• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metoda Sipat Datar (Levelling)

PENENTUAN POSISI VERTIKAL

7. METODA SOUNDING

4.4. Metoda Sipat Datar (Levelling)

Dilihat dari istilah di atas, maka dapat dimengerti bahwa alat yang digunakan adalah alat yang dapat menyipat atau menyapu secara mendatar. Ini merupakan metoda untuk mendapatkan/

membuat garis terletak pada bidang mendatar yang sejajar bidang referensi ketinggian.

Garis pada alat yang diatur mendatar adalah "Garis Bidik" (garis visier) yang ditunjukkan oleh

"Benang Silang Diafragma " alat tersebut.

Pengertian garis bidik itu sendiri adalah :

“Garis khayal yang menghubungkan pusat lensa obyektif dan pusat benang silang diafragma suatu teropong”

Garis bidik tidak akan terlihat secara langsung, karena garis ini berupa lajur sinar yang masuk ke mata pengamat (surveyor) melalui pusat silang diafragma teropong dan pusat lensa obyektif, sampai tempat tak berhingga. Yang akan diperhatikan hanya sampai pada target yang dibidik.

Target bidikan pada pengukuran sipat datar adalah “rambu ukur” (baak ukur). Rambu ukur ada- lah alat ukur jarak yang dinyatakan pada benda keras, biasanya pada kayu ataupun logam lain yang stabil (misal alumunium, baja).

Kalau dilihat dari masalah pengukuran, maka alat ukur pada metoda sipat datar adalah rambu, sedang alat sipat datar dapat dikatakan sebagai alat bantu untuk mendatarkan suatu garis atau bidang.

Data untuk pengukuran metoda ini adalah data jarak vertikal (sepanjang rambu) dari titik nol rambu sampai dengan garis bidik alat. Ini berarti bahwa bila titik nol rambu diletakkan di atas muka tanah, maka data tersebut adalah jarak dari muka tanah sampai dengan garis bidik.

Lihat Gambar 27. Gambar tersebut meng-ilustrasi-kan prinsip dasar pengukuran metoda sipat datar.

54

rambu

garis (bidang) // garis bidik alat bidang acuan

BTb

B

BTa

HAB

A

//bidang acuan Gambar 27

Beda Tinggi Metoda Sipat Datar Keterangan :

BTa = Bacaan benang tengah di titik A BTb = Bacaan benang tengah di titik B

Untuk mendapatkan beda tinggi dari titik A ke titik B (∆HAB) , digunakan persamaan (4.4) dengan menggantikan a dengan BTa dan b dengan BTb , sehingga :

HAB = BTa BTb ……. (4.5)

di mana :

BTa = Bacaan benang tengah di titik A BTb = Bacaan benang tengah di titik B

Disamping pembacaan benang tengah (benang yang berada di tengah silang diafragma), terdapat pula 2 benang lainnya, yaitu “Benang Atas” (di sebelah atas benang tengah) , dan

“Benang Bawah” (di sebelah bawah benang tengah).

Berikutnya, ketiga benang tersebut akan dinotasikan sebagai singkatannya saja, yaitu :

• BT untuk Benang Tengah

• BA untuk Benang Atas dan

• BB untuk Benang Bawah Fungsi BA dan BB adalah :

1. Pemeriksaan (Checking) BT , yaitu dengan :

BA + BB = 2.BT ……. (4.6a)

2. Mengukur jarak dari alat ke rambu sepanjang garis bidik, berdasarkan perbesaran optik :

D = 100 ( BA – BB ) …… (4.6b)

55 4.4.1. Sipat Datar Memanjang

Sipat datar memanjang, bertujuan untuk mengukura beda tinggi (∆H) antara 2 titik yang berjauhan. Dalam pengukuran semacam ini, tidak mungkin dilakukan dengan 1 kali meletakkan alat sipat datar seperti pada Gambar 27., oleh karena itu, sipat datar memanjang terbagi atas beberapa bagian.

1). Beda tinggi

Bagian pengukuran ∆H yang terkecil/terpendek dimana pada bagian ini alat sipat datar ditempatkan/diletakkan, disebut sebagai SLAG / SELANG. Bagian ini, dapat saja berupa pengukuran ∆H antara titik-titik yang sebenarnya tidak diperlukan keberadaannya. Titik seperti ini dikenal dengan titik bantu. Jarak antar titik bantu, dapat berdekatan, tetapi mungkin saja cukup jauh, sesuai dengan keperluan, keadaan lapangan dan kemampuan alat.

Prinsip dasar pengukuran ∆H seperti pada Gambar 27, merupakan slag/selang pengukuran sipat datar memanjang.

Arah pengukuran

3 4

5

1

2 6

7

B

A

8

Gambar 28.

Tampak atas Pengukuran Sipat Datar Memanjang Keterangan :

= titik yang akan ditentukan/diukur beda tinggi

= titik bantu

= tempat alat sipat datar

= garis lurus antar titik

= garis ukuran

Pengukuran ∆H antara titik yang akan ditentukan (antara A-B, pada Gambar 28.), disebut SEKSI. Pengukuran seksi, merupakan kumpulan pengukuran slag/selang.

Bila dihubungkan dengan arah pengukuran (lihat Gambar 28.), maka ∆H suatu seksi dapat ditu-liskan seolah-olah berbeda dengan sebelumnya, walaupun dengan tujuan agar dapat berlaku secara umum dalam metoda ini.

∆HA1 = BTa − BT1 untuk slag A-1

∆H12 = BT1’ − BT2 untuk slag 1-2

∆H12 = BT2’ − BT3 untuk slag 2-3 ……….. , dan seterusnya Untuk menyatakan persamaan (4.5) dalam sipat datar memanjang, digunakan :

56

Hslag = BTbelakang BTmuka ……. (4.7) di mana :

Hslag = beda tinggi slag/selang

BTbelakang = bacaan benang tengah rambu belakang BTmuka = bacaan benang tengah rambu muka

Sehingga untuk ∆H seksi (beda tinggi yang akan ditentukan) dinyatakan sebagai :

Hseksi =

Σ

Hslag ……. (4.8)

di mana :

Hseksi = beda tinggi seksi (seksi A-B pada Gambar 28.)

Σ

Hslag = jumlah beda tinggi slag dalam seksi tersebut.

2). Gerakan rambu

Dengan tujuan-tujuan tertentu, pengukuran sipat datar memanjang menggunakan cara tertentu yang mengatur gerakan dari rambu.

Metoda pengukuran dengan gerakan rambu semacam ini dapat memperkecil/meng- hilangkan pengaruh kesalahan yang bersumber dari peralatan.

Kesalahan yang diperkecil pengaruhnya, antara lain :

• Salah nol rambu

• Perbedaan titik tempat rambu dari titik sebelumnya.

Gambar 29.

Gerakan Rambu 3). Dudukan ganda (Double stand)

Setiap slag, diukur dengan pembacaan ganda, terutama baccan benang tengah (BT).

Tujuan dudukan ganda ini adalah :

1. Pemeriksaan ∆H hasil dudukan pertama (stand I) 2. Mengurangi kemungkinan penurunan alat, akibat alam

Dengan demikian, beda tinggi setiap slag adalah harga rata-rata ∆H yang didapatkan setiap dudukan. Bila terjadi perbedaan yang besar (di luar toleransi), maka alat diletakan pada dudukan ketiga (stand III) dan dipilih hasil 2 dudukan yang berselisih/berbeda terkecil atau hasil seluruh dudukan.

57

I

BTA1 BTB1

BTA2 BTB2

II

B

A

Gambar 30.

Dudukan Ganda (Double stand)

Pada dudukan pertama, pembacaan dilakukan dengan urutan BT, BA & BB :

• BTA1 , BAA & BBA

• BTB1 , BAB & BBB

Dudukan kedua :

• BTB2 & BTA2

Jadi pembacaan BT pada dudukan kedua adalah rambu muka terlebih dahulu. Ini dimaksudkan agar bila terjadi penurunan alat maupun rambu, maka pengaruh penurunan terhadap beda tinggi akan kecil jika digunakan harga rata-ratanya.

4). Kesalahan garis bidik

Kesalahan yang besar pengaruhnya dalam pengukuran metoda ini adalah kesalahan garis bidik, yaitu kesalahan akibat dari pendataran garis bidik yang tidak baik.

Besar salah garis bidik, diamati dengan cara sebagai berikut :

• Alat ditempatkan condong pada rambu pertama (lihat Gambar 31.) , lakukan pendataran alat

• Lakukan pembacaan data, yang terdiri dari BT , BA dan BB ke arah kedua rambu

• Pindahkan alat pada tempat II (condong ke rambu kedua), lakukan pendataran alat

• Lakukan pembacaan data, yang terdiri dari BT , BA dan BB ke arah kedua rambu Misal data hasil pengamatan sebagai berikut :

Dudukan alat Pembacaan rambu I Pembacaan rambu II I BT1 , BA1 , BB1 BT2 , BA2 , BB2

II BT1’ , BA1’ , BB1’ BT2’ , BA2’ , BB2

…. (4.9)

di mana :

C = besar kesalahan garis bidik Di = 100 ( BAi – BBi )

i = dudukan i ( I , II )

C =

(BT1 BT2) (BT1 BT2’) (D1 D2) (D1 D2’)

mm M

58

1 2

BT1

II

ε

BT2

BT2

BT1 I

D1 D2

D1 D2

Gambar 31.

Pengamatan Salah Garis Bidik Keterangan :

ε

= besar sudut kesalahan garis bidik dari garis mendatar

Besar kesalahan pada persamaan (3.9) adalah tangensial dari sudut

ε

, dan dinyatakan dalam satuan mm per m. Satuan ini berarti bahwa :

Bila C = 1 mm/m , berarti besarnya kesalahan pembacaan BT adalah 1 mm.

untuk jarak alat ke rambu sebesar 1 m. Untuk jarak ke rambu adalah 10 m., maka kesalahan pembacaan adalah sebesar 10 mm..

C = Tan

ε

…… (4.9a)

Pembacaan dalam pengukuran (data), terutama BT, harus dikoreksi sebelum diolah.

BT = BTu D . C …… (4.10)

di mana :

BT = pembacaan benang tengah setelah koreksi BTu = pembacaan benang tengah ukuran

D = jarak alat ke rambu C = besar salah garis bidik

(Hati-hati dengan satuan yang mungkin berbeda)

Koreksi garis bidik pada beda tinggi slag

Bila persamaan (3.10), merupakan koreksi garis bidik pada setiap pembacaan BT, maka bila untuk suatu beda tinggi (misal beda tinggi slag), maka dapat dituliskan sebagai berikut :

∆Hslag = BTbelakang − BTmuka

BTbelakang = BTubelakang - Db . C

BTmuka = BTumuka - Dm . C ; maka :

59

Hslag = (BTubelakang BTumuka) (Db Dm) . C ; atau

Hslag = Huslag (Db Dm) . C …….. (4.10a) di mana :

Hslag = beda tinggi slag setelah koreksi

Huslag = beda tinggi slag ukuran (sebelum koreksi) Db = jarak alat ke rambu belakang

Dm = jarak alat ke rambu muka C = besar salah garis bidik

Koreksi garis bidik pada beda tinggi seksi

Bila koreksi salah garis bidik ini diterapkan pada suatu seksi, maka dapat dituliskan sebagai berikut :

∆Hseksi = ∆H1slag + ∆H2slag + ∆H3slag + ……… + ∆Hnslag

∆Hseksi = ∆Hu1slag − (D1b − D1m) . C + ∆Hu2slag − (D2b − D2m) . C + …..

….. + ∆Hunslag − (Dnb − Dnm) . C

Hseksi =

Σ

Huslag +

( Σ

Db

Σ

Dm

) .

C …….. (4.10b) di mana :

Hseksi = beda tinggi seksi setelah koreksi

Σ

Huslag = jumlah beda tinggi slag ukuran (sebelum koreksi)

Σ

Db = jumlah jarak alat ke rambu belakang

Σ

Dm = jumlah jarak alat ke rambu muka C = besar salah garis bidik

5). Hitungan ketinggian titik

Untuk menghitung ketinggian suatu titik dari titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya), diterapkan persamaan (4.2).

HB = HA + HAB …….. (4.2)

di mana :

HB = ketinggian titik B (titik yang akan ditentukan posisi vertikalnya) HA = ketinggian titik yang telah diketahui/ditentukan.

∆HAB = berupa beda tinggi hasil ukuran (dapat berupa seksi ataupun slag)

6). Hitungan rangkaian seksi dengan koreksi

Apabila pengukuran telah terdiri dari beberapa seksi, di mana bila titik awal dan titik akhir pengukuran merupakan titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya), maka akan timbul syarat geometrik yang harus terpenuhi.

60 Syarat geometrik untuk ketinggian atau posisi vertikal ini tidak ubahnya (serupa) dengan syarat geometrik koordinat pada poligon. (lihat persamaan (3.7)). Perbedaannya adalah pada “sumbu” Cartesiusnya. (lihat Gambar 32.)

H

akhir

H

awal

= Σ H

useksi

F

H ……. (4.11)

di mana :

Hawal = ketinggian titik awal pengukuran Hakhir = ketinggian titik akhir pengukuran Σ ∆Huseksi = jumlah beda tinggi ukuran tiap seksi FH = salah penutup ketinggian.

2

3

1

A B

Gambar 32.

Koreksi Beda Tinggi Keterangan :

= titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya)

= titik yang akan ditentukan ketinggiannya

= arah pernyataan beda tinggi

Dalam menyatakan beda tinggi suatu rangkaian seksi ataupun jaringan, secara grafis dinyatakan dengan arah panah, sedang secara tertulis (mathematis) dinyatakan dengan

“index”.

Dengan demikian, pada Gambar 32., beda tinggi yang diketahui adalah : ∆HA1 , H12 ,

H32 dan HB3 , sehingga :

HuAB = HA1 + H12 H23 H3B

Apabila (HB − HA) ≠ ∆HuAB , maka perlu dihitung besar salah penutup rangkaian tersebut, dengan menggunakan persamaan (4.11).

Besar koreksi tiap seksi, dapat menggunakan prinsip perbandingan ataupun dibagi rata.

Untuk jarak seksi yang mendekati sama panjang, biasanya membagi rata koreksi. Untuk pembagian koreksi berdasarkan perbandingan jarak, serupa dengan metoda Bowditch pada poligon.

……. (4.12)

di mana :

K∆Hij = koreksi beda tinggi seksi i-j i, j = titik-titik seksi sipat datar Dij = jarak seksi i-j

Σ

D = jumlah jarak pengukuran KH = Fij H

Dij

Σ

D

61 Sebagai langkah pengendalian, bandingkan jumlah koreksi seksi dengan salah penu- tupnya.

Σ

KHij = FH ……. (4.12a)

Ketinggian titik yang akan ditentukan, dihitung dengan menggunakan beda tinggi seksi yang telah dikoreksi.

Hij = Huij + KHij …….. (4.12b)

Hj = Hi + Hij …….. (4.12b)

7). Sipat datar memanjang Kring (Loop)

Seperti juga pada poligon, bentuk kring mempunyai kelebihan tersendiri akibat titik awal yang sama dengan titik akhir. Pada posisi vertikal, ini berarti bahwa ketinggian titik awal sama dengan ketinggian titik akhir, sehingga :

0 = Σ ∆Huseksi − FH ; atau :

FH = Σ Huseksi ……. (4.11a)

Selanjutnya, pengolahan data dilakukan serupa dengan hitungan ketinggian titik dengan koreksi.

4.4.2. Sipat Datar Profil

Pada pekerjaan yang berbentuk lajur (bentuk memanjang dengan lebar tertentu), sangat memerlukan informasi relief muka tanah atau lebih dikenal dengan penampang muka bumi (profil tanah). Profil ini banyak dimanfaatkan untuk berbagai hal, seperti hitungan galian dan timbunan tanah, penggambaran lapisan dan jenis tanah, patahan muka bumi disamping perencanaan lainnya.

Profil (penampang), terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Profil Memanjang ; yaitu penampang sepanjang/pada jalur pengukuran.

2. Profil Melintang ; yaitu penampang sepanjang jalur tegak lurus (⊥) jalur pengukuran dan diukur pada titik tertentu (pada tempat yang sudah ditentukan).

Baik profil memanjang maupun melintang, relief muka bumi “diwakili” oleh titik muka bumi yang terpilih. Titik wakil ini, disebut dengan titik detail profil”.

Pemilihan titik detail profil, mempunyai syarat sebagai berikut :

• Muka tanah antara kedua titik detail, dapat digambarkan dengan garis lurus (tidak berbeda jauh dengan garis lurus)

• Titik detail yang “penting” harus tetap diukur walaupun berdekatan.

• Titik detail profil, terletak pada garis/lajur profil yang dimaksud

• Jarak mendatar antar titik detail yang terpendek (terdekat), disesuaikan dengan kemam- puan terbaik dalam penggambaran (perhatikan skala).

62

B D

C E

A

Gambar 33.

Jalur profil Keterangan :

A,B,…,E = titik-titik jalur profil

= jalur profil memanjang

= jalur profil melintang

Profil melintang, mempunyai peraturan khusus sebagai berikut :

• Pengukuran dilakukan pada titik awal dan akhir

• Pengukuran dilakukan pada titik-titik berjarak tertentu sepanjang jalur pengukuran (misal setiap 50 m.)

• Pengukuran dilakukan pada titik belok jalur pengukuran, dengan membagi sudut belok kurang-lebih sama

• Pengukuran dilakukan pada titik “khusus”, sesuai dengan keperluan.

• Pengukuran dilakukan dengan lebar (jarak) tertentu (misal 25 m.) ke kiri dan ke kanan jalur pengukuran

4.4.2.1. Pengukuran profil

Pengukuran profil, baik memanjang maupun melintang, data yang diperlukan berupa : 1) Jarak mendatar antar titik detail profil

Dokumen terkait