BAB II MASYARAKAT BUGIS DI
D. Sistem Kekerabatan dan Status Kepemilikan Harta
48 | Asni Zubair
mengatur sah atau tidaknya perkawinan, serta etika pergaulan dalam masyarakat dan berumah tangga.
Aturan pertalian darah/sistem kekerabatan bagi masyarakat Bugis bersifat bilateral, keturunan dari pihak ayah dan ibu ditempatkan pada derajat yang sama serta penghargaan yang sama pula. Penentuan kedudukan sosial dari keturunan ditentukan berdasarkan percampuran darah ayah dan ibu.
Dengan sistem kekerabatan bilateral ini membuat orang Bugis memiliki ikatan kekerabatan yang sangat luas karena berasal dari pihak ibu dan ayah sekaligus.
Seperti ditulis oleh Abu Hamid bahwa masyarakat Bugis biasanya mencari jodoh dalam lingkungan kerabat dekat, dari pihak ibu dan ayah yang diikat oleh pertalian kekerabatan (assiajingeng) yang terdiri atas dua macam assiajingeng122 yaitu rẽppẽ‟123 dan siteppateppangeng.124 Hal ini dikarenakan dalam hal mencari jodoh untuk membentuk keluarga baru, adat menetapkan bahwa sebuah perkawinan yang ideal ialah:
1. Perkawinan yang disebut assialang marola (perjodohan yang sesuai), yaitu perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu (massappo siseng), baik dari pihak ayah maupun ibu.
2. Perkawinan yang disebut assialanna mẽmeng (perjodohan yang semestinya), yaitu perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua (massappo kadua), baik dari pihak ayah maupun ibu.
122Abu Hamid, dkk., Sejarah Bone (Bone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007), h. 246-247.
123Rẽppẽ adalah kekerabatan (assiajingeng) yang berasal dari hubungan darah seperti anak, cucu, ayah, kakek, ibu, nenek, saudara, paman, kemanakan, sepupu, dan seterusnya. Lihat Mattulada, Latoa, h. 38 dan 40.
124Siteppateppangeng adalah kekerabatan (assiajingeng) yang berasal dari hubungan perkawinan seperti orang tua suami/istri, saudara suami/istri, sepupu suami/istri dan seterusnya. Mattulada, Latoa, h. 38 dan 40.
50 | Asni Zubair
3. Perkawinan ripaddeppẽ mabẽlaẽ (mendekatkan yang jauh), yaitu perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga (massappo katellu), baik dari pihak ayah maupun ibu.125 Perkawinan ini disebut ripaddeppẽ mabẽlaẽ (mendekatkan yang jauh) karena kekerabatan sepupu derajat ketiga itu sudah dianggap agak jauh sehingga dengan terjadinya perkawinan di antara mereka akan mendekatkan hubungan kekerabatan tersebut.
Perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu (massappo siseng) yang biasanya dilakukan oleh masyarakat, yaitu mengawinkan antara anak laki-laki dari saudara perempuan dan anak perempuan dari saudara laki- laki. Hal itu dilakukan karena mereka sudah dianggap tidak terlalu dekat, sebab anak laki-laki dari saudara perempuan telah dialiri darah orang lain, yakni dari ayahnya.
Meskipun perkawinan antara saudara-saudara sepupu tersebut dianggap ideal, tetapi hal ini bukan merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat. Dengan demikian, seseorang dapat saja menikah dengan gadis pilihan yang bukan berasal dari saudara sepupunya.
Hal ini sejalan dengan ciri-ciri kekerabatan yang bersifat bilateral, yakni:
1. Menimbulkan kesatuan kekeluargaan,
2. Menghubungkan diri dalam keturunan dapat kepada ayah (laki-laki) atau kepada ibu (perempuan),
3. Bentuk perkawinan mungkin terjadi endogami, yakni perkawinan antara satu suku, namun boleh juga melakukan perkawinan dengan orang luar suku
125Perkawinan kebanyakan terjadi dalam lingkungan kekerabatan sendiri (endogami) untuk tetap mempertahankan hubungan keturunan dari satu nenek moyang yang sama. Walaupun demikian, banyak juga terjadi perkawinan yang eksogami, karena keinginan di pihak pemuda/pemudi untuk meningkatkan martabat dan pertimbangan ekonomi dan politik. Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia (Bandung: PT Alumni, 2010), h. 205.
(exogami).126
Adapun perkawinan yang dilarang karena hubungan kekerabatan yang sangat dekat sehingga dikatakan incest adalah perkawinan antara anak dengan ibu/bapak, saudara (kandung, sebapak, seibu), menantu dengan mertua, paman/bibi dengan keponakan, nenek dengan cucu.
Kepemilikan harta pada masyarakat umumnya diperoleh melalui jalan jual beli (mangelli) di antara mereka yang berarti hasil jerih payah (wassẽlẽ‟ rẽso). Status kepemilikan seperti ini dianggap lebih kuat dari yang lain karena murni berasal dari hasil usaha yang bersangkutan. Artinya, kepemilikan harta tersebut tidak berasal dari jasa keluarga, sehingga tidak mungkin diganggu gugat oleh saudara/kerabat. Kekuatan status kepemilikan harta melalui jual beli ini semakin kuat kalau harta tersebut dibeli dari orang lain disertai akta jual beli yang otentik.
Ada pula kepemilikan harta yang diperoleh dari pemberian/hibah (Bugis: pabbẽrẽ), baik yang berasal dari orang tua maupun selainnya. Status kepemilikan harta seperti ini cukup kuat tetapi masih kalah dibanding dengan harta yang berasal dari jual beli. Hal ini disebabkan apabila pemberian itu berasal dari orang tua, maka sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh yang memberi, dalam hal ini adalah orang tua.127 Selain itu, saudara yang lain dapat menggugat harta pemberian tersebut apabila orang tua tidak berlaku adil ketika memberi kepada anak-anaknya. Pemberian yang seperti ini dapat saja diperhitungkan sebagai bagian dari harta warisan orang tua.128
126Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2007), h. 90.
127Seperti yang disebutkan dalam Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam, Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anak.
128Sebagaimana dalam Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam, Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai bagian warisan.
52 | Asni Zubair
Selanjutnya, ada juga kepemilikan harta yang berasal dari bagian harta warisan (maanaa). Status kepemilikan harta seperti ini cukup kuat, apabila berhadapan dengan orang lain yang bukan kerabat, tetapi dapat menjadi lemah dan digugat apabila berhadapan dengan kerabat dekat yang berkedudukan sama sebagai ahli waris dari asal harta tersebut. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk memperkuat status kepemilikan harta yang diperoleh dari bagian harta warisan, baik berhadapan dengan ahli waris lain maupun orang lain dengan menerbitkan sertifikat hak milik.
E. Tradisi Hukum Waris yang Hidup dalam Masyarakat