• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Perkawinan Di Masyarakat Sasak

Dalam dokumen tesis - etheses UIN Mataram (Halaman 79-90)

BAB II KONSEP KEADILAN DALAM BERPOLIGAMI

A. Praktik Perkawinan Di Masyarakat Sasak

BAB III

TRADISI PERKAWINAN PADA MASYARAKAT SASAK

mengikuti terselenggaranya lembaga perkawinan dengan melarikan. Ikatan perkawinan tersebut dinamakan merariq.

Istilah merariq berasal dari kata dalam bahasa Sasak

berari‖ yang artinya berlari dan mengandung dua arti. Arti yang pertama adalah ―lari‖: inilah arti yang sebenarnya.

Arti kedua adalah keseluruhan dari pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Lari berarti cara (teknik). Sehubungan dengan ini bahwa tindakan berupa melarikan diri atau membebaskan adalah tindakan yang nyata untuk membebaskan si gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.67

Melarikan adalah tindakan pertama dari si pemuda dengan atau tanpa persetujuan si gadis yang diinginkannya dari kekuasaan orang tua atau anggota keluarganya yang menjadi wali si gadis untuk mengambil si gadis dari lingkungan keluarganya. Selanjutnya bila si gadis setuju dengan memenuhi ketentuan adat akan menjadikannya seorang istri. Melarikan dimaksudkan sebagai permulaan dari tindakan pelaksanaan perkawinan. Beberapa tindakan tersebut mungkin berakibat kegagalan-kegagalan. tetapi sangat kecil kemungkinan kegagalan tersebut bila seorang gadis telah berhasil dilarikan oleh seorang pemuda. Sebut saja namanya Maemunah yang dilarikan dipaksa untuk menikah dengan cara dibohongi, kemudian disekap sampai akhirnya mau menikah. Dari pihak keluarga tidak ada yang mencari karena memang adat seperti itu, jika hilang pasti disangkanya menikah dan mengira perempuan tersebut yang menginginkannya meskipun kenyataannya bahwa Maemunah dijebak dan dipaksa untuk menikah. Sampai

67 Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa Depannya (Jakarta: Kuning Mas, 1992), 22.

datang orang Nyelabar68 dan memberi tahu bahwa Maemunah telah menikah.69

Setelah seorang gadis dibawa lari dan disuruh tinggal di ―bale penyeboqan‖, beberapa tindakan dilakukan oleh masyarakat yang selanjutnya bertujuan untuk melanjutkan proses ikatan perkawinan agar akhirnya gadis tersebut benar-benar menjadi istri dari suami yang bersangkutan dengan pengakuan perlindungan dari keluarga dan masyarakat. Cara melarikan tersebut merupakan cara yang umum bagi perkawinan suku Sasak yang hidup di tengah masyarakat dari dahulu hingga sekarang. Dalam adat Sasak berlaku bahwa perkawinan-perkawinan berdasarkan kemauan dan kebebasan memilih dari kedua belah pihak. Untuk itu, adat membuka kesempatan bagi pemuda dan gadis-gadis untuk bertemu dan berkenalan agar dapat menentukan pilihan masing-masing.

Di samping kesempatan yang tidak disengaja, adat masih memberikan kesempatan yang bertujuan untuk saling berkenalan lebih mendalam satu dengan yang lain melalui suatu lembaga adat yang dalam bahasa Sasaknya disebut midang atau ngayo. Artinya pernah bermain dengan maksud tertentu. Midang atau ngayo biasanya digunakan untuk suatu percakapan yang intim agar keduanya dapat saling mengenal dengan baik dan mendapat kesempatan membicarakan rencana perkawinan mereka beberapa hari.

Waktu dan tempat untuk midang dan tingkah lakunya semuanya diatur dengan ketentuan adat yang disebut awig- awig desa. Di dalamnya ada ketentuan batas waktu yang

68 Proses memberitahu dari pihak laki-laki kepada keluarga calon pengantin perempuan bahwa dia telah menikah

69 Najamuddin, Wawancara, Desa Dakung pada Tanggal 14 Mei 2018.

ditetapkan yaitu pukul sepuluh malam. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat antara pemuda dan gadis.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan adat tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh lelaki selama upacara perkawinan. Pelanggaran-pelanggaran berat biasanya terjadi apabila tertangkap basah sedang berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan adat dan Agama, segera diambil tindakan oleh keliang setempat.70

Pemuda dan gadis atau bahasa Sasaknya terune atau bajangan dan dedare dalam hubungan tersebut setuju untuk tetap setia berdua. Dalam midang itu mereka merencanakan untuk lari pada malam yang telah ditentukan bersama, kemudian tinggal dan bersembunyi untuk beberapa lama di tempat khusus yang disebut bale penyeboqan, artinya rumah tempat bersembunyi. Biasanya rumah itu milik keluarga si pemuda yang terletak di luar kampung asal si gadis. Namun , seiring dengan perkembangan waktu, sekarang sudah tidak lagi bersembunyi di rumah dari keluarga laki-laki seperti bibik, buk de atau yang lain-lainnya. Kalau sekarang langsung di rumah laki-laki tersebut dengan syarat ada perempuan lain seperti misan, adik kandung, bibik, keponakan ataupun yang lainnya yang menemani si calon pengantin perempuan untuk tidur. Dan menghindari fitnah bila belum akad sudah bersama-sama antara calon pengantin pria dan wanita.71 Barulah setelah selambat-lambatnya tiga hari setelah si gadis dilarikan, ada kegiatan masyarakat untuk

70 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak ( Malang: UIN Malang Press, 2008), 152-153.

71 Hasil Pengamatan peneliti dari beberapa pasangan yang menikah.

meyelesaikan perkawinan tersebut dimulai oleh kedatangan utusan pihak lelaki kepada pihak gadis yang disebut pembayun. Dengan demikian lembaga melarikan dimulai dengan perkenalan lebih intim, meleang atau bekemeleqan yang berakhir dengan persetujuan bersama untuk kawin dan merencanakan untuk lari bersama pada suatu malam yang telah ditentukan. Selanjutnya diselenggarakan dengan berbagai upacara yang telah ditentukan adat.

Ada anggapan di sejumlah kalangan masyarakat Sasak bahwa pernikahan yang dilakukan dengan tanpa kawin lari mereka anggap akan menghina keluarga pihak gadis. Anak gadisnya bukanlah sirih atau seekor ayam yang dapat diminta begitu saja. Lalu mereka memilih dengan cara melarikan, di mana seolah-olah orang tua si gadis tidak mengetahui kejadian tersebut. Dan inilah yang hingga sekarang didukung oleh sebagian besar masyarakat Sasak.

Tetapi sekarang melihat kaum muda-mudi di Lombok sudah banyak yang berpendidikan dan bila ingin menikah sudah meminta izin baik kepada wali si gadis dan kepada orang tuanya dengan alasan takut diberatkan pada saat meminta wali untuk menikahkan dengan anak perempuannya.72

2. Prosedur Prosesi Adat Merariq Suku Sasak

Sebagaimana perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tentram, dan damai (mawaddah wa rahmah) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan). Karenanya, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk

72 Ust. Ismail, Wawancara, Desa Pejanggik pada tanggal 20 Mei 2018.

mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan.

Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat Sasak, yaitu:

a. Perkawinan antara seoang laki-laki dengan perempuan dalam satu kadang, waris yang disebut perkawinan betempuh pisaq (misan dengan misan/

cross cousin)

b. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan)

c. Perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah).

Dengan demikian, semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut adat Sasak adalah untuk melanjutkan keturunan, memperkokoh ikatan kekerabatan, dan memperluas hubungan kekeluargaan.

Merariq merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh suku Sasak di beberapa tempat di Lombok dari dahulu hingga sekarang untuk perkawinan. Ada beberapa cara mengambil perempuan untuk perkawinan yang pernah dilakukan di suku Sasak selain cara merariq, yaitu:

a. Teperondong, yaitu antara pemuda dan pemudi dari semenjak kecilnya sudah dijodohkan atau dipastikan kawin oleh orang tuanya ketika sudah mencapai umur.

Biasanya cara ini dilakukan antara keluarga dekat dan sama-sama setuju untuk itu, dan anak yang sudah

diperondong tidak boleh didatangi (dipidang), dipacarai apalagi diajak kawin oleh orang lain, baik pihak laki maupun pihak perempuan.

b. Kepanjing, kehambil, dan beboyongan. Ketiganya merupakan cara lama yang dipakai ketika masih dalam bentuk kerajaan. Kepanjing adalah kebolehan para raja untuk mengambil perempuan mana saja yang disukainya untuk dikawini tanpa memperdulikan persetujuan dari kedua orang tuanya apalagi dari gadisnya sendiri. Kehambil adalah kebolehan para bangsawan untuk mengambil perempuan di bawah wangsanya untuk dikawini tanpa memperdulikan kerelaannya dan kerelaan kedua orang tuanya.

c. Balegandang/ngoros, yaitu cara mengambil perempuan untuk dikawini dengan cara merampasnya dari tangan orang yang mengambilnya terlebih dahulu baik ketika masih diperjalanan maupun sesampai di rumahnya sebelum betikah atau dengan kesatria, yaitu mengambilnya di depan orang tuanya, keluarganya atau tukang peliharanya.

d. Belakok‘, yaitu melamar. Cara ini hampir sama dengan model tunangan di jawa, tetapi cara belako‘ biasanya dilakukan antar keluarga dekat saja. Caranya harus melalui proses beberayean (pacaran), midang dan mereweh, dan baru kemudian pihak laki-laki datang ke rumah gadis untuk belakok kepada keluarga pihak perempuan dan si perempuan boleh diambil kapan saja menurut kesepakatan.

e. Kapahica, yaitu diberi, dianugrahi, yaitu jika seorang laki-laki dikawinkan dengan seorang perempuan yang lebih tinggi nilai strata sosialnya oleh orang tua

mempelai perempuan karena mempunyai akhlak yang baik, pandai, dan memiliki pengabdian dan loyalitas yang tinggi terhadap datu atau raja atau seorang bangsawan.

f. Katrimanan atau katrimen, maknanya diterima, direstui, disukai. Penggunaan dari pada katrimen pada suku Sasak yaitu apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang lebih tinggi strata sosialnya dengan prosedur biasa yang sering dilaksanakan dengan proses melaiq, dan dilakukan proses sejati, selabar, tuntut wali, serta sorong serah. Selanjutnya, kedua orang tua perempuan tersebut menerima dengan baik mempelai laki-laki karena secara pribadi laki-laki dan orang tuanya banyak budi jasa dan mempunyai kedudukan serta berpengaruh di masyarakat .

g. Nyerah hukum, yaitu calon mempelai laki-laki tidak mampu melaksanakan upacara adat karena ia dan orang tuanya kurang mampu secara ekonomi, atau bisa juga ia sedang musafir atau tidak punya sanak saudara. Karena itulah, ia menyerahkan dirinya untuk dinikahkan dengan calon mempelai perempuan sekaligus prosesnya dilaksanakan di rumah perempuan, mengenai strata sosialnya diumumkan di khalayak.

h. Pengampuan atau kata dasar ampu yang berarti dilindungi atau perwalian adat (wali adat). Proses pengampuan adalah apabila seorang laki-laki mengawini perempuan Sasak, tapi tidak mampu melaksanakan upacara adat Sasak dikarenakan tidak mempunyai sanak saudara (seorang pendatang dari daerah lain), tetapi ia sangat mampu secara ekonomi.

Laki-laki tersebut ―menyerahkan‖ dirinya untuk

dilaksanakan upacara adat pernikahan kepada salah seorang tokoh adat yang ada di suku Sasak, yang bersedia untuk melindungi sekaligus sebagai wali adat laki-lakinya. Proses pengangkatan pengampu atau wali adat ini diupacarakan secara sakral. Selanjutnya, sang pengampulah sebagai orang yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan upacara sorong serah ajikrama.

Sekalipun model perkawinan adat Sasak cukup beragam, namun dalam praktiknya sekarang, konsep merariq, teperondong, dan belaqo‘ yang masih menjadi anutan tradisional yang masih bertahan. Sementara pelembagaan perkawinan di luar tiga model tersebut di atas, sangat jarang ditemukan bahkan hampir sudah tidak berlaku lagi.73 Beberapa awig-awig (aturan) merariq yang berlaku secara umum pada suku Sasak adalah sebagai berikut:

a. Calon mempelai perempuan harus diambil di rumah orangtuanya dan tidak boleh diambil di rumah keluarganya atau di tengah jalan, sawah, tempat kerja, pondok, apalagi di sekolah.

b. Calon mempelai perempuan yang mau diambil itu benar-benar bersedia untuk kawin dan bahkan pernah ada janji dengannya untuk kawin.

c. Merariq harus dilakukan pada malam hari dari habis magrib sampai jam 23.00 Wita dan terhina bagi yang merariq pada siang hari.

d. Merariq harus dilakukan dengan cara-cara yang sopan dan bijaksana, tidak boleh dengan jalan paksaan, kekerasan, dan keusilan lainnya.

73 Jayadi M. Pd, Wawancara, Desa Beraim pada tanggal 28 Mei 2018.

e. Harus mengikutkan seorang perempuan dalam mengambil sebagai teman gadis calon mempelai guna terhindarnya hal-hal yang tidak diinginkan.

f. Calon mempelai perempuan yang diambil itu harus dibawa ke rumah salah seorang keluarga pihak laki- laki guna menghindari keterkejutan atau kemarahan orang tua laki-laki karena tidak setuju, sehingga si perempuan tidak dapat mendengarkan kata-kata tidak senonoh yang keluar dari calon mertuanya. Di tempat ini, calon pengantin perempuan harus ditemani oleh seorang perempuan lain dari keluarga laki-laki, dan baru boleh pulang ke rumah orang tua laki-laki setelah selesai betikah.

g. Calon mempelai perempuan yang diambil harus segera diinformasikan keadaanya kepada kepala dusunnya dan keluarganya atau tepesejati dan tepeselabar.

Adapun cara melakukan kawin lari (merariq) diklasifikasikan menjadi empat cara, yaitu : Pertama, malam hari dan ada perjanjian. Cara yang pertama ini paling sering dilakukan oleh calon suami istri. Di dahului oleh perjanjian antara calon suami dan calon istri yang telah dibuat secara lisan sebelumnya. Mereka sepakat melakukan pelarian, bertemu di suatu tempat, dan jam tertentu. Cara ini dilakukan oleh pasangan baik yang sudah suka sama suka karena pilihan sendiri (kemele‟ mesa‟) maupun dijodohkan oleh orang tua (suka lokaq). Ada dua alasan dilakukan pelarian pada malam hari, yaitu:

a. Untuk mengikuti ketentuan adat

b. Untuk merahasiakan proses pelarian mereka.

Sedangkan diadakan perjanjian dengan alasan, yaitu:

a. Agar terhindar dari kemaslahatan

b. Calon suami istri ingin segera saling memiliki c. Untuk mempermudah pelaksanaan prosedur adat.

Kedua, malam hari dan tidak ada perjanjian. Cara yang kedua ini sering dilakukan oleh calon suami istri, tetapi tidak sesering cara yang pertama. Model ini tanpa didahului oleh perjanjian antara calon suami dan calon istri.

Ada dua alasan pelarian pada malam hari, yaitu:

a. Untuk mengikuti ketentuan adat.

b. Untuk merahasiakan proses pelarian mereka.

Sedangkan tidak diadakannya perjanjian terlebih dahulu didasari oleh salah satu atau beberapa alasan, yaitu:

a. Calon suami tidak ingin jika calon istrinya dilarikan oleh laki-laki lain.

b. Calon suami menganggap jika tidak dilarikan, calon istri dan orang tua gadis tetap menolak.

c. Agar terhindar dari kemaksiatan.

Ketiga, siang hari dan ada perjanjian. Cara yang ketiga ini jarang dilakukan oleh calon suami istri dan didahului oleh perjanjian antara calon suami dan calon istri yang telah dibuat secara lisan sebelumnya. Mereka sepakat akan melakukan pelarian bersama, bertemu di tempat tertentu, dan pada jam tertentu. Ada dua alasan dilakukan pelarian pada siang hari, yaitu:

a. Baik calon suami atau calon istri merasa terpaksa, meskipun mereka tahu bahwa hal itu melanggar ketentuan adat Sasak.

b. Untuk menunjukkan keberanian calon suami dihadapan lelaki lain yang bersaing memperebutkan sang gadis.

Diadakannya perjanjian dengan alasan, yaitu:

a. Agar terhindar dari kemaksiatan

b. Calon suami istri ingin segera bisa menjadi suami istri, sehingga tidak ada peluang lagi bagi lelaki untuk perempuan lain untuk memperebutkan mereka.

c. Untuk mempermudah pelaksanaan prosedur adat melarikan.

d. Calon suami ingin segera menikahi sang gadis.

Keempat, siang hari dan tidak ada perjanjian. Cara yang keempat ini paling jarang dilakukan dan tidak didahului oleh perjanjian antara calon suami dan calon istri.

Mereka memang tidak sepakat melakukan pelarian bersama. Ada dua alasan dilakukan pelarian pada siang hari, yaitu:

a. Baik calon suami atau calon istri merasa terpaksa, meskipun tahu bahwa hal itu melanggar adat. Mereka siap menerima sanksi adat.

b. Untuk menunjukkan keberanian calon suami di hadapan lelaki lain yang bersaing.

Sedangkan tidak diadakannya perjanjian dengan alasan yaitu:

a. Orang tua dan calon suami istri tidak sepakat.

b. Calon suami ingin segera menikahi sang gadis.

c. Sang gadis dan orangtua pada dasarnya menolak lelaki tersebut.74

Dalam dokumen tesis - etheses UIN Mataram (Halaman 79-90)