Bentang alam ekologis dimana TNKM terletak sudah diakui sejak dulu oleh pakar nasional dan internasional sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia yang penting, dan salah satu yang berada dibawah ancaman yang kian meningkat. PHKA memberikan sumbangan yang sangat penting kepada upaya dunia untuk melestarikan keanekaragaman hayati saat didirikannya Cagar Alam Kayan Mentarang pada tahun 1980, yang kemudian ditingkatkan menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang pada tahun 1996.
Namun demikian, PHKA juga menciptakan tantangan yang sangat besar bagi dirinya sendiri, bahwa kenyataannya kawasan taman nasional telah dimanfaatkan dan dihuni oleh masyarakat Dayak setempat selama tidak kurang dari 350 tahun. Sumber daya alam di kawasan menyediakan bahan kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan uang bagi sebagian besar dari sekitar 16.000 orang yang hidup di dalam dan sekitar TNKM. Menyeimbangkan konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan lingkungan dengan tanah, sumber daya, kebutuhan dasar manusia dan hak-hak masyarakat setempat merupakan tugas yang sangat rumit.
Dalam dekade yang lalu organisasi konservasi sudah mencoba mengubah kebijakan mereka dari memindahkan dan/atau mengeluarkan masyarakat setempat dari kawasan lindung dengan mengakomodasi kebutuhan mereka dan memanfaatkan keahlian dan bantuan mereka. Harapannya adalah bahwa dimana kawasan lindung mengakui dan mendukung hak atas tanah dan sumber daya, serta hak asasi manusia lainnya dari masyarakat setempat, tidak akan ada konflik yang timbul antara hak dan kepentingan mereka dengan tujuan kawasan lindung.
Pedoman untuk masalah ini yang dikembangkan oleh WWF dan IUCN (1999) menyatakan bahwa masyarakat setempat telah mengklaim hak mereka atas kawasan lindung “jangan mempersengketakan tujuan dan pentingnya kawasan lindung. Bagaimanapun juga, mereka berharap bahwa pemerintah yang belum memiliki kesiapan untuk ini, dapat mengadopsi kebijakan dan strategi yang baru, berdasarkan pada kemitraan antara lembaga konservasi dan masyarakat asli yang efektif dan berkelanjutan”.
Pedoman ini menganjurkan agar kawasan lindung yang didirikan pada lahan tradisional masyarakat setempat seharusnya:
• Melindungi lahan, daerah, sumber daya, manusia dan budaya secara efektif dari ancaman luar.
• Mengakui hak atas tanah dan sumber daya dan hak mereka untuk mengendalikan dan mengelolanya di dalam kawasan lindung.
• Memperkuat lembaga tradisional dan mengalihkan kekuasaan kepada mereka didalam lahan dan daerah mereka.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) VIII-113
Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku I)
• Pemantauan sejauh mana lembaga lokal mengikuti Rencana Pengelolaan dan kesepakatan misalnya peraturan pengambilan sumber daya alam dari zona pemanfaatan tradisional.
• Pemantauan populasi tumbuhan dan hewan secara independen, juga indikator lingkungan lainnya, untuk membantu menentukan kepatuhan kepada peraturan taman nasional.
Mengingat penekanan pengelolaan pada pengambilan sumber daya alam yang berkelanjutan, program pemantauan dan evaluasi yang direncanakan dan dilaksanakan sebaik-baiknya, sangat penting untuk keberhasilan Taman Nasional.
• Peningkatan dan pembinaan upaya pendidikan dan kepedulian yang akan memperkuat dan lebih mengembangkan sikap dan kebiasaan yang mendukung konservasi dan pengembangan secara berkelanjutan.
• Membantu mengembangkan kemampuan lembaga lokal untuk mengelola taman melalui pelatihan, pengarahan, dan dukungan lainnya.
• Bekerja dengan hati-hati dengan instansi pemerintah lain dan LSM untuk mengembangkan dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan ekonomi jangka- panjang secara perlahan di daerah penyangga yang secara ekonomi dapat diharapkan, atau lebih menguntungkan masyarakat setempat dibanding dengan pihak luar, dan tidak merusak lingkungan taman.
• Menyediakan dana untuk lembaga pengelolaan dan kegiatan lokal, serta pendapatan dari taman, seperti tiket masuk, hasil dari pariwisata, dsb, yang akan meyakinkan masyarakat bahwa untuk kepentingan merekalah perlu dukungan kepada taman nasional.
Pendanaan langsung FoMMA oleh PHKA akan tergantung kepada kemampuan PHKA dalam menghimpun pendapatan tambahan, mungkin melalui Debt-for-Nature Swaps, Carbon-Sequestration Grants, atau pendekatan-pendekatan lain. Yang dikehendaki bukanlah untuk mengecilkan PHKA sebagai instansi nasional, tetapi untuk memperluas pengaruh dan dampaknya bersama dengan mitra organisasinya. Untuk melakukan hal tersebut secara efektif tidak hanya membutuhkan pengancaman dengan sangsi-sangsi, seperti yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah yang berwenang dalam perijinan, tetapi juga penyediaan keuangan dan insentif lainnya.
PHKA dan mitranya seperti WWFI juga dapat memilih untuk tidak mendukung, dan secara aktif melakukan penolakan terhadap kegiatan yang mengancam keanekaragaman hayati dan lingkungan taman nasional. Jika PHKA terikat secara konstruktif dan memberikan dukungan teknis dan keuangan kepada lembaga mitra lokalnya, PHKA akan berada pada posisi yang lebih baik untuk melakukan perubahan terhadap kegiatan yang tidak layak yang mengancam taman daripada kalau dipandang hanya sebagai pihak yang mencoba menguasai lahan tradisional dan menutup semua jalan ke sumber daya alam.
Untunglah bahwa sebagian besar lingkungan dan keanekaragaman hayati taman berada dalam kondisi yang baik. Ancaman terbesar terhadap berbagai jenis bukannya dari pemburuan atau pengambilan, tetapi dari penyusutan habitat. Pelestarian taman nasional yang besar dengan memperbolehkan masyarakat setempat untuk masuk dan memburu atau mengambil sumber daya alam dengan asas keberlanjutan adalah lebih baik daripada taman nasional kecil yang melarang semua kegiatan tersebut. Hal ini karena taman yang
VIII-114 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN)
Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku I)
diisi oleh beberapa wakil-wakil pihak berkepentingan dalam DPK, atau oleh organisasi mitra seperti WWF Indonesia.
• Dalam jangka panjang, akan ada banyak kondisi yang menguntungkan baik dalam bidang pengelolaan, anggaran maupun kondisi politik, dibandingkan kerugiannya dalam melakukan proses pemindahtanganan ke BP secara terjadwal. Bilamana hal ini tidak memungkinkan, kegiatan pengelolaan harian dapat diserahkan dari BP kepada FoMMA.
Proses tersebut dapat dilakukan secara bertahap. Beberapa aspek dapat segera dilimpahkan kepada FoMMA. Tanggungjawab yang lainnya akan dilimpahkan setelah lembaga adat memperoleh pengalaman dan pelatihan yang cukup banyak dalam berbagai topik pengelolaan taman nasional, dan lembaga tersebut dapat menunjukkan kemampuan dan komitmen mereka terhadap pengelolaan TNKM secara berkelanjutan. Penerapan ide tersebut mungkin juga masih bergantung pada perubahan peraturan dan kebijakan pemerintah terhadap taman nasional dan cagar alam.
• Saat FoMMA berkemampuan untuk memegang wewenang pengelolaan yang lebih besar, peran PHKA selanjutnya adalah memberikan arahan, pelatihan, penelitian, perlindungan terhadap ancaman dari luar, menghimpun dana dan pemantauan independen terhadap keanekaragaman hayati, integritas taman dan kepatuhan dengan MoU yang telah disetujui oleh ketiga pihak yang terkait.
• Pengambilan yang berkelanjutan sumber daya alam yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk kehidupan mereka akan menjadi fokus pengelolaan utama dari kawasan lindung, karena masyarakat bergantung kepada sumber daya ini sementara sumber pendapatan alternatif lain dan manfaat taman lainnya, akan dikembangkan dengan perlahan-lahan.
Di dalam IUCN International System of Protected Area Categories, TNKM dapat dipandang lebih sebagai Type 6, Managed Resource Protected Area (Kawasan Lindung dengan Sumberdaya Terkelola), yang dikelola terutama untuk keberlanjutan pemanfaatan ekosistem alam. Kategori ini adalah untuk kawasan yang umumnya mengandung sistem alami, dikelola untuk menjamin perlindungan dan pemeliharaan jangka panjang keragaman biologis, sekaligus memberikan aliran hasil alam dan jasa secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pendekatan ini mempunyai beberapa resiko. Beberapa upaya yang dilakukan di tempat- tempat lain di dunia untuk melimpahkan wewenang lebih luas kepada masyarakat setempat untuk mengelola sumber daya alam dan kawasan lindung telah mengalami kegagalan.
Menariknya ekonomi pasar dapat menyebabkan masyarakat setempat menjual sumber daya mereka kepada penawar yang tertinggi dan menghancurkan lingkungan mereka dengan cara yang sama dengan kelompok-kelompok kepentingan politik dan ekonomi. Pemerintah daerah terpaksa mengandalkan pendapatan yang dihimpun secara lokal dan mungkin akan cenderung menyokong industri pemanfatan sumber daya alam daripada perlindungan lingkungan dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Namun demikian resiko dari sistem ini lebih kecil dibandingkan dengan alternatif lainnya.
PHKA dan WWFI juga dapat mencegah timbulnya masalah-masalah tersebut dengan berbagai cara seperti:
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) VIII-115
Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku I)
DAFTAR PUSTAKA
Ajang Kahang, 1998. Tana Ulen: Sistem pengelolaan dan penguasaan hutan dalam tradisi Dayak Kenyah. Unpublished report. WWF-Kayan Mentarang.
Appanah, S., 1985. General flowering in the climax rainforests of Southeast Asia.
Journal of Tropical Ecology 1: 225-240.
Arnold, G. 1959. Longhouse and Jungle. London: Chatto and Windus.
Awit Suwito. 1992. Keanekaragaman parasit mamalia kecil di kawasan konservasi Kayan Mentarang, Kalimantan Timur. Paper presented at the Second International Conference of the Borneo Research Council, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Balen, B. van. 1995. The birds of the Kayan Mentarang proposed national park, Kalimantan, Indonesia. Distributional Records and conservation. Report for Project Kayan Mentarang. WWF Indonesia Programme, Jakarta.
Bappeda Tk II Bulungan. 1993. Rencana Umum Tata Ruang Daerah Kabupaten Dati II Bulungan Tahun 1992/1993 – 2002/2003. Pemerintah Kabupaten Daerah Tinkat II Bulungan.
Bemmel, A.C. van. 1949. AA note on Lutrogale perpspicillata. Treubia 20: 375- 377.
Blajan Konradus, 1999. “Jaringan Pemasaran Gaharu, Pengelolaan Hutan, dan Dampak Sosiologis, Ekonomis, dan Ekologisnya di Kawasan Sungai Bahau.” In, Eghenter, C., and B. Sellato, eds., 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: The Ford Foundation and WWF:
181-200.
Blouch, R. 1994.Densities and distributions of Primates in the Lanjak-Entimau Wildlife Sanctuary and recommendations for management. Consultants report, Project PD 106/90, Rev (1)F, ITTO Unit, Sarawak Forest Department.
Blower, Wirawan and Watling. 1981. Survey of Flora and Fauna in the Cagar Alam Kayan Mentarang. Report for WWF-Indonesia Programme, Jakarta. 24 pp.
Borrini-Feyerabend, G. 1999. Collaborative Management of Protected Areas. In
“Partnerships for Protection – New Strategies for Planning and Management for Protected Areas. Edited by Sue Stolton and Nigel Dudley. WWF International and International Union for Conservation of Nature, Earthscan Publications, United Kingdom.
VIII-116 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN)
Kayan Mentarang Periode 2001-2025
lebih besar pada umumnya mendukung lebih banyak tipe habitat dan keanekaragaman hayati, sementara peraturan yang kaku mungkin tidak dapat diterapkan.
Juga perlu diperhatikan bahwa ancaman terbesar kepada kawasan lindung di Indonesia pada umumnya bukan berasal dari masyarakat setempat tetapi dari proyek pembangunan skala besar yang dilaksanakan oleh pemerintah dan/atau sektor swasta (World Bank 1997) yang membuka dan memecah-belah sisa-sisa hutan. Pencegahan ancaman dari luar ini serta pengakuan kepada hak dan tanggung jawab masyarakat setempat untuk bersama-sama mengelola dan memanfaatkan TNKM secara berkelanjutan akan memberi masyarakat setempat tambahan dorongan untuk melindungi kawasan. Mereka mempunyai sedikit dorongan untuk memberikan waktu dan usahanya untuk melindungi sesuatu yang mungkin akan diambil dari mereka setiap saat.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) P-117
Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku I)
Eghenter, C., 1999. “Sejarah dan Pola Perpindahan di Kalangan Orang Kayan dan Kenyah dari Apo Kayan.” In Eghenter, C., and B. Sellato, eds., 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta:
The Ford Foundation and WWF: 357-375.
Eghenter, C., 1999. Migrants’ Practical Reasonings: The Social, Political, and Environmental Determinants of Long-Distance Migrations among the Kayan and Kenyah of the Interior of Borneo. SOJOURN Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 14, No 1: 1-33.
Eghenter, C., In press. Mapping peoples’ forests: The role of community mapping in planning community-based management of conservation areas. A review of three projects of WWF Indonesia. PeFoR Discussion Paper n 2. Washington DC:
Biodiversity Support Program and WWF-US.
Eghenter, C. In press. Planning for community-based management of conservation areas: Indigenous forest management and conservation of biodiversity in the Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan, Indonesia. Proceedings of the Conference, “Displacement, Forced Settlement and Conservation,” Refugee Studies Programme, University of Oxford, 9-11 September 1999. London:
Berghahn Publishers.
Eghenter, C., and B. Sellato, eds., 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: The Ford Foundation and WWF.
Eghenter, C. and B. Sellato, editors. 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam;
Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. WWF Indonesia Programme, Jakarta, Indonesia.
Engstrom, M.D. 1993. The development of biodiversity survey methods in zoology.
Report to the Department of Mammalogy, Royal Ontaria Museum and the Museum Zoologicum Bogoriense, Bogor, Indonesia.
Everett, A.H. 1893. AA nominal list of the mammals inhabiting the Bornean group of islands. Proceedings of the Zoological Society of London 1893: 492-496.
Foead, Nazir. 1996. People and Animal in Swidden Cultivation of East Kalimantan:
A Study of the Effects of Swidden Cultivation on Large Mammals and Hunting Practices. MS Dissertation, University of Kent at Canterbury, Durrell Institute of Conservation and Ecology.
Foead, Nazir. 1997. Ecology of the Upper Bahau Grasslands in East Kalimantan: A Traditional Ecosystem Management for Pest Control? In, People and Plants of Kayan Mentarang, edited by K.W. Sorenson and B. Morris. World Wide for Nature Indonesia Programme.
P-118 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN)
Kayan Mentarang Periode 2001-2025
Boyce, M.S. 1992. Population Viability Analysis. Annu. Rev. Ecol. System. 23:481- 506.
Brookfield, H., L. Potter, Y. Byron. 1995. In Place of the Forest: Environmental and Socio-economic Transformation in Borneo and the Eastern Malay Peninsula.
United Nations University Press, Tokyo. 310 pp.
Chan, L., Kavanagh, M., Cranbrook, Earl of, Langub, J. and Wells, D.R. 1985.
Proposals for a conservation strategy for Sarawak. WWF Malaysia/State Planning Unit of Sarawak, Kuching.
CIFOR. 1998. Field Assessment Malinau and Genwood Concessions. Report of a Review Team to CIFOR’s Bulungan Research Forest Project, Bogor, Indonesia.
CIFOR. 1999. Research Challenges Common Ideas on Agricultural Progress and Forest Loss. CIFOR News, April/May Number 22.
Cochrane, Janet. 1999. Development and Management of Eco-Tourism in Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan. Report prepared for the WWF Indonesia Kayan Mentarang National Park Project, Samarinda, East Kalimantan, Indonesia.
Clay, J.W. Generating Income and Conserving Resources: 20 Lessons from the Field.
WWF Publications, Baltimore, Maryland.
Colfer, Carol, 1993. Shifting Cultivators of Indonesia: Marauders or Managers of the Forest? Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Conklin, H. C. 1957. Hanunoo agriculture: A report on an integral system of shifting cultivation in the Philippines. FAO Forestry Development Papers No 12. Rome:
Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Davis, D.D. 1958. AMammals of the Kelabit Plateau, northern Sarawak.@ Fieldiana:
Zoology 39: 119 - 147.
Dove, M., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia: Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dove, M., and D. Kammen, 1997. The Epistemology of Sustainable Resource Use:
Managing Forest Products, Swiddens, and High-Yielding Variety Crops. Human Organization, vol 56, n 1 (Spring): 91-101.
Dove, M. and T. Nugroho, 1994. Review of “Culture and Conservation” 1991-1994:
A Sub-project Funded by the Ford Foundation, World Wide Fund for Nature, Kayan Mentarang Nature Reserve Project in Kalimantan, Indonesia. Report. WWF Indonesia.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) P-119
Kayan Mentarang Periode 2001-2025
Inger, R.F. and R.B. Stuebing, 1992. The montane amphibian fauna of northwestern Borneo. Malayan Nature Journal, 46: 41-51;
Inger, R.F. and R.B.Stuebing, 1992. The montane amphibian fauna of northwestern Borneo. Malayan Nat.46: 41-51;
Inger, Robert F. and Robert B. Stuebing, 1996. Two new species of frogs from southeastern Sarawak. Raffles Bulletin of Ecology, 44(2) : 543-549.
Inger, R.F., 1966. The systematics and zoogeography of the Amphibia of Borneo.
Fieldiana: Zoologi, 52: 1-402.
Inger, Robert F. and Robert B. Stuebing (1997). Frogs of Borneo. Natural History Publications, Kota Kinabalu, Sabah 205 pp.
IUCN. 1999. IUCN Red List of Threatened Animals Database. Web Site: http://
www.wcmc.org.uk.
Iwatsuki, K., M. Kato, M. Okamoto, K. Ueda, and D. Darnaedi. 1983. Botanical Expedition to East Kalimantan during 15th June and 15th September 1981. In:
Taxonomical and Evolutionary Studies on the Biota in Humid Tropical Malaysia with Reference to Diversity of Species. Edited by T. Hidaka.
Jager, K.H., 1938. Memorie van Overgave. (Resident, Afdeeling Bulungan and Berau).
Jarvie, J. 1999. Threatened Plants of Kayan Mentarang National Park. A Report to the WWF Indonesia Kayan Mentarang National Park Project. Samarinda, East Kalimantan.
Jentink, F.A. 1897. AZoological results of the Dutch Scientific Expedition to Central Borneo. II. Mammals.@ Notes of the Leiden Museum 19: 26 - 66.
Jentink, F.A. 1898. AZoological results of the Dutch scientific expedition to Central Borneo. XX: Mammals.@ Notes of the Leiden Museum 20: 113-125.
Jepson, P., F. Momberg and H. van Noord. 1998. Trade in the Hill Myna Gracula religiosa from the Mahakam Lakes Region, East Kalimantan. WWF Indonesia Technical Memorandum 4.
Jessup, T.C., 1981.Why do Apo Kayan Shifting Cultivators Move? Borneo Research Bulletin 13(1): 16-32.
P-120 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN)
Kayan Mentarang Periode 2001-2025
Gray, Andrew & M. Colchester. 1998. Foreward, in AFrom Principles to Practice:
Indigenous Peoples and Biodiversity Conservation in Latin America.@
Proceedings of the Pucallpa Conference, Pucallapa, Peru, 17-20 March 1997.
International Work Group for Indigenous Affairs Document No. 87, Copenhagen.
Gollin, L.X. 1997. Taban Kenyah: a preliminary look at the healing plants and paradigms of the Kenyah Dayak people of Kayan Mentarang in PPKM.
Grubh, R.B., 1994. Draft management plan for birds for the development of the Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary. Consultants report, Project PD 106/90, Rev (1)F, ITTO Unit, Sarawak Forest Department.
Gyldenstope, N. 1920. On a collection of mammals made in Eastern and Central Borneo by Mr. Carl Lumholts. K. Svenska VetensAkad. Handl. 60(6): 1-62.
Hall, R. & Blundell, D. (eds.), 1996. Tectonic evolution of Southeast Asia. Geological Society Special Publication No. 106, pp. 153-184. London.
Hamiltom, W. 1979. Tectonics of the Indonesian Region. US Geological Survey Paper 1078. US Government Printing Office, Washington, D.C. 345 pp plus map.
Han, K.H. 1998. A species inventory of small mammals for the development of Lanjak-Entimau Wildlife Sanctuary as a totally protected area, Phase II, and recommendations for management. Technical report submitted to the ITTO Unit, Sarawak Forest Department, Kuching, Sarawak. 83 pp.
Harris, L.D. 1984. The Fragmented Forest: Island Biogeography Theory and the Preservation of Biotic Diversity. University of Chicago Press, Chicago.
Haryono. 1992. Perikanan dan aspek budidayamasyarakat Dayak di sekitar kawasan konservasi Kayan Mentarang. Paper presented at the Second International Conference of the Borneo Research Councill, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Hedges, S. & E. Meijaard. 1999. Reconnaissance Survey for Banteng (Bos javanicus) and Banteng Survey Methods Training Project, Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan, Indonesia. Report to the WWF Indonesia KMNP Project, Samarinda, East Kalimantan.
Hose, C. 1893. A descriptive account of the mammals of Borneo. London
Inger, R.F, and F.L. Tan,, 1996. Checklist of the the frogs of Borneo. Raffles Bulletin of Zoology, 44(2) : 551-574.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) P-121
Kayan Mentarang Periode 2001-2025
Limberg, G., Dolvina Damus, and Samuel S.T. Padan, 1995. Beberapa Analisis Alternatif Peningkatan Ekonomi Masyarakat Di Kawasan Konservasi Kayan Mentarang. Unpublished manuscript, WWF.
Limberg, Godwin. 1999. Agroforestry development for Kayan Mentarang National Park. Report written for the WWF Indonesia Kayan Mentarang National Park Project, Samarinda, East Kalimantan.
Linares, O.F. 1976. “Garden hunting” in the American Tropics. Human Ecology 4(4): 331-349.
Liu, J. 1992. ECOLECON: A spatially explicit mode for ecological economics of species conservation in complex forest landscapes. Ph.D Dissertation, University of Georgia, Athens.
Lonnberg, E. and E. Mjoberg. 1925a. AMammalia from Mount Murud and the Kelabit country.@ Annals of the Magazine of Natural History 9(16): 508-512.
Lonnberg, E and E. Mjoberg. 1925b. AMammalia from Mount Dulit and the Baram District.@ Annals of the Magazine of Natural History 9(16): 513 - 516.
Low, H. 1848. Sarawak: Its inhabitants and productions. London: R. Bentley.
Lukas Lahang, 2000. Analisa usaha perekonomian tradisional masyarakat Dayak di dalam dan di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang Project berdasarkan data Cifor dan WWF. Unpublished report. WWF Kayan Mentarang project.
Lukas Lahang and Bilung Njau, 1999. “Sejarah Perpindahan Suku Kenyah Bakung dan Leppo Ma’ut dan Perubahan Hak atas Tanah dan Hasil Hutan.” In Eghenter, C., and B. Sellato, eds., 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: The Ford Foundation and WWF:
253-280.
Lyon, M.W. 1911. Mammals collected by Dr. W.L. Abbot on Borneo and some of the small, adjacent islands. Proceedings of the U.S. National Museum 40: 53 - 146.
Mackie, C, T.C. Jessup, A.P. Vayda and K. Kartawinata.1986. AShifting cultivation and patch dynamics in an upland forest in East Kalimantan, Indonesia.@ Pp.
465 - 518 in Proceedings, Regional Workshop on Impact of Man=s Activities on Tropical Upland Forest Ecosystems, eds., Y. Hadi et al. Faculty of Forestry, Universiti Peranian Malaysia, Serdang, Selangor, Malaysia.
McDonald, J.A. 1993. Floristic reconnaissance of Ujung Kulon Reserve, West Java and the Kayan Mentarang Reserve, East Kalimantan. Technical Report to the World Wide Fund for Nature Indonesia Programme.
P-122 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN)
Kayan Mentarang Periode 2001-2025
Jessup, T.C., and Peluso, N.L., 1986. “Minor Forest Products as Common Property Resources in East Kalimantan, Indonesia.” Proceedings of the Conference on Common Property Resource Management. Washington: National Academy Press:
505-524.
Jessup, T. and H. Soedjito. 1992. East Kalimantan: Kenyah (and Penan) Dayak Forest Medicines. Project Progress Report. World Wide Fund for Nature Indonesia Programme. Jakarta.
Kartawinata, K. and P. Vayda. 1984. AForest conversion in East Kalimantan, Indonesia.@ in Ecology in Practice: 1. Ecosystem management, eds., F. di Castri et al. Paris: Tycooly, Dublin and UNESCO.
King, V.T., 1987. The people of Borneo. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Kottelat, M., T. Whitten, Kartikasari, S. N. and Wirjoatmodjo. 1996. The freshwater fishes of western Indonesia and Sulawesi. Periplus, Singapore, in collaboration with the Environmental Management Development in Indonesia (EMDI) Project.
219 pp.
Kottelat, M & T. Whitten. 1996. Freshwater Biodiversity in Asia, with Special Reference to Fish. World Bank Technical Paper No. 343. The World Bank, Washington, D.C.
Kremen, C., A.M. Merenlender and D.D. Murphy. 1994. Ecological Monitoring: A Vital Need for Integrated Conservation and Development Programs in the Tropics.
Conservation Biology. Volume 8, No. 2, Pages 388-397.
KPSL-UNLAM. 1989. Longitudinal variation of the ecological condition of the Kala’an River in Pleihari-Martapura forest reserve. Report to the Biodiversity Support Program. KPSL-UNLAM, Banjarbaru.
Kusneti, M.M. 1997. Timber species used for houses and rice storage buildings by Dayak people in the village of Long Alongo. In PPKM. Pp151-164.
Lawrence, D., Leighton, M., and D. Peart, 1995. Availability and Extraction of Forest Products in Managed and Primary Forest around a Dayak Village in West Kalimantan, Indonesia. Conservation Biology, vol 9(1): 76-88.
.Leaman, D.J., Razali Yusuf, & H. Sangat-Roemantyo. 1991. Kenyah Dayak Forest Medicines. A Report for the World Wide Fund for Nature Indonesia Programme.
Jakarta.
Liman Lawai, 2000. Peranan lembaga masyarakat dalam pengelolaan taman nasional:
Analisa hasil inventarisasi partisipatif lembaga lokal di kawasan Kayan Mentarang.
Unpublished report. WWF Kayan Mentarang project.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) P-123
Kayan Mentarang Periode 2001-2025