagi tentunya harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasul. Yaitu lebih melindungi kaum janda dan mengayomi anak-anak yatim yang ditinggalkan oleh ayahnya di medan perang. Dengan melihat Konteks sosial yang paling menonjol adalah menolong para janda dan anak yatim serta menentang eksploitasi terhadap anak yatim, yang melandasi ketentuan poligami dengan memberi batasan jumlah (4 orang) dan syarat (berbuat adil). .40
39 Abu Yasid, Fiqh Realitas: Respon Ma‟had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 344.
40Nurun Najwah, Perempuan Dalam Pernikahan: Telaah Ulang Wacana Keagamaan (Yogyakarta: TH. Press, 2008), 86
Dan untuk konteks Indonesia khususnya di Lombok, bila ingin poligami dengan alasan istri mandul. Boleh saja suami menikah lagi tentunya dengan janda yang jelas sudah bisa melahirkan dan dalam keadaan lemah, karena tidak ada yang akan memberikan nafkah. Dan pendapat dari peneliti, lebih baik yang mencari calon madunya dari pihak istri.
Dengan begitu keikhlasan untuk dimadu bisa dilihat dari cara istri yang mau mencari siapa yang akan menjadi madunya.
C. Kepatuhan Hukum
Apapun juga yang dikemukakan oleh teori-teori yang menentang penggunaan hukum sebagai sarana untuk menggerakkan perubahan sosial secara sadar, namun kenyataan yang kita hadapi sekarang menunjukkan bahwa perundang-undanan merupakan sandaran negara untuk mewujudkan kebijaksanaanya. Penggunaan perndang- undangan secaa sadar oleh pemerintah sebagai suatu sarana untuk melakukan tindakan sosial yang terorganisasi telah merupakan ciri khas negara modern.
Salah satu unsur dalam proses agar orang sadar hukum adalah adanya pengetahuan terhadap hukum. Kata
―sadar‖ mengandung pengertian ― tahu dan memahami‖.
Dengan demikian mengetahui dan memahami suatu hukum merupakan unsur penting dalam proses pentaatan terhadap hukum tersebut. Kesadaran hukum merupakan hasil dari serangkaian proses hubungan yang saling berkaitan antara ketiga unsur tadi. Orang harus