• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS UTAMA MANUSIA

A. Khalīfah

Kata khal◄fah berasal dari akar kata khalafa-yakhlufu-khal- fan-khal☼fan-khil☼fatan yang artinya: (1) berada di belakang; (2) pihak yang datang di belakangnya dan berada pada posisinya;

(3) pengganti;1 (4) yang datang sesudahnya; (5) yang ditem- patkan sebagai pengganti bagi yang sebelumnya. Menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang diganti- kan, baik bersama yang digantikan maupun sesudahnya.2 Bentuk jamaknya khal☼╨if dan khulafā╨. Khil☼fah ialah kepemim- pinan.3

Kata khal◄fah dalam bentuk tunggal disebutkan dua kali dalam Al-Qur╨an, yakni dalam al-Baqarah/2: 30 dan ☻☼d/38:

26. Dalam bentuk jamak khulaf☼╨ disebutkan tiga kali, yakni dalam al-A„r☼f/7: 69, 74 dan an-Naml/27: 62. Sedangkan kata yang semakna dengan khulaf☼╨, yakni khal☼╨if disebut empat kali, yakni dalam al-An„☼m/6: 165, Yūnus/10: 14, 73 dan F☼•ir/35:

39.

Arti yang pertama, berada di belakang, adalah seperti tertera dalam dua ayat dari firman Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼

berikut:

Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.

Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengeta- hui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya me- lainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.

Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha- tinggi, Mahabesar. (al-Baqarah/2: 255)

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (an-Nisā╨/4: 9)

Kata khal◄fah dalam bentuk tunggal disebutkan dalam Al-Qur╨an dalam konteks penciptaan Nabi Adam dan dalam konteks kepemimpinan Nabi Daud sebagai berikut:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,

“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah/2: 30)

Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ menyampaikan keputusan kepada para malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian keputusan sekaligus informasi ini berkaitan dengan tugas malaikat dalam kehidupan manusia.

Ada malaikat yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas membawa rezeki, membimbing dan sebagai- nya. Penyampaian pesan itu juga akan mengantarkan manusia pada sikap syukur kepada Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ atas anugerah-Nya yang tersimpul dalam dialog Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ dengan para malaikat, “Sungguh, Aku akan menjadikan khalīfah di bumi.” Mendengar rencana tersebut para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalīfah itu akan merusak dan menumpahkan darah.

Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, di mana ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasar asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalīfah, bukan malaikat, maka pasti makhluk itu berbeda dari mereka yang selalu bertasbih me- nyucikan Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼. Pertanyaan itu juga bisa lahir dari sebutan terhadap makhluk yang akan dicipta itu sebagai

khalīfah, yang mengesankan makna pelerai perselisihan dan penegak hukum, sehingga tentu ada di antara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah.4

Untuk melaksanakan tugas kekhalifahan manusia, Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ melengkapi manusia dengan potensi-potensi tertentu, atara lain potensi untuk mengenal, mengetahui nama, sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda, sebagai berikut:

Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemu- dian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebut- kan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (al- Baqarah/2: 31)

Malaikat-malaikat itu suci dan bersih, dan dianugerahi kekuasaan dari Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼, namun mereka hanya menduduki satu segi saja dalam alam ini. Kita boleh memba- yangkan mereka tanpa nafsu atau perasaan yang akan melahir- kan rasa cinta kasih. Kalaupun manusia telah dianugerahi nafsu, maka nafsu itu dapat membawanya ke puncak tertinggi dan dapat pula menjerumuskannya ke lembah yang terendah.

Kekuatan berkehendak atau berikhtiar akan menyertai mereka dengan maksud agar manusia dapat mengemudikan bahteranya sendiri. Kekuatan berkehendak ini bila digunakan dengan baik, sampai batas-batas tertentu akan memberi kekuasaan dalam mengatasi nasibnya sendiri dan alam.

Dengan demikian ia akan membawanya lebih dekat kepada alam ilahi, yang merupakan kekuasaan dan kehendak tertinggi.

Kita boleh beranggapan bahwa para malaikat itu tidak memiliki kebebasan berkehendak sendiri. Dalam beberapa hal

kesempurnaan mereka telah memantulkan kesempurnaan Tuhan—tetapi mereka tidak mendapat martabat khalīfah.

Khalīfah yang sempurna ialah yang mempunyai kemampuan inisiatif sendiri, tetapi kebebasan bertindaknya memantulkan adanya kehendak Penciptanya dengan sempurna. Para malaikat itu dalam sifatnya yang hanya satu segi, hanya melihat akibat kerusakan atas penyalahgunaan sifat emosional oleh manusia.

Mereka juga, yang tanpa nafsu, barangkali tidak dapat memahami semua sifat Tuhan, yang memberi dan meminta kasih. Dalam kerendahan hati dan pengabdian yang sesungguhnya kepada Allah mereka seolah memprotes. Mereka pun sudah diberitahu bahwa mereka tidak tahu, karena ketidaklengkapan mereka mengenai pengetahuan. Masalah itu membuat mereka insaf bila kapasitas manusia yang sebenarnya diperlihatkan kepada mereka.5 Sebagaimana tertera dalam ayat berikut:

(Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadi- kan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa naf- su, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang- orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, kare- na mereka melupakan hari perhitungan.” (☻☼d/38: 26)

Dalam ayat di atas Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ menjelaskan tentang tugas Nabi Daud sebagai khalīfah yang harus melaksa- nakan hukum di antara manusia berdasarkan kebenaran dan keadilan serta tidak memperturutkan hawa nafsu, karena mem-

perturutkan hawa nafsu akan menyesatkan dari jalan Allah.

Nabi Daud adalah seorang raja yang bijak, ikhlas, jujur dan adil, serta dekat kepada Allah. Ia dikaruniai bakat-bakat besar bukan untuk dibangga-banggakan, melainkan untuk menunaikan amanah.6

Kata khal◄fah dalam bentuk jamak khulaf☼╨ disebutkan tiga kali sebagai berikut.

Dan herankah kamu bahwa ada peringatan yang datang dari Tuhanmu melalui seorang laki-laki dari kalanganmu sendiri, untuk memberi peringatan kepadamu? Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung. (al-A‘r☼f/7: 69)

Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ memberikan nikmat dengan menjadikan kaum sesudah Nuh khalifah-khalifah, yakni peng- ganti-pengganti yang berkuasa dan bertugas memakmurkan bumi dan memberikan kelebihan dalam hal penciptaan pada bidang jasmani dan pikiran, ketegaran dan kemampuan, sehingga mereka menjadi lebih tinggi, kuat dan kekar, serta lebih cerdas dibanding dengan umat sebelum mereka, atau di- banding dengan umat yang segenerasi. Maka hendaklah mereka bersyukur dan merendahkan diri agar memperoleh keberuntungan.7

Kata khulaf☼╨ dalam ayat tersebut adalah bentuk jamak dari kata khal◄fah yang pada mulanya berarti menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Kata

khulaf☼╨ mengesankan adanya makna kekuasaan politik dalam mengelola suatu wilayah, sedangkan bila menggunakan bentuk jamak khal☼if maka kekuasaan wilayah tidak termasuk di dalamnya.8 Kekhalifahan yang dimaksud dalam ayat tersebut dapat dipahami dalam arti menggantikan kaum Nuh dalam memakmurkan bumi, dan dengan demikian kaum „►d merupakan suku pertama yang membangun peradaban manusia setelah terjadinya topan Nabi Nuh.9 Sebagaiman firman-Nya:

Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum „Ad dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi. (al-A„r☼f/7: 74)

Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ mendatangkan kaum ♨amūd menjadi khalifah setelah kaum „►d punah. Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ memberikan kemudahan kepada mereka untuk melaku- kan aktivitas dengan membuat pada dataran rendahnya bangu- nan-bangunan besar, yakni tempat tinggal yang luas lagi indah, dan mereka memahat gunung-gunungnya sehingga menjadi rumah-rumah tempat tinggal di musim panas maupun musim dingin.10 Allah sub♥☼na♥ū wa ta„☼l☼ berfirman:

Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi?

Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat. (an-Naml/27: 62)

Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ menjadikan manusia khalifah- khalifah di bumi yang mampu memanfaatkan kekayaan alam dan hidup nyaman di permukaannya. Kadang dalam hidup manusia berada dalam posisi yang sulit memperoleh apa yang dibutuhkan untuk kelanjutan hidupnya, seperti makanan, pakaian, pernikahan, yang dapat diperoleh melalui salah satu cara pertukaran. Semakin besar manfaat yang dapat diperoleh dari sesuatu itu dan semakin kurang ketersediaannya, maka semakin besar pulalah kesulitan yang dihadapi. Kebutuhan yang lebih mendesak dan amat sangat penting bagi setiap manusia ialah pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, harta benda dan kehormatan. Situasi terakhir ialah peringkat pemanfaatan, kepemilikan, termasuk pewarisan bumi generasi demi generasi dan kelahiran anak-anak yang kesemuanya diisyaratkan oleh kata khulaf☼╨.11

Kata khal◄fah dalam bentuk jamak khal☼╨if disebutkan empat kali sebagai berikut:

Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-An‘☼m/6: 165)

Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ menjadikan manusia sebagai khalifah-khalifah di bumi, yakni pengganti umat-umat yang lalu dalam mengembangkan alam. Dan Dia meninggikan derajat akal ilmu, harta, kedudukan sosial, kekuatan jasmani dan seba- gianya sebagian orang atau sebagian yang lain beberapa derajat sebagai ujian.12

Kemudian Kami jadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (mereka) di bumi setelah mereka, untuk Kami lihat bagaimana kamu berbuat. (Yūnus/10:

14)

Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa kata khal☼if adalah bentuk jamak dari kata khalifah yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata khalifah seringkali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya.13 Dan Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ menja- dikan mereka khalifah-khalifah untuk mengetahui dan melihat bagaimana mereka berbuat dan pada saatnya meminta per- tanggungjawaban atas amanat yang telah diembankannya.

Kemudian mereka mendustakannya (Nuh), lalu Kami selamatkan dia dan orang yang bersamanya di dalam kapal, dan Kami jadikan mereka

itu khalifah dan Kami tenggelamkan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu. (Yūnus/10: 73)

Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ menjadikan pengikut-pengikut Nabi Nuh yang selamat dari banjir sebagai khalifah-khalifah pemegang kekuasaan di wilayah tempat mereka berada.14

Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi.

Barangsiapa kafir, maka (akibat) kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang kafir itu hanya akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan mereka. Dan kekafiran orang-orang kafir itu hanya akan menambah kerugian mereka belaka. (F☼•ir/35: 39)

Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼ menjadikan sebagian manusia mewarisi sebagian yang lain untuk membangun dan mengolah bumi. Dari itu, Dia berhak mendapatkan rasa syukur, bukannya kekufuran. Maka barangsiapa yang mengingkari Allah, dia akan mendapatkan dosa akibat kekufurannya. Di sisi Allah sub♥☼nahū wa ta„☼l☼, sikap kufur mereka itu tidak menghasilkan apa-apa ke- cuali semakin bertambahnya murka Allah. Kekufuran mereka itu hanya menghasilkan kerugian yang besar.15

Manusia menjadi ahli waris bumi dalam arti sebagai khalifah Allah di bumi dan sebagai penerus atau pengganti umat sebelumnya yang telah kehilangan hak-hak mereka karena melakukan perbuatan zalim. Kehormatan dan harga diri yang ada pada khalīfah dan contoh-contoh masa lampau yang ada pada generasi penerus atau pengganti harus tetap membuat mereka jujur dan menjadikan diri mereka benar-benar ber- syukur. Kekafiran dan tidak bersyukur itu hanya akan meru-

gikan mereka sendiri. Mereka kehilangan harga diri dan menim- bulkan kebencian dalam pandangan Allah, dan mereka telah menghancurkan diri mereka sendiri.16