• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memasang Ander

Dalam dokumen PDF perpustakaan.gunungsitolikota.go.id (Halaman 57-68)

B. Alhamdu lillahi rabbil alamin

8. Memasang Ander

I ) I

l

untuk konstruksi atau rakitan rumah bentuk kampung dan limasan, ander memang boleh dibanggakan, karena merupakan penopang

molo dan

dihubungkan dengan

sistem

purus.

Cara-cara merakit ander adalah seperti di bawah ini:

t!t!_(yLs!t

tllti

Coro merokit ander

I

riil

gania

Anderpenopang molo

Molo atau suwunan, balok yang terletak paling atas serta

paling menentukan.

Letak molo

tyersebut

di

tengah-tengah

blandar. Bentuknya memanjang sesuai dengan membujurnya rumah. Bagian

ini

oleh kebanyakan orang dianggap keramat kerena terletak pada bagian yang paling atas yang deryian sendirinya berfungsi sebagai penopang rumah. Oleh karena molo disebut juga sirah (tidak berbeda dengan sebutan kepala manusia) atau suwunan, sewaktu masih berada di tengah orang tidak boleh sembarangan melangkahinya. Dan cara memasangnya juga yang paling akhir. Jadi, kalau kita melihat rumah sudah dipasang molo, maka dapat dipastikan bahwa rumah tersebut hampir selesai

didirikan. Kita tinggal menyaksikan pemasangan dinding, payon atau atapnya saja. Beberapa saat setelah kedua bagian yang terakhir selesai dibuat

juga,

berarti rumah telah siap untuk didiami. Anda tinggal menyiapkan perabotan saja.

58

r

Ander seperti disebutkan

di

atas, merupakan balok yang menopang molo dan pengeret. Agar pengeretnya sendiri tidak goyah, maka tukang-tukang yang mengerjakan biasanya memakai sistem purus ke dalam ganja atau gaganja.

Pengeret, balok yang berfungsi sebagai pienghubung dan stabilisator (penopang) ujung-ujung tiang dan menjadi pusat bertumpu dan penghubung blandar. Balok

ini

berfungsi agar

rumah tidak renggang. Santen merupakan penyangga pengeret dan terletak antara pengeret dan kili.

Kili, balok penghubung dua buah tiang dan berfungsi sebagai cathokan. Kili tersebut juga merupakan stabilisator cathokan.

Ragam hias apakah yang dipakai untuk balok-balok bagian atas? Hal

itu

tergantung dari mewah atau murahnya bangunan

yang sedang

didirikan.

Semakin mewah bangunan tersebut hiasannya juga semakin rumit namun lengkap.

Fungsi hiasan pada suatu bangunan ialah untuk memperindah atau mempercantik bangunan. Sebab keindahan yang memukau seseorang biasanya juga menyejukkan hatinya, disamping rasa ketenteraman yang

sulit

digambarkan. Keindahan mana yang abadi itu? Ialah keindahan sorga yang sering

kita

dengar dari dongeng-dongeng. Setelah seorang

ahli ukir

misalnya dapat menggambarkan secara imajinasi tentang bagaimana

itu

hiasan sorga, maka ia menuangkan dalam ukirannya sesuatu hal yang berbau fantasi pula. Kalaupun

ia

menggambatkan benda yang pernah dilihatnya

di

dunia fana

ini

pasti diberi tambahan yang disebut

distilir.

Orang-orang

di

Jawa yang terbiasa melihat

puluhan

candi-candi,

baik candi Hindu

maupun Buddha mempunyai keyakinan sendiri bahwa pahatan yang melekat pada dinding-dinding candi merupakan gambaran hiasan sorga. Sebab hiasan-hiasan itu berkumpul di sekitar patung para dwata.

Selain hiasan

yan!

bercorak stilisasi, ada juga seniman-seni- man tertentu yang membuatragam hias dengan corak naturalistis.

Walaupun ragam

hias yang ada

mengandung ciri-ciri naturalis

dan

stilisasi, pada prinsipnya terbagi dalam lima kelompok, yaitu flora, fauna, alam, agama atau kepercayaan dan lain-lain terserah si pembuat.

Kelompok flora sudah dijelaskan bahwa hal

itu

termasuk ragam hias terdapat pada candi-candi,

di

samping

kelc

pok

fauna. Oleh

karena setelah Indonesia mendapat

p

,ruh kebudayaan

Islam yang pada

prinsipnya menggar arkan

makhluk hidup secara naturalistis atau alamiah itu dilarang, maka hiasan flora dan fauna itu .hanya terdapat pada rumah-rumah biasa (tidak di masjid).

Sedangkan jauh sebelum Hindu maupun Islam datang, atau yang lebih dikenal dengan istilah jaman Prasejarah, gambai-gam- bar yang menunjukkan flora dan fauna telah dipahatkan atau

diukirkan pada

benda-benda

yang terbuat dari

perunggu,

misalnya mekara, candrasa, nobat, kapak corong, dan lain-lain- nya.

Bogbagoi macam kapak corong.

60

:bbuah candrasa yont kto-kito sotu metet po4ion?nya

Flora yang tersebar pada bangunan rumah tradisional Jawa pada Umumnya bermakna suci, indah, ukirannya halus dan simetris dan mengandung daya estetika tersendiri (daya yang menuju kepada keindahan). Adapun flora yang sering dipakai adalah bagian batang, daun, bunga, buah dan pucuk pohon-po- honan.o

a. Lunglungan.

Istilah lung-lungan berasal dari kata dasar lung yang artinya batang tumbuh-tumbuhan

yang

masih ,muda-,

yang

masih melengkung. Selain itu, juga mengandung arti sebagai nama daun atau ujung ketela rambat, Sedangkan yang disebut dengan Lung kangkung'ialah salah satu motif kain balik.

Khusus untuk lung-lungan terdiri dari bentuk tangkai, daun, bunga dan buah yang distilir. Tapi stlirannya berbeda-beda sesuai dengan daerah asalnya, seperti stiliran model Mataram, Jogyakar-

ta,

SUrakarta, Pekalongan, Jepara, Madura dan lain-lainnya.

Bahkan gaya Bali juga sudah mulai tersebar.

Contoh ragam hias lung.-lungan gaya Jogyakarta adalah s€perti di bawah ini:

Lung-lu.ngofi, .

Setelah ukir-ukiran seperti di atas disebut, kemudian terserah kepada yang punya hajad, mau diberi warna atau tidak. Tapi yang bahannya dari kayu jati pada umumnya polos karena harus diberi hiasan dengan menggunakan

relief.

Sebaliknya

untuk

rumah bangsawan memberi warnanya dengan jalan sunggingan (berupa cat) atau dengan cara yang berbeda.

a.

Untuk warna dasar biasanya merah tua atau merah coklat dan disebut

"cet tuk",

sedang lung-lungannya berwarna kuning emas dari bahan "prada".

b.

S'ebagai dasar warna hijau tua, dan lung-lungannya beiwarna kuning emas dari bahan "prada".

c.

Tangkai dan daun tetap berwarna hijau dengan jalan menyung- ging (pewarnaan dari warna tua sampai warna muda hingga menjadi putih). Bunga dan buah warnanya merah, juga dengan cara sunggingan dari warna tua ke warna muda hingga menjadi putih. Kadang-kadang juga dipergunakan warna ungu, biru dan kuning.

Dalam hal memahat, halus dan kasarnya sudah tentu di tangan si pemahat.

Di

samping

itu

juga ditentukan oleh materi yang dimiliki oleh yang punya rumah. Untuk rumah petani yang sederhana misalnya, pahatannya juga sederhana dan tidak begitu halus (kurang rata). Sebaliknya untuk rumah bangsawan yang kaya atau rumah para pengrajin hasil pahatannya sangat halus dan enak dipandang mata. AIat yang dipakai untuk memahat berbeda dengan pahat untuk ukir kulit, perak, dan sebagainya.

Ragam hias lung-lungan cukup banyak mengisi bangunan rumah, seperti:

a.

Setiap balok kerangka rumah (blandar, tumpang, pengeret, dhadhapeksi, sunduk, dudur, ander, tiang, rusuk, takir, kerbil, molo, brunjung, usuk peniyung, usuk ri gereh, reng, gimbal, sa ka ruwa, cukit, mangkokan, dan lainJainnya.

b.

Pemidhangan.

c.

Tebeng(kayupenutup) pintu, tebeng jendela, daun pintu, dan sebagainya.

d.

Patang aring, dan lJinJainnya (patang aring

=

kayu penyekat

kamar tengah).

Bagian pemidhangan rumah joglo yang ada di dalam kraton sering penuh dengan hiasan lung-lungan, namun ada juga rumah joglo milik rakyat jelata yang tanpa hiasan sama sekali.

Hiasan ini biasanya untuk memberikan kesan keindahan dan sakral. Terkadang malah nampak angker atau wingit.

62

i

I

Jenis

pohon-pohon

yang sering distilir untuk

hiasan

lung-lungan adalah: teratai (padma), daun kluwih, bunga melati, pohon bunga dan daun markisah, buah keben, tanam-tanaman atau pohon-pohonan yang bersifat melata seperti ketela rambat dan beringin, dan masih banyak lagi.

Orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan

ini

(membuat

lung-lungan) disebut pengrajin ukir kayu, Khusus untuk daerah Jogyakarta mempunyai nama depan yang memakai kata: wognyo, seperti Raden Wadono Wignyowidagdo. Pekerjaan semacam ini sekarang banyak ditopang oleh lembaga-lembaga yang dianggap dewa penyelamat seperti Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI)

"ASRI".

Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) dan Sekolah Menengah Industri dan Kerajinan (SMIK) Lembagalem-

baga itu mempunyai pelajaran seni kriya (seni pekerjaan) yang di dalamnya terdapat seni mengukir kayu. Begitu juga dengan Balai Penelitian

Batik dan

Kerajinan

yang

mengadakan semacam sanggar untuk latihan mengukir kayu.

b.

Tlacapan

Kata

tlacapan berasal

dari kata

tlacap yang mendapat akhiran, yang artinya memakai tlacap. Adapun yang dimaksud dengan ragam hias tlacap ialah hiasan yang berupa deretan segi tiga sama kaki, sama tinggi dan sama besar. Selain itu bisa polos, bisa pula diisi dengan hiasan lung-lungan, daun, atau bunga-bu- ngaan yang telah distilir. Dengan garis tepi atau tidak memakai garis tepi.

Dalam memberi warna, tergantung pada hiasan yang telah dipahatkan sebelumnya. Untuk kayu yang polos hiasannya polos juga. Sedang untuk bangunan yang berhias dan berwarna, ragrun hiasnya berwarna kuning emas atau warna sunggingan, yaitu hijau dan merah. Bila memakai garis tepinya, diusahakan wafnanya sama (warna emas). Sedang warna dasarnya bisa hijau tua atau merah menurut warna dasar kayu atau balok yang diberi hiasan.

Cara membuat hiasan tlacapan

ini

ada yang melakukan dengan cara melukis dan memahat. Kalau dipahat, baik pada

tembok

maupun

kayu, akan

menjadi

bentuk relief.

Dan pewarnaannya bisa kuning emas yang polos atau sunggingan dari warna tua ke warna yang muda hingga menjadi putih.

Setelah

dilukis atau

dipahat, hiasan tlacapan

ini

bisa

ditempatkan pada pangkal dan ujung balok kerangka bangunan seperti dhadhapeksi, blandar, sunduk, pengeret, ander, santen, saka santen, dan seterusnya. Kalau perlu pada bagian gimbal.

Hiasan tlacapan

ini

menggambarkan sinar matahari, atau sinar yang berkilauan. Jadi tidak mengherankan bahwa ada orang yang menyebut tlacapan ini sebagai sorotan. namun yang pokok hiasan semacam ini mengandung arti kecerahan atau keagungan.

Molo atau

suwunan mdrupakan

bagian rumah

yang

disamakan dengan kepala manusia. Jadi dianggap sangat vital.

Agar sesudah dipasang pada bangunan rumah nanti mempunyai kekuatan magis,

maka

diadakan .upacara lengkap dengan sajiannya.

Mula-mula kayu yang akan dijadikan molo diletakkan di suatu tempat yang bersih. Sesudah

itu,

beberapa orang tukang ukir yang berpengalaman mulai menatahnya dengan tekun.

Cara menatahnya diusahakan agar tidak dilakukan berulang kali, tetapi kalau dapat satu kali jadi tanpa membuat kesalahan.

Orang-orang mengharapkan, kalau menatahnya terlepas dari kesalahan,

hal itu

akan mempengaruhi kekuatan bangunan rumah.

Selama molo dalam proses penatahan, harus diusahakan agar tidak dilompati orang. Sebab menurut kepercayaan, molo yang sudah pernah

di

lompati orang, setelah menopang bangunan rumah akan menyebabkan rumah menjadi sangar dan banyak menimbulkan malapetaka. Baik kepada orang yang mendiami maupun kepada tetangga di kiri-kanannya.

&

Waktu

yang dipakai

untuk

menatah

molo juga

tidak

sembarangan, tetapi diusahakan untuk memakai hari-hari yang baik menurut penanggalan Jawa, misalnya hari lahir pemiliknya.

Yang dianggap tidak baik ialah hari-hari di mana salah seorang

famili

meninggal dunia (gebleg). Misalnya

hari

kelahiran si

pemilik rumah bertepatan dengan geblag,

hal itu

bisa diganti dengan hari lahir istri atau anak sulungnya.

Hari-hari yang dianggap tidak baik atau naas dinamakan Kalamenga.

Orang-orang yang menatah molo, biasanya tidak enak kalau ditonton orang, jadi banyak yang mengisolasi

diri.

Mereka pada umumnya sudah berusia lanjut dan sudah menikah (walaupun sudah

tua, tapi kalau

belum menikah

tidak

diperbolehkan menatah molo). Selama pengerjakan molo, diusahakan berpakai- an bagus dan kalau perlu memakai wangi-wangian serta harus mbisu (tidak boleh berbicara).

Sebelum upacara dimulai, orang menunjuk Pak Kaum untuk memimpin upacara menatah molo. Bila Pak Kaum atau sesepuh

lain

berhalangan,

pak tua

yang menatah

molo

boleh saja memimpin upacara tersebut.

Setelah alat-alat seperti tatah berbagai ukuran, pukul besi disiapkan, Termasuk, sesaji yang berupa makanan dan uripurip (hidup-hidup

:

maksudnya ayam jantan yang hidup dengan kaki terikat) serta kemenyan.

Semuanya

itu

melanbangkan kesuburan, kebahagiaan dan

kekuatan. Sedangkan kemenyan

yang dibakar

merupakan

persembahan kepada Tuhan agar selama menatah molo tidak mendapat gangguan suatu apapun.

Di

samping

itu

juga untuk keselamatan para pekerja.

+

Sesudah kemenyan habis terbakar dan maunya semerbak memenuhi halaman sekitarnya, para pekerja mulai menatah molo dengan hati-hati dan

tidak

boleh ditunda-tunda sampai esok harinya, jadi harus lembur. Sebab kalau sampai proses ini tidak

selesai pada waktunya, dan mengacaukan seluruh acara yang telah diperhitungkan dengan primbon. Maka, hal

itu

dianggap suatu perbuatan yang tercela.

Tetapi jangan lupa, sebelum tangan menyentuh molo untuk ditatah, masing-masing pekerja harus mengucapkan bismilah hirrohmanirrohim. di dalam hati, kemudian barulah Pak Kaum segera membuka do'a:

I

{

1

l

l rl

;r

li

I

int rl

llr

'".rr'ugi.-mu;gi.

anggenipun ngupakara damel menika lan dumugi nginggahaken, boten wonten'rubeda menapa-menapa.

Allahuakbar, Allahuakbar, Amin' r.

Artinya:

"Mudah-mudahan dalam menggarap pekerjaan menatah

molo

ini

termasuk menaikkan ke atas, tidak mendapat suatu halanganapapun. Allah Maha Besar, eAllah Maha Besar. Amin.

Setelah selesai, tinggailah proses pemasangannya.

6

Dalam dokumen PDF perpustakaan.gunungsitolikota.go.id (Halaman 57-68)

Dokumen terkait