• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAGIAN HARTA

B. Macam Harta Warisan

112 | Asni Zubair

keutuhan keluarga, sebab dalam sebuah keluarga hampir selalu ada salah seorang ahli waris yang serakah. Seperti yang dikemukakan oleh Andi Najamuddin Petta Ilẽ,

Rilalenna sẽddiẽ keluarga engkamẽmetto si macoccong.‖225 Artinya, di dalam sebuah keluarga selalu ada yang serakah.

Dalam hal ini ada ahli waris yang menganggap pembagian harta warisan tidak adil, sementara ahli waris lain tidak ada yang rela melepaskan sebagian perolehannya untuk diserahkan kepada ahli waris yang merasa kurang tersebut, karena menurut pendapatnya bahwa pembagian harta warisan ini sudah dilakukan secara adil. Apabila upaya mencari titik temu (mappasiloloongeng) mengalami jalan buntu, maka mereka menyerahkan sepenuhnya kepada pembagian harta warisan dengan bagian masing-masing ahli waris berdasarkan ketentuan hukum waris Islam, apalagi jika urusan itu diserahkan ke pengadilan agama.

Perkawinan).226

Apabila salah seorang dari pasangan suami istri itu meninggal dunia, maka biasanya cenderung untuk tidak membagi harta itu secara langsung, tetapi tetap memanfaatkannya untuk membiayai kehidupan rumah tangga tersebut. Maka, biasanya janda ataupun duda dari pasangan itu yang akan mengambil peran dalam pengaturan harta benda itu, dan ketika sudah ada keputusan untuk membagikannya sebagai harta warisan kepada ahli warisnya, janda ataupun duda akan mendapat setengah bagian dari harta bersama, dan setengah bagiannya lagi akan dibagikan kepada ahli waris. Cara seperti ini yang dipercayai akan mampu menjaga kedamaian dalam keluarga dan keseimbangan dalam masyarakat secara umum.227 Hal seperti ini juga yang terjadi pada masyarakat Bugis di Bone, apabila misalnya seorang suami meninggal dunia, maka harta warisannya tidak langsung dibagi, tetapi tetap dimanfaatkan secara bersama-sama dalam keluarga. Apalagi jika dalam keluarga itu anak-anaknya masih kecil, setelah keduanya (suami dan istri) meninggal dunia, baru ada upaya untuk membagi harta warisan orang tua mereka.

Kadang kala, meskipun kedua orang tua mereka telah meninggal dunia, tetapi masih ada di antara anaknya yang belum berkeluarga, maka harta warisan masih belum dibagikan, khususnya jenis harta tertentu seperti rumah keluarga. Hal ini biasanya berdasarkan pesan (wasiat) dari orang tua yang bertujuan agar hak-hak ahli waris, khususnya anak mereka, dapat terpelihara dan terlindungi. Keadaan ini juga merupakan isyarat dari orang tua agar sepeninggalnya kelak anak-anaknya

226Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 72- 73.

227Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: TERAS, 2008), h. 51-52.

114 | Asni Zubair

dapat saling menjaga. Sebab, apabila ahli waris yang belum menikah itu laki-laki, maka semua kewajiban yang ditunaikan seperti sompa (mahar), doi mẽnrẽ‟ (uang naik/belanja) merupakan tanggung jawab keluarga. Adapun jika yang belum menikah itu perempuan, maka dia masih menjadi tanggung jawab keluarga, terutama dari saudara laki-lakinya.

Perbedaan antara harta benda famili dan harta benda yang diperoleh sendiri oleh keluarga baru kelihatan apabila pewaris tidak mempunyai anak. Barang asal (familiegoederen) kembali kepada familinya, sedang barang keluarga (gezin) pada umumnya berada dalam penguasaan (suami atau istri) yang ditinggal mati.228 Keadaan akan berbeda jika pewaris meninggalkan anak/keturunan, maka kedua jenis harta tersebut akan diserahkan kepada anak atau keturunannya sebagai ahli waris utama dari harta peninggalan.

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun yang menjadi hak-haknya. Adapun harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhīz), pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.229 Jadi, harta peninggalan berbeda dengan harta warisan, sebab harta peninggalan belum boleh langsung dibagikan kepada ahli waris sebelum dikeluarkan hak-hak orang lain di dalamnya. Apabila hal tersebut telah dilakukan, maka harta peninggalan itu telah menjadi harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris/klasifikasi harta warisan adalah harta keluarga itu yang dapat berupa:

228Soerjono Soekanto, Meninjau, h. 113.

229Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam dalam Abdul Manan dan M.

Fauzan, Pokok-Pokok, h. 103-104 dan 372.

1. Harta suami atau istri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat yang dibawa ke dalam keluarga,

2. Usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan,

3. Harta yang merupakan hadiah kepada suami-istri pada waktu perkawinan,

4. Harta yang merupakan usaha suami-istri dalam masa perkawinan.230

Terdapat dua macam asal harta dalam keluarga masyarakat Bugis di Bone, yakni harta bawaan (waramparang siwaali) dan harta bersama (waramparang balirẽẽso). Waramparang siwaali adalah harta yang dibawa pihak laki-laki ataupun perempuan yang diperoleh baik dari kerabatnya maupun yang diperoleh dari hasil usahanya sendiri sebelum pernikahan/berumah tangga. Adapun waramparang balirẽẽso atau harta mata pencaharian bersama adalah harta yang diperoleh laki-laki (suami) dan atau diperoleh perempuan (istri) selama dalam ikatan pernikahan/selama berumah tangga. Seperti dituturkan oleh Juhuri, ―Ada harta disebut waramparang balirẽẽso atau harta bersama, ada juga waramparang siwaali yang asalnya dari keluarga atau harta bawaan.‖231

Dikatakan diperoleh suami dan atau diperoleh istri, karena dalam kehidupan rumah tangga dapat saja terjadi yang bekerja mencari nafkah keluarga hanya suami, sedangkan istri bekerja mengurus rumah tangga. Juga, dapat terjadi keduanya, yaitu suami dan istri bersama-sama bekerja mencari nafkah sehingga keduanya secara bersama-sama mendapatkan hasil berupa materi dari pekerjaannya. Mengenai banyak sedikitnya

230Soerjono Soekanto, Hukum Adat, h. 277.

231Wawancara dengan Bapak Juhuri pada tanggal 7 Januari 2009 di Kelurahan Manurungẽ, Kecamatan Tanete Riattang dan wawancara dengan Ibu Intang pada tanggal 10 Januari 2009 di Desa Mattanẽtẽ Bua, Kecamatan Palakka.

116 | Asni Zubair

penghasilan antara suami dan istri tidak mempengaruhi penetapan bagian yang akan didapat oleh pihak janda atau duda nantinya setelah salah satu dari mereka meninggal dunia. Janda atau duda akan menerima setengah dari harta itu. Dengan kata lain, penghasilan antara suami dan istri menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, semuanya menjadi lebur membentuk sekumpulan harta bersama/waramparang balirẽẽso.

Penanggung jawab terhadap harta kekayaan tersebut baik harta bawaan (waramparang siwaali) maupun harta bersama (waramparang balirẽẽso) diserahkan kepada suami sebagai kepala rumah tangga. ―Tanggung jawab mengurus biasanya diserahkan ke suami.‖232 Dengan tanggung jawab tersebut bukan berarti suami memiliki wewenang absolut untuk mengelola, memanfaatkan, dan menyalurkan harta kekayaan itu tanpa izin istri. Semua permasalahan yang berkaitan dengan harta bersama ini ditanggung bersama dan dikelola bersama.

Hanya saja, sebagai penanggung jawab pada umumnya diserahkan kepada suami karena kedudukannya sebagai kepala keluarga.

Kalau terjadi perceraian, pembagian harta dari kedua sumber itu (waramparang siwaali dan waramparang balirẽẽso) akan dibagi sesuai dengan ketentuan, baik berdasarkan ketentuan tertulis berupa perundang-undangan maupun berdasarkan ketentuan tidak tertulis berupa aturan hukum adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum adat masyarakat, waramparang siwaali (harta bawaan) akan kembali kepada si pembawa harta tersebut dan harta bersama (waramparang balirẽẽso) akan dibagi dua antara janda dan duda apabila terjadi perceraian dan di dalam perkawinan mereka tidak dikaruniai anak. Seperti dituturkan oleh Bapak

232Wawancara dengan Bapak Juhuri pada tanggal 7 Januari 2009 di Kelurahan Manurungẽ, Kecamatan Tanete Riattang.

Andi Muhammad Ridwan Petta Rani, ―Yako masserangngi dibagẽ duwai iyaro balirẽsoẽ.‖233 Artinya, kalau terjadi perceraian, harta bersama itu akan dibagi dua untuk janda dan duda. Adapun apabila terjadi kematian dari salah satu pihak suami atau istri, maka harta bersama itu setengahnya diserahkan kepada janda atau duda, sedangkan harta bawaan (waramparang siwaali) ditambah dengan setengah dari harta bersama orang yang meninggal akan diberikan kepada anak- anaknya sebagai harta warisan. Akan tetapi, apabila dia tidak meninggalkan anak sama sekali, maka harta bawaan (waramparang siwaali) itu akan kembali kepada kerabat yang meninggal dunia tempat asal harta itu diperoleh. Dengan kata lain, waramparang siwaali diwarisi oleh keluarga dari pihak si pewaris manakala dia tidak memiliki keturunan. Adapun harta bersama (waramparang balirẽẽso) tetap dikuasai sepenuhnya oleh janda atau duda. Hal ini seperti dituturkan oleh Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani, ―Yako maatẽi nadeegaaga ana‟na, lisu maaneng waramparang siwaliẽ ri keluargana, waramparang balirẽẽso lisu maaneng riwalunna.234 Artinya, kalau seorang meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak/keturunan, harta bawaannya dikembalikan kepada keluarga, sedangkan harta bersama dikembalikan ke janda/dudanya. Dalam arti bahwa dengan meninggalnya pewaris, maka harta yang dibawa dari keluarganya berupa harta bawaan (waramparang siwaali) akan kembali menjadi bagian harta warisan untuk kerabatnya sebagai ahli waris berdasarkan hubungan darah (nasab) seperti orang tua, saudara, dan seterusnya. Adapun janda atau duda pewaris tidak berhak mewarisi harta bawaan (waramparang siwaali)

233Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Kelurahan Biru, Kecamatan Tanete Riattang.

234Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Kelurahan Biru, Kecamatan Tanete Riattang.

118 | Asni Zubair

tersebut. Sebaliknya, harta bersama (waramparang balirẽẽso) antara pewaris dengan janda atau duda akan sepenuhnya diberikan kepada janda atau duda, sedangkan dari pihak kerabat pewaris tidak berhak mewarisi harta bersama (waramparang balirẽẽso) tersebut. Janda atau duda tidak berhak mewarisi waramparang siwaali karena menurut logika masyarakat keberadaan harta ini diperoleh tanpa sedikitpun andil/jasa dari mereka. Waramparang siwaali ini sering pula disebut waramparang napolẽi (anu napolẽi) bagi seorang janda atau duda, maka harta tersebut dikembalikan ke asalnya, yaitu kerabat pewaris.

Meskipun demikian, aturan tersebut tidaklah menutup kemungkinan bahwa harta bawaan (waramparang siwaali) itu sama sekali tidak boleh diberikan kepada janda ataupun duda.

Apabila kerabat yang meninggal dunia (pewaris) sebagai asal dari harta bawaan itu memberikan kepada janda atau duda, hal itu boleh saja dilakukan, tetapi bukan merupakan bagian dari harta warisan, hanya berupa pemberian (pabbẽẽrẽ). Seperti dituturkan oleh Andi Muhammad Ridwan Petta Rani,

Naẽkkiya weddingmuto riarẽng tapi tennia maanaa asenna, pabbẽẽrẽmi.‖235 Artinya, tetapi bisa juga harta bawaan itu diberikan kepada janda/duda pewaris tetapi bukan sebagai bagian dari harta warisan, hanya berupa pemberian. Begitupun sebaliknya, apabila janda atau duda memberikan sebagian dari harta bersama (waramparang balirẽẽso) tersebut kepada kerabat pewaris, maka itu bukan merupakan bagian harta warisan, tetapi hanya sebagai pemberian. Hal ini dapat saja terjadi sebab masyarakat Bugis di Bone khususnya memiliki rasa kepedulian (solidaritas) yang tinggi, apalagi pihak janda atau duda telah menjalin hubungan persaudaraan dengan pihak keluarga pewaris secara baik selama ini.

235Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani tanggal 8 Mei 2008 di Kelurahan Biru, Kecamatan Tanete Riattang.